Lontjeng Merenggut Arwah/10

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Lontjeng Merenggut Arwah
oleh Shie Lan Lan
10
54036Lontjeng Merenggut Arwah — 10Shie Lan Lan

10


PENG BIN KOAY HIAP mengangguk sambil tertawa dingin.

„Djangan takut aku mendjelek-djelekkan ajahmu, kau tidak perlu takut aku akan memudji diriku ini adalah manusia jang paling tidak pernah melakukan kesalahan! Kau boleh pertimbangkan nanti setelah mendengarkan tjeritaku!” Kata Peng Bin Koay-hiap dengan mendongkol. „Selain diriku, masih banjak djago-djago lainnja jang selalu mentjari-tjari ajahmu itu agar bisa membalaskan sakit hati mereka — — —.” Ho Ho tidak mengatakan apa-apa, dia hanja mengawasi Peng Bin Koay-hiap sadja seperti djuga sedang menantikan dengan tidak sabar dimulainja tjeritera dari manusia bermuka djelek ini.

Pada saat itu. Peng Bin Koay-hiap dengan memperlihatkan wadjah jang murka bukan main, mengandung kemarahan jang sangat, telah menundjuk kearah mukanja jang rusak.

„Kau lihat, mukaku rusak dan djelek sekali. bukan?” bentaknja dengan suara jang bengis. „Dan kau djuga telah melihat tubuhku jang bongkok ini. bukan? Nah, semua ini adalah basil pekerdjaan ajahmu — —! Mukaku rusak disebabkan dia; tubuhku bertjatjad mendjadi bongkok disebabkan dia djuga!”

„Tadi kau mengatakan ingin mentjariterakan segalanja dengan djelas perihal kau bentrok dengan ajahku! Lalu sekarang malah kau mengotjeh tidak keruan membitjarakan segala mukamu jang djelek dan tubuhmu jang bongkok?” tegur Ho Ho dengan sengit, hatinja mendongkol karena si djago tua bermuka djelek Peng Bin Koay-hiap ini tidak segera memulai tjeriteranja.

Peng Bin Koay hiap tertawa dingin, sikapnja angkuh sekali.

„Dua puluh tahun jang lalu. sebetulnja tubuhku gagah dan mukaku sangat tjakap sekali, biarpum usiaku telah mentjapai tiga puluh delapan tahun! Tetapi disebab kan bangsat she Siangkoan itu, membuat hidupku selandjutnja menderita sekali! Itulah kedjadian dipegunungan Thian-san!” dan setelah berkata begitu, Peng Bin Koay-hiap menghela napas lagi, sepasang alisnja telah berkerut, tampaknja dia sedang berpikir keras untuk mengingat-ingat pengalaman jang telah dialaminja!

Ho Ho djuga mengawasi sadja manusia muka djelek ini dengan tatapan mata jang tadjam sekali. Dia djadi sebal Peng Bin Koay-hiap begitu lambat mentjeritakan segalanja.

„Sebetulnja pada malam Tjap go, disaat itu djago-djago dari berbagai rimba persilatan tengah berkumpul dipegunungan Thian-san. Aku bersama dengan isteriku jang bernama — — jang bernama ——.” tampaknja Peng Bin Koay-hiap ragu-ragu untul menjebut nama isterinja, namun setelah mengawasi Ho Ho dengan bengis dan menghela hela napas satu kali, dia melandjutkan djuga perkataannja: „Isteriku bernama Pek Lian Siang, dia seorang djago wanita jang bebat sekali kepandaiannja! Kami sebetulnja terkenal sebagai pasangan pendekar jang ditakuti oleh orang-orang Bulim — — — — — namun, pada hari itulah kami menemui hari naas kami! Dengan tidak terduga, segalanja djadi katjau balau dengan muntjulnja manusia bangsat she Siangkoan itu, jang membuat kami djadi kutjar-katjir berantakan, keluargaku djadi hantjur — —!” „Kau tjeriterakan jang djelas, satu persatu, aku ingin mendengarnja dengan djelas. Djanganlah kau bertjeritera sambil ditambahi oleh otjehanmu!” kata Ho Ho dengan sengit.

Pen Bin Koay hiap telah tertawa dingin lagi.

„Baik! Sekarang aku akan mulai mentjeriterakannja benar-benar, kau dengarkanlah baik-baik — —” sahut Peng Bin Koay hiap. „Waktu itu, semua djago- djago berkumpul dipegunungan Thian-san untuk mengadakan pie-bu, (adu kepandaian ilmu silat, bertanding untuk menentukan kepandaian siapa jang lebih tinggi), dan dengan sendirinja. jang datang kepegunungan Thian-san, semuanja terdiri dari djago-djago silat jang ternama. Mereka datang ketempat itu guna turut serta memperebutkan gelar djago nomor wahid didalam rimba persilatan! Hari itu. pada hari pertamanja telah turun kegelangang dua djago tua jang telah bertanding. Mereka hanjalah sebagai pembuka atjara sadja, bukan benar-benar bertanding. sebab belum lagi ada salah seorang diantara mereka jang terkalahkan, mereka telah berhenti bertanding dan mempersilahkan djago-djago lain nja untuk naik keatas luitbay melandjutkan pertandingan - —!”

Dan Peng Bin Koay hiap mentjeriterakan segala kedjadian pada saat itu dengan djelas, dia mentjeritakan kadang-kadang dengan disertai oleh hawa emosi dan kemarahan dihatinja jang meluap -- jang atjap kali menjebabkan manusia djelek bertubuh bongkok ini djadi sering sekali memandang Ho Ho dengan tatapan mata jang bengis sekali— — —.

Mari kita ikuti tjerita Peng Bin Koay- hiap itu— — —.

Malam itu memang malam Tjap go (lima belas, hitungan tionghoa), maka rembulan bersinar dengan terang sekali. Diatas pegunungan Thian-san saat itu memang sedang berkumpul ratusan djago-djago rimba persilatan dari berbagai golongan dan aliran. Mereka datang kepegunungan Thian-san itu dengan mengandung bermatjam-matjam maksud. Ada jang hanja sekedar ingin menjaksikan keramaian sadja, ada djuga jang berambisi besar ingin ikut serta memperebutkan gelar djago nomor wahid, dan ada djuga jang hanja datang untuk tjoba-tjoba turut bertanding.

Diantara djago-djago jang berkumpul dipegunungan Thian-san itu terdapat djuga djago djago dari Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kun Lun Pay, See Gak Pay, Tjin Kong Pay, Go Bie Pay dan djuga dari berbagai pintu perguruan lainnja.

Pada hari itu pertandingan Pie-bu ini telah dibuka oleh dua orang djago tua dari Siauw Lim Sie, dan kemudian dilandjutkan oleh dua orang anak muda, masing-masing dari pintu perguruan Kun Lun Pay dan See Gak Pay

Keduanja bertanding tjukup hebat dan seru, mereka berdua djuga bertempur dengan bersemangat sekali. Hanja sadja sajangnja kepandaian mereka belum begitu sempurna, menjebabkan pertempuran mereka itu tampaknja tidak begitu menarik para djago-djago lainnja jang banjak berkumpul ditempat pertemuan tersebut.

Mendjelang tudjuh puluh djurus lebih murid dari See Gak Pay telah dapat dirubuhkan oleh murid Kun Lun Pay

Menjusul telah melompat naik keatas luithay seorang kakek setengah umur, mungkin djuga usianja baru empat puluh lima tahun, sikap dan lagaknja masih gagah, tubuhnja djuga tegap sekali. Dia mengaku berasal dari pintu perguruan Tjin Kong Pay — — —

Murid Kun Lun Pay sudah mulai melajani lawann ja jang baru ini. Ternjata kepandaian mereka berimbang, sehingga mereka bisa bertempur dengan seru. Kali ini murid Kun Lun Pay berhasil pula merubuhkan lawannja. Begitulah, telah menjusul naik djago lainnja, kali ini murid Kun Lun Pay dapat dikalahkan oleh djago jang baru sadja naik keatas luithay, dia berasal dari pintu perguruan Go Bie Pay.

Begitulah, berturut-turut telah naik dan turun silih berganti beberapa orang djago. Mereka kadang-kadang bisa merubuhkan lawan mereka, dan kadang-kadang djuga baru bertempur belum berapa lama. mereka telah berhasil dirubuhkan oleh lawan mereka. Itulah sebabnja, mengapa achirnja dengan tjepat sekali telah puluhan orang jang turun dan naik panggung luithay tersebut.

Diantara djago-djago jang berkumpul dipegunungan Thian san tersebut, hadir djuga Peng Bin Koay hiap, jang kala itu mu kanja belum lagi bertjatjad. Dia datang ke pegunungan Thian-san tersebut bersama-sama dengan isterinja, jang bernama Pek Lian Siang. Isteri Peng Bin Koay-hiap sebetulnja seorang pendekar wanita jang mempunjai kepandaian jang sangat tinggi sekali, djuga selalu tangan Pek Lian Siang agak telengas, terhadap lawannja dia belum pernah berlaku belas kasihan, dia selalu turun tangan keras, membunuh setiap lawannja tanpa mengenal perikemanusiaan lagi, karena setiap kali lawannja dapat dirubuhkan olehnja pasti dia akan membunuh lawannja itu dengan tjara memotong-motong tubuh lawannja mendjadi belasan potong! Itulah sebabnja disaat itu, djarang sekali ada djago-djago jang berani mentjari setori dan urusan dengan djago wanita bertangan telengas serta bengis ini.

Peng Bin Koay-hiap tidak mau terburu-buru ikut bertanding, dia ingin menunggu sampai ada banjak sekali djago-djago jang rubuh, jang akan membuat dia djadi tidak usah terlalu banjak menghadapi lawan-lawannja nanti. Dia menantikan gilirannja dengan sabar. Namun isteri Peng Bin Koay-hiap. Pek Lian Siang. dasar seorang wanita, apa lagi memang dia agak besar kepala dan sombong, membuat dia djadi tidak sabar, selalu ingin melompat naik keatas panggung guna ikut bertanding. Untung sadja Peng Bin Koay hiap selalu dapat menahan dan mentjegahnja.

„Kalau kau ikut bertanding sekarang, masih banjak djago-djago lainn ja jang harus kau hadapi nantinja setelah kau dapat merubuhkan lawanmu! Maka dari itu, menurut pandanganku, biarlah mereka saling tjakar dan bertempur dulu. Kita menunggu jang sisanja sadja guna merebut kemenangan! Disaat djumlah djago-djago jang turut ambil bagian didalam Pie-bu ini kita pasti dengan mudah akan dapat meru merubuhkan lawan-lawan kita jang sudah letih itu, dan berarti djuga kesempatan untuk merebut kedudukan djago nomor wahid djadi lebih mudah. delapan puluh persen telah berada digenggaman telapak tangan kita — — —!”

Pek Lian Siang bisa dikasih mengerti, isteri Peng Bin Koay hiap mau djuga membatalkan maksudnja, dia mau bersabar guna menantikan djumlah djago djago jang turut ambil bagian didalam piebu tersebut, djadi kian sedikit sadja.

Achirnja, setelah hampir seratus djago lebih jang turun naik diatas panggung lui-thay tersebut, karena menang lalu kalah lagi tampak seorang pemuda berusia di antara tiga puluh tahun, bertubuh semampai dan bermuka tjakap sekali dan berpakaian sebagai seorang Siutjhay, peladjar, telah melompat naik keatas luithay itu dengan gerakan gesit serta tubuh jang ringan sekali. Mukanja jang tjakap itu tenang sekali, memandang Tjhay Lay Sian- su, Hweeshio dari Siauw Lim Sie jang baru sadja merebut kemenangan.

Saat itu Tjhay Lay Siansu tengah berdiri dengan tjongkak dan sombong sekali, dia sedang bangga memperoleh kemenangan itu. Waktu melihat Siutjhay (peladjar) itu naik keatas luithay,, dia telah tertawa dingin mengedjek.

„Hak-seng (kata-kata meredah) ingin meminta pengadjaran dari Siansu — — —!” kata peladjar itu sambil mendjura memberi hormat. „Hak-seng Siangkoan Djie mengharapkan sekali agar Siansu djangan menurunkan tangan keras — —.”

Hweeshio itu. Tjhay Lay Siansu, telah mendengus lagi.

„Didalam Piebu (adu kepandaian) ini tidak bisa orang berlaku belas kasihan, kalau memang kau djeri, silahkan kau turun sadja!” kata Tjhay Lay Siansu dengan sombong. „Didalam Piebu ini tentu salah seorang harus ada jang kalah dan terluka, walaupun lawan harus mati, itu bukan mendjadi persoalan, karena tidak ada hukumnja! Piebu ini resmi dan sudah mendjadi peraturan, barang siapa jang terbunuh didalam Piebu ini, tidak ada ganggu gugat dibelakang hari — —!" Tjongkak sekali Thay Lay Siansu waktu dia mengutjap. kan perkataan itu, dia menganggap peladjar jang mengaku bernama Siangkoan Djie itu djeri terhadap dirinja.

Siangkoan Djie tersenjum tenang, dia djuga telah menganggukkan kepalanja.

..Hak-seng mengerti — — !" katanja dengan sabar. „Dan Djuga Hak-seng memang sudah memikirkan akibat kalau memang Hak-seng mengambil bagian didalam Piebu ini — — tetapi tidak apalah — — mungkin djuga Hak-seng sudah ditakdirkan untuk binasa ditangan Siansu— —” Dan setelah berkata begitu, Siangkoan Djie tertawa gelak-gelak.

Mendengar perkataan Siangkoan Djie jang seperti djuga menjindir dirinja, dengan sendirinja Thay Lay Siansu jang sedang dilumuri oleh rasa bangga pada hatinja, djadi gusar sekali.

„Mari madju — —!” tantang Thay Lay Siansu dengan suara jang njaring sekali, galak dan bengis, mengandung hawa pembunuhan. „Aku tentu tidak akan mengetje. wakan kau, karena Pin-tjeng (aku) tidak ingin nanti dikatakan setelah memperoleh kemenangan tidak mau melajani lagi botjah- botjah seperti kalian — — —.” Siangkoan Djie tetap bersikap tenang. sekali, dia diuga sabar luar biasa. Ber beda dengan Siangkoan Djie, maka djago. djago lainnja jang hadir dibawah luithay itu djadi gusar dan mendongkol benar melihat ket jongkakan Thay Lay Siansu. Hampir sadja ada beberapa orang jang ingin melompat naik keatas Iuithay gupa menantang Thay Lay Siansu. Tjuma sa dja disebabkan memang pada piebu itu telah terdapat peraturann ja, jang melarang djago djago lain mengganggu djalann ja per- tempuran kalau diatas luithay itu telah ada dua orang djago jang sedang ingin menga- du kepandaian, Djuga memang semua djago djago itu telah mengetahui adanja peraturan jang melarang diatas luithay itu lebih dari dua orang djago --- maka dari itu, dengan sendirinja mereka djadi membatalkan maksud hati mereka, hanja sadja mereka djadi duduk dengan hati jang mendongkol dan memandang kearah Thay

Lay Siansu dengan sorot mata jang tidak senang.

Siangkoan Djie telah merangkapkan kedua tangannja memberi hormat kepada Hweeshio itu lagi.

,,Silahkan Siansu memulai serangan- mu!" kata Siangkoan Djie.

„Djadi kau meminta aku membuka se rangan terlebih dulu?”

„Silahkan!"

,,Djangan menjesal dan djangan mem persalahkan diriku kalau seumpmanja nanti kau kena ku'rubuhkan!" kata Thay Lay Siansu dengan suara jang ajaring „Aku bukannja tidak ingin memberikan kesem. patan kepadamu untuk memperoleh kem:- nangan, namun menurut pendapatku, dengan dimulainja penjerangan olehku, berarti kau akan memperoleh kekalahan, kesempatan untuk dapat menang sangat tipis sekali bagi dirimu.”

Siangkoan Djie tetap membawakan sikap jang tenang, dia tidak marah mendengar kata-kata dari Thay Lay Siansu jang begitu tjongkak dan meremehkan sekali di- rinja Malah Siangkoan Djie telah ter- senjum.

„Biarlah Siansu --- kalau memang nasibku begitu buruk harus rubuh ditangan orang seperti kau ini, itupun bukan men djadi persoalan, aku pasti tidak akan me njesalinja! Silahkan Siansu memulai se rangan!” dan setelah berkata begitu dengan sabar, Siangkoan Djie telah membawa sikap seperti sedang mempersilahkan lawannja membuka serangan, kedua tangannja telah dimiringkan melintang dimuka dadanja, se, perti sedang menantikan tibanja serangan lawan.

Thay Lay Siansu hanja mendengus sa dja tanpa mengatakan sesuatu apapun, dia tidak banjak bitjara lagi, dengan tjepat kedua tangannja telah terangkat, dia menge- luarkan suara teriakan jang mengguntur, seperti djuga sedang mengerahkan tenaga Iweekangnja. Siangkoan Djie haaja mengawasi dengan tenang, sedikitpun tidak terlihat perasaan djeri pada diri peladjar tersebut.

Thay Lay Siansu telah madju satu langkah kedepan. lalu dengan mengeluarkan suara teriakan satu kali, tangan kirinja telah melajang menghantam dada Siangkoan Djie, tepat pada bagian ulu hatinja.

Namun Siangkoan Djie mengetahui bahwa serangan pembukaan dari Hweeshio tersebut adalah serangan tipu belaka, sedikitpun dia tidak bergeming, hanja mengawasi kepalan tangan pendeta ini jang meluntjur dengan tjepat kearah dadanja.

Semua djago-djago jang berkumpul dibawah Luithay djadi tegang dengan sendi- rinja, karena mereka melibat bahwa Siang koan Djie tidak berusaha mengelakkan se rangan pendeta itu, djago-djago dibawah luithay itu takut-takut kalau-kalau sampai dada Siangkoan Djie kena tergedor oleh kepalan tangan pendeta itu, tentu akan ter- binasa disitu djuga dengan dada jang remuk- Mereka semuanja menahan napas dalam ketegangan jang sangat.

Tetapi Siangkoan Djie bukannja ma nusia jang lemah, dia djuga bukannja se orang tolol jang mau begitu sadja mene rima serangan aari pendeta tersebut dengan memasang dadanja tanpa perhitungan sa ma sekali. Hanja sadja, karena dia me mang mengetahui bahwa serangan pembu kaan dari Hweeshio itu adalah serangan pantjingan belaka, maka dia tidak berusaha mengelakkannja.

Benar sadja, dengan sendirinja. ketika kepalan tangannja han ia terpisah empat dim dari dada Siangkoan Djie, Hweeshio itu telah menarik pulang tangan kirinja. membarengi jang mana tangan kanannja tahu- tahu menjambar kearah pundak Siangkoan Djie dengan ketjepatan jang luar biasa se. kali.

Kali ini Siangkoan Djie tidak tinggal diam, dengan mengeluarkan suara dengusan, tahu tabu tangan kanannja bergerak tjepat sekali, dia telah mengulurkan tangannja itu untuk mentjekal tangan kanan Thay Lay Siansu, dan dia berhasil dengan usahanja itu.

Thay Lay Siansu djadi terk edjut luar biasa waktu merasakan pergelangan tangan nja itu kena ditjekal oleh tangan Siangkoan Djie, dan djari djari tangan si peladjar dirasakann ja keras dan kuat benar, sep erti djuga djari-djari tangan besi sadja. Dan belum lagi rasa kagetnja itu lenjap, belum lagi Thay Lay Siansu mengetahui apa jang telah terdjadi, tahu-tahu Siangkoan Djie telah menggentakkan tangannja dan tubuh Thay Lay Siansu seperti djuga sepotong kapas, telah terpental mela jang djatuh di bawah luithay (panggung), malah dia ter banting dengan batok kepala menubruk tiang luithay, membuat dikepalanja itu kontan 'bertelur'. Semua orang mendjadi tertjengang, tetapi setelah tersadar apa jang terdjadi, djago- djago jang berkumpul ditempat itu djadi bersorak ramai sekali. Mereka kagum se kali kepada Siangkoan Djie, jang hanja di. dalam satu gebrakan sadja telah bisa me. rubuhkan Thay Lay Siansu, dan ini bisa membuktikan betapa tingginja kepandaian pemuda itu!

Thay Lay Siansu sendiri disamping kaget. dia merasakan kesakitan, kepalanja pusing. Namun dengan kemarahan jang sangat, pendeta ini telah melompat bangun dengan tubuh jang sempojongan, Matanja merah dan mukanja djuga merah kehidjau hidjauan saking gusarnja.

„Botjah busuk --- kau menggunakan ilmu siluman apa merubuhkan diriku?” ben- tak pendeta ini dengan gusar. „Kau tjurang! Hajo kita bertempur lagi --- !” penasa- ran sekali Hweeshio ini, dia ingin melom- pat naik keatas panggung lagi.

Namun djago-djago dibawah panggung telah meneriaki Thay Lay Siansu. Kekalah- an jang diderita oleh Thay Lay Siansu telah mutlak dan tidak bisa pulang lagi. Hal ini membuat Thay Lay Siansu djadi rubuh de- ngan nati jang tidak puas. Dia masih ber- diri dibawah panggung dengan penuh ke- marahan.

Siangkoan Djie berdiri diatas luitbay itu dengan sikap jang tenang dan sabar.

„Kalau memang Siansu masih penasaran, silahkan kau naik lagi!” kata Siangkoan Djie waktu melihat pendeta itu rubuh dengan hati jang tidak puas,

Thay Lay Siansu tidak mau membuang. buang kesempatan jang diberikan oleh Siang- koan Djie, biarpun djago.djago lainnja telah menjoraki dan mentjatji dirinja, toch pendera ini telah melompat naik lagi keatas panggung.

Peng Bin Koay-hiap dan isterinja Pek Lian Siang mengawasi dengan mata tak ber. kedip. Mereka berdua beran sekali meli. hat pemuda peladjar begitu kosen, kepan- daiannja tinggi sekali, hanja dalam satu ge- brakan telah dapat merubuhkan pendeta itu dengan mudah! Dengan sendirinja dihati mereka munt jul perasaan kagum pada diri Siangkoan Djie.

―○ ○ O ○ ○―