Gerakan Wanita di Dunia/Bab 11
Kalau kemadjuan wanita Indonesia, diukur dengan djumlahnja wanita jang keluaran sekolah tinggi maka belumlah ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk merasa puas. Tetapi bila diambil djumlah jang kini telah menamati sekolah-sekolah menengah, jang mempunjai akte untuk bagian pendidikan dan sebagainja, memadailah djumlah itu, dibandingkan dengan tempoh kaum wanita Indonesia, menerima peladjaran dan pengadjaran setjara zaman sekarang.
Bilakah wanita Indonesia mulai mengenal "dunia luar”? Lebih terang dan njata lagi, bila pertanjaan itu kita mudahkan dengan: Bilakah anak-anak perempuan Indonesia mulai masuk sekolah, mulai menerima peladjaran serupa dengan saudara-saudaranja anak-anak laki-laki?
Djawabnja: Setelah buku "Door Duisternis tot Licht” terbit, dalam tahun 1911. Buku tersebut adalah karangan almarhumah R. A. Kartini. Buku Kartini, dipilih, dikumpul dan diterbitkan oleh Mr. Jacgues Henry Abendanon, jang diantara tahun 1900—1905 mendjabat Directeur v.h. Departement Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid di Hindia-Belanda.
Surat-surat R. A. Kartini ditulisnja antara tahun 1899—1904 dan ditahun '04 itu djuga, almarhumah itu menutup matanja untuk selama-lamanja.
Bersamaan dengan terbitnja buku Kartini tersebut, didirikan pula sekolah-sekolah "Kartini”, jang dimasa itu sederdjat dengan Hollands-Inlandse-School, akan tetapi hanja untuk anak-anak perempuan. Sekolah jang pertama, didirikan di Semarang. Menjusul Batavia (kini: Djakarta), Buitenzorg (kini: Bogor) dan lain-lain tempat pula. Sekolah-sekolah anak-anak perempuan tersebut bisa hidup subur, berkat bantuan "Kartini fonds" di Nederland dan subsidi dari Pemerintah Hindia-Belanda.
Karena orang-orang tua mulai merasa perlu anak-anak perempuan disekolahkan, maka bukan sadja sekolah-sekolah Kartini, bahkan H.I.S. dan Europese-scholenpun dibandjiri oleh gadis-gadis Indonesia, meskipun pada waktu itu tidak semua anak perempuan boleh masuk sekolah H.I.S. atau Europeesch-Lagere-School, tadi.
Paling tidak mesti anak Wedana keatas. Anak saudagar, meskipun sanggup membajar ƒ 100,– atau f 200,– untuk uang sekolah sebulan, tidak diterima, bila ajahnja tidak mempunjai titel Raden, Datuk, Tengku, Sutan dan sebagainja.
Maka dengan sendirinja sekolah-sekolah tadi mendapat sebutan "standen-school", sekolah-sekolah untuk anak-anak orang-orang jang berpangkat dan bangsawan. Tentu gadis-gadis tjilik kita dimasa itu dapat pula memasuki sekolah-sekolah desa, jang lebih dikenal dengan sekolah nomor dua dan sebagainja. Tetapi.... tentu bagi saudagar-saudagar dan orang-orang tua jang berduit, tetapi tidak masuk "ningrat", sekolah-sekolah ini tidak memuaskan.
Maka karena itu, timbullah sekolah-sekolah dari fihak kaum partikelir, baik jang berdasarkan kebangsaan, (Taman-Siswa, Perguruan Rakjat), maupun Agama (Mohamadijah, Djamiatul Waslijah, Islamiah, sekolah-sekolah Katholiek) dan masih banjak lagi untuk disebut satu demi satu. Dan boleh dikatakan, sekolah-sekolah partikelir ini, menerima murid-murid perempuan, baik dari golongan ningrat, maupun dari kalangan rakjat.
Dan dari sekolah-sekolah ini semuanja, asalnja dr. Marie Thomas, dr. Anna Warrouw, dr. Mudmem, Mr. Leila Russad, Mr. Henkelare, Mr. Maria Ulfah Santoso, Mr. Iwanah, njonja dr. Mursadik, Mr. Nannie Suwondo, Mr. Annie Pantow dan beratus-ratus tjerdik pandai wanita, jang kini masih menuntut peladjaran di sekolah-sekolah tinggi, baik ditanah-air kita sendiri, maupun diluar negeri.
Nama-nama sebagai Siti Sumeni Tjindar Bumi, wanita Indonesia pertama jang mendapat Hoofdacte Eropah, R. Adjeng Karlinah jang masih berdarah Paku-Alaman dan mempunjai Lager Acte Eropah, Sri Umijati, djuga pemegang Hoofdacte dan beberapa wanita lagi jang telah berhasil menempuh sekolah tinggi, tidak boleh dilupakan.
Penghidupan
Untuk menegaskan kehidupan wanita Indonesia umumnja, baiklah hal ini saja bagi atas 3 golongon:
a. Wanita desa,
b. Wanita kampung dan
c. Wanita kota.
Saja hanja akan membentangkan serba ringkas tentang hidup dan penghidupan wanita-wanita kita jang tinggal didesa, dikampung dan dikota. Bagi pembatja jang tahu akan keadaan di Sumatra, baiklah diberikan pemandangan, bahwa di Djawa berlainan keadaannja. Desa letaknja djauh dari kota dan umumnja dipegunungan, sedang kampung letaknja disekitar kota. Dan letak itulah jang mengadakan tjara dan kebiasaan dari dulu sampai sekarang, dari angkatan dulu sampai ke-angkatan sekarang. Tentu lambat laun nampak djuga perobahan-perobahan, karena pengaruh Eropah atau Tionghoa, Arab, India dan sebagainja, tetapi itu hanja terdapat dan terasa di kota sadja.
Hidup dan penghidupan desa dari dulu sampai sekarang, tinggal itu-itu djuga; tetap sutji dan murni.... karena segala adat dan kebiasaan desa, tak lepas dari alam, sawah-sawah, sungai, gunung-gunung, pokok-pokok jang terdapat ditempat itu.
Wanita desa
Berumur 11 (sebebas) tahun, gadis desa sudah masuk seorang perempuan "dewasa". Umumnja dia sudah dipertunangkan. Dan tidak djarang, dahulu kala dia sudah dipertunangkan, sebelum lahir. Artinja, waktu sigadis tadi masih didalam kandungan, orang-tuanja sudah berdjandji dengan salah seorang keluarganja atau tetangganja, bahwa, bila anak jang akan lahir nanti seorang anak perempuan, maka anak itu akan dikawinkan dengan anak seorang keluarga atau anak tetangga tadi, jang djuga baru lahir atau paling tua berumur 10 à 12 bulan.
Penghidupan di desa itu, bersangkut-paut dengan:
a. perkawinan,
b. kematian dan
c. kelahiran.
Djuga bagi wanita desa tidak banjak jang difikirkannja. Dia kawin, melahirkan anak dan mengurus kematian siapapun, kenal atau tidak, karena hidup di desa adalah hidup gotong-rojong, tolong-menolong atau bantu-membantu.
Tentang perdjodohan bukanlah soal jang perlu difikirkan dalam-dalam. Karena "djodoh" bagi anggapan di desa adalah "kemauan" Tuhan. Dengan siapa seorang gadis mesti kawin, adalah keinginan sesatutu kekuatan dari Atas, dari Tuhan jang Maha Kuasa! Itulah anggapan umum di desa dari dahulu sampai sekarang!
Tetapi.... djanganlah dikira, bahwa karena itu orang laki-laki mendjadi beristeri banjak. Bukan! Bahkan sebaliknja! Mereka umumnja beristeri satu; hanja pertjeraianlah jang terlalu mudah.
Soal ini tentu menarik perhatian tjerdik-pandai di kotakota, jang berusaha memperbaikinja.
Sekolah-sekolah di desa kini sudah mulai banjak. "Sekolah Desa" namanja dulu, kini bernama "Sekolah Rakjat". Tiga tahun lamanja beladjar dan bagi siapa jang sanggup beladjar terus, mesti pergi kekota atau ke-kampung jang berdekatan. Djuga anak-anak perempuan desa kini sudah mulai banjak jang meneruskan peladjarannja dikota-kota. Mereka mesti berdjalan kaki, diantara 5 à 10 kilometer djauhnja. Pagi-pagi berangkat dan diwaktu lohor mereka sampai kerumah, bertemu kembali dengan orang-tua mereka.
Waktu sigadis desa telah mendjadi dewasa dan telah berumah-tangga maka hidupnja dari sehari-kesehari ialah:
a. membantu sang suami berladang atau bersawah,
b. berdjualan dipasar (pekan) atau diwarung (lepau) ditepi djalan,
c. mengasuh anak-anaknja dirumah.
Variasi atau selingan dalam hidupnja tak ada. Hanja bila ada undangan, karena anak tetangga mendjadi penganten, menjunatkan anak laki-laki.... umumnja, selingan hidup untuk menambah makan rochani tidak ada. Di Sumatera selingan itu adalah mendengarkan chotbah sebagai penambah pengadjian.... tetapi ini sudah masuk bagian hidup wanita kampung, jang akan saja paparkan dibawah ini.
Wanita kampung
Diatas telah saja terangkan, bahwa letak Kampung adalah disekitar kota. Lebih tegas, bila saja katakan: dia ada diantara desa dan kota. Maka karena itu, penghidupan penduduk kampung djuga masih memakai kebiasaan kampung, tetapi mempergunakan pula adat-istiadat kota.
Tentu wanita kampung tak dapat dilepaskan dari kebiasaan-kebiasaan jang tertulis diatas. Hidup bantu-membantu, tolong-menolong bila ada kesusahan, nampak masih berlaku dikalangan wanita kampung. Tetapi dalam hidupnja sehari-hari, dia memakai alat-alat dikota. Ketjerdasan wanita kampung umumnja boleh dikatakan sedjadjar dengan kota.
Ini mudah diterangkan, karena anak-anak kampung dengan mudah dapat mengundjungi sekolah-sekolah dikota, disebabkan letak (djarak) kampung dan kota jang tidak sangat berdjauhan itu.
Lebih-lebih dizaman sekarang, dimasa setelah penjerahan kedaulatan, maka perguruan-perguruan dikota penuh dibandjiri oleh anak-anak dari kampung sekitarnja. Kalau dizaman Hindia-Belanda ada sekolah-ningrat dan sebagainja, maka hal-hal demikian itu telah lenjap.
Karena itu pulalah, dimasa-masa jang belakangan ini, boleh dikatakan, bahwa dalam ketjerdasan maka wanita kampung dan kota adalah sama.
Bagi wanita Indonesia diluar tanah Djawa, tahun 1918 membawa kebahagiaan kepadanja. Mulai tahun itulah gadis-gadis kita di Sumatera mulai mengundjungi sekolah-sekolah Normaal dan Kweekschool untuk guru-guru. Didikan untuk mendjadi djuru-rawat wanita pada tahun tsb. pun dimulai. Permulaan di Semarang, menjusul Surabaja dan Djakarta. Dan peladjaran-peladjaran ini bukan hanja dikundjungi oleh anak-anak gadis jang tinggal di kota, bahkan djuga jang diam di kampung.
Wanita kota
Keadaan kota berlainan dengan kampung atau desa. Ada sekolah-sekolah tinggi, ada gedong-gedong museum, bibliothik dan.... masih banjak lagi, untuk periang dan peluas pemandangannja, djika ditulis satu demi satu. Penduduknja, jang terdiri dari berbagai bangsa dan golongan itu, menambah perbedaan hidup di kota dan diluarnja. Dan sudah barang tentu, bahwa kaum wanita kota itu hidupnjapun dipengaruhi pula oleh keadaan-keadaan disitu. Kebiasaan wanita-wanita, bukan bangsa Indonesia, dengan mudah ditiru oleh wanita-wanita Indonesia umumnja dan para pemudi chususnja. Soal "ber-make-up",mentjat bibir, mengerik alis, berpakaian setjara pemudi-pemudi Barat, baik setjara mode Paris, maupun meniru potongan rok à la bintang pilem Hollywood, bukanlah suatu jang aneh bagi pemudi-pemudi Indonesia di kota.
Djuga tjara mengatur rumah, memperhias ruangan depan atau dalam dari rumahnja, hampir tidak ada bedanja dengan tjara-tjara jang dipakai oleh wanita-wanita Barat. Tetapi, bagi orang Indonesia, dengan mudah kita mengetahui, apakah rumah tadi didiami oleh keluarga asing atau Indonesia, karena adalah sesuatu jang tidak dapat dikatakan begitu sadja. Didalam susunan kursi dan lampu-lampu diruangan depan, meskipun benda-benda tadi adalah mahal dan bagus-bagus, akan tetapi "djiwa Timur" itu selalu nampak. Dengan sepintas lalu, dapat kita mengatakan ini rumah orang Indonesia, itu rumah orang Eropah misalnja.... karena djiwa dalam susunan perabot-perabot jang kita lihat itulah, jang mentjeriterakan kepada kita.
Karena itu, pepatah "Timur tinggal Timur dan Barat tinggal Barat", dalam soal menghias rumah dan mengatur rumah-tangga Indonesia pun selalu terlihat. Wanita Indonesia, jang bagi kalangannja dapat tjap "kebarat-kebaratan", belum bisa mendjauhkan diri dari sifat ketimurannja. Mungkin bagi orang jang mendjalankannja, dia sudah merasa "sematjam" wanita Barat, tetapi bagi jang melihat, dia masih serba tjanggung. Meniru
Di Djakarta, bukan sedikit, suami-isteri Indonesia, jang merasa dirinja masuk golongan muda, bergandengan bila berdjalan-berdjalan. Menonton bioskop, keluar rumah mentjari hawa, pergi ketoko dan sebagainja. Dan tidak sedikit pula jang bergandengan itu, belum dan tidak dapat menjerupai tingkah dan laku suami-isteri Barat. Mereka masih agak malu-malu, bila berdjumpa atau dilihat orang, meskipun seorangpun tak ada jang akan mentjatji atau menegor, bahwa tingkah dan laku sisuami-isteri itu, dimata orang Indonesia sangat djanggal. Soal meniru ini bukan sadja terdapat dikalangan kaum wanita Indonesia, bahkan dikalangan wanita bangsa lainpun terdapat pula. Kita lihat sadja bintang-bintang pilem Amerika jang mulai gemar memakai sarung dan tidak sedikitpun pula wanita Barat jang mempeladjari tari Timur.... djadi telah mendjadi kebiasaan dunia, Barat meniru Timur, sedang Timur gemar pula mentjontoh Barat.
Hanja bagi saja, soal meniru-niru itu mesti ada batas-batasnja pula, djangan sampai djiwa Timur mendjadi Barat dan roh Barat bertukar mendjadi Timur.
Dan saja jakin pula, bahwa bagi orang-orang jang sudah sedar, jang djiwanja telah berisi kebudajaan, soal meniru dan mentjontoh itu tidak akan mudah. Mereka telah tahu mana jang baik dan mana jang buruk bagi dirinja sendiri.
Pergerakan
Alam wanita Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pergerakan. Pergerakan wanita, kebangunan wanita Indonesia belum lama umunja. Kalau kaum bapak baru sadja 40 tahun "bangun", kaum wanita Indonesia mengikuti langkah dan djedjak kaum bapaknja lebih kurang 30 tahun. Bergerak dalam kalangan politik baru sadja 12 tahun jang lalu, dimulai tahun 1938 dengan adanja Kongres Perempuan Indonesia. Pada saat itu diantaranja dibitjarakan tentang hak-memilih untuk wanita, dibitjarakan oleh njonja Datuk Tumenggung.
Pada tanggal 28 Desember 1928, perkumpulan wanita merasa perlu mengadakan suatu Rapat-Besar (Kongres). Pada waktu itu ada 30 buah perkumpulan wanita jang hadir. Jang mengetuai kongres tersebut adalah njonja Sukonto. Diantara jang mendjadi pendorong untuk mengadakan kongres tersebut, ialah " Wanito Oetomo", "Puteri Indonesia", "Wanito Katholik", "Wanito Mulio", "Mohamadijah dan Serikat Islam bagian Wanita". Dari golongan pemudi ialah "Jong Islamieten Bond Dames Afdeling" (Jibda) dan "Jong Java Meisjeskring", serta "Wanita Taman Siswa".
Perkumpulan-perkumpulan wanita tersebut diatas ialah jang mempelopori tjita-tjita kemadjuan dan kemerdekaan untuk wanita Indonesia, dan mengandjurkan adanja gabungan diantara perkumpulan-perkumpulan tersebut. Dalam pertemuan-pertemuannja jang umum, diandjurkan ikut mempersoalkan perkawinan dan hidup-keluarga, jang bermaksud tidak menjetudjui aturan kolot, ja'ni bahwa kaum wanita Indonesia dalam perkawinan, tahunja hanja dipilih, dikawini dan ditjeraikan.
Pada rapat-rapat itu soal polygamie (beristeri lebih dari seorang) mengambil waktu jang istimewa, karena tidak semua perkumpulan jang hadir setudju dengan melemparkan "adat-adat kuno" itu. Adat baru dipertahankan oleh kaum Nasionalis dan Kristen disatu fihak dan golongan Islam mempertahankan polygamie. Persengketaan faham ditemui pula, waktu soal "co-educatie" (didikan tjampuran) dibitjarakan. Tetapi disamping perselisihan faham itu, adalah satu tudjuan jang sama, ja'ni: persatuan kemauan untuk memadjukan kaum wanita Indonesia!
Pada kongres jang pertama itu, soal politik sama sekali tidak dibitjarakan. Kongres berpendirian ber-koperasi, kerdja-sama dengan pemerintah Belanda.
Kongres tersebut membuahkan djuga satu gabungan perkumpulan-perkumpulan wanita jang diberi nama: P.P.I., kependekan dari „Perikatan Perempuan Indonesia". Tudjuannja ialah memberi penerangan dan perantaraan kepada perhimpunan-perhimpunan jang mendjadi anggauta. Dalam daftar usahanja, PPI djuga akan mendirikan dermasiswa (studiefonds) untuk anak-anak perempuan jang pandai, tetapi tidak mampu; mengadakan kursus-kursus tentang hal kesehatan; membanteras dan menghalang-halangi perkawinan anak-anak serta memperhebat kepanduan bagi anak-anak perempuan.
Kepada Pemerintah diadjukan 3 buah mosi, ja'ni:
- memperbanjak perguruan-perguruan untuk anak-anak perempuan;
- agar pada waktu kawin, diberi pendjelasan tentang taklik jaitu djandji dan sjarat-sjarat pertjeraian;
- mengadakan peraturan memberikan sokongan kepada djanda-djanda dan anak-anak piatu pegawai negeri Indonesia.
Kongres ke II
Kongres pertama disusul dengan jang kedua, dalam tahun 1935, bertempat di Djakarta, dimulai tanggal 20 sehingga tanggal 24 bulan Djuli. Empat belas perkumpulan mengirimkan utusan dan 7 buah perhimpunan mengirimkan wakilnja sebagai pendengar. Salah satu hasil jang tak boleh dilalukan begitu sadja ialah berdirinja "Badan Pembanterasan Buta Huruf" (B.P.B.H.) dibawah pimpinan njonja Suparto. Kapital untuk melaksanakan keputusan itu didapat dari pusaka (warisan) almarhumah nona Mu'ah ( Magarumah), berupa uang banjaknja ƒ 1600,– (seribu enam ratus rupiah). Dalam kongres itu diputuskan djuga, bahwa "Kongres Perempuan Indonesia" akan diadakan 3 tahun sekali.
Lain-lain keputusan jang dihasilkan oleh kongres kedua ini ialah:
- mentjiptakan satu "Badan Penjelidikan Perburuhan Perempuan" jang harus mengamat-amati pekerdjaan jang dilakukan oleh kaum wanita (Indonesia);
- tiap-tiap perkumpulan, anggauta Kongres ini, diharapkan mengadakan hubungan dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda, istimewa perkumpulan pemudi;
- dasar-dasar kongres ialah memperdalam rasa kebangsaan, mempergiat kerdj-sosial dan berpendirian netral terhadap agama;
- kongres diwadjibkan akan menjelidiki kedudukan kaum wanita menurut hukum Islam dan berusaha memperbaiki kedudukan itu dengan tidak menjinggung agama Islam.
- wanita Indonesia diwadjibkan mengusahakan supaja angkatan baru benar-benar insjaf akan kewadjiban kebangsaan; ia berkewadjiban mendjadi "Ibu Bangsa".
Kongres ke III
Tiga tahun kemudian, kongres ke III dilangsungkan dikota Bandung, mulai tanggal 23 sehingga tanggal 27 Djuli 1938. Dalam keputusan-keputusan jang telah diambilnja, kita tahu, bahwa pergerakan wanita Indonesia dalam kongres itu, telah meningkat politik, ja'ni mulai membitjarakan soal hak "memilih". Dalam tahun itu (1935) Pemerintah baru memberikan hak dipilih sebagai anggauta badan-badan perwakilan kepada kaum wanita. Tetapi tidak untuk memilih.
Sebagian dari pedato njonja Datuk Tumenggung, baiklah saja kutip disini, agar para pembatja dapat menarik kesimpulan sendiri, bahwa tahun 1938 adalah waktu permulaan bagi kaum wanita di Indonesia seluruhnja untuk giat bergerak dalam lapangan politik menuntut hak-hak warga negara dengan maksud mempengaruhi kebidjaksanaan pemerintah dizaman itu dan maklum orang, bahwa tudjuan terachirnja ialah Indonesia Merdeka, walaupun tidak dikemukakan.
Kata nj. Tumenggung: "Sekarang hak dipilih telah diberikan kepada kita; djika kita dipilih oleh kaum laki-laki, dapatlah kita duduk dalam Gemeenteraad. Dengan kepertjajaan penuh, bahwa kaum laki-laki kita akan suka meluangkan tempat bagi saudaranja kaum perempuan, kita mengerti djuga, bahwa hak dipilih itu belum tjukup. Dengan hak tersebut belum dapat kita memilih mereka, jang sebenarnja kita anggap tjakap dan sesuai dengan pilihan kita sendiri akan didjadikan wakil kita. Selain dari pada itu, kita pada waktu itu akan merugikan kaum laki-laki pula, jang sebetulnja telah mempunjai kursi berkurang-kurang dalam Gemeenteraad. Dan bagaimanakah terhadap dewan-dewan jang lain seperti Regentschapsraad (Dewan Kabupaten) dan Raad-Raad (Dewan-dewan) ditanah Seberang?
Pendeknja—kata pembitjara lebih landjut—hak dipilih buat gemeenteraad jang sekarang diberikan kepada kita, belum berarti, belum memadai. Djika kita, jang tinggal dikota-kota besar, sebenarnja telah dianggap matang untuk turut bermufakat dalam Pemerintah negeri dan selandjutnja, djika Pemerintah mau mengindahkan kedudukan-kedudukan dan hak-hak perempuan kita di masa dan didesa-desa, hendaknja kita diberi hak memilih (actief kiesrecht).
Itulah, rapat jang terhormat dan pengurus Kongres Perempuan Indonesia, jang akan kita tuntut, hak lama, jang diberikan oleh adat istiadat kepada kita. "Membangkit batang terandam", kata orang di Minangkabau, artinja: mengeluarkan barang jang telah lama terpendam dan tersembunji. Djalan untuk menuntut ini telah membangunkan satu badan, jang senantiasa berichtiar kedjurusan itu. Badan, jang wadjib menggerakkan hati isteri kita terhadap hak-hak itu dan menundjukkan, bahwa kedudukannja tinggi dalam masjarakatnja sendiri dan dia ada diberi oleh adat istiadat negerinja.
Badan itulah jang akan mengumpulkan suara kaum isteri kita dan menjampaikan keinginannja kepada jang berwadjib".
Sekianlah sebagian pedato tentang tuntutan hak memilih jang sama-sama kita dengar pada Kongres ke III di Bandung itu. Dan bolehlah dikatakan, bahwa dengan tuntutan ini, pergerakan wanita Indonesia telah mentjampuri perdjuangan politik.
Meski pun tuntutan tersebut belum berhasil, akan tetapi Pemerintah ditahun 1938 mulai menundjukkan "kemauannja" dengan mendudukkan empat orang wanita dalam Dewan-Kota (gemeenteraad). Njonja Emma Puradiredja di Bandung, njonja Sukaptinah Sunarjo Mangunpuspito di Semarang, njonja Sudirman di Surabaja dan Nona Umijati di Tjirebon.
Kongres ke IV
Tiga tahun kemudian, dilangsungkan Kongres jang ke 4 di Semarang, dalam bulan Djuli tahun 1941. Diwaktu itu di Eropah sudah berketjamuk bahaja perang, sedang Indonesia sendiri mengahadapi bahaja antjaman Djepang. Tetapi dengan hati jang teguh dan jakin pula atas pekerdjaan jang sutji bagi tanah-air, maka kaum wanita ditahun itu datang berdujun-dujun kekota jang berhawa panas itu.
Dalam kongres tersebut telah dibajangkan dengan njata-njata, bahwa perhatian kaum wanita Indonesia dalam lapangan politik makin mendjadi, sedjak petjahnja perang di Eropah. Putusan-putusan jang dihasilkan oleh kongres ini ialah:
- menjetudjui aksi "Gapi", ja'ni "Indonesia berparlemen", dengan keterangan, bahwa aksi dan tjara menjokongnja, diserahkan kepada kebidjaksanaan perkumpulan masing-masing. Ini dapat dimengerti, karena jang mendjadi anggauta Kongres itu ada jang masih tetap memegang teguh pendirian "non" diantaranja "Isteri Sedar";
- menjetudjui dengan adanja milisi Indonesia;
- memperteguh tuntutan hak memilih dikalangan wanita;
- menjetudjui adanja peladjaran bahasa Indonesia disekolah-sekolah Menengah Atas, H.B.S. dan A.M.S.
Disamping itu masih ada putusan untuk mendirikan badan pekerdja, 4 buah banjaknja, diantaranja untuk:
- pembanterasan buta-huruf;
- menjelidiki hal-hal jang mengenai kerdja wanita Indonesia;
- soal perkawinan menurut hukum Islam dan
- memperbaiki dan menjehatkan perekonomian kaum wanita Indonesia.
Walaupun tidak segala putusan Kongres tadi tekerdjakan, karena keadaan dan suasana politik Pemerintah dimasa itu tidak tegas, namun suara-suara jang dikeluarkan dalam tiap-tiap kongres merupakan keinginan wanita Indonesia seluruhnja. Dan disamping itu, antara berbagai matjam pendirian dan kejakinan dari para pemimpin wanita, dapatlah disatukan semangatnja. Jang masih kolot dapat "ditarik" oleh jang modern, sedang jang sangat progresip dapat ditahan pula oleh kaumnja jang masih berpendirian "melihat dan mendengar" dahulu.
Berhubung dengan angkatan seorang wanita Belanda sebagai anggauta Dewan Rakjat (Volksraad), maka beberapa perkumpulan wanita Indonesia jang berhaluan "co" menuntut Pemerintah Hindia-Belanda, agar kepada wanita Indonesiapun diberikan tempat, walaupun hanja satu. Rapat memutuskan ini dilakukan pada tanggal 8 Agustus 1939.
Perkumpulan Wanita jang lain
Amat pandjang untuk menulis tentang semua perkumpulan wanita jang ada di Indonesia ini. Djuga....karena buku-buku tjatatan-tjatatan saja tentang hal itu hampir semuanja hilang waktu tentera Belanda melakukan aksi pertama. Bukan sadja buku-buku, djuga lain-lain barang jang perlu bagi rumah-tangga telah kotjar-katjir.
Karena itu, dalam buku ini saja ambilkan perkumpulan-perkumpulan wanita jang menjerupakan gabungan.
Isteri Indonesia
Mendjundjung dasar parsatuan Indonesia, dan djuga melihat masih ada beberapa perkumpulan wanita jang berdiri diluar "perikatan", maka beberapa perkumpulan tadi telah menjatukan diri dalam "Isteri Indonesia", jang didirikan dalam bulan Djuni 1932.
Dasar perikatan ini ialah: demokrasi menudju ke-Indonesia Raya. Tetapi sebenarnja, djuga terdapat dalam lingkungan perkumpulan-perkumpulan kaum bapak, kata-kata Indonesia-Raya bersesuaian dengan "Indonesia Merdeka". Walaupun begitu, Isteri Indonesia selalu menjatakan, bahwa ia tidak bekerdja dalam lapangan politik dan terhadap agama, ia tetap netral. Sebagai perkumpulan-perkumpulan wanita jang ada ditanah-air kita ini, soal perkawinan dan pertjeraian tidak dapat diasingkan dari atjara-perkumpulannja. Hanja ada terdapat perbedaan dalam melakukan saranannja dengan "Isteri Sedar" misalnja. Isteri Sedar dalam hal ini lebih berhati-hati dan diusahakan djangan sampai waktu memperbintjangkan soal tersebut, dapat menjakitkan perasaan kaum Islam.
Putusan-putusan jang diambil oleh kongresnja dalam tahun 1938, bulan Djuni, diantaranja:
- tjabang-tjabang hendaknja membuka kantor-kantor penerangan untuk menginsjafkan kaum wanita tentang perkawinan dan pertjeraian, mendjauhkan perbuatan sewenang-wenang dengan melalui hukum-hukum Islam;
- mempertinggi kedudukan kaum wanita dengan menjampingkan adat istiadat kuno jang menahan kemadjuan kearah kebaikan. Diandjurkan untuk memperbaiki kebiasaan jang sesat itu dengan peraturan-peraturan jang baru dan jang barang tentu tidak bertentangan dengan agama Islam;
- dikota-kota jang ada Dewan Kota (Gemeenteraad) diandjurkan merebut tempat sedikit-sedikitnja untuk seorang anggauta Isteri Indonesia.
Ketua jang pertama dari I. I. ini ialah njonja Sukaptinah Sunarjo Mangunpuspito, jang pada kongresnja kedua digantikan oleh njonja Mr. Maria Ulfuh Santoso. Kongres I. I. kedua diadakan dikota Pasuruan (Djawa Timur) dimulai tanggal 24 sehingga tanggal 28 Desember 1940.
Tudjuan sosial dari semua pergerakan wanita Indonesia ialah serupa dengan pergerakan saudara-saudaranja di Eropah atau di Amerika, ja'ni: mendjundjung derdjat kaumnja; djangan lagi dianggap sebagai "perhiasan" oleh kaum bapak dan jang penting ialah.... memberi penerangan dan petundjuk kepada anggauta-anggautanja, bahwa telah tiba masanja untuk menuntut hak jang serupa dengan kaum laki-laki.
Tjorak berpuluh-puluh perkumpulan wanita ini tentu tidak serupa, namun tudjuannja sama.
Dizaman Djepang
Tahun 1941, Djepang mendarat di Indonesia. Disamping mengadakan perobahan dalam susunan kepangrehpradjaan, dalam susunan sekolah-sekolah dan sebagainja, djuga tjara wanita Indonesia berorganisasi "diatur" oleh tentera Djepang. Diperintahkan, bahwa tidak boleh adanja berpuluh-puluh perkumpulan wanita itu. Mesti disatukan, katanja. Dan muntjullah "Fudjinkai", jang berarti: Perkumpulan Wanita. Bukan sadja di Djawa, bahkan di Sumatera, maupun di Sulawesi dan lam-lam pulau di Indonesia ini, "Fudjinkai" didirikan. Baik dengan tjara halus, maupun dengan tjara "di-tundjuk dari atas".
Terhadap perkumpulan-perkumpulan wanita jang berdasarkan Agama Aisjah dan Persatuan Isteri Kristen, misalnja — oleh tentera Djapang tidak dipaksakan meleburkan diri dalam Fudjinkai tadi.
Pekerdjaan Fudjinkai dimasa itu jang boleh kita pudjikan, ialah meringankan penderitaan pemuda-pemuda kita jang masuk mendjadi romusja (pekerdja-pekerdja kasar) dan djuga mengetahui apa jang dikerdjakan oleh pemuda-pemuda kita jang telah mendjadi Heiho (pembantu serdadu Djepang) dan lain-lainnja jang memasuki dinas militer.
Tiap kali diadakan pertemuan ibu-ibu jang duduk dalam Fudjinkai dengan anak-anak kita jang dilatih oleh Djepang itu, selalu diamat-amati oleh militer-militer Djepang. Djuga dari fihak anak-anak kita jang pada ketika itu ingin menundjukkan ketaatannja kepada disiplin-militernja mereka tidak suka menerangkan pengalaman-pengalaman jang pahit kepada ibu-ibu jang mengundjunginja. Jang selalu mendjadi perhatian dari ibu-ibu Indonesia diwaktu itu, ialah djangan sampai pemuda-pemuda didalam latihan Djepang itu, meninggalkan Agama mereka. Jang Kristen tetap patuh mendjadi Kristen dan jang Islam tetap djuga melakukan perintah-perintah agama Islam.
Zaman Revolusi
Tanggal 15 Agustus 1945, rakjat Indonesia mengetahui dari siaran-siaran radio luar negeri, bahwa Djepang telah menjerah diri kepada Sekutu. Dua hari kemudian, ja'ni pada tanggal 17 Agustus, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Dengan pengumuman terebsut, datang pula perobahan dalam pergerakan wanitanja. Disana-sini dirundingkan untuk mendirikan pergerakan wanita jang tudjuannja mengisi proklamasi itu. Mengisi dengan tenaga, fikiran dan harta kaum wanita.
Berpuluh-puluh.... bahkan beratus-ratus pemudi membantu perdjuangan rakjat Indonesia ada pula diantaranja jang memanggul senapang dan memainkan mortier. Beribu-ribu gadis-gadis Indonesia memasuki dan membantu usaha "Palang Merah Indonesia". Mereka tiap saat bersedia memberi pertolongan kepada para pemuda kita, jang luka atau jang gugur kena bom, granat dan pelor Inggeris, jang katanja datang di Indonesia untuk memindahkan tawanan Belanda dari pedalaman.
Disana-sini, diseluruh Indonesia, api peperangan meluap dan.... tetap para pemudi kita bersedia dan tidak sedikit pula jang gugur dalam melakukan kewadjiban dan tugasnja, disamping saudara-saudaranja!
Para ibu Indonesia bisa merasa bangga mempunjai pemudi-pemudi jang gagah-perkasa itu! Telah patut kaum wanita Indonesia mendirikan patung "Srikandi" jang tak dikenal itu!
Nama Republik mulai harum. Dan pergerakan wanita terus ditukar namanja dengan "Perwani",kependekan dari: "Persatuan Wanita Negara Indonesia". Tak lama kemudian, datang aliran baru, jang mendirikan "Perwari" atau "Persatuan Wanita Republik Indonesia". Masih ada lagi lainnja: Wani (Wanita Negara Indonesia), sedang perkumpulan-perkumpulan wanita jang berdasarkan Agama tidak mau bersatu dalam "Perwari", "Perwani" dan lain-nja itu, karena mereka itu telah mempunjai dasar-dasar azas dan tudjuan sendiri, jang bila perlu, hanja membantu atau menjokong persatuan-persatuan jang baru ini, akan tetapi tidak meleburkan diri. Setalah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, maka ikut "rubuh"-lah nama Fudjinkai dan ditukar dengan PERWANI itu. Hanja didua buah kota, ja'ni di Djakarta dan di Purwakarta ada "WANI". Dan perkumpulan inilah jang boleh dikatakan menjerupakan suatu badan perdjuangan (oorlogs-organisatie).
Pada tanggal 16 Desember 1945, bertempat dikota Klaten (Solo), diadakan kongres wanita Indonesia. Per-wani, "Wani" dan lain-lain perkumpulan jang sama azas dan tudjuannja, masuk dalam gabungan baru, jang ber-nama "PERWARI".
Lain-lain perkumpulan wanita misalnja "Aisjah" dan P.P.I., Wanita Kristen tidak dapat masuk sebagai anggauta fusi tsb. maka karena itu, untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini, dibentuk suatu federasi jang bernama "Kowani" kependekan dari "Kongres Wanita Indonesia", diketuai oleh Mr. Maria Ulfah Santoso. Hampir semua perkumpulan wanita seluruh Indonesia masuk ke-dalam badan federasi ini, ketjuali Muslimat, ja'ni Masjumi bagian wanita.
Dapur umum
Perkerdjaan perkumpulan wanita, disamping menginsjafkan semua kaum wanita untuk membantu Republik jang baru lahir itu dengan sekuat tenaganja, maka langkah jang djuga tidak boleh dilupakan begitu sadja, ialah: mengadakan dapur umum. Pemuda-pemudi kita jang hari-hari tinggal dihutan atau ditempat jang djauh-djauh untuk menghadapi musuh jang bersendjata lebih rapi dari para pemuda kita, perlu makannja didjaga dengan baik-baik. Mereka tentu tidak sempat mentjari, memasak dan mengumpulkan makanan sendiri. Inilah kewadjiban kaum wanita, baik jang tinggal dikota, maupun didesa dan dikampung-kampung.
Tentu dalam menjelenggarakan tugasnja ini, kaum bapak banjak menolong dan membantunja. Dengan mentjarikan mobil-mobil dan truck-truck untuk membawa bahan-bahan makanan itu kepos-pos masing-masing. Oleh sebab urusan kemiliteran tentera dewasa itu belum sempurna dimasa itu — tahun 1945 dan '46, usaha dapur umum ini sangat meringankan beban pedjuang-pedjuang kita. Kalau dulunja, sebelum perang dunia kedua, pergerakan wanita umumnja masih dianggap remeh oleh kaum bapak umumnja dan para pemuda chususnja, maka berobahlah pandangan mereka. Dan pandangan ini makin lama makin mendalam, setelah kaum wanita Indonesia dengan tegas menundjukkan ketabahan hatinja dalam menghadapi aksi-militer pertama dan kedua. Isteri-isteri jang duduk dalam pergerakan tidak mudah menjuruh suami-suaminja untuk bekerdja kepada "Nica". Meskipun tentu disana-sini ada djuga ketjualinja. Ada djuga seorang isteri jang mendjadi pengurus dari salah satu perkumpulan wanita jang memaksa suaminja kembali bekerdja kepada pemerintah "Hindia Belanda", sedang dari fihak si-suami telah beberapa kali tawaran tersebut ditolaknja.
Tetapi pada umumnja, isteri-isteri pergerakan itulah jang mendorong dan memperteguh hati suaminja agar tetap mendjadi "non", tidak bekerdja kepada negara-negara jang ditjiptakan oleh Belanda.
Dengan pandangan sepintas lalu ini, maka njatalah kepada para pembatja, bahwa perkumpulan-perkumpulan wanita Indonesia umumnja ikut berrevolusi, bersama-sama dengan rakjat Indonesia melakukan perobahan jang tegas dan njata dalam langkah dan lakunja dan sudah barang tentu, dalam djalan fikirannja.
Tetapi.... masih ada beratus-ratus kaum ibu, jang ditinggalkan oleh zamannja. Golongan ini adalah kaum wanita — para isteri pegawai pemerintah Hindia-Belanda dulu, — jang tergabung dalam salah suatu perkumpulan.
Wanita-wanita jang dahulu tidak pernah bergaul dengan kaumnja jang berdjiwa nasional, menganggap segala tingkah dan laku dari anggauta-anggauta Perwani, Perwari dan sebagainja itu, adalah gerakan "musuh", jang berkepala batu dan jang beranggapan, bahwa Indonesia ini bisa berdiri sendiri tidak dengan pertolongan Belanda! Demikianlah faham kolot dari kaum isteri pegawai-pegawai Hindia- Belanda dulu itu, jang masih djuga diteruskan dalam zaman Republik walaupun ada ketjualinja!
Namun begitu, pekerdjaan dan usaha-usaha kaum isteri dari kaum pamong-pradja dizaman sebelum perang itu, banjak jang boleh dikemukakan. Sebagai tjontoh saja sebut: 1. Usaha isteri Bupati Tegal dimasa mudanja bernama Raden Adjeng Kardinah, adik almarhumah Raden Adjeng Kartini, dan setelah kawin bernama Raden Aju Adipati Ario Rekso Negoro. Dengan tak djemu-djemu, dia memberi peladjaran kepada gadis-gadis Indonesia. Rumah Sakit kabupaten diberi nama "Kardinah Zieken-huis": Banjak buku-buku ketjil-ketjil dan praktis ditulisnja tentang: masak-memasak, membatik dan menjoga. Buku-buku ini banjak jang dipakai dalam Sekolah-sekolah Gadis Sambungan.
2. Isteri Bupati Djatinegara (dulu Meester Cornelis), sangat giat dalam perkumpulan wanita "Kemadjengan Isteri". Perkumpulan ini banjak berusaha dilapangan sosial dalam lingkungan memberi pertolongan kepada orang-orang sakit dan memadjukan sekolah-sekolah (partikelir); djuga berusaha bertambahnja poliklinik dan dapur-susu (melkkeuken).
Disamping itu, njonja R.A.A.A. Abdurrachman masih mendjadi Ketua dari "Budi Kemuliaan", suatu rumah sakit partikelir jang banjak memberi pertolongan kepada kaum isteri jang mengandung dan beranak.
3. Isteri Bupati Bandung R.A.A. Wiranata Kusuma, jang pada dewasa itu lebih dikenal dengan nama: Raden Aju Sangkaningrat, di Bandung telah banjak berdjasa dalam kalangan Ashrama (internaat) untuk para peladjar dikota tersebut.
Kalau kita jakini, bahwa kehidupan para peladjar kita sehari-hari perlu diawasi, lebih-lebih dikota Bandung, jang banjak "gangguannja" bagi para pemuda kita jang mengindjak alam pantjaroba, maka pekerdjaan R. A. Sangkaningrat itu, tidak boleh dilupakan dengan begitu sadja.
4. Mendiang isteri M. Sutardjo Kartohadiprodjo, waktu di Djakarta sangat giat mendjadi Ketua dari para isteri pegawai pemerintah, dimana para suaminja beladjar di Djakarta pada Bestuursschool, jang kemudian bertukar nama dengan: Bestuurs-Academie.
Sekembalinja dari Djakarta (waktu beladjar bagi para suami sudah selesai), maka para isteri pegawai ini umumnja ditempat tinggalnja masing-masing tidak mau tinggal diam dan meneruskan apa jang telah "dikursuskan" oleh nj. Sutardjo diwaktu itu, untuk diteruskan dilingkungannja masing-masing. Umumnja, bila ditempat kediamannja ada sekolah "Kartini", mereka itu terus menjeburkan diri dalam kalangan pengurusnja.
"Diniah Puteri"
Meskipun bukan seorang isteri pegawai, tetapi jang namanja tidak boleh dilupakan dalam kalangan pendidikan dan perguruan gadis-gadis dan jang namanja diseluruh Sumatera tidak asing lagi, ialah Rangkajo Rachmah el Junusiah.
Sekolah jang dipimpinnja adalah sekolah puteri, berkedudukan dikota Padang Pandjang (Sumatra Barat) dan jang sampai kini telah berusia lk. 25 tahun.
Disamping mendapat peladjaran agama Islam, jang mendjadi dasar dari perguruan tersebut, murid-murid mendapat djuga peladjaran pengetahuan umum, menenun, menjulam, merenda (mengait) dan ditahun-tahun jang belakangan ini, ditambah pula dengan peladjaran bahasa Inggeris.
Boleh dikatakan, bahwa hampir semua achli pedato dan guru-guru agama wanita jang kini terkenal di Sumatera, adalah bekas murid-murid "Diniah Puteri" jang dipimpin oleh Rangkajo Rachmah tadi.
Penutup
Sudah njata dari uraian diatas, bahwa wanita Indonesia sesudah negaranja merdeka dan berdaulat sama menghadapi zaman baru dan sudah berada ditengah-tengah masjarakat jang baru berubah. Banjak wanita Indonesia jang telah mengalami segala matjam penderitaan dimasa pertjobaan jang hebat, mulai dari zaman perdjuangan sebelum dan sesudahnja timbul perang dunia kedua. Mereka melihat dan merasai kesakitan hidup anak beranak dizaman Djepang, kemudian dalam zaman revolusi dan zaman perdjuangan dipegunungan dan tidak terkatakan rasanja segala apa jang dialaminja dalam pengungsian, sebagai akibat dari aksi polisi tentera Belanda, jang pertama apalagi jang kedua. Beribu-ribu perempuan Indonesia sama merasai pahit getirnja hidup mengungsi kian kemari mengikut suaminja atau ditinggalkan oleh suaminja dan harus mentjari nafkah sendiri untuk anak-anak jang disajanginja. Satu rentetan roman jang tebal dikarang oleh penulis-penulis jang pandai belumbah tjukup rasanja untuk membuktikan kepada dunia betapa hebat akibat oleh kaum wanita dalam perdjuangan untuk mentjapai kemerdekaan dan kedaulatan tanah airnja jang dikasihinja. Tetapi usahanja itu telah berhasil. Negara Indonesia jang merdeka dan berdaulat jang diidam-idamkan oleh mereka semendjak kira-kira tiga puluh tahun lamanja telah sampai pada tudjuannja, maka sekarang tibalah waktunja untuk menempuh zaman baru dan untuk melihat kezaman depan, dengan pengetahuan, bahwa kewadjiban wanita Indonesia sesudah negaranja merdeka tidak kurang beratnja dan tidak kurang mulianja. Tidaklah sedikit banjaknja soal-soal jang harus dipetjahkan oleh kaum wanita jang sedar kewadjibannja itu, baik dilapangan sosial, maupun dilapangan politik ataupun dilapangan ekonomi dan kebudajaan. Sebagian dari pada soal-soal lama tetap masih belurn habis ditindjau dan menunggu pemetjahannja, seperti dilapangan sosial, tentang perkawinan gadis dibawah umur, jang kembali makin banjak semendjak zaman Djepang tentang kawin banjak jang terkenal dengan istilah polygamie, tentang kerdja buruh wanita dalam kilang-kilang, tentang wanita jang bekerdja dalam hamil, tentang pembanterasan buta huruf dikalangan wanita, tentang pendidikan wanita dll jang terletak dilingkungan urusan sosial belaka. Lain dari pada itu dalam lapangan politik telah terdapat undang-undang pemilihan jang memberikan hak kepada kaum wanita jang dewasa untuk memilih dan dipilih dalam dewan, maka terbukalah kesempatan bagi wanita untuk mempengaruhi pembikinan undang-undang negara dan peraturan-peraturan. Dilapangan kebudajaan pun kaum wanita harus meletakkan rasa kewanitaannja dalam serba kesenian, dalam dunia karang-mengarang, dalam seni lukis, seni patung, seni suara dan dalam ilmu pengetahuan. Luas sekali lapangan jang menunggu tenaga wanita diluar rumah tangga, jang sangat penting dan perlu untuk pembangunan negara dalam waktu jang singkat, apalagi kalau diingat bahwa Indonesia sangat terkebelakang sekali dalam kemadjuannja disegala lapangan, dibandingkan dengan negara di Eropah atau Amerika. Adalah penting pula dalam hal kebudajaan ini untuk mentjiptakan pribadi wanita jang berdasar dan bersifat keindonesiaan, artinja pribadi wanita Indonesia chususnja dan pribadi manusia Indonesia umumnja jang bukan tiruan dari luar negeri. Dalam mempertahankan keindahan dalam djiwa wanita Indonesia jang bersifat ketimuran, tidaklah lajaknja bagi wanita Indonesia untuk meniru-niru setjara buta segala sifat, kelakuan dan sopan santun setjara Barat, hanja oleh sebab mode, melainkan haruslah diusahakan meletakkan dasar keindonesiaan dimulai dari rumah tangga, sehingga ada hendaknja perbedaan antara jang dinamakan wanita Indonesia dengan wanita luar negeri, perbedaan jang tidak sadja terletak pada pakaian. Maka, djikalau wanita Indonesia itu memasuki tjara hidup sebagai Belanda atau Indo, tidaklah ada perbedaannja dengan wanita Indo, apalagi kalau ia membiasakan anak-anaknja semata-mata berbahasa asing, sedang bahasa persatuannja diabaikannja. Indonesia adalah mempunjai sedjarah kebudajaan djuga, jang tidak dapat dihapuskan sadja oleh karena hendak meniru jang baru, jang datang dari Eropah. Wanita Indonesia sekarang adalah pada persimpangan djalan kebudajaan, maka djalan kemadjuannja kezaman depan itu sudah njata, jakni diberi pedoman oleh dasar falsafah negaranja jang terkenal dengan nama pantjasila, jaitu terbagi dalam lima rukun, pertama ke-Tuhanan jang Mahaesa, kedua kemanusiaan, ketiga kebangsaan, keempat kerakjatan (demokrasi) dan kelima keadilan sosial.
Dasar pantjasila ini membedakan dasar dan tudjuan bangsa Indonesia dari lain-lain bangsa dan itulah jang mendjadi pedoman bagi kaum wanita untuk zaman depan. Sebagaimana negara Indonesia jang baru merdeka dan berdaulat itu harus dibentuk menurut system sesuai dengan kepentingan rakjat Indonesia dan menurut keinginan jang hidup dalam hatinja, demikian djuga kehidupan wanita serta djiwanja harus mentjari pembentukan jang sesuai dengan keadaan baru, maka salah satu hal jang perlu diperhatikan ialah supaja kaum wanita mempunjai djiwa merdeka, terlepas dari segala matjam prasangka jang tidak berfaedah dan terlepas dari pada rasa serba-rendah. Indonesia adalah daerah jang sangat luas, sama luasnja dengan benua Eropah, penduduknja 70 juta djiwa, alamnja kaja-raja, maka besarlah kemungkinannja untuk menduduki tempat dan memainkan peranan jang mulia dalam dunia berkat usaha wanita Indonesia dalam menunaikan kewadjibannja dizaman kemerdekaan dan kedaulatan tanah airnja jang dikasihinja itu telah tertja-pai andainja.
Ukuran jang diletakkan orang dalam dunia pada suatu negara untuk menentukan tinggi rendah kedudukannja, bukanlah hanja dipasangkan pada keadaan politiknja, merdeka atau tidak merdeka, berdaulat atau tidak berdaulat, kaja atau miskin, melainkan djuga kepada tinggi rendahnja kedudukan kaum wanita dalam masjarakatnja, dan sampai kemana watas-watas kemadjuannja itu akan menentukan sendiri tjepat atau lambat kemadjuan. Dinegeri jang mempunjai peraturan jang sangat kolot terhadap perempuan, dimana perempuan itu hanja barang perdagangan sadja atau perhiasan rumah tangga belaka atau permainan lelaki, atau kaum jang tidak mempunjai hak suatu apa, maka dinegeri jang sedemikian itu tidak akan mungkin kemadjuan terdapat, kemadjuan menurut arti jang luas, sebab sebagaimana kata peribahasa adalah kaum wanita itu menjerupai sajap sebelah kiri bagi kemadjuan negara dan masjarakat, maka apabila sajap kiri itu patah atau sangat lemah, pintjanglah masjarakat itu menudju kemadjuan. Djikalau kaum wanita tidak mempunjai kepandaian dalam hal mendidik dan mengadjar anak-anak, djikalau perempuan hanja baik untuk didapur, tidak mempunjai kedudukan baik, maka negaranjapun tidak akan baik. Untuk menentukan derdjat kebangsaan, derdjat kebudajaan, orang biasa djuga melihat tingkah-laku, gerak-gerik dan peranan jang dimainkan oleh kaum wanita dalam perdjuangan kemerdekaan negara dan kebudajaan, maka kesimpulannja bagi Indonesia ialah, kedudukan dan kemuliaan negara Indonesia diukur dunia menurut kedudukan dan kemuliaan kaum wanita dalam pandangan umum. Kaum wanita jang akan menentukan sendiri tjepat atau lambat kemadjuannja, dan sampai kemana watas-watas kemadjuannja itu jang selaras dengan keindonesiaan dan ketimurannja. Hampir segala hak politik, hak bertindak dalam lapangan pendidikan dan pengadjaran serta hak mendjalankan perusahaan-perusahaan, sudah terbuka bagi kaum wanita, dizaman depan, tinggal lagi mendjalankan kewadjibannja itu setjara jang setjermat-tjermatnja. Indonesia tidak terhempang oleh peraturan kasta-kasta, tidak mengenal pertentangan agama jang hebat-hebat seperti dinegeri lain, kaum wanitanja boleh bersekolah menuntut kemadjuan kemana sadja, dan djuga merdeka menunaikan kewadjibannja dalam lapangan politik dan sosial, maka pokoknja ialah mengerdjakannja, membuktikannja. Negara Indonesia bukan djadjahan lagi, maka djiwa wanitapun harus ada perubahannja dari serba rendah dan serba sempit kepada djiwa merdeka, maka dizaman depan soal-soal jang bersangkutan dengan wanita sebagai isteri, sebagai ibu dan sebagai pekerdja sosial, harus dipetjahkan setjara bebas, terlepas dari segala kekunoan dan prasangka, berdasar kepada apa jang telah umum dikatakan sendi-sendi falsafah keindonesiaan, jakni pantjasila.