Narsisisme dan Romantisisme Dalam Novel Negara Kelima Karya Es Ito/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB II

NARSISISME DAN ROMANTISISME

DALAM NOVEL NEGARA KELIMA

2.1 Pengantar

Sastra Indonesia bermula dari protes. Itulah pernyataan Gunawan Muhammad dalam Kesusastraan dan Kebimbangan. Pernyataan tersebut penulis kutip dari tulisan Wasono (2005:94), yang mengupas persoalan romantisisme dalam karya M. Yamin. Gunawan menyatakan hal itu bukan tanpa alasan. Untuk mendukung pendapatnya itu, ia menyinggung latar belakang yang mendasari penulisan novel Sitti Nurbaya. Menurutnya, konon ketika Marah Rusli menulis novel tersebut ambisinya yang utama bukanlah menjadi novelis, melainkan untuk melancarkan semacam protes terhadap keadaan. Marah Rusli merasa tidak menemukan jalan lain untuk memprotes tradisionalisme yang dinilainya sangat tidak sehat pada zaman itu.

Hal yang sama, menurut penulis, juga dilakukan oleh Ito dalam novelnya Negara Kelima. Berlatar belakang mitos yang sangat kental, novel ini mencoba membongkar fakta sejarah, yang menurut penulis, telah dilupakan oleh penguasa. Ito mencoba mengajak pembaca untuk memandang bukti sejarah dari sisi yang lain dan akhirnya menemukan persepsi baru terhadap sejarah. Meskipun kebenarannya mungkin belum bisa dipastikan, paling tidak akan menyadarkan pembaca bahwa kisah sejarah itu jika dilihat dari sisi yang lain dapat memunculkan persepsi yang berbeda. Jika sejarah adalah tempat suatu bangsauntuk belajar dan bercermin, tentunya pemutarbalikan sejarah demi kepentingan penguasa adalah hal yang sangat berbahaya bagi masa depan bangsa.

Selain itu, pengarang juga mencoba menyampaikan aspirasinya menyikapi kondisi negara saat ini. Nampaknya, pengarang sangat alergi kepada aparat yang korup dan sibuk berebut harta dan kedudukan, ilmuwan yang tunduk pada uang, penghargaan yang rendah terhadap benda sejarah, serta labilnya jiwa anak muda, yang pada satu sisi menjadi orang-orang radikal yang membela apa yang diyakininya secara membabi buta, dan pada sisi yang lain ada yang menjadi orang-orang hedonis pencari kenikmatan sesaat tanpa tujuan hidup yang berarti.

2.2 Sinopsis

Putri seorang perwira tinggi polisi terbunuh di sebuah hotel. Kematian itu menyisakan sejumlah misteri yang cukup membingungkan polisi. Belum sempat polisi menyelesaikan kasus kematian tersebut, pembunuhan lain kembali terjadi. Secara berturut-turut, dua orang teman putri perwira itu juga terbunuh. Dalam jangka waktu beberapa hari, seorang perwira polisi pun ikut terbunuh. Kejadian itu terjadi setelah sebelumnya pihak polisi menggerebek markas sebuah kelompok radikal yang manamai diri mereka KePaRad. Kelompok tersebut baru saja melakukan teror di jaringan internet. Simbol dari kelompok tersebut digoreskan oleh pelaku pembunuhan di tubuh dua orang korban.

Kematian perwira polisi tersebut menggiring Timur Mangkuto sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Timur Mangkuto adalah sahabat Rudi, polisi yang terbunuh itu. Ia dituduh karena pada malam kejadian ada saksi yang melihatnya ada bersama korban dan meninggalkan sidik jari. Timur Mangkuto pun sekaligus dicurigai sebagai anggota kelompok radikal tersebut yang disusupkan ke jaringan kepolisian. Timur Mangkuto berhasil meloloskan diri sebelum sempat ditangkap polisi. Ia segera menjadi buronan yang paling dicari.

Sementara itu, dua orang anggota KePaRad yang tertangkap dalam sebuah penggerebekan tidak mau berbicara banyak meskipun mendapatkan tekanan dan Siksaan yang cukup berat dari polisi. Pertanyaan polisi yang ingin mengungkap kelompok radikal tersebut menghasilkan jawaban yang sama sekali tidak memuaskan polisi. Mereka hanya berbicara tentang teka-teki lima buah negara yang mereka hafal di luar kepala, tetapi tidak mereka ketahui jawabannya. Informasi yang mereka berikan kepada polisi hanyalah informasi dasar mengenai kelompok itu. Mereka memang sama sekali tidak mengetahui secara lebih mendalam mengenai kelompok KePaRad karena para pimpinan kelompok tersebut sangat menjaga kerahasiaan kelompoknya. Hanya para pemimpin di tingkat tertinggi yang mengetahui esensi dan anggota kelompok KePaRad. Dalam pelariannya, Timur Mangkuto bertemu dengan Eva Duani, seorang ahli sejarah Indonesia, yang kebetulan juga adalah bekas kekasih Rudi, perwira polisi yang terbunuh. Bersama Eva Duani serta bantuan dari Profesor Duani Abdullah, Timur Mangkuto berusaha menguak teka-teki lima negara untuk membongkar keberadaan kelompok radikal yang telah menjebaknya demi membersihkan nama baiknya.

Usaha menguak teka-teki negara itu mengharuskan mereka meneliti kitab dialog Timaues and Critias karya Plato tentang negeri Atlantis yang hilang, mendengarkan, dan mencari petunjuk dari sastra lisan Tambo Minangkabau, menerjemahkan prasasti Kedukan Bukit, menelusuri kitab Pararaton, dan meminta keterangan dari saksi sejarah atas terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra pada tahun 1948.

Sementara itu, anggota kelompok KePaRad berhasil menelusuri jejak perjalanan Syafruddin Prawiranegara sampai ke desa Bidar Alam di Dharmasraya. Di desa itu, mereka berhasil menemukan sebuah benda keramat yang dikenal sebagai serat ilmu, yang telah lama dicari oleh kelompok itu. Serat ilmu adalah kunci untuk menemukan benua Atlantis yang hilang. Anggota KePaRad berhasil memecahkan teka-teki benua Atlantis.

Mereka ingin mengembalikan kejayaan zaman Atlantis dan menggantikan Republik Indonesia dengan negara yang menurut mereka lebih pantas dan lebih demokratis. Namun, keinginan tersebut gagal karena Timur Mangkuto berhasil mengungkap misteri kelompok KePaRad dan mengungkapkan kejahatan yang terjadi di lingkungan kepolisian. Ia berhasil mengembalikan nama baiknya yang sempat tercemar dan menyelamatkan negara dari ancaman kelompok radikal yang ingin menghancurkan bangsa ini.

2.3 Pembahasan

Apa yang diuraikan pada pengantar merupakan tolakan berpikir bagi penulis untuk melihat persoalan yang menjadi topik penelitian ini. Penulis ingin mengungkapkan hal lain, yang menurut penulis, sangat kental terlihat dalam novel Negara Kelima. Ito, sebagai pengarang, tidak dapat melepaskan diri dari bayang-bayang narsis yang mungkin saja melekat erat dalam dirinya. Begitu juga halnya dengan gaya romantik yang cukup banyak dijumpai dalam novel ini. Dua wacana tersebut menurut penulis, saling berkaitan satu sama lain. Dari romantisisme yang ada akan terlihat wacana narsisisme yang mungkin saja dilatari oleh narsisnya pengarang itu sendiri. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dibahas wacana dan isu mengenai narsisisme dan romantisisme yang tergambar dalam novel Negara Kelima. Isu dan wacana tersebut akan dibahas sedemikian rupa sehingga diperoleh gambaran mengenai narsisisme dan romantisisme dalam novel. Pembahasan mengenai narsisisme dan romantisisme akan dipadu-padankan. Maksudnya, tidak ada bagian tertentu yang mengulas masalah narsisisme dan romantisime secara tersendiri. Semua bagian dan peristiwa di dalam novel akan diamati unsur-unsurnya, yang menurut penulis, dicurigai mengandung wacana Narsisisme dan romantisisme. Hal itu dimaksudkan untuk melihat secara keseluruhan isu mengenai narsisisme dan romantisisme dalam cerita dan keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Novel Negara Kelima, menurut penulis, mengadung puji-pujian dan sanjungan terhadap kejayaan masa lalu. Kekaguman, rasa hormat, dan pujian yang disampaikan pengarang dalam cerita jelas-jelas ditujukan kepada kejayaan nusantara dulunya. Kekecewaannya terhadap kondisi negara saat ini mendorong pengarang untuk mengetengahkan mitos dan fakta mengenai nusantara dulunya. Selain itu, di antara gaya romantis yang dihadirkan, pengarang juga tidak dapat melepaskan diri dari unsur narsis yang mungkin ada dalam dirinya dan mempengaruhi pengarang dalam melahirkan karyanya.

Kekecewaan terhadap kondisi negara menghadirkan perasaan tersisih dalam diri manusia Indonesia. Perasaan itu, akhirnya, berdampak terhadap kesetiaan mereka kepada negara. Keinginan untuk lepas dari negara kesatuan Indonesia dan membentuk negara baru merupakan keinginan yang didasari oleh ketertindasan yang dirasakan oleh sebagian orang Indonesia. Padahal, mereka adalah orang-orang hebat. Mengapa mereka harus terpinggirkan, termarginalkan. Isu mengganti kata Indonesia dengan nusantara adalah bentuk ketidakpuasan tersebut. Istilah nusantara lebih tepat untuk mewakili kehebatan negeri ini dan orang-orangnya. Selain itu, kata nusantara tidak hanya akan mewakili sekelompok orang.

Raganya Indonesia

Tetapi jiwanya tidak lagi nusantara

Satu kelompok berkuasa

Sisanya pengaya saja

Sebagian kecil kelompok kaya

Sisanya menanggung derita.

Bubarkan Indonesia.

Bebaskan Nusantara.

Bentuk Negara Kelima.

(Ito, 2005: 17)

Apa yang telah dipaparkan tersebut memperlihatkan gaya romantik yang dihadirkan dalam cerita ini. Rasa kagum, cinta, dan kebanggaan terhadap nusantara membuat mereka selalu mengingat masa kejayaan itu. Oleh karena itulah, mereka ingin kembali ke kejayaan masa lalu. Romantisme terhadap masa lalu membuat mereka berpikir untuk meninggalkan dan mengganti negeri ini dengan negeri dambaan mereka, seperti nusantara dulunya.

Romantisisme dikendalikan oleh pemikiran bahwa kenyataan yang dihadapi tidak menyenangkan. Oleh karena itu, penganut romantisisme mengangankan dan menghasratkan untuk kembali ke alam yang dianggap masih murni dan sarat dengan keindahan. Dalam pandangan romantik, masa silam adalah masa yang penuh dengan kebaikan. Oleh karena itu, kajayaan masa silam menjadi orientasi dalam mengambil sikap dalam menghadapi kehidupan, Dalam kaitannya dengan hal itu, Ito menggunakan peristiwa sejarah (keangungan dan kejayaan masa silam) sebagai media untuk mengekspresikan gagasan dan pikirannya.

Penghadiran latar cerita yang didominasi oleh latar daerah Minangkabau, seperti penggunaan latar daerah Halaban di Payakumbuh, memperlihatkan gaya romantik tersebut. Romantisisme itu didasari oleh kecintaan dan kekaguman pengarang terhadap negeri, yang menurutnya, berperan cukup penting dalam sejarah Indonesia. Kecintaan itu mendorongnya untuk mengangkat latar daerah sebagai bagian dari cerita. Hal itu juga didukung oleh rasa kekecewaan pengarang karena daerah yang sangat berjasa untuk perjuangan bangsa itu telah terhapus jejaknya dalam sejarah perjalanan bangsa.

Romantisme terhadap kejayaan masa lalu juga terlihat dari pilihan istilah dan lambang yang dicurigai sebagai bagian dari kelompok radikal KePaRad. Pilihan terhadap simbol tersebut memperlihatkan bahwa apa yang datang dari masa lalu masih dapat dipakai pada saat ini. Spirit dan jiwa masa lalu mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap kajayaan masa sekarang.

Pilihan tokoh utama dengan nama Timur Mangkuto, seorang polisi hebat dan cerdas, juga memperlihatkan adanya wacana narsisisme di dalamnya. Wacana narsisisme itu timbul dari narsisnya pengarang itu sendiri. Ia, yang keturunan asli orang Minang, mencoba mengangkat kehebatan orang Minang, yang tidak hanya berjaya di bidang perdagangan saja, tetapi juga hebat di bidang lain. Kehebatan itu patut untuk diperhitungkan oleh orang lain. Kebanggaan, yang menurut penulis, terlalu berlebihan karena semua orang dari etnik mana pun juga dapat berprestasi di bidang apa saja dalam kehidupan ini.

Salah satu daerah yang dijadikan sebagai latar cerita oleh pengarang adalah Koto Tinggi di Payakumbuh. Menurut penulis, hal itu juga memperlihatkan romantisme masa lalu. Selain Koto Tinggi, daerah Bidar Alam di Dharmasraya juga dijadikan salah satu latar cerita. Pemilihan latar tersebut merupakan bentuk romantisisme, yaitu kecintaan dan kegaguman pengarang terhadap daerah tersebut. Selain itu, kecintaan pengarang terhadap kejayaan masa lalu dan ingatan pengarang terhadap peran orang Minang dalam sejarah Indonesia mendorongnya untuk mengangkat daerah itu sebagai salah satu latar cerita.

Pengarang mengistilahkan daerah Bidar Alam sebagai negeri yang dikalahkan oleh manipulasi sejarah. Hal itu merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap kenyataan yang ada sekarang. Padahal, dulunya Bidar Alam adalah negeri yang menjadi penentu sejarah bangsa. Bidar Alam adalah tempat Syafruddin Prawiranegara pernah bermukin dan menjalankan roda pemerintahan darurat Indonesia.

Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanpa bayangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan. Para penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat penentuan ketika para penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang tahun (Ito, 2005:81)

Kutipan tersebut juga memperlihatkan romantisme terhadap kejayaan masa lalu. Rasa kecewa terhadap kondisi negara mendorong kita untuk kembali melirik masa lalu yang jauh berbeda dari kondisi hari ini.

Gaya romantik juga dihadirkan pengarang dengan mengangkat kisah orang Minang dalam ceritanya. Gaya romantik itu, menurut penulis, juga dibarengi dengan narsisnya pengarang, yaitu kebanggaan terhadap diri sendiri sehingga ia memutuskan untuk menampilkan kisah orang Minang dalam ceritanya. Kecintaan terhadap kisah tersebut merupakan refleksi kecintaan pengarang terhadap diri dan sukunya..

Para penjemput masa pertama tidak menyerah. Pada dataran setelah celah puncak-puncak kedua mereka bersimaharaja tetapi angin telah menjemput mereka untuk Negara Ketiga. Ketika dua orang dara Para Penjemput menuai janji mereka, dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai bencana, satu mencari asalnya. Para Penjemput mengawal negara hingga mereka dilupa. Lalu datanglah bencana. Dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari serat pemberi (Ito, 2005: 83).

Pilihan penulis untuk mengangkat kisah Dara Petak dan Dara Jingga, yang menurutnya sangat berpengaruh terhadap kisah kejayaan masa lalu, merupakan sebentuk narsisme penulis terhadap negeri asalnya, Minangkabau.

Wacana narsisisme juga terlihat dengan adanya kebanggaan yang terlalu berlebihan terhadap jasa yang telah diberikan kepada negeri ini. Orang Minang menganggap merekalah yang paling berjasa terhadap republik ini. Mereka telah memberikan kontribusi yang sangat banyak untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa. Apa yang mereka berikan tidak dapat dibandingkan dengan apa yang telah diberikan oleh daerah lain.

"Dulu Jakarta tidak ada apa-apanya dibanding apa yang telah kami korbankan untuk Republik ini!" kata Inyiak Labai agak emosional. "Tetapi entahlah, kini kami cuma segelintir petani yang meratapi nasib dari hari ke hari (Ito, 2005: 87).

Ide tentang benda keramat, peninggalan masa peradaban Atlantis kuno yang dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk membangkitkan kekuatan masa lalu, merupakan gambaran imajinasi yang terlalu berlebihan dari pengarang. Serat ilmu, begitu benda keramat itu dinamai, diyakini oleh kelompok KePaRad dapat mengubah negeri ni menjadi lebih baik. Keinginan itu merupakan khayalan tingkat tinggi dari orang yang merasa telah memberi banyak untuk negeri ini.

"Batu itu yang telah memberi cahaya kekuatan pada orang-orang yang memberi nafas Nusantara," ujar Ilham Tegas. "Kami yakin cahaya itu pula yang memberi kekuatan pada kampung ini untuk mempertahankan Repubblik." (Ito, 2005: 89).

Ide tentang kekuatan benda keramat yang disebutkan sebagai batu Pembangkit Batang Terendam, yang dapat membangkitkan kekuatan masa silam yang terpendam, menyiratkan wacana narsisisme di dalamnya. Pengarang menganggap bahwa orang Minang memiliki kehebatan dan kekuatan yang melebihi orang lain di negeri ini. Kekuatan tersebut dapat dipakai sebagai media untuk mengubah negeri ini menjadi lebih baik. Ide tentang benda keramat, yang ditemukan di daerah Minangkabau, memperlihatkan isu narsis tersebut. Mengapa harus mengangkat orang Minang karena negeri lain pun cukup besar jasanya untuk negeri ini. Tidak hanya orang Minang, seluruh rakyat di nusantara ini berjuang demi bangsa dengan caranya sendiri-sendiri. Perjuangan itu untuk satu tujuan, yaitu kemerdekaan bangsa.

Isu narsisisme dan romantisisme juga terlihat dengan adanya ide tentang benua yang hilang, yaitu Atlantis. Benua itu diprediksikan ada di wilayah nusantara, bukan di lautan Atlantis atau tempat lain, seperti yang selama ini diyakini oleh orang banyak. Ide mengangkat nusantara sebagai benua yang hilang didasari oleh rasa kebanggaan yang terlalu berlebihan terhadap diri dan negeri ini. Kenangan akan kejayaan masa silam dan perasaan bangga terhadap diri menimbulkan lahirnya ide mengangkat mitologi tentang benua yang hilang.

"Aku yakin, Atlantis tidak akan pernah ditemukan. Sebab selama ini sejarawan dan arkeolog telah mencari Atlantis pada tempat yang salah," ujar seorang peserta diskusi dengan logat Inggrisnya kental pada suatu sore di akhir musim semi. Ia mengajukan pendapat yang sangat mengejutkan, "Atlantis tidak terletak di lautan Atlantik sebagaimana asumsi selama ini. Atlantik tenggelam dan menyisakan deretan kepulauan yang luas, Indonesia (Ito, 2005: 122).

Pilihan pengarang untuk mengangkat tokoh dari etnik Minang juga bagian dari wacana narsisisme itu sendiri. Timur Mangkuto, Eva Duani, dan Makwo Katik merupakan wakil orang Minang, yang dalam cerita ini digambarkan sebagai sosok yang hebat dan berperan besar dalam setiap peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Mereka adalah representasi dari kehebatan orang Minang yang ingin ditonjolkan oleh pengarang di dalam ceritanya. Tokoh tersebut ditampilkan oleh pengarang untuk memperlihatkan kepada semua orang melalui mata pembaca novelnya akan kehebatan dan kecerdikan orang Minang. Selain itu, fakta sejarah yang diangkat dalam cerita ini juga sarat dengan muatan romantisisme dan kebanggaan terhadap masa silam.

“Sejak masa permulaan zaman, Nusantara sudah lama dikenal. Dalam sebuah buku Yunani berjudul Peripluos tes Erythras Thalasses dengan angka tahun 70 Masehi terdapat nama Chryse, istilah Yunani untuk Pulau Emas. Sebuah pulau tempat bandar di mana negeri India bagian selatan berdagang. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan Chryse adalah Pulau Sumatera yang kita kenal saatini. Dalam buku lainnya karangan Ptolemeus, seorang ahli navigasi dari Iskandariyah Mesir, disebutkan nama negeri itu. Chrysae Chersonesos, mengacu pada semenanjung Barus, sebuah daerah yang terletak pada bagian barat Sumatera Utara (Ito, 2005: 142)

Keyakinan bahwa nusantara adalah tempat benua Atlantis tenggelam memperlihatkan pada kita rasa kebanggaan yang terlalu berlebihan terhadap negeri ini.

Nusantara kuno adalah titik tengah dunia. Sepanjang tahun mendapat cahaya matahari, sehingga tidak pernah mengalami kondisi yang ekstrem. Di sinilah terdapat sisa hamparan pulau-pulau bekas benua Lemuria, nenek moyang manusia untuk pertama kali memiliki peradaban. Hingga kemudian bencana itu menenggelamkan mereka (ito, 2005: 144-145).

Selain wacana narsisisme yang diusung oleh pengarang melalui ide mengenai nusantara, gaya romantik juga terlihat di sini. Fakta sejarah yang terungkap memberikan gambaran kepada kita bahwa pengertian nusantara itu tidaklah sesempit seperti yang selama ini diyakini oleh banyak orang. Nusantara mengandung makna yang sangat dalam, bukan hanya sebidang tanah bekas jajahan kolonial, tetapi nusantara adalah kumpulan ide dan gagasan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa ini dulunya.

“Nusantara bukan sekadar serpihan bekas kolonial yang disatukan. Sejarah nusantara lebih besar dari itu. Sebab nusantara memiliki sejarah yang besar. Bukan sekadar ampasnya Hindia Belanda. Ia ingin semua orang memahaminya. Ia yakin ketidaktahuan itulah yang menyebabkan bangsa ini tidak pernah maju, terbelakang, rendah diri, korup, saling menindas, mengagung-agungkan Barat...” (Ito, 2005: 156).

Kekecewaan terhadap kenyataan yang terpampang hari ini membuat orang ingin mengintip sejenak kejayaan di masa lalu. Kondisi hari ini telah membuat kita melupakan sejarah dan dasar pembentukan negara ini. Pondasi yang dulunya kuat, berangsur-angsur mulai rapuh dilanda ketidakmampuan manusia Indonesia untuk memaknai dan menghayati setiap keping sejarah bangsanya.

“Aku ingin bercerita tentang dunia lama. Dunia yang telah dilupa dan mungkin sengaja dilupa untuk menegakkan dominasi Barat atas Timur” (Ito, 2005: 159)

Kecenderungan untuk melihat ke masa lampau, apalagi membangkitkan sebuah mitos yang telah mendunia dan mengklaimnya sebagai milik kita, dapat dipandang sebagai bentuk pelarian karena ketidakberdayaan menghadapi kondisi hari ini. Tekanan dan ketidakadilan yang dirasakan bisa jadi mendorong orang, dalam hal ini pengarang, untuk berorientasi terhadap masa lalu dengan tujuan sejenak melupakan realitas kenyataan hari ini.

Orientasi terhadap masa lalu dapat dipandang sebagai upaya pembentukan jati diri yang baru. Sebagai manusia tentu saja kita mempunyai nenek moyang, asal-usul, dan sejarah terbentuknya masyarakat. Tidak ada satu pun masyarakat yang tidak mempunyai sejarah. Untuk itulah, mereka merasa perlu melihat masa lalu generasi sebelumnya. Hal itu dimaksudkan untuk merancang masa depan dengan belajar dari generasi sebelumnya, dari nenek moyang, bahkan dari orang lain di luar masyarakatnya.

Berdasarkan uraian tersebut, menarik juga untuk menyimak hadirnya gambaran mengenai kehidupan masyarakat pada zaman kejayaan peradaban Atlantis.

Sebelum banjir besar yang pernah terjadi, kota besar Athena dikenal selalu terdepan dalam berperang. Kota itu diatur dengan pemerintahan paling baik dibandingkan kota-kota lainnya. Kota itu juga dikenal karena konstitusinya yang paling adil dibanding tradisi yang pernah ada pada tempat di kaki langit.

Di pulau Atlantis terdapat kerajaan yang mahabesar menguasai pulau-pulau dan benua. Orang-orang Atlantis telah menguasai bagian bumi sejauh Libya hingga Mesir dan sejau Eropa hingga Tyrenia (Ito, 2005: 163-164).

Romantisisme terhadap kejayaan masa Atlantis tersebut akhirnya membangkitkan jiwa narsis di dalam diri setiap orang di bagian nusantara ini. Pengarang mengemukakan sebuah ide yang cukup mengejutkan bahwa benua Atlantis yang hilang adalah wilayah nusantara seperti yang ada saat ini. Romantisisme itu telah membangkitkan rasa bangga. Akan tetapi, rasa bangga yang terlalu berlebihan terhadap diri dan nenek moyang membangkitkan jiwa narsis yang secara alamiah telah ada dan melekat dalam diri manusia.

"Peradaban itu tenggelam?” timpal Riantono.

“Seharusnya seperti itu.”

“Di lautan Indonesia?”

“Ya, Atlantis adalah nusantara kuno yang terletak di luar Pilar Herculles. Lautan ribuan tahun tidak boleh dilayari. Batas antara dunai lama dan dunia baru.” (Ito, 2005: 173)

Kembali melihat masa lampau yang jauh dari hingar-bingar perdaban masa kini merupakan salah satu ciri romantisisme. Ciri seperti itu biasanya diusung oleh pengarang yang mengangkat tema sejarah di dalam karyanya. Kecenderungan itu juga mengarah pada eksotisme yang berorientasi kepada asing dan yang jauh serta digambarkan sebagai dunia yang mempesona secara Eksotik. Hal itu juga diterapkan oleh Ito di dalam karyanya, yaitu penggambaran secara detail peradaban Atlantis, mulai dari gambaran alam dan tata kehidupan masyarakatnya. Hal itu memperlihatkan bahwa romantisisme yang bercirikan pemujaan terhadap alam terlihat jelas di dalam cerita itu. Gunung-gunung yang melingkupi dataran itu dipuja karena keindahan, ukuran, dan jumlah mereka. Di luar itu, terdapat pedesaan dengan penduduk yang sejahtera. Sungai, danau, dan padang rumput menyediakan makanan yang cukup untuk hewan ternak dan hewan liar. Kayu-kayu beragam jenisnya melimpah ruah bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan. (Ito, 2005: 184)

Selain itu, puji-pujian juga ditujukan pada sistem kehidupan masyarakat masa itu. Kekaguman pengarang terhadap kehidupan masyarakat Atlantis diekspresikannya melalui penggambaran tata cara hidup masyarakat Atlantis yang telah diatur dengan seperangkat aturan hukum yang mengikat setiap penduduknya. Pengarang sangat terkesan dengan transformasi hukum dan masyarakat Atlantis yang dianggap sebagai masyarakat ideal.

Puji-pujian yang ditujukan kepada masyarakat Atlantis merupakan bentuk kekecewaan pengarang terhadap kondisi masyarakat saat ini. Ia mencoba membandingkan masyarakat Atlantis yang teratur dengan masyarakat kita saat ini, yang mayoritasnya sangat mendewakan harta dan kedudukan. Hukum hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak kuat. Sementara itu, segelintir orang dapat dengan leluasa melepaskan diri dari jerat hukum.

Selama sekian generasi, segala sifat kedewaan bertahan pada mereka. Mereka patut pada hukum-hukum dengan penuh perasaan cinta pada dewa yang telah menciptakan mereka, untuk setiap kebenaran yang mereka miliki dan jalan untuk ruh agung. Bersatu dengan segenap kebajikan dalam hidup. Mereka mengenyampingkan semua hal kecuali kebaikan. Menerima sedikit untuk kehidupan mereka dan tidak terlau memikirkan kepemilikan terhadap emas dan barang-barang lainnya yang mereka lihat kelak akan terkubur. Mereka juga tidak dimabukkan oleh kemewahan, Kekayaan juga tidak mencabut kontrol mereka atas diri sendiri. Tetapi mereka adalah orang-orang yang bijak dan melihat dengan jelas bahwa kenikamatan dari benda-benda itu bisa didapatkan dalam kebaikan dan persahabatan. Walaupun mereka tiada, tetapi persahabatan selalu ada di antara mereka. (Ito, 2005: 189)

Kutipan tersebut memperlihatkan keteraturan hidup yang dijalani oleh masyarakat Atlantis. Mereka sangat mengagungkan kebaikan di atas segalanya. Harta dan kemewahan bukanlah orientasi hidup mereka karena semua itu akan dibawa ke dalam kubur mereka. Hal itu Sangat berbeda dengan kondisi hari ini. Semua orang seolah-olah hanya hidup untuk mencari harta dan kemewahan. Kabaikan terkadang telah tertutupi oleh keinginan untuk mengusai. Hubungan atarmereka pun tidak lagi didasari atas kebaikan dan keterikatan satu dengan yang lainnya. Persahabatan yang terjalin terkadang hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan diri sendiri. Perbedaan inilah yang diangkat oleh pengarang di dalam ceritanya. Kekecewaannya terhadap kondisi tersebut telah membangkitkan romantismenya terhadap kejayaan masa lalu.

Kekaguman dan kebanggaan pengarang terhadap tokoh yang menurutnya telah memberikan jasa yang sangat besar tehadap bangsa ini dituangkannya dalam cerita. Ia dengan sengaja menonjolkan kekagumannya terhadap Bung Hatta di dalam karyanya. Puji-pujian terhadap semangat dan jasa Bung Hatta diekspresikannya melalui Cita-cita keompok KePaRad yang ingin mendirikan negara kelima. Menurut mereka, negara dengan cita-cita seperti yang dideklarasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta telah mati. Mundurnya Bung Hatta dari pemerintahan menandai kematian negara seperti yang dicita-citakan oleh Bung Hatta, yaitu negara yang merupakan integrasi ide dan gagasan. Negara yang ada saat ini hanyalah kumpulan dari orang sakarat yang tidak mempunyai cita-cita mulia seperti apa yang didengung-dengungkan oleh Bung Hatta.

“Kau harus ingat, Para Pembuka selalu menanamkan kepada kita Para Pengawal tentang satu hal, Indonesia sejati telah mati sebelas tahun setelah proklamasi. Yang ada setelah itu hanyalah Indonesia yang dipaksakan. Bangsa dan tanah air tidak lagi satu. Tentara memegang kendali sebab pemahaman negara sebagai sebuah integrasi wilayah harus dibarengi dengan represifitas tentara terhadap rakyat. Pemahaman mereka bukan bukan integrasi ide dan gagasan," lanjut Ilham Tegas. (Ito, 2005: 197)

Hal itulah yang mendorong pengarang untuk mengangkat tokoh, yang menurutnya, telah berperan besar dalam pembentukan negara Indonesia dulunya. Hal itu juga merupakan ekspresi kekaguman dan simpati pengarang terhadap tokoh pujaannya. Kekagumannya terhadap Bung Hatta dan ajarannya diekspresikan melalui kelompok KePaRad. Apa yang dicita-citakan oleh kelopmpok KePaRad adalah apa yang diajarkan oleh Bung Hatta dulunya.

Semangat para pengikut kelompok KePaRad didasari oleh romantisisme terhadap kejayaan nusantara dulunya. Mereka ingin membangkitkan kembali kejayaan tersebut melalui sebuah revolusi yang akan menghancurkan Indonesia dan menggantinya dengan Negara Kelima. Kebencian dan kekecewaan terhadap negeri ini juga menjadi pemicu munculnya romantisisisme terhadap kejayaan nusantara dulunya.

“Keruntuhan moral dan semangat negara ini yang telah membentuk kami. Ketidakadilan negara ini yang telah membentuk kami. Ketidakadilan negara ini telah membimbing kami menuju kebencian. Kemelaratan rakyatnya telah membimbing kami untuk menuai janji ribuan tahun.” (Ito, 2005: 290)

Selain wacana romantisisme yang diusung oleh pengarang, ia juga tidak dapat melepaskan diri dari kenarsisannya. Romantismenya terhadap masa lalu dibarengi juga dengan unsur narsis yang bisa saja melekat pada diri pengarang ketika ia menonjolkan seseorang atau suatu peristiwa di dalam ceritanya. Wacana narsisisme itu dapat dilihat di dalam diri kelompok KePaRad. Mereka menganggap diri merekalah yang sanggup menyelamatkan bangsa. Hanya mereka yang mengerti sejarah nusantara dan apa yang terbaik untuk nusantara ini.

"Sekarang ini kita hidup dalam keterasingan. Orang-orang tua yang rapuh dan menyerah kemudian mati. Anak-anak muda gamang tidak punya identitas seperti janin yang kehilangan plasenta dalam kandungan. Hanya kita, Para Penjemput, yang mengerti sejarah Nusantara. Hanya kita, sebagaimana kata-kata Para Pembuka, yang akan mampu mengakhiri derita Republik cacat dan rapuh ini." (Ito, 2005: 197)

Unsur-unsur romantisisme, seperti kesadaran bahwa seseorang atau sekelompok orang sedang menjalankan suatu peran sejarah dan luapan perasaan yang bergelora serta kesiapan berkorban yang tidak mengenal batas adalah jawaban dari lahirnya kelompok KePaRad dalam novel ini. Kelompok tersebut bercita-cita membentuk Negara Kelima dan sekaligus ingin mengembalikan kejayaan peradaban Atlantis yang telah tenggelam ribuan tahun yang lalu. Mereka akan melakukan apa saja dan akan mengorbankan apa pun untuk mencapai cita-cita tersebut.

Wacana narsisisme juga terlihat dalam diri tokoh Profesor Duani Abdullah. Ia menganggap dirinya mengetahui segalanya mengenai Atlantis. Ia, bahkan mempunyai teori tentang benua yang hilang tersebut. Ia mampu mengalahkan Plato, yang tidak mampu menyingkap rahasia Atlantis dan keberadaannya dalam Timaues and Critins.

"Tetapi Timaues and Critias sebenarnya belum memberikan bukti yang kuat mengenai keberadaan Atlantis di Nusantara Kuno. Aku punya teori yang lebih meyakinkan." (Ito, 2005: 207)

Romantisisme juga bercirikan pemujaan terhadap masa lalu. Di dalamnya juga terkandung romantisme terhadap peran dan jasa suatu daerah dalam kehidupan suatu bangsa. Di dalam novel ini banyak sekali daerah, yang menurut pengarang, telah dilupakan oleh sejarah yang sengaja dimunculkan dan ditonjolkan. Salah satunya adalah daerah Kamang di Sumatra Barat, yang menurut pengarang, memegang peranan penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Hal itu dilakukan oleh pengarang karena rasa tidak puasnya terhadap pemerintah, yang seringkali menonjolkan suatu daerah yang sama sekali tidak penting dan malah dengan sengaja melupakan daerah yang secara nyata telah berkorban demi perjuangan bangsa.

"Sejarah tidak adil, bukan?' lanjut Profesor Duani Abdullan. "Sebagian daerah diagung-agungkan, sebagian besar malah dilupakan. Semua untuk kepentingan politik dan penguasa. Aku bisa membayangkan Kamangmu itu tidak lebih dari daerah yang diisi oleh manusia kerdil yang dilupakan dari sejarah pemberontakan.” (ito, 2005: 239)

Banyak hal yang ingin diungkapkan oleh pengarang di dalam novelnya. Salah satunya adalah Tambo Adat Alam Minangkabau. Romantisisme juga terlihat pada bagian ini. Pengarang dengan sengaja mencoba menonjolkan sejarah orang Minang yang tertuang di dalam Tambo. Menurut pengarang di dalam novelnya, tambo dianggap sebagai kunci kembalinya orang-orang Atlantis lewat keturunan Iskandar yang Agung. Dalam tambo tersebut dinyatakan bahwa asal-usul nenek moyang orang Minang adalah keturunan langsung dari Iskandar yang Agung.

“Menurut Tambo yang diceritakan turun temurun oleh tukang kaba, nenek moyang orang Minangkabau berasal dari Hindustan. Menurut cerita turun temurun itu, salah satu dari tiga anak Iskandar yang Agung dengan puteri Hindustan berlayar bersama dengan rombongannya menuju daerah Tenggara, sebuah tempat belum bernama. Hingga perahu mereka berlabuh di pesisir daerah yang kita kenal sebagai wilayah Minangkabau. Dari rombongan anak bungsu Iskandar yang Agung yang bernama Sri Maharajo Dirajo inilah kemudian orang Minang diturunkan. Sri Maharajo Dirajo menjadi raja pertama,” ujar Profesor Duani Abdullah. (Ito, 2005: 239 — 240)

Kisah di dalam tambo, menurut penulis, memiliki kesamaan dengan apa yang ditulis Plato di dalam kitab Timaues and Critias. Aturan mengenai kehidupan bermasyarakat yang tertuang dalam tambo adalah bentuk masyarakat ideal idaman Plato. Pada bagian inilah terlihat keinginan pengarang untuk kembali menonjolkan orang Minang. Rasa kesukuannya yang sangat tinggi mendorong Pengarang untuk mengangkat setiap bagian yang Melibatkan orang Minang.

Kenarsisan yang muncul dalam diri pengarang memberi andil yang besar dalam konteks ini. Ia sangat bangga dengan dirinya yang orang Minang. Ia bercermin dan melihat bayangan dirinya sebagai bagian dari orang Minang yang hebat, yang dicitrakan oleh orang lain terhadap dirinya. Di sinilah wacana narsisisme itu terlihat. Orang narsis tidak melihat bayangan dirinya di dalam Cermin, tetapi melihat citra diri yang dipantulkan orang lain melalui cermin tersebut sehingga ia merasa dirinya dan Masyarakat yang menjadi bagian dari dirinyalah yang paling hebat dan menonjol di antara begitu banyak individu dan kelompok masyarakat lainnya.

Pengarang mencoba berpaling ke masa lampau melalui Novel sejarahnya. Uraian mengenai isi Tambo Minangkabau, yang menurut pengarang, mempunyai kesamaan dengan cara hidup zaman peradaban Atlantis Menyiratkan gaya romantik lain yang diangkat oleh pengarang. Aturan yang tertuang di dalam tambo semakin mengukuhkan bahwa serat ilmu, benda keramat peninggalan Atlantis, harus kembali ke Minangkabau. Hal itu semakin terbukti dengan ditemukannya serat ilmu di daerah Bidar Alam, Dharmasraya.

Tata cara kehidupan, hukum, dan bentuk masyarakat yang tertuang dalam tambo merupakan bentukan masyarakat ideal menurut Plato, yang tertuang dalam kitab Timaeus and Critias. Hal itu, menurut penulis, merupakan bentuk puji-pujian terhadap tambo yang berisi ajaran mengenai tata cara kehidupan yang cukup sempurna.

Selain gaya romantik yang hadir ketika menggambarkan tambo, wacana narsisisme juga terlihat di sini. Apa yang diuraikan dalam tambo dan adanya anggapan kesempurnaan mengenai tata cara hidup yang tertuang di dalamnya menggambarkan kebanggaan yang terlalu berlebihan dalam diri orang Minang, yang dalam hal ini diwakili oleh pengarang terhadap tambo, yang menurutnya, merupakan sumber ilmu dan sejarah yang patut diperhitungkan. Hal itulah yang mungkin mendorong pengarang untuk memposisikan tambo dengan toelfare state idaman Plato,

Wacana narsisisme dan romantisisme di dalam novel ini, menurut penulis, muncul silih berganti, Di satu bagian, romantisismelah yang paling menonjol, tetapi di bagian yang lain wacana narsisisme lebih memperlihatkan bentuknya.

Ketika Profesor Duani Abdullah menyuarakan keinginannya untuk bermenantukan orang Minang, saat itulah sisi romantis terlihat dalam novel ini. Hal itu Merupakan romantisisme pengarang terhadap orang Minang, mungkin saja karena ia adalah orang Minang asli. Melalui tokoh Profesor Duani Abdullah, ia menyampaikan misinya untuk menonjolkan orang Minang. Tokoh Duani Abdullah bukanlah orang Minang, tetapi ia beristrikan perempuan Minang. Ia juga menginginkan anak laki-lakinya menikahi gadis Minang karena menurutnya gadis Minang adalah perempuan terbaik untuk dijadikan istri. Berdasarkan pengalamannya beristrikan perempuan Minang, ia juga berharap anak-anaknya juga akan memperoleh kehidupan yang baik jika beristrikan perempuan Minang. Karena itulah, ia menginginkan anak-anaknya mempunyai pasangan hidup dari etnik ibunya, yang dianggapnya sebagai etnik yang telah melahirkan seorang perempuan terbaik untuknya. Selain memperlihatkan gaya romantik, peristiwa tersebut juga mengandung wacana narsisisme di dalamnya. Kebanggaan yang terlalu berlebihan terhadap diri sebagai orang Minang mempengaruhi pengarang sehingga ia menampilkan isu bahwa perempuan Minang adalah perempuan terbaik untuk dijadikan sebagai pasangan hidup. Wacana narsisisme juga telihat ketika pengarang memutuskan untuk memilih tokoh utama dalam novel ini, yaitu berasal dari etnik Minang. Gambaran tokoh Timur Mangkuto, sebagai seorang polisi yang hebat, jujur, dan mempunyai wawasan yang luas mengenai berbagai hal, mengandung isu narsis di dalamnya. Penggambaran sosok Timur Mangkuto semakin memperkuat kebanggaan pengarang terhadap orang Minang, etnik yang telah melahirkan dirinya.

“Seorang anak desa yang bekerja keras di usia muda. Menggapai cita-cita dengan keringat. Pembangkang yang tidak pernah setia pada hierarki. Pemberani yang terkadang harus menanggung risiko menyendiri, tersingkir, sepi.” (Ito, 2005: 258)

Selain melalui penggambaran tokoh Timur Mangkuto, wacana narsisisme juga terlihat melalui penggambaran tokah Makwo Katik. Makwo Katik digambarkan sebagai sosok yang bijaksana dan selalu menjadi panutan bagi Timur Mangkuto. Sosok tersebut, menurut penulis, ditampilkan oleh pengarang sebagai wakil laki-laki Minang yang hebat dan dapat diandalkan dalam kehidupan. Ia telah hidup di empat zaman berbeda, yaitu Belanda, Revolusi fisik, PRRI, dan Indonesia hari ini. Ia telah menghirup udara dari empat zaman berbeda, yang semakin memperkaya pengalaman hidup, yang mengharuskannya untuk bijaksana menyikapi setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya.

Makwo Katik, laki-laki itu lebih tepat berumur lima puluhan tahun dibanding tiga perempatabad. Badannya tegak, sama sekali belum menunjukkan keringkihan usia tua. Sinar matanya tajam membelenggu tiap pandangan yang menatapnya. Ketika orang-orang seusianya sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa, ia justru gelisah ketik badan tidak digerakkan bahkan untuk satu hari. (Ito, 2005: 268)

Kebanggaan sekaligus puji-pujian terhadap etnik Minang juga terlihat ketika Uni Reno, anak Makwo Katik, memberi semangat kepada Timur Mangkuto yang tengah terjebak dalam sebuah konspirasi kejahatan, yang memaksanya melarikan diri dari jerat hukum untuk sebuah kejahatan yang tidak pernah ia lakukan. Uni Reno memberi semangat kepada Timur Mangkuto untuk tetap tabah dan terus memperjuangkan hidupnya yang terancam hancur. Ia menegaskan bahwa orang Minang adalah orang yang tidak pernah kalah apalagi untuk menghadapi persoalan seperti yang dialami oleh Timur Mangkuto.

“Kau tidak boleh kalah. Belum ada ceritanya orang Minang kalah karena ini...” ia mengetukkan telunjuknya pada kening. (Ito, 2005: 274)

Apa yang terungkap pada kutipan tersebut juga memperlihatkan isu narsis di dalamnya. Kebanggaan yang terlalu berlebihan terhadap diri orang Minang yang menganggap dirinya hebat, cerdik, dan panjang akal, yang menurut penulis, didasari oleh narsisnya pengarang. Ia ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa orang Minang adalah etnik yang cerdik dan panjang akal. Mereka tidak akan pernah menyerah dalam menghadapi persoalan apapun di dalam hidupnya.

Usaha untuk mengangkat derajat orang Minang, menurut penulis, mengandung isu romantisisme sekaligus narsisisme di dalamnya. Salah satunya adalah keyakinan bahwa Minangkabau adalah tempat mendaratnya Iskandar yang Agung. Transformasi hukum dan masyarakat Minangkabau dari hukum Tarik Balas menjadi hukum Alur dan Patut, sebagaimana yang tertuang dalam tambo sangat paralel dengan perubahan masyarakat Atlantis dari pemerintahan absolut menjadi pemerintahan dengan payung hukum Poseidon. Model masyarakatnya juga tidak jauh berbeda dari apa yang ada dalam kitab Timaues and Critias. Keyakinan bahwa tanduk kerbau yang dipakai saat ini oleh masyarakat Minangkabau adalah bentuk simbolik dari dua tanduk milik Iskandar yang Agung mengandung wacana narsisisme di dalamnya. Keyakinan yang terlalu berlebihan menyikapi wacana mengenai asal-usul orang Minangkabau, yaitu merupakan keturunan Iskandar yang Agung, membuat kita terlalu membanggakan diri sendiri dan asal-usul kita. Seperti kecurigaan Wisran Hadi, sastrawan Indonesia yang berasal dari etnik Minang, terhadap asal usul orang Minang. Menurut Wisran dalam sebuah karyanya, bisa saja kita, nenek moyang orang Minang, hanyalah keturunan dari para pengikut Iskandar yang agung. Bisa jadi juga, kita hanyalah keturunan budak Iskandar yang Agung. Tidak ada yang bisa dengan jelas dan pasti membuktikan bahwa orang Minang adalah keturunan langsung dari Iskandar yang Agung. Oleh karena itu, tambo pun kebenarannya masih diragukan karena hanya bersumber dari tradisi melisankan segala sesuatu mengenai sejarah orang Minang. Kebenarannya tidak mutlak karena tidak ada bukti tertulis yang mendukung kelisanan tersebut.

"Simbol tanduk kerbau yang dipakai hingga saat ini oleh masyarakat Minangkabau dalam bentuk pakaian adat, rumah, hingga jadi perkara adat tentu bentuk simbolik dari dua tanduk Iskandar yang Agung. Oleh karena itu, ia disebut Dzulkarnain pemilik dua tanduk. Juga, bentuk simbolik dari tanduk banteng-banteng yang berkeliaran di sekitar kuil Poseidon dan kemudian dikorbankan oleh sepuluh raja Atlantis ketika mereka menetapkan hukum." (Ito, 2005: 313-314)

Salah satu peristiwa yang ada dalam cerita, yang juga mengusung wacana narsisisme di dalamnya adalah ketika pengarang menyatakan bahwa Minangkabau adalah tempat pendaratan pertama orang-orang yang kembali untuk mencari sisa-sisa peradaban Atlantis. Kelompok itu jugalah yang membawa serat ilmu, benda keramat yang dapat membangkitkan kejayaan Atlantis. Hal itu kembali mengukuhkan keinginan pengarang untuk mengangkat kesukuannya yang sangat tinggi.

Teka-teki negara pertama versi KePaRad telah terpecahkan, yaitu peradaban Atlantis yang berpusat di daerah nusantara. Kemudian, timbul kecurigaan bahwa negara kedua versi KePaRad adalah Minangkabau. Hal itu semakin memperlihatkan keinginan pengarang untuk kembali menonjolkan keminangkabauannya. Kebanggaan yang terlalu berlebihan, yang dicurigai sebagai bentuk narsisisme, terlihat pada bagian ini. Pengarang tampaknya ingin mengukuhkan eksistensi etnik Minang dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Negara ketiga dalam teka-teki lima negara yang diusung oleh kelompok KePaRad dicurigai sebagai Kerajaan Majapahit. Kerajaan itu, menurut pengarang, merupakan lanjutan perjalanan orang Minang setelah membentuk Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Hal itu memperlihatkan bentuk romantisisme lain yang diangkat pengarang dalam karyanya. Kerajaan besar itu, menurut pengarang, lahir dari rahim seorang gadis Minang, yaitu Dara Petak, Majapahit terbentuk dari daerah Dharmasraya yang mengirimkan dua dara, yang didampingi oleh rombongan pengiring yang sangat banyak untuk membantu mewujudkan negara ketiga (Majapahit) di tanah Jawa.

Selain wacana romantisisme, peristiwa itu juga sarat dengan wacana narsisisme. Hal itu terlihat ketika Eva Duani menyatakan bahwa raja kedua Majapahit adalah orang Minangkabau. Raja itu adalah Kalagemet atau Jayanegara, anak hasil perkawinan Dara Petak dengan Kertarajasa. Kisah itu memang termuat dalam Tambo Minangkabau. Akan tetapi, siapa yang dapat menjamin kebenarannya karena tambo adalah sejarah yang dilisankan. Tidak ada penunggalan tertulis yang mendukung apa yang tertuang dalam tambo tersebut. Menurut penulis, pengarang hanya ingin membangga-banggakan etnik Minang dan kehebatan mereka hingga sebuah kerajaan besar seperti Majapahit pun terbentuk dari usaha yang dilakukan oleh orang Minang.

Jika dikupas lebih mendalam akan terlihat begitu banyak hal yang dapat menunjukkan adanya gaya romantik dalam novel ini. Salah satunya adalah fakta yang dipaparkan dalam cerita mengenai migrasinya intelektual Minang secara besar-besaran pada awal hingga pertengahan abad ke-20 ke Jawa hingga pemerintahan Yogya identik dengan pemerintahan Minang karena begitu banyaknya tokoh dari etnik Minang di dalamnya. Hal itu diangkat, menurut penulis, untuk mengingatkan bangsa agar tidak melupakan peran besar intelektual Minang dalam sejarah perjalanan bangsa. Negara ini lahir dari pemikiran para pemimpin bangsa yang kebanyakan berasal dari etnik Minang. Pengarang ingin menegaskan kembali peran besar para intelektual Minang. Indonesia hari ini harus mengingat peran besar itu dan tidak melupakannya dalam sejarah perjalanan bangsa.

Selain mengandung unsur romantis, keputusan pengarang untuk menonjolkan peran intelektual Minang dalam sejarah bangsa juga identik dengan isu narsis yang juga mendominasi pengarang dalam menampilkan setiap peristiwa di dalam ceritanya. Kebanggaan yang terlalu berlebihan pada diri orang Minang malah semakin memperparah kondisi insan Minang hari ini, khususnya kaum muda. Memang, dulunya, orang Minang terkenal karena banyak tokoh bangsa berasal dari etnik ini. Akan tetapi, saat ini kondisi serupa jarang sekali kita jumpai. Orang Minang larut dalam kebanggaan terhadap masa lalu tanpa bisa meneladani kehebatan tokoh itu dan menerapkan apa yang telah mereka lakukan untuk diwujudkan pada masa sekarang. Kehebatan itu saat ini hanya menjadi sebuah cerita tanpa makna yang berarti. Kaum muda saat ini lebih cenderung bercermin pada budaya barat, yang menurut mereka lebih modern dan mewakili hasrat dan keinginan jiwa muda mereka. Hal lain yang diangkat pengarang untuk mengingatkan Indonesia mengenai pentingnya peran etnik Minang adalah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang dalam sejarah sengaja dikaburkan dan dimarginalkan. Hal itu juga memperlihatkan romantisisme yang disentuh oleh pengarang. Momen penting dalam sejarah itu patut dipertimbangkan karena pada kenyataannya sangat berperan penting dalam pembentukan negara ini. PDRI telah menjadi corong bagi Indonesia untuk mengumumkan kepada dunia bahwa negera yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu masih ada. Negara Indonesia belum berakhir hanya karena ditangkapnya para pemimpin bangsa. Perjuangan masih berlanjut dan akan terus berlanjut meskipun dengan cara bergerilya dari satu hutan ke hutan yang lainnya.

Kelompok KePaRad dengan teki-teki lima negaranya ingin mengembalikan kejayaan nusantara seperti zaman Atlantis dulunya. Salah satu teka-teki, yaitu teka-teki negara keempat, dimaknai sebagai PDRI, yang berpusat di Sumatra Barat. Hal itu ditonjolkan oleh pengarang untuk mengukuhkan kehebatan dan peran Sumatra Barat dalam perjuangan bangsa, Romantisisme pengarang terhadap PDRI mendorongnya untuk mengangkat kisah PDRI di dalam ceritanya.

"Itulah Para Penjemput Negara Keempat. Mereka menyusuri tempat asal kedatangan pertama Ketika negara ini tengah sakarat, mereka menyusuri belantara hutan Minangkabau untuk tetap meyakinkan dunia luar bahwa Indonesia bentuk lain dari nusantara yang telah tenggelam masih berdiri." (Ito, 2005: 447)

Gaya romantik juga digunakan oleh pengarang untuk mengangkat suatu wilayah atau daerah tertentu, yang menurutnya, telah dilupakan oleh sejarah. Daerah-daerah tersebut sebenarnya memegang peranan penting dalam sejarah perjalanan bangsa. Minangkabau, sebagai contohnya. Daerah itu cukup penting peranannya dalam sejarah bangsa, terutama daerah Minangkabau tengah, yang dimulai dari masa Dapunta Hyang yang mendirikan Kerajaan Sriwijaya yang berasal daerah tersebut. Dua dara, yaitu Dara Jingga dan dara Petak, yang dikirim ke Majapahit, juga berasal dari daerah itu dan pada zaman PDRI, daerah Minangkabau tengah itu juga menjadi tempat utama yang memegang peranan penting. Peran besar daerah Minangkabau inilah yang ingin dibangkitkan oleh pengarang di dalam karyanya.

Romantisisme muncul dalam berbagai bentuk dan alasan. Kemunculan gaya romantik di dalam sebuah cerita bisa jadi disebabkan oleh rasa kecewa terhadap kondisi yang terjadi saat ini. Salah satu bentuk kekecewaan itu, yang diangkat oleh pengarang di dalam cerita, adalah kekecewaan terhadap pemerintah yang seringkali melupakan sejarah dan peran serta sebuah daerah dalam perjuangan bangsa. Salah satunya adalah PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia), yang lahir di Sumatra Barat. Peran PDRI yang cukup besar dan penting dalam masa perjuangan seolah-olah ingin dilupakan dan tertutupi oleh sejarah lain yang tidak cukup penting. Terkadang hal yang tidak terlalu penting itulah yang dielu-elukan dan dibesar-besarkan. Padahal, masih banyak peran daerah lain yang cukup penting dan pantas untuk disuarakan.

"Sejak pemimpin Republik yang ditawan di Bangka membuka runding dengan Belanda, peran PDRI terhapuskan. Pemimpin-pemimpin sipil yang tadi menolak gerilya bersama Jenderal Sudirman itu tiba-tiba kembali muncul sebagai pahlawan dalam perundingan. Mereka dipuja tetapi pertaruhan nyawa di belantara Sumatera untuk menegakkan negara terlupa. Mungkin karena peristiwa itu tidak terjadi di Jawa sehingga gampang dilupa." (Ito, 2005: 456)

Minangkabau bukanlah pusat Atlantis. Ia hanyalah titik kedatangan, sedangkan pusat Atlantis sebenarnya adalah sisi puncak Krakatau.

"Minangkabau bukan bekas pusat Atlantis. Ia hanyalah titik kedatangan karena itu disebut puncak-puncak kedua," Eva Duani mengulum senyum. "Puncak yang terlupakan seharusnya adalah puncak pertama. Dan puncak pertama adalah Atlantis yang tenggelam dengan sisa puncak Krakatau.” (Ito, 2005: 475)

Keyakinan yang disuarakan oleh pengarang bahwa gunung Krakatau adalah puncak tertinggi masa Atlantis menyiratkan bentuk romantisisme lain yang didasari pada mitologi kuno yang berkembang dalam masyarakat. Angan-angan dan khayalan tentang Atlantis direpresentasi melalui fakta yang diungkap dalam cerita mengenai Atlantis.

“Genta dan teman-teman KePaRadnya mungkin adalah bagian dari generasi kita yang gelisah melihat negeri tanpa garga diri ini. Setiap kali kita berkaca maka yang kita temukan bukan bayangan kita di dalam kaca, tetapi seolah-olah bayangan bangsa lain yang telah maju. Itu sebabnya anak-anak muda bisa bertingkah seperti Lidya dan teman-temannya sebab mereka tidak lagi menemukan bayangannya sendiri. Yang mereka temukan dalam kaca adalah bayangan dunia utara yang disampaikan oleh televisi yang khayali.”

“Arus itu harus kita kembalikan. Selatan harus menemukan bayangan sendiri di dalam kaca, mungkin itu yang ingin ditemukan oleh KePaRad.” (Ito, 2005: 514)

Kutipan tersebut memberi gambaran kepada kita bahwa romantisisme terhadap kejayaan masa lalu dapat membangkitkan semangat untuk memperbaiki kehidupan saat ini. Bercermin pada masa lalu dan mengambil intisari yang baik dari sejarah yang telah berlalu dapat menjadi pedoman bagi kita untuk lebih giat lagi memperbaiki diri dan kehidupan sehingga kita tidak lagi bercermin pada kehidupan orang lain karena belum tentu apa yang datang dari luar itu cocok dan sesuai dengan diri dan kehidupan kita sendiri. Bercermin untuk melihat bayangan sendiri lebih baik daripada bercermin untuk melihat bayangan orang lain. Akan tetapi, kita harus pandai-pandai saat bercermin untuk melihat bayangan sendiri karena jika terlalu larut, apalagi jika melihat bayangan kesempurnaan di cermin tersebut, kita akan menjadi orang yang narsis. Kita tidak akan pernah bisa lepas dari bayang-bayang kesempurnaan diri yang ada di cermin sehingga berakibat buruk terhadap kehidupan.

Romantisisme yang tergambar dalam cerita ini pada dasarnya bertujuan memberitakan kepada dunia bahwa kita bukanlah bangsa yang kerdil. Kita juga lahir dari rahim sebuah kejayaan di masa lampau, yang saat ini telah dilupakan oleh masyarakat dunia. Teriakan dari para pemuda yang tergabung dalam kelompok KePaRad adalah teriakan setiap insan muda Indonesia yang menginginkan bangsa ini kembali menjadi bangsa yang besar, seperti besarnya kejayaan nenek moyang kita dulunya.

“Seperti pernah diucapkan Profesor Sunanto Arifin mereka hanya ingin berteriak. Biar semua dunia tahu dan mengerti bahwa nusantara ini bukan sekadar serpihan bekas kolonial Belanda. Nusantara kita mungkin lebih tua dari negeri-negeri utara. Hegemoni utara yang membuat negeri-negeri selatan menjadi kerdil dan lupa akan sejarah perjuangannya sendiri (Iti, 2005: 517).

Keinginan untuk membuka pikiran setiap insan Indonesia bahwa kita adalah bangsa yang besar tergambar dalam cerita ini. Jika saja kita mau bercermin dan meneladani apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu, tentu kita dapat memperbaiki kehidupan ke arah yang lebih baik. Jika kehidupan telah sesuai dengan arah yang kita Inginkan dan kita menjadi manusia yang lebih baik, tentu Saja orang lain akan dengan sendirinya menghargai setiap Perjuangan yang kita lakukan. Mereka akan menghormati dan tidak Ja gi memandang sebelah mata bangsa ini.

Teka-teki lima negara yang diyakini oleh kelompok KePaRad dianggap juga mempunyai unsur romantisisme di dalamnya. Semua ita menggambarkan betapa kuatnya kecintaan dan kesetiaan kelompok tersebut terhadap negara Yang akan mereka bentuk dari rahim kehancuran Indonesia. Negara kelima, seperti yang tergambar dalam Novel adalah kebangkitan masa silam.

Ketika matahari hadir tanpa bayangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan. Para penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat Penentuan, ketika para penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun, tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun. Kemuliaan negara kelima yang Akan terbentuk nantinya ditanggapi kelompok KeParad Uengan rasa hormat yang setinggi-tingginya sepanjang Waktu, Janji negara kelima merupakan luapan perasaan yang, tercurah sepenuhnya pada negara dambaan para pemuda itu, Kecintaan dan pemuliaan yang setinggi- tingginya terhadap bakal negara negara kelima itulah yang memperlihatkan gaya romantik dalam cerita ini.

Penggunaan gaya romantik juga terlihat pada pemujaan pengarang terhadap sesuatu yang pernah ada di masa lalu. Dalam novel dijumpai sejumlah tokoh historis dan mitos yang mengesankan keagungan dan kejayaan. Tokoh-tokoh tersebut dipandang telah mengukir kejayaan pada masanya serta dianggap sebagai bagian dari sejarah perjuangan bangsa. Tokoh tersebut, antara lain Syafrudin Prawiranegara dan Jenderal Sudirman, yang sudah tidak diragukan lagi pengorbanannya terhadap bangsa ini. Syafrudin Prawiranegara adalah pembentuk PDRI pada tahun 1948,

Perjuangan tidak boleh dihentikan begitu saja dengan ditangkapnya presiden dan anggota pemerintahan Republik Indonesia lainnya. Menghentikan perjuangan berarti pengkhianatan terhadap cita-cita semula dan terhadap korban-korban yang telah jatuh mati dan cacat seumur hidup dalam perjuangan.

Itulah tekad Syafrudin Prawiranegara ketika membentuk PDRI, yanp, merupakan pemerintahan tanpa ibukota. Kalaupun ada, ibukotanya adalah hutan belantara yang berpindah-pindah. Dua tokoh besar itu sama-sama berjuang mempertahankan kedaulatan yang sedang berada di ujung tanduk. Mereka berjuang secara bergerilya dari satu hutan ke hutan lainnya. Syafrudin Prawiranegara Menegakkan merah putih di belantara Sumatra, sementara Jenderal Sudirman mengibarkan bendera merah putih di Perbukitan Jawa.

Gaya romantik juga ditemui ketika pengarang menampilkan beberapa kerajaan yang pernah dikabarkan berjaya di masa lalu, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Walaupun tidak digambarkan secara mendetail, pengarang telah memberikan sedikit pengetahuan kepada pembaca bahwa dulunya pernah berjaya kerajaan-kerajaan besar di wilayah nusantara.

Hadirnya Iskandar yang Agung atau Alexander the Great dalam novel ini juga menyiratkan romantisisme. Tokoh besar yang telah mengguncang dunia dan menaklukkan negara-negara besar di dunia itu disebut-sebut di hampir semua bagian cerita. Hal itu tentunya merupakan wujud kekaguman pengarang terhadap tokoh legendaris tersebut.

Begitu banyak hal yang dapat menunjukkan adanya semangat romantik dalam novel inijika dikupas detail demi detail. Satu hal penting yang diangkat oleh pengarang adalah unsur kebebasan. Lahirnya kelompok KeParad merupakan simbol atau metafora terhadap pergolakan dalam diri manusia Indonesia dalam menyikapi kondisi negara saat ini. Ketidakpuasan terhadap pemerintah dan kungkungan yang sering terjadi untuk membelenggu kebebasan berpikir dan bertindak adalah sedikit alasan lahirnya kelompok itu. Kebebasan itu adalah kuncinya.

Bahasa yang digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan setiap detail impian kelompok KePaRad juga identik dengan romantisisme. Bahasanya indah dan penuh makna, menyihir kita untuk terus mengikuti kata-kata yang tertuang baris demi baris dan mencoba untuk memaknai kata tersebut. Keindahan itu dapat kita lihat pada uraian beki-teki lima negara, seperti tergambar pada kutipan berikut.

Negara Pertama

Solon membawa berita.

Plato membuat cerita.

Sejarah mencari asalnya.

Satu satu kosong kosong kosong terlalu lama.

Negara Kedua

Negara Kedua adalah kedatangan kembali. Pada celah puncak-puncak kedua di mana tidak ada bayangan. Menyeruak keluar daratan. Menyeberang air besar dari hulu ke hilir, mendamba sebuah negara. Taklukan tersembuyi Jalu menarik diri hingga masa berganti dan orang-orang datang dan pergi. Negeri itu besar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh Penjemput Pertama.

Negara Ketiga.

Para Penjemput masa pertama tidak menyerah. Pada dataran setelah celah puncak-puncak kedua mereka bersimaharaja, tetapi angin teah menjemput mereka untuk Negara Ketiga. Ketika dua orang dara Para Penjemput menuai janji mereka, dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai bencana, satu mencari asalnya. Para Penjemput mengawal negara hingga mereka dilupa. Lalu datanglah bencana itu, dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari serat pemberi.

Negara Keempat.

Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang, para penjemput menyambung nyawa dari negara yang sakarat. Tempo ketika lama mencari asal kedatangan para penjemput pertama. Tempat yang dijanjikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang menyusuri masa silam dari para penjemput pertama. Puncak- puncak kedua menjadi pelindung. Hingga orang-orang menyeberangi berhala menghantam impian menyebar kerusakan dalam janji dan runding. Negara keempat hilang terpendam orang-orang yang tidak ingin kehilangan muka. Mereka terlupa tetapi sejarah akan mencari asalnya....sejarah akan mencari asalnya. Negara Kelima.

Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanpa bayangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan. Para penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat penentuan, ketika para penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun. (Ito, 2005: 93—95)

Keromantisan yang tertuang dalam kata-kata indah dan penuh makna juga tergambar dalam slogan kelompok KePaRad sebagai berikut,

Raganya Indonesia. Tetapi jiwanya tidak lagi nusantara

Satu kelompok berkuasa Sisanya pengaya saja.

Sebagian kecil kelompok kaya. Sisanya menanggung derita.

Bubarkan Indonesia. Bebaskan Nusantara. Bentuk Negara Kelima. (Ito, 2005: 17)

Romantisisme yang tertuang dalam penggunaan bahasa dan pilihan kata yang indah juga terlihat dalam janji atau mantra yang diucapkan untuk membangkitkan kekuatan yang dulu pernah ada di masa kejayaan Atlantis, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut.

Pilihannya sudah nyata untuk semua Penjemput.

Masa abad telah berganti.

Masa waktu telah terdiami.

Tempat-tempat mulai tenggelam.

Badai dan gelombang telah menerjang.

Angkasa mulai terkuak.

Cahaya matahari semakin menerkam.

Angin pun bergerak pelan menghantam.


Ooo Para Penjemput dari puncak yang terlupakan.

Saatnya telah tiba.

Janjinya hanya empat negara.

Sekarang Negara Kelima dari puncak yang terlupa.

Negara Kelima puncak dari segala puncak peradaban.

Membawa dunia pada orang-orangnya.


Ooo Para Penjemput dari kota yang hilang.

Pesisir yang diserang.

Pedalaman yang menghinakan.

Pemimpin dari segala keserakahan.

Kita telah kembali menuai janji ribuan tahun. (Ito, 2005: 501) Pilihan kata dan rangkaian kata yang kemudian terjalin mengandung keindahan yang sangat dalam. Kata-kata mendayu pembangkit semangat terlihat jelas dalam setiap kata pada setiap kalimat yang dihadirkan oleh pengarang. Pengarang secara sengaja atau tidak telah menghadirkan gaya romantik yang terlihat dari bahasa yang digunakan.

Kehadiran mitologi dan fakta sejarah secara bersamaan dalam novel ini semakin memperkuat gaya romantik yag dipakai oleh pengarang. Mitologi seringkali juga digunakan untuk menjadi kendaraan bagi gagasan yang ingin diungkapkan. Sebagai warisan masa silam, mitologi pada umumnya dijadikan sumber orientasi dan inspirasi penciptaan seni. Begitu juga halnya dengan pemanfaatan peristiwa dan fakta sejarah. Baik sejarah maupun mitologi bukanlah kenyataan empirik. Keduanya sama-sama mengutamakan gagasan. Di dalam sejarah dan mitologi itulah pengarang dapat bermain dengan sesuka hatinya. Dalam konteks itulah, romantisisme menjadikan kedua hal itu sebagai ciri utamanya.