Pada uraian terdahulu, dijelaskan bahwa seni topeng dipakai sebagai persembahan guna menghormati nenek moyang, disamping tujuan lain guna tercapainya cita-cita seperti meminta hujan pada musim kemarau.
Upacara ritual seperti yang diuraikan di aatas umumnya ditarikan dengan iringan gendang dan sarunai juga dinyanyikan lewat syair dan lagu sebagai berikut
Tembut-tembut Pak Ndokar
Mbiar aku matana
Matana si pinggan-pinggan
Dibata udan ko wari.
terjemahan:
Topeng-topeng Pa' Ndo kar
Takut aku melihat matanya
Yang melotot seperti pinggan
O Tuhan turunkanlah hujan.
Dengan demikian topeng-topeng yang telah diuraikan, memiliki sifat perwatakan menurut peran yang dibawakan oleh jenis topeng itu, sehingga lakon (cerita) itu tergambar melalui ekspresi wajah topeng-topeng yang ditampilkan seperti wajah yang manis, yang gagah, sedih, dan menyeramkan.
Bagian lain jika diartikan bait terakhir nyanyian dalam meminta hujan, jelas bahwa topeng adalah salah satu bagian dari kepercayaan sesuai dengan fungsinya semula yang bersifat relegius, atau media untuk melaksanakan ritus pemujaan terhadap nenek moyang disamping sarana untuk upacara kematian.
Pertunjukkan topeng sebagai teater tradisional karya Karim Ginting, justru tema yang diketengahkan banyak hubungannya dalam mencapai kesempurnaan hidup, sampai sekarang masih tetap dipertahankan sebagai salah satu hasil kesenian tradisional Karo.
Akhirnya teater topeng itu menjadi pertunjukkan rakyat yang sa ngat populer, mulai dari desa sampai kekota-kota.
137