Bom (2001)

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Bom  (2001) 
oleh Goenawan Mohamad

Majalah Tempo Edisi - 14 Januari 2001

Kita tahu sebabnya: ada orang yang percaya bahwa pembunuhan, bahkan pembantaian anak-anak, bisa halal. Ada orang yang percaya bahwa mereka yang tewas itu adalah korban yang diperlukan untuk memperoleh sebuah efek.

Barang siapa yang kecewa kepada ketidaksempurnaan akan kecewa kepada demokrasi. Sejumlah bom meledak hampir serentak di beberapa gereja di Indonesia, dan sekitar 20 orang dibunuh di malam Natal 2000. Kita tahu sebabnya: ada orang yang percaya bahwa pembunuhan, bahkan pembantaian anak-anak, bisa halal.

Ada orang yang percaya bahwa mereka yang tewas itu adalah korban yang diperlukan untuk memperoleh sebuah efek. Ada yang bahkan percaya bahwa mereka memang bersalah: mereka (yang mengikuti misa Natal atau cuma berdiri di dekat gereja), sengaja atau tidak, telah mengabaikan satu hal yang pokok, yakni mutlaknya permusuhan. Mungkin itu permusuhan terhadap orang Kristen. Mungkin permusuhan terhadap Indonesia sebagai sebuah ide persaudaraan. Mungkin permusuhan terhadap kebutuhan untuk saling menjaga dan mengajak hidup.

Sebuah permusuhan mutlak: sebuah keadaan yang tak memungkinkan momen apa pun untuk berunding. Sebuah perang habis-habisan, karena yang dibinasakan adalah orang yang tak sedang dalam keadaan berperang, bahkan juga seorang anak yang sedang bergembira. Sebuah permusuhan yang mutlak, sebab segala hal diletakkan di bawah pandangan sengit yang menjangkau ke seluruh penjuru, dan membentuk sebuah panorama yang total.

Gairah untuk membentuk sebuah panorama yang total itu adalah gairah untuk kesempurnaan. Yang diabaikan ialah kenyataan bahwa kesempurnaan itu mustahil. Dunia selalu menampik untuk sempurna, sebab sebuah negeri atau sebuah komunitas bukanlah sebuah karya seni arsitektur. Tiap kali akan selalu ada yang ganjil, yang tak pas, dan gawal. Sebab tiap kali akan ada seseorang yang mengeluh, menanyakan, atau menulis. Dunia selalu terbuka, atau terusik, karena akan selalu datang teks yang lain dan juga berjuta-juta tulisan. Tiap tulisan adalah sebuah coretan atas selembar kertas polos—sebuah interupsi terhadap kesatuwarnaan. Tiap tulisan adalah sebuah kehadiran yang tak selamanya bisa diduga sebelumnya pada sebuah dataran yang rata. Tiap tulisan bisa menghadirkan makna yang tak bisa sepenuhnya diringkus dalam sebuah desain. Singkatnya, (saya kutip dari sebuah buku) tiap tulisan adalah perlawanan terhadap arsitektur. Tiap tulisan adalah ribuan subversi terhadap panorama yang mengklaim diri sempurna.

Demokrasi lahir dengan memenggal paradigma kesempurnaan itu. Ia memang lahir dengan memenggal kepala yang dipertuan. Claude Lefort menampilkan demokrasi dengan melihat Revolusi Prancis: sebuah tata kerajaan yang absolut ditumbangkan dengan memotong leher sang raja. Apa yang sebelumnya berlaku di hari itu pun berakhir. Dulu sang raja adalah dua tubuh: ia sebuah penjelmaan kekuasaan sekuler dan kekuasaan Tuhan sekaligus, ia fana tapi juga abadi. Ia adalah pucuk dan batu penyangga tata sosial. Maka ketika Revolusi Prancis memotong lehernya, yang dibangun sebagai sebuah arsitektur itu pun runtuh. Sejak itu ada yang gerowong dalam tubuh politik.

Tata yang kemudian disusun adalah tata dengan kekuasaan sebagai “sebuah tempat kosong” (un lieu vide). Ia tak diisi lagi oleh siapa pun yang bisa diakui sebagai kekuasaan yang menjelma ke dunia. Sebab itu dalam demokrasi, sumber kekuasaan, tempat kosong itu, didapat melalui persaingan, dan terbatas masanya. Tapi “tempat yang kosong” itu juga membawa kekosongan yang lain: demokrasi adalah sebuah sistem yang didasarkan atas tak adanya sebuah dasar. Setelah yang abadi terpotong dari tubuh politik, dasar yang ada hanya bisa dianggap bersifat sementara, dan selamanya bisa digugat. Dengan kata lain: ia sebenarnya bukan dasar, sebab dasar itu absen. Maka barang siapa yang cemas untuk hidup tanpa sebuah dasar akan cemas pula terhadap demokrasi.

Rasa cemas itu terkadang menyebabkan orang mencari sesuatu yang bisa jadi fondasi yang kukuh kekal. Di Jakarta, Juli 1945, sebuah panitia persiapan mendirikan Republik Indonesia tak merasa cukup hanya menyusun sebuah konstitusi. Salah satu anggotanya, Radjiman Widiodiningrat, yang terpengaruh filsafat Kant dan Hegel, meminta agar konstitusi itu punya sebuah dasar. Usulnya disetujui. “Pancasila” pun dirumuskan.

Dari catatan sejarah kita tahu bahwa ia sebenarnya satu rumusan yang terdiri atas tak lebih dari lima kalimat, sebuah ide yang ditawarkan Bung Karno kepada sebuah rapat terbatas, sebuah gagasan yang disetujui oleh tak sampai 50 orang anggota “panitia persiapan kemerdekaan”. Dan semuanya berlangsung di sebuah Juli yang penuh dengan ketidakpastian. Dengan kata lain, “dasar” itu sebenarnya tentatif, terpaut erat pada sebuah insiden sejarah. Tapi rasa cemas kalau harus hidup tanpa dasar akhirnya membuat rumusan itu jadi “sakti”.

Tapi apa yang sakti? Tak ada. Bahkan tak ada yang sakti dari sebuah tafsir, biarpun oleh para aulia, tentang wahyu Tuhan. Demokrasi lahir justru karena kepala, yang dianggap inkarnasi dari Yang Abadi, ternyata bisa dipenggal, dan tak bisa digantikan. Siapa yang merasa bisa menggantikannya, dan jadi wakil dari Yang Kekal, akan cenderung merasa sah untuk memenggal kepala orang lain. Atau meledakkan bom ke tubuh anak kita.