Lompat ke isi

Teman yang Setia

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Teman yang Setia
oleh Oscar Wilde

Pada suatu pagi, seekor tikus-air tua mengintip keluar dari lubangnya. Ia memiliki sepasang mata bulat bercahaya, kumis abu-abu yang kaku dan ekornya menjuntai panjang layaknya karet hitam dari India. Itik- itik kecil berenang-renang di kolam, persis seperti burung-burung kenari kuning, dan ibu Itik yang berwarna putih kecoklatan dengan kaki-kaki merahnya sedang mencoba untuk mengajarkan anak-anaknya untuk menegakkan kepala mereka saat berenang diatas air.

" Kamu tidak mungkin bisa berada pada status sosial yang baik di masyarakat bila kamu tidak bisa menegakkan kepalamu," berulang kali sang Ibu Angsa mengingatkan anak-anaknya; dan sesekali ia mencontohkan bagaimana menegakkan kepalanya. Namun anak-anak itik tidak ada yang memperhatikan perkataan ibunya. Mereka terlalu muda sehingga mereka tidak tahu apa pentingnya memiliki status sosial.

" Ah, alangkah nakalnya anak-anakmu!" seru Tikus-air tua; " mereka benar-benar pantas untuk ditenggelamkan."

" Oh tidak sama sekali," jawab ibu Angsa, " setiap orang mempunyai saat permulaan dimana mereka memulai sesuatu, dan menjadi orang tua harus benar-benar sabar."

"Ah! entahlah, aku tidak tahu apapun tentang perasaan orang tua," jawab si Tikus-air; " aku sendiri bukan tipe lelaki yang memilih untuk berkeluarga. Bahkan aku tidak pernah menikah, dan tidak punya keinginan untuk menikah. Cinta itu baik dijalannya sendiri, tetapi persahabatan itu lebih mulia. Sejujurnya, aku pikir tidak ada yang lebih mulia diseluruh dunia ini, atau lebih langka, selain dari seorang teman yang setia."

" Benarkah? Kalau begitu bisa kau jelaskan apa sajakah tugas seorang teman yang setia menurutmu?" tanya Burung Linnet hijau yang sedang duduk diatas cabang pohon dedalu [1] yang berada di dekat kolam, dan kebetulan mendengar percakapan antara ibu itik dan tikus-air.

"Ya, aku juga ingin tahu," kata ibu itik menimpali; dan ia berenang ke tepi kolam dan menegakkan kepalanya, dengan harapan agar anak-anaknya mengikuti sikap baik yang ia contohkan.

" Ah, pertanyaan yang konyol sekali!" seru tikus-air. " Sudah pasti aku berharap bahwa teman setiaku akan mengabdi padaku, ."

" Dan apa yang akan kau lakukan sebagai balasannya? " tanya si burung kecil sambil berayun dan mengepak-ngepakkan sayapnya yang ringkih.

" Aku tidak mengerti, " jawab si Tikus-air.

" Perbolehkan aku menceritakan padamu sebuah cerita yang berkaitan dengan pertanyaanku," kata si burung Linnet

" Apakah cerita itu tentang aku? " tanya si Tikus-air. " Bila benar, aku akan mendengarkan ceritamu, karena aku suka sekali cerita fiksi. "

" Yah bisa jadi," jawab sang Linnet; dan ia terbang kebawah, mendarat diatas gundukan tanah, dan iapun bercerita tentang kisah seorang Teman yang Setia.

" Pada suatu hari," kata sang Linnet, " hidup seorang pria kecil yang jujur bernama Hans."

" Apakah Hans itu orang penting yang terhormat? " tanya si Tikus-air lagi.

" Nampaknya tidak," jawab Burung Linnet, "aku kira ia sama sekali bukan orang yang penting, ia penting karena ia memiliki hati yang baik, dan mukanya yang bundar selalu penuh dengan senyum."


Ia hidup disebuah pondok kecil seorang diri dan setiap hari ia bekerja di tamannya. Di seluruh desa, tidak ada taman yang seindah taman si kecil Hans. Dimana tumbuh bunga Anyelir [2] dan di kanan kiri, dan bunga Kantung Gembala [3], dan bunga Perawan dari Perancis [4]. Disana juga terdapat bermacam jenis mawar, ada Mawar Damaskus, dan Mawar Kuning, beragam bunga Krokus Ungu, dan Emas, bunga Violet Ungu dan Putih, bunga Kolumbin dan bunga Pantekosta [5], bunga Mayorlein dan Kemangi, bunga Primula dan bunga iris, bunga Narsis dan mereka semua mekar dan tumbuh pada saatnya seiring bulan dan musim berganti, bunga yang satu mengambil alih tempat bunga yang lain, sehingga selalu ada bunga-bunga yang cantik untuk dilihat dan harum semerbak yang tercium.

Hans kecil memiliki banyak teman, namun teman yang paling setia diantara teman yang lainnya bernama Si Besar Miller, pemilik penggilingan terigu. Begitu setianya Miller yang kaya raya pada si kecil Hans sampai-sampai ia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk membungkuk dari balik tembok taman dan memetik setangkai nosegay yang paling besar, atau segenggam rempah-rempah manis, atau mengisi kantongnya penuh dengan buah plum dan ceri, apabila sedang musim buah.

"Teman sejati harus saling sama-sama saling memiliki apa yang teman lainnya punya," kata Miller berkali-kali, dan Hans kecil pun mengangguk dan tersenyum, Hans merasa bangga sekali memiliki teman dengan pemikiran-pemikiran yang mulia.

Walaupun begitu, sering kali para tetangga heran karena Miller yang kaya raya tidak pernah memberikan si kecil Hans apa-apa sebagai gantinya, walaupun di dalam gudang penggilingannya tersimpan ratusan karung berisi terigu, enam ekor sapi perah, dan satu peternakan penuh dengan kumpulan biri-biri yang siap diambil bulu wolnya; namun Hans tidak pernah memusingkan hal-hal ini, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar untuk Hans kecil selain mendengarkan ceramah yang diberikan oleh Si Miller tentang hal-hal yang indah yang terjadi dalam persahabatan sejati tatkala pertemanan tidak mementingkan diri sendiri.

Jadi Hans kecil terus bekerja keras dalam tamannya. Pada saat musim semi, musim panas, dan musim gugur, ia sangat bahagia, namun kala musim dingin datang, dan ia tidak memiliki buah atau bunga untuk dijual, ia sering menderita kelaparan dan meringkuk kedinginan, seringkali ia terpaksa pergi tidur dengan perut kosong, sesekali ada buah pir kering atau kacang keras membantu mengganjal perutnya. Pada musim dingin juga, Hans kecil sangat kesepian, karena sahabatnya, Miller, tidak pernah datang berkunjung dan menjenguknya.

"Tidak ada gunanya menjenguk Hans kecil selama masih ada salju," kata Miller sering kali pada istrinya, " karena ketika orang-orang dalam kesulitan, lebih baik mereka dibiarkan sendiri, dan tidak diganggu oleh kedatangan tamu. Paling tidak itulah pertemanan menurutku, dan aku yakin aku benar. Jadi aku akan menunggu hingga datangnya musim semi, lalu aku akan datang bertamu untuknya, dan ia pun bisa memberiku sekeranjang besar bunga mawar, hal itu akan membuatnya senang."

" Kau benar-benar penuh perhatian terhadap sesama," jawab Istrinya, seraya duduk diatas sofa yang nyaman di dekat perapian hangat berisi kayu-kayu bakar yang besar di musim dingin; " benar-benar penuh perhatian. Terkadang mendengarmu berbicara tentang persahabatan itu seperti siraman rohani. Aku yakin rohaniawanpun tidak bisa berkata-kata seindah apa yang kau ucapkan, walaupun ia hidup dalam rumah besar tiga lantai dan memakai cincin-cincin emas pada jari kelingkingnya."

" Tapi, bisakah kita meminta agar Hans kecil datang kemari?" sahut anak bungsu Miller menimpali. " Kasihan Hans, bila ia sedang dalam kesulitan, aku dengan senang hati akan memberinya setengah dari buburku, dan mengajaknya untuk melihat kelinci-kelinci putih peliharaanku."

"Kau itu benar-benar seorang anak kecil yang konyol" sahut pasangan suami-istri Miller; " Aku jadi berpikir apa gunanya engkau disekolahkan, apakah kau tidak mempelajari apapun? Bayangkan, bila Hans kecil datang kemari dan melihat perapian kita yang hangat, makan malam kita yang enak, dan berkerat-kerat anggur merah, dia bisa menjadi iri, dan iri hati itu hal yang sangat buruk dan dapat merusak prilaku semua orang. Dan aku sebagai sahabatnya jelas tidak akan merusak prilaku Hans, aku akan menjaganya dan meyakinkan bahwa Hans tidak akan digoda oleh hal-hal yang buruk. Lagipula, bila Hans datang kemari, bisa jadi dia akan memintaku untuk memberinya hutang berupa terigu, dan aku tidak mungkin melakukannya. Persahabatan adalah satu hal dan penjualan terigu adalah hal lainnya. Hal-hal ini seharusnya tetap di pisahkan. Lagipula ejaannya sudah berbeda "t-e-m-a-n" dan "k-e-u-n-t-u-n-g-a-n" semua orang juga tahu itu. "

"Waduh suamiku, engkau benar-benar pandai berbicara!" sahut istrinya sembari menuangkan segelas besar jahe hangat; mendengarkannya aku menjadi sedikit mengantuk, rasanya persis sama seperti mendengarkan ceramah di gereja..."

"Banyak orang dapat melakukan sesuatu dengan baik," jawab si Miller; "Namun hanya sedikit sekali yang dapat berbicara dengan baik, sehingga hal ini menunjukkan bahwa berbicara itu jauh lebih sulit daripada melakukan langusung, dan tentu saja lebih baik berbicara dari pada melakukan." Ia memandang anak bungsunya dengan tatapan sinis dari seberang meja, dan kini anaknya merasa malu sekali dengan perkataannya sehingga mukanya memerah, dan ia menundukkan kepalanya, lalu perlahan ia menangis dan air matanya menetes masuk kedalam tehnya. Tentu saja karena ia masih terlalu kecil maka ia harus dimaklumi.

"Apakah itu adalah akhir dari ceritanya?" tanya si tikus air.

"Tentu saja bukan," jawab si burung Linet. "Itu baru awalnya."

"Tentu saja bukan," jawab si burung Linnet, "Itu hanya awal dari ceritannya."

"Ah, kalau begitu, kau sungguh ketinggalan jaman," sahut si tikus air. "Setiap pembawa cerita yang baik tahu bahwa jaman sekarang pembawa cerita itu mulai dari akhirnya, lalu ke awal cerita, dan menyimpulkan di tengah cerita. Ini adalah metode baru. Aku mendengarnya dari seorang kritikus yang sedang berjalan mengelilingi kolam ditemani oleh seorang anak muda. Ia berbicara tentang hal ini panjang lebar, dan saya yakin dia pasti benar, karena ia menggunakan kacamata biru dan kepalanya botak, dan setiap kali sang anak muda mengatakan sesuatu, ia selalu menimpali dengan, 'BAH!'. Tapi lanjutkanlah ceritamu itu, saya senang sekali dengan karakter Miller. Saya sendiri memiliki berbagai perasaan dan perhatian untuk hal-hal tertentu, jadi saya merasakan pertalian simpati antara karakter Miller dan saya sendiri."

"Yah," lanjut si burung Linnet, sambil melompat-lompat di ranting dari kaki satu ke kaki lainnya, "segera setelah musim dingin berlalu, dan bunga-bunga mawar mulai bermekaran dan membuka kuncup bintangnya, maka si Miller berkata pada istrinya bahwa ia akan pergi mengunjungi si kecil Hans.

"Oh, kamu memang baik hati, wahai suamiku, ' sahut Istrinya; ' kamu selalu memikirkan orang lain. Dan karena kau akan pergi, jangan lupa bawa keranjang besar yang kosong ini bersamamu untuk diisi dengan bunga.'

Lalu si Miller mengikat kipas-kipas pada kincir angin rumahnya dengan rantai besi yang besar, lalu berjalan menuruni bukit sambil membawa keranjang besar.

"Selamat pagi, wahai Hans kecil", panggil si Miller.

"Selamat pagi", sahut Hans, sambil bertumpu pada sekopnya dan tersenyum lebar.

" Bagaimana kabarmu selama musim dingin?" Tanya si Miller.

"Oh, ya ampun," Sahut Hans, "Untung sekali kau bertanya, bagus juga ada yang peduli. Aku mengalami saat-saat sulit pada waktu musim dingin sebenarnya, namun kini musim semi sudah datang, dan aku gembira lagi karena bunga-bungaku mulai bermekaran."

"Kami sering membicarakanmu pada saat musim dingin Hans,' sahut Si Miller, 'dan kami sering berpikir bagaimana kau mengatasinya."

"Oh betapa baiknya kau memikirkan aku,' sahut Hans, 'Padahal aku setengah takut bahwa kau telah melupakan aku."

"Hans, jangan begitu,' sahut si Miller;'sahabat itu tidak pernah melupakan. Hal itulah yang membuat persahabatan menjadi indah, namun nampaknya kau tidak mengerti banyak tentang puisi kehidupan. Oh coba lihat, betapa indahnya mawarmu yang mekar dan menjuntai dari penahannya!"

"Oh ya, mereka benar-benar cantik,' jawab Hans, 'dan aku begitu beruntung bahwa mawar-mawar ini bermekaran dalam jumlah besar. Kini aku dapat membawa mawar-mawar tersebut dan menjualnya pada anak perempuan sang Walikota, dan dengan uang tersebut aku akan membeli kembali dorongan besi yang kujual."

"Membeli kembali dorongan besimu? Jangan katakan bahwa kau telah menjual dorongan besimu? Oh betapa bodohnya!"

"Yah, aku harus. Kamu mengerti kan bahwa musim dingin adalah saat-saat tersulit untukku, dan aku benar-benar tidak memiliki uang untuk membei roti. Jadi pertama-tama aku harus menjual kancing perak yang terdapat di jaket yang kukenakan untuk pergi ke gereja di hari Minggu. Lalu, aku harus menggadaikan rantai perakku, lalu aku harus menjual pipa besiku, dan terakhir aku harus menjual dorongan besiku. Namun kini aku akan membelinya kembali."

"Hans,' sahut si Miler, 'Aku akan memberikan kamu gerobak dorongku. Jujur kondisi gerobak dorong itu tidak terlalu baik; satu sisi dari gerobak tersebut telah hilang, dan ada masalah dengan rodanya; namun walaupun begitu aku akan tetap memberikannya padamu. Aku tahu bahwa aku telah bermurah hati dengan memberikan gerobakku untukmu, dan pasti banyak orang berpikir bahwa aku telah berbuat bodoh karena rela berpisah dengan gerobakku itu, namun aku tidak seperti kebanyakan orang di dunia. Aku pikir kemurahan hati itu adalah inti dari persahabatan, lagipula selain itu aku sudah membeli dorongan besi baru untukku sendiri. Jadi engkau bisa menenangkan pikiranmu karena aku akan memberikan kamu gerobak dorongku."

"Wah, benarkah? Kau benar-benar baik hati.' sahut si kecil Hans, dan mukanya yang bundar bercahaya karena senang. ' Aku bisa menambal sisi gerobak yang bolong itu dengan selembar kayu yang kutemukan di rumah."

" Selembar kayu?' seru si Miller; 'Wah itu persis apa yang kubutuhkan untuk memperbaiki atap gudangku yang bocor. Ada lubang besar pada atap gudangku dan jagung-jagung yang kusimpan disana akan lembab bila aku tidak segera menambalnya. Untung sekali kau menyebutnya! Betapa menakjubkan bahwa sebuah tindakan yang baik selalu melahirkan tindakan baik lainnya. Aku telah memberimu gerobak dorongku, dan kini sebagai gantinya kau akan memberiku selembar kayu milikmu. Walaupun gerobak dorongku nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan selembar kayu, namun sejujurnya persahabatan sejati tidak pernah menimbang-nimbang hal yang semacam itu. Kalau begitu, segera ambil lembar kayu mu itu dan aku akan segera bekerja menambal atap gudangku yang bocor hari ini juga."

"Tentu saja," sahut Hans kecil, dan ia segera berlari masuk ke dala biliknya dan menyeret lembar kayu itu keluar.

"Hmm... kayu ini tidak terlalu lebar,' sahut si Miller; 'Nampaknya setelah aku selesai menambal atap gudangku nanti, tidak akan ada sisa untukmu untuk digunakan menambal gerobakku yang rusak. Namun tentu saja itu bukan salahku. Dan sekarang, karena aku akan memberimu gerobak dorongku, maka aku yakin kau tidak berkeberatan memberiku bungamu sebagai gantinya. Ini keranjangnya, dan kau dapat mengisinya dengan penuh."

"Penuh?" seru Hans kecil sedikit sedih, karena keranjang itu benar-benar besar dan ia tahu saat ia mengisinya dengan penuh maka tidak akan ada lagi bunga yang tersisa untuk dijual ke pasar dan sebenarnya ia benar-benar ingin menebus kancing peraknya.

"Ah, benar-benar deh,' sahut si Miller, 'Padahal aku telah bermurah hati akan memberikan mu gerobakku, dan jujur, aku pikir beberapa tangkai bunga bukanlah hal yang banyak untuk diminta sebagai gantinya. Bisa jadi aku salah, namun aku sebenarnya berpikir bahwa persahabatan, atau persahabatan sejati, seharusnya bebas dari segala bentuk perasaan mementingkan diri sendiri."

"Oh temanku yang baik, sahabat baikku,' seru si kecil Hans, ' kau boleh mengambil seluruh bunga yang ada dalam kebunku. Aku lebih menghargai dan mendambakan pendapatmu dibandingkan dengan kancing perakku, kapanpun"; Hans kecil pun berlari dan memotong seluruh bunga mawarnya yang cantik dan memenuhi keranjang si Miller dengan cepat.

"Sampai jumpa Hans kecil." seru si Miller seraya ia menjauh menaiki bukit dengan selembar kayu di pundaknya dan sekeranjang besar penuh bunga mawar di tangan kirinya.

"Sampai bertemu,' seru Hans kecil dengan riang, karena ia merasa senang membayangkan gerobak dorong yang akan ia peroleh nanti.

"Esok harinya kala Hans kecil sedang sibuk memaku penampang bunga di depan berandanya, ia mendengar suara si Milller besar memanggil-manggil dari jalan di depan rumahnya. Dengan segera ia melompat turun dari tangga dan berlari ke belakang kebun, dan memanjat pagarnya untuk melihat apa yang terjadi.

"Disana dipinggir jalan ia melihat si Miller berdiri dengan sekarung besar gandum dipundaknya.'

"Wahai Hans kecil temanku,' sahut si Miller, 'kau tentu tidak berkeberatan membawa sekarung besar terigu ini ke pasar dan menjualnya untukku?"

"Oh maaf,' seru Hans kecil, 'sebenarnya hari ini aku sangat sibuk. Aku harus memaku penampang bungaku, dan aku harus menyiram seluruh kebunku, dan aku harus merapikan rumput-rumput liarku."

"Ah, benar-benar,' sahut si Miller, 'Aku pikir karena aku telah berbaik hati akan memberikan kepadamu gerobak dorongku maka kau akan berbaik hati padaku. Kau benar-benar tidak setia kawan dengan menolak permintaanku."

"Oh tolong jangan berkata demikian,' sahut Hans kecil dengan sedih., 'aku benar-benar tidak bermaksud untuk menjadi tidak setia kawan"; dan iapun berlari masuk rumah dan mengambil topinya. Dengan sigap iapun mengambil sekarung besar terigu dan memanggulnya ke pasar.

" Hari itu benar-benar panas, dan jalan yang harus dilalui Hans adalah jalan yang kering dan penuh debu. Belum lagi Hans mencapai separuh jarak perjalanannya ia sudah merasa teramat lemas sehingga ia memutuskan untuk duduk dan beristirahat. Walaupun demikian, Hans melanjutkan perjalanannya dengan penuh tekad sehingga akhirnya ia sampai di pasar. Setelah menunggu cukup lama, iapun berhasil menjual tepung terigu sekarung yang dipanggulnya dengan harga yang sangat baik. Hans pun memutuskan untuk langsung berangkat pulang karena takut berlama-lama di pasar dapat berakibat buruk seperti bertemu perampok pada perjalanan pulang nanti."

"Hari ini benar-benar hari yang melelahkan', demikian Hans kecil berkata pada dirinya sendiri sebelum ia tidur, 'tetapi aku gembira karena aku tidak menolak permintaan si Miller, karena bagaimanapun ia adalah sahabatku dan lagipula ia akan memberiku gerobak dorongnya.."

" Keesokan harinya, Miller datang pagi-pagi sekali untuk menagih uang penjualan tepungnya, namun Hans kecil masih tertidur kelelahan."

" Benar-benar deh,' seru si Miller, ' Kamu ini benar-benar seorang pemalas. Padahal, karena aku akan memberimu gerobak dorongku maka aku lantas berpikir bahwa kamu akan bekerja lebih keras lagi. Ternyata aku salah, tau kah kamu bahwa bermalas-malasan itu dosa besar dan tentunya aku tidak menyukai seorang teman yang suka bersantai dan bermalas-malasan. "

" Maaf bila aku berkata lancang seperti ini kepadamu. Tentu saja aku tidak akan berani berkata seperti ini kepadamu bila aku bukan sahabatmu, namun apa gunanya memiliki persahabatan yang baik apabila seorang sahabat tidak bisa berterus terang? Semua orang bisa saja mengatakan hal-hal yang baik dan berusaha untuk menyenangkan dan memuji, namun teman sejati selalu mengatakan hal-hal tidak enak dan tidak sungkan untuk menyusahkan. Dan bila ia benar-benar teman sejati, ia akan lebih menyukai perilaku yang demikian karena dengan begitu ia tahu ia telah berbuat kebaikan."

" Maafkan aku, ' sahut Hans kecil sambil menggosok matanya karena masih mengantuk seraya mencopot topi tidurnya, ' tetapi kemarin aku sungguh-sungguh lelah dan aku pikir aku akan berbaring diatas tempat tidur sedikit lebih lama lagi, sambil mendengarkan kicau burung bernyanyi. Tidak kah kau tau bahwa aku lebih semangat bekerja setelah mendengarkan burung berkicau?"

" Wah aku senang mendengarnya,' jawab si Miller sambil menepuk nepuk punggung Hans, ' karena aku berpikir untuk memintamu datang ke atas bukit secepatnya untuk memperbaiki atap gudangku yang bocor."

" Kasihan sekali si kecil Hans, padahal ia telah berencana untuk bekerja di tamannya karena bunga-bunganya sudah tidak disiram selama dua hari, tetapi ia tidak ingin menolak permintaan si Miller karena Miller adalah teman baiknya."

"Miller, apakah kau akan berpikir bahwa aku bukan teman yang baik bila aku berkata bahwa aku sedang sibuk?" Hans berkata dengan suara kecil dan malu-malu.

" Ah, benar-benar deh,' jawab si Miller, ' Sungguh aku pikir itu aku tidak meminta banyak, apalagi setelah aku memutuskan bahwa aku akan memberikan kepadamu gerobak dorongku; tetapi, yah, terserah saja, bila kamu menolak aku akan pergi dan melakukannya sendiri."

" Tidak, jangan!" seru Hans kecil takut, dan ia melompat dari tempat tidurnya dan merapikan dirinya bersiap untuk pergi keatas bukit dimana gudang Miller berada.

" Hans bekerja disana sepanjang hari hingga matahari terbenam, dan menjelang malam si Miller datang menengok ke gudang untuk melihat kemajuan kerja si kecil Hans."

" Hans! Apakah kau sudah selesai memperbaiki lubang di atapku?" Seru si Miller senang.

" Oh ya, lubang itu sudah lumayan tertutup, " sahut Hans kecil, sambil menuruni tangga.

" Ah!', seru si Miller senang, ' tidak ada pekerjaan lain yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain."

" Merupakan kebanggaan untukku mendengarkan engkau berbicara seperti itu, ' jawab Hans kecil seraya duduk beristirahat dan menyeka keringat yang membasahi keningnya setelah bekerja keras seharian, ' benar-benar merupakan suatu kebanggaan. Tetapi, menurutku ide-ide cemerlang seperti yang kau katakan itu tidak akan pernah terpikirkan olehku."

" Oh! Tenang saja, pikiran-pikiran seperti itu akan datang kepadamu,' seru si Miller, 'namun kamu harus mengalami penderitaan banyak dahulu. Sekarang ini kamu hanya mengalami praktek langsung sebuah persahabatan; suatu hari nanti kamu akan menguasai teorinya juga."

" Apakah kamu pikir itu perlu aku ketahui?" tanya Hans kecil.

" Tentu saja,' jawab si Miller, ' tapi sekarang karena kamu telah memperbaiki atapku yang bocor, kamu sebaiknya pulang dan beristirahat, karena aku ingin kamu menggembalakan biri-biriku keatas gunung besok pagi."

" Kasihan si kecil Hans, ia terlalu takut untuk berkata tidak kepada si Miller, dan keesokan paginya selepas subuh si Miller telah mengumpulkan biri-birinya dan menyambangi rumah Hans. Hanspun mulai naik keatas gunung dan menggembalakan biri-biri tersebut. Perjalanan menggembalakan biri-biri keatas gunung dan kembali pulang memakan waktu seharian penuh; sekembalinya ia ke pondok kecilnya ia begitu lelah sehingga jatuh tertidur diatas kursinya dan bangun keesokan harinya ketika matahari telah tinggi.

" Akhirnya aku dapat mengerjakan kebunku dengan tenang." Seru si kecil Hans dengan senang. Iapun menyingsingkan lengan bajunya dan mulai bekerja.

" Namun malang benar nasibnya, Hans kecil tidak pernah bisa dengan sungguh-sungguh bekerja dan memupuk bunganya, karena teman baiknya si Miller selalu datang mengganggu dan memintanya untuk melakukan tugas-tugas lain ditempat-tempat yang jauh, atau memintanya membantunya di pabrik penggilingan terigunya. Hans kecil benar-benar bingung dan susah saat-saat itu, karena ia takut bunga-bunganya merasa ia telah melupakan mereka, karena ia tidak pernah merawatnya lagi, tetapi ia selalu menghibur diri seraya berkata bahwa ia sedang membantu teman, dan si Miller adalah sahabatnya. 'Lagipula,' Hans kecil selalu berkata pada dirinya, ' si Miller akan memberiku gerobak dorongnya, dan itu adalah bukti dari kebaikan murni sebuah persahabatan."

" Jadi, si kecil Hans bekerja keras untuk si Miller, dan si Miller terus menerus berkata hal-hal indah tentang sebuah persahabatan, dan Hanspun mulai mencatatnya dalam sebuah buku kecil, dan membacanya lagi di malam hari karena si kecli Hans adalah pelajar yang baik.

" Suatu malam saat Hans kecil sedang duduk-duduk di depan perapiannya yang hangat, ia mendengar hentakan-hentakan kuat didepan pintunya. Malam itu adalah cuaca buruk sekali, badai salju dan angin bertiup kencang dan suaranya meraung-raung disekitar pondok kecilnya sehingga si kecil Hans berpikir hentakan-hentakan di depan pintunya disebabkan oleh badai. Namun hentakan-hentakan tersebut kembali lagi untuk kedua kalinya, lalu kembali lagi lebih kencang suaranya untuk ketiga kalinya.

" Oh, pastilah itu pengelana yang tersesat sedang mengetuk pintuku mencari pertolongan di tengah badai." Pikir Hans sambil cepat berlari dan membukakan pintu.

" Dan ketika pintu terbuka, terlihat si besar Miller sedang berdiri di depan pintunya sambil menggenggam lentera di tangan kanannya dan tongkat kayu besar di tangan kirinya.

" Hans kecil temanku," jerit si Miller, 'aku sedang dalam masalah besar. Anak lelakiku yang masih kecil telah jatuh dari tangga dan mengalami luka serius, kini aku akan pergi ke dokter dan memintanya untuk datang. Tetapi dokter ini tinggal ditempat yang jauh sekali, dan malam ini cuaca begitu buruk. Jadi aku pikir daripada aku yang pergi, lebih baik bila kau saja yang pergi memanggil dokter itu. Lagipula aku akan memberimu gerobak dorongku, jadi sepantasnyalah bila kau melakukan sesuatu untukku sebagai balasannya."

" Tentu saja,' jawab Hans kecil khawatir, ' aku merasa dihormati karena engkau telah memilihku untuk meminta pertolongan, dan aku akan pergi secepatnya. Tetapi kau harus meminjamkan aku lenteramu, karena malam ini cuaca begitu buruk dan gelap gulita hingga aku takut aku terjatuh kedalam lubang parit.'

" Waduh, maaf sekali, tapi lentera ini baru kubeli, dan kalau sesuatu terjadi pada lentera baruku ini aku akan rugi besar."

" Oh sudahlah kalau begitu, aku akan berangkat tanpa lentera," sahut Hans kecil, dan ia menurunkan mantel bulunya yang berat dari gantungan, mengambil topi ungunya, dan melilitkan syal coklatnya keleher agar hangat, lalu iapun keluar berjalan dan mulai mengarungi badai.

" Malam itu badai benar-benar dahsyat! Malam begitu gelap sehingga Hans kecil hampir-hampir tak dapat melihat, dan angin berhembus kencang sehingga ia harus bertahan sekuat tenaga agar bisa berdiri dan melangkah. Walaupun begitu Hans kecil begitu berani, dan tidak satupun dari halangan itu menghentikannya. Setelah menempuh perjalanan berat selama lebih dari tiga jam, akhirnya ia tiba di depan rumah sang dokter dan mengetuk pintunya. "

" Siapa disana?" seru sang dokter, ia menjulurkan kepalanya keluar dari jendela kamarnya.

" Ini aku Hans kecil Pak Dokter."

" Ada apa Hans kecil? Apa yang kau inginkan? "

" Anak lelaki si Miller telah jatuh dari tangga, dan kini sedang terluka, Miller mengingikan agar kau datang segera dan mengobatinya."

" Baiklah!" Jawab sang dokter; dan ia memerintah pembantunya untuk menyiapkan kuda, mencari sepatu butnya, dan membawa lenteranya, lalu turun kebawah dan pergi kearah rumah si Miller, Hans kecil berjalan tertatih-tatih mengikuti bunyi kudanya.

" Namun hantaman badai makin memburuk, dan hujanpun turun dengan derasnya, suaranya berderu tertiup angin badai, Hans kecilpun tidak dapat melihat lagi kemana arah yang harus ia tuju, dan telah kehilangan jejak sang dokter dan kudanya karena kakinya yang kecil kurang cepat mengikuti. Akhirnya Hans kecil benar-benar tersesat dan malah berjalan menuju rawa-rawa basah, padahal tempat itu sangat berbahaya karena penuh lubang-lubang tersembunyi yang sangat dalam, dan Hans kecil yang malang pun terjatuh kedalam salah satu lubang tersebut dan tenggelam. Mayatnya ditemukan keesokan harinya oleh seoarang gembala, terapung diatas genangan air, dan dibawa kembali ke pondok kecilnya."

" Semua orang menghadiri pemakaman Hans kecil, karena ia begitu populer, dan si Miller menunjuk dirinya sebagai orang yang paling berkabung."

" Karena akulah sahabatnya,' sahut si Miller, ' maka akan dirasakan adil apabila aku mendapatkan tempat terdepan". Dan berjalanlah si Miller ditempat yang paling depan, mengepalai barisan orang yang berkabung yang mengenakan jubah hitam-hitam, dan sesekali ia menyeka matanya dengan saputangannya yang besar.

pondok Hans kecil

" Kepergian Hans kecil benar-benar merupakan kehilangan besar untuk kita semua," Ucap pengrajin besi saat pemakaman selesai, dan mereka semua sedang duduk-duduk dengan nyaman di kedai minuman, sambil mereguk anggur berempah yang hangat dan memakan kue-kue manis. " Benar-benar kehilangan yang besar untuk Ku pribadi,' sahut si Miller, ' bagaimana tidak? Sebenarnya aku terhitung sudah akan memberikan gerobakku padanya, dan sekarang ia telah pergi, aku tidak tau apa yang hendak kulakukan dengan gerobakku itu. Sekarang barang tersebut menjadi penghalang saat aku hendak berjalan dirumahku, dan kondisinya sudah buruk sekali sehingga tidak ada harganya bila hendak kujual. Kini aku akan lebih berhati-hati lagi kalau aku hendak memberikan barangku. Bagaimanapun juga orang yang murah hati dan senang berderma seperti aku selalu saja mengalami penderitaan seperti ini."

" Lalu?" sahut Tikus-air, setelah lama berdiam diri.

" Ya, itulah akhirnya," sahut si burung Linnet.

" Lalu apa yang terjadi dengan si Miller? " tanya si Tikus-air lagi.

" Oh! Entahlah," jawab si burung Linnet; " Dan sejujurnya aku juga tak peduli."

" Sangat jelas bagiku bahwa engkau samasekali tidak punya rasa simpati dalam sikapmu itu. " Kata Tikus-air.

" Maaf, tetapi tampaknya kamu tidak mengerti pesan moral yang terkandung dalam cerita ini, " Burung Linnet memberi penjelasan.

" Apa? " Tikus-air menjerit.

" Pesan moral."

" Apakah kau mencoba mengatakan padaku bahwa cerita tersebut memiliki pesan moral? "

" Tentu saja." sahut si Linnet.

" Oh benar-benar deh, " sahut Tikus-air dengn marah sekali, " Kau seharusnya bilang padaku sebelum mulai bercerita. Bila kau katakan sebelumnya maka aku tidak akan membuang-buang waktuku mendengarkan ceritamu; malah aku seharusnya berkata 'Bah', persis seperti kritikus. Walaupun begitu, belum terlambat, karena aku bisa mengucapkannya sekarang", lalu Tikus-air berteriak, "Bah" semampunya, sambil menggoyang-goyangkan ekornya, dan kembali masuk kedalam lubangnya.

" Waduh, sikapnya jelek sekali Tikus-air itu." Komentar si Bebek, yang mengayuh mendekat beberapa menit kemudian. " Memang sih ia punya beberapa inti perkataan yang aku pikir bagus, tapi karena aku seorang ibu, aku tidak pernah bisa melihat seorang yang menyimpan status lajangnya hingga tua tanpa menitikkan air mata."

" Tampaknya aku telah membuatnya tidak senang," jawab si Linnet. "Karena pada kenyataannya aku telah menyampaikan cerita yang mengandung pesan moral."

" Ah! cerita dengan pesan moral itu seringkali berbahaya untuk disampaikan, " sahut si Bebek.

Dan aku cukup setuju dengan pendapat si Bebek.

Catatan kaki

[sunting]
  1. Pohon Dedalu = Willow tree
  2. Anyelir = Sweet William dan Gilly-Flowers
  3. Kantung Gembala= Shepperd's purses
  4. Perawan dari Perancis = Fair Maids
  5. Pantekosta = Pinksterbloem

Referensi

[sunting]