Amerta: Berkala Arkeologi 1/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Amerta: Berkala Arkeologi 1  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Penyelidikan Prasasti

PENYELIDIKAN PRASASTI

Tugas Ahli Epigrafi Dinas Purbakala

J.G. de Casparis


Ahli epigrafi Dinas Purbakala diserahi dengan pengejaan, terjemahan, dan penyelidikan lebih jauh sumber-sumber yang tertulis dari zaman purbakala. Kebanyakan pertulisan-pertulisan ini adalah prasasti raja-raja, yang sejak kira-kira abad kelima telah memerintah pelbagai bagian dia Indonesia. Di samping itu ada juga pertulisan-pertulisan pelbagai macam, seperti angka, tahun, nama dan piagam pelbagai pembesar-pembesar pemerintah, yang termasuk lapangan Seksi Epigrafi.

Pertulisan-pertulisan ini merupakan salah satu sumber utama untuk menyusun kembali sejarah kuno Indonesia. Kebanyakan pertulisan ini diberi tanggal dan menyebutkan nama raja-raja. Dengan menyusun dan membandingkan tulisan ini satu sama lain, kami dapat memperoleh satu ikhtisar, raja-raja mana yang dulu memerintah di situ. Dari pertanggalan kami dapat mengetahui kira-kira waktu, dalam mana mereka memerintah, sedangkan tempat-tempat penemuan prasasti-prasasti mereka merupakan sebuah petunjuk di mana mereka berkuasa.

Epigrafi yang pekerjaannya menyelidiki lebih dalam mengenai dokumen-dokumen ini, terutama meliputi penyelidikan jenis-jenis tulisan, yang telah dipakai di Indonesia. Bentuk-bentuk huruf pada umumnya telah terkenal untuk seluruh perkembangannya, tetapi kamu harus ingat, bahwa pertulisan itu sebagian besar tua sekali. Yang tertua ditulisnya kira-kira 15 abad yang lalu. Hampir selalu tulisannya rusak karena akibat iklim. Seringkali tulisan-tulisan itu menjadi hampir tak terbaca lagi, kadang-kadang kami hanya mempunya pecahan-pecahan kecil prasasti itu. Apabila huruf-huruf tulisan itu rusak, maka kami harus faham betul dalam bentuk-bentuk huruf yang dipakai dalam sesuatu abad dan dalam sesuatu daerah di Indonesia, untuk dapat mengenal perkataan-perkataan. Selain daripada itu ahli epigrafi mempergunakan masih pelbagai syarat-syarat. Kebanyakan pertulisan itu dipahatkan di atas batu besar. Maka kami dapat membuat cetakan kertas yang seksama dari batu-batu itu. Semacam kertas lunak sekali dibasahkan dan ditekankan dengan sikat atau lain alat ke dalam bagian-bagian batu yang bersurat, sedemikian rupa sehingga kertas masuk ke dalam semua lubang-lubang kecil di batu. Kami menunggu sampai kertas menjadi kering dan setelah itu mengangkatnya dari bagian batu yang bersurat itu; dengan demikian kami mempunyai sebuah cetakan kertas yang seksama dari batu itu. Kadang-kadang lapisan kertas yang teratas sebelum menjadi kering dihitamkan sehingga huruf-huruf jadi kelihatan putih. Manfaatnya yang besar cetakan kertas ini ialah bahwa cetakan itu lebih mudah diselidiki. Kami tidak terikat pada tempat dan penaruhan batu, yang seringkali kurang baik karena kurang terang, tetapi kami dapat menyelidiki pertulisan di tempat manasuka. Dalam pada itu kami dapat menaruh cetakan di tempat yang tepat sekali terangnya, memeriksa huruf-hurufnya dengan seksama dengan kaca pembesar, sedangkan selain daripada itu manfaatnya ialah bahwa sejumlah besar pertulisan terkumpul, sehingga kami dapat membandingkan tulisannya. Lebih-lebih pada pertulisan yang telah usang atau rusak,
20. Prasasti Tahun 1351 M., Singosari.

perincian-perincian yang terkecil adalah penting sekali. Untuk pengertian kami dalam sejarah pembacaan kami sesuatu angka sebagai 8 atau 9 dapat merupakan satu perbedaan yang besar sekali.

Di samping itu foto pertulisan juga penting, tetapi kurang baiknya ialah karena huruf-hurufnya di batu, dipotretnya dengan pencahayaan khusus. Maka sebuah foto itu selalu agak subyektif, tetapi sebaliknya manfaatnya, ialah bahwa kami dapat memegangnya lebih mudah daripada sebuah cetakan kertas yang sangat besar.

Dengan syarat-syarat ini kami membuat transcriptie (salinan huruf) yang menerakan seseksama mungkin dalam tulisan biasa, apa yang terdapat di atas batu. Ini berarti, bahwa semua yang terbaca dengan nyata, disalinkan dalam tulisan biasa. Mana yang tidak begitu pasti, diberi tanda khusus.

Dengan demikian mulailah penyelidikan babak kedua. Kini kami berusaha untuk dapat mengerti dan menafsirkan tulisan yang telah terbaca. Pertulisan itu ada yang ditulis dalam Sanskrit, ada yang dalam Melayu kuno dan dalam Sunda kuno, yang terbanyak dalam Jawa kuno.

Pengetahuan kami tentang bahasa Jawa kuno itu baru sedikit belum berapa lengkap. Benar kami telah mempunyai bacaan yang luas sekali, terutama kekawin, tetapi sering tidak dapat menolong kami dalam bahasa penafsiran pertulisan-pertulisan itu. Pertulisan-pertulisan itu bahasanya sangat khusus. Kebanyakan adalah piagam-piagam resmi negara dengan pelbagai peraturan mengenai tanah, macam-macam pajak, macam-macam punggawa yang disebutkan menurut aturan, yang jauh berbeda dengan bahasa kakawin. Maka dengan demikian kami berhadapan dengan jumlah besar perkataan-perkataan yang tak terkenal atau perkataan-perkataan yang artinya di dalam Jawa kuno belum pasti. Karena itu kami dengan pelbagai syarat harus berusaha untuk menetapkan artinya yang tepat seseksama mungkin. Perkataan-perkataan yang sulit itu ternyata ada yang masih dipakai di Jawa di sesuatu daerah, ada yang telah lenyap dari bahasa Jawa sama sekali, tetapi masih ada juga kemungkinan besar, bahwa perkataan-perkataan ini masih terus hidup di dalam bahasa cabang Indonesia yang lain, misal di dalam bahasa Bali, Madura, atau Bugis. Dalam pada itu kami tentu harus berhati-hati betul, karena arti perkataan-perkataan itu sepanjang abad ke abad dapat sangat berubah. Maka kami membuat sebuah daftar kartu semua perkataan-perkataan yang sulit, di mana tertera dengan tepat tempat terdapatnya perkataan itu. Jika kami telah mengetahui apa kira-kira harus artinya sesuatu perkataan pada sesuatu tempat dari hubungan kalimatnya, maka kami memeriksa semua tempat-tempat lain yang terkenal dulu untuk mengetahui apakah penafsiran yang kami kira-kirakan juga tepat. Dan apabila artinya tidak sesuai dengan di tempat-tempat yang lain, maka kami harus memeriksa sekali lagi dengan seksama, apakah mungkin dapat terbaca lain. Lebih-lebih pada batu-batu yang telah usang atau rusak sekali (sayang sebagian terbesar dari seluruhnya) ternyata bahwa ada juga kemungkinan-kemungkinan lain. Malahan, jika pertulisan sama sekali tidak rusak, terdapatlah pelbagai huruf yang bentuknya sedemikian rupa pada tempat itu. Baru setelah itu kami dapat mengambil keputusan, apa arti yang tepat perkataan yang sulit itu. Dalam banyak hal artinya tetap belum pasti.

Pertulisan Anumoda Sang Sirikan Pu Suryya, Plaosan (Surakarta)

Dalam penafsiran kami sering mendapatkan bahwa dalam beberapa bagian yang tertentu kami sama sekali tidak dapat melihat ujung pangkalnya. Dalam hal yang telah betul pembacaannya, maka kami kembali lagi demikian kami harus menimbang, apakah bagian-bagian itu ke batu (maupun cetakan atau foto) dan memeriksa samanya satu sama lain, sehingga akhirnya kami mendapatkan pembacaan yang betul.

Penafsiran, sebagai hasil terakhir dari penyelidikan prasasti-prasasti Jawa kuno sering tidak memuaskan. Dalam tingkat penyelidikan sekarang banyak yang tetap tidak diketahui, lebih-lebih pada batu-batu yang rusak atau usang, dan masih banyak lagi yang kami harus menetapkan, bahwa artinya mungkin "demikian", tetapi mungkin juga lain sama sekali. Ahli epigrafi untuk sementara harus memuaskan diri sampai sekian, dalam kepercayaan bahwa penemuan-penemuan baru dalam penyelidikan lebih lanjut akan membawa penerangan dalam hal yang kini masih gelap.

Babak pekerjaan ketiga dan yang terakhir ialah pengumuman hasil-hasil penyelidikan. Meskipun kami sendiri jauh tidak puas dengan hasil itu, tetapi kami pada sesuatu waktu harus juga memikirkan untuk mengumumkan tulisan-tulisan dan tafsiran-tafsiran. Dengan itu kami memberi kesempatan kepada orang lain untuk memeriksa hasil-hasil dengan kritis dan membantu dalam usaha untuk mencapai penafsiran dari banyak bagian-bagian yang ragu-ragu. Pada saat itu baru dimulainya perdebatan tentang bagian-bagian yang sulit. Dalam pada itu kami tidak boleh lupa, bahwa dalam masa, dalam mana hanya sedikit terdapat bahan keterangan, pengertian kami tentang jalannya sejarah dapat bergantung kepada pembacaan dan penafsiran yang tepat dari beberapa bagian dalam pertulisan.

Kepentingan pertulisan di Indonesia tidak hanya terletak dalam nilainya untuk penyusunan kembali sejarah politik di Indonesia. Bahan keterangan ini tidak kalah pentingnya untuk sejarah kebudayaan. Kebanyakan adalah prasasti-prasasti dalam mana sawah dan lain-lain tanah dijadikan daerah perdikan pada pelbagai yayasan. Candi-candi biara dan yayasan lainnya sebagian besar dipelihara oleh desa-desa yang untuk itu dibebaskan dari kewajiban-kewajiban yang lain, sebagai pajak dan pekerjaan umum. Kebanyakan pertulisan itu merincikan dengan teliti kedudukan hukum desa dan dengan itu merupakan dokumen-dokumen yang penting dalam hal hukum adat dari mana kami dapat menarik kesimpulan mengenai perhubungan keraton dan punggawa-punggawanya dengan penduduk desa. Jadi prasasti-prasasti itu memberikan kepada kami beberapa
22 22.Patung Mahadewam Loro Jonggrang, Prambanan (900 M.). M.).
pengertian dalam perhubungan-perhubungan pemerintahan di Indonesia dalam zaman dulu.

Tetapi karena perdikan desa itu hampir senantiasa berhubungan erat dengan yayasan keagamaan, maka pertulisan-pertulisan itu penting juga untuk penyelidikan candi-candi. Jika kami beruntung dapat mengetahui yayasan mana yang disebutkan dalam pertulisan itu, kami mempunyai bahan keterangan penting mengenai kepurbakalaan dari pertulisan. Satu contoh ialah prasasti Kalasan dari tahun 778, dari mana kami antara lain dapat menarik kesimpulan, bahwa Candi Kalasan ditahbiskan untuk Dewi Buddha Tara dan didirikan oleh seorang raja Cailendra.

Maka karena itu pekerjaan ahli epigrafi banyak sifatnya, yang menjadikan sangat menarik. Hubungannya erat dengan banyak cabang pengetahuan, dengan arkeologi, ilmu bahasa, sejarah, agama, dan hukum adat. Pekerjaannya menarik sekali karena meskipun telah banyak pekerjaan yang telah dilakukan, pertulisan itu masih mengandung banyak bahan keterangan, dan penyelidikan baru berada dalam tingkat permulaan. Masih banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan, sebelum bahan-bahan epigrafi dapat diumumkan, ditafsirkan dan diselidiki seluruhnya. Dalam hal ini terletaklah sebuah tugas yang indah untuk para putera Indonesia.

J.G.d.C.