Lompat ke isi

Nakoda Tenggang/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

1. SI BULAN


DAHULU beberapa daerah di tanah Semenanjung masih merupakan hutan yang lebat. Dalam hutan itu diamlah bermacam-macam binatang buas. Ada harimau, beruang, ular-ular besar, dan lain-lainnya. Di dalam sungai tinggal buaya. Semuanya itu musuh berbahaya bagi manusia.

Tetapi dekat daerah pantai ada juga yang didiami manusia. Masyarakat mereka belum beradab. Tetapi dianggap, mereka ialah bangsa asli Malaysia. Namanya: bangsa Sakai. Mereka diam dalam hutan, dan masih takut berjumpa dengan manusia lainnya. Makanan mereka apa saja yang ditemui dalam hutan itu. Rumah, belum dikenal mereka. Jadi, mereka tinggal di atas pohon kayu. Dibuatnya semacam sarang di atas pokok kayu, di sanalah mereka tinggal dengan keluarganya. Jadi, hampir seperti monyet juga, bukan? Tempat tinggal mereka itu dinamakan: ran.

Mereka tidak tetap tinggal di sebuah tempat. Jika ada penduduk yang meninggal karena sakit dianggap mereka sial. Tempat itu ditinggalkan dan mencari tempat yang lain. Jadi, mereka selalu berpindah-pindah.

Walaupun demikian, masyarakat mereka mempunyai seorang ketua juga. Apa perintahnya selalu dipatuhi anak buahnya. Namanya: Batin.

Mereka amat mempercayai ramalan atau nujum. Tukang ramal itu dinamakan mereka; bomoh atau pawang. Mungkin karena keyakinannya, kadang-kadang ramalan bomoh itu terbukti juga kebenarannya.

Di antara suku Sakai itu terdapatlah sepasang suami istri. Merekalah yang paling miskin dari semuanya. Tetapi mereka amat berkasih-kasihan. Nama yang laki-laki si Talang dan istrinya Deruma. Keduanya hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja. Anak tunggal! Ia sudah menjadi seorang pemuda remaja. Nama anak itu si Tenggang.

Waktu masih kecil anak itu selalu sakit-sakit. Tetapi semakin besar sudah jarang anak itu sakit. Sehingga akhimya menjadi pemuda yang cukup tampan juga. Tubuhnya tegap, berotot-otot. Pancaran matanya tajam bersinar terang dan amat cerah. Rambutnya ikal. Si Tenggang tertampan di antara pemuda-pemuda Sakai yang lain. Sebab itu ia amat disukai teman-temannya. Sikapnya ramah dan pandai bergaul. Lebih-lebih pada gadis-gadis. Si Tenggang menjadi perhatian mereka.

Suatu hari Tenggang terlambat bangun pagi. Matahari sudah tinggi. Lalu teringatlah ia bahwa sudah berjanji semalam dengan seorang temannya. Nama temannya itu si Sirih. Mereka berjanji hari itu akan pergi berburu ke hutan. Aduh, alangkah kesalnya si Tenggang! Tentu temannya si Sirih sudah lama menunggu. Dengan cepat ia meluncur turun. Lalu pergilah ia ke bawah ran si Sirih. Sampai di bawah ran temannya, berseru-serulah ia memanggil nama kawannya itu, ’’Sirih! Sirih!” serunya. Tetapi berkali-kali ia memanggil tak ada sahutan. Barangkali temannya sudah lebih dahulu pergi. Atau ia mengira bahwa si Tenggang takkan pergi. Tetapi ada juga seseorang turun dari ran itu. Seorang gadis remaja yang amat elok parasnya. Ia bersikap malu-malu ketika dilihatnya anak muda itu. Si Tenggang pun heran melihat anak perawan itu.

’’Abang Sirih sejak pagi-pagi tadi pergi,” katanya. Tetapi si Tenggang masih terbengong-bengong. Ia belum mengetahui bahwa temannya mempunyai seorang adik yang sudah remaja. Cantik pula!

Kau adik si Sirih?” tanya si Tenggang malu malu. Gadis itu mengangguk dan tersipu-sipu malu.

’’Siapa namamu, Dik?”

’’Si Bulan!” jawab gadis itu.

’’Aduh, kau memang cantik seperti bulan di langit,” kata si

Tenggang memuji. Memang dia amat elok. Pantaslah orang tuanya menamakannya si Bulan. Wajahnya bercahaya-cahaya laksana bulan di langit. Kekesalan karena ditinggalkan kawannya menjadi
”Kau adik si Sirih?” tanya Tenggang malu-malu. Gadis itu mengangguk.
hilang. Orang tua si Bulan pun tak ada lagi di ran. Mereka sudah pergi. Mencari makanan yang ada di hutan. Dapatlah ia berkenalan lebih dekat dengan Bulan.

Sekali dua kali mereka berjumpa. Sehingga antara keduanya sudah terjadi hubungan yang amat akrab. Malahan mereka sudah berjanji. Berjanji akan sehidup semati, menjadi sepasang suami istri. Karena si Sirih kawannya, agaknya takkan sulit memperhubungkan kedua mereka itu.

Tetapi tiba-tiba datanglah kesialan dalam kampung mereka. Seorang yang bernama si Tiram jatuh sakit keras dan akhirnya meninggal. Menurut tilikan bomoh asal penyakit si Tiram karena jembalang. Dan kampung mereka harus ditinggalkan. Demikian ramalan bomoh. Batin mereka lalu memerintahkan supaya semuanya pindah tempat lagi. Berbondong-bondonglah mereka mencari sebuah daerah yang lain. Daerah itu kebetulan tak berapa jauh pula dan tepi laut. Lalu setumpuk tanah di sana dibersihkan. Ran-ran baru dibuat. Hanya celakanya ran si Sirih dan ran mak Deruma berjauhan. Sehingga si Tenggang dan kekasihnya si Bulan terpaksa berjauhan pula.

Tetapi ada yang lebih celaka lagi. Kini ran si Sirih berdekatan dengan ran Batin Hitam. Batin itu amat berpengaruh dalam masyarakat mereka. Batin hitam mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah remaja pula. Namanya, Embeh Tembaga. Embeh Tembaga mengetahui bahwa ada cahaya bulan purnama tak jauh dari rannya. Ia ingin hendak mencapai bulan itu. Ayahnya setuju pula. Dan datanglah pinangan Batin Hitam kepada orang tua si Sirih. Meminang si Bulan untuk anaknya Embeh Tembaga.

Kiamatlah sudah duma ini bagi si Tenggang!

Bagi keluarga Sirih pinangan itu merupakan rahmat. Walaupun mereka mengetahui hubungan antara si Bulan dengan si Tenggang. Tetapi Batin Hitam ialah manusia yang paling disegani dan ditakuti dalam masyarakat mereka. Si Bulan tak dapat berbuat apa-apa. Sebab dalam adat istiadat bangsa Sakai tak ada sanggahan dari si gadis. Hari perkawinan mereka sudah ditetapkan pula.