Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

4

BIOGRAFI DAN KARYA HARRIS EFFENDI THAHAR

Biografi

Salah satu sastrawan Sumatra Barat yang mengharumkan nama daerah di tingkat nasional adalah Harris Effendi Thahar. Selain itu, karya-karya Harris Effendi Thahar merupakan karya sastra yang fenomenal dalam perkembangan sastra, di antaranya adalah cerpen “Si Padang” dan Cerpen “Pemilihan Umum”. Sebagai pengarang yang produktif dan karyanya telah banyak dibukukan, Harris Effendi Thahar layak memiliki biografi dalam rangka kajian terhadap karya sastra yang telah diciptakannya. Selain itu, Harris Effendi Thahar merupakan pengarang/sastrawan yang dapat digolongkan sebagai salah seorang sastrawan Indonesia Angkatan 2000. Kehadiran biografinya diharapkan dapat Menjadi bukti eksistensi kepenulisan yang mumpuni dalam perjalanan kesusastraan di tanah air. Penulisan ini dapat pula dipandang sebagai apresiasi terhadap kepengarangan Harris Effendi Thahar.

Harris Effendi Thahar dilahirkan di Tembilahan, Riau pada tanggal 4 Januari 1959. Masa itu merupakan awal kemerdekaan Indonesia dalam arti yang sesungguhnya. Pada waktu ia dilahirkan, orang tua Harris bekerja sebagai pedagang antarpulau, dahulu disebut sebagai “pedagang Smumokil” yang berdagang dari Singapura hingga ke Riau. Ketika itu tidak ada pembatasan wilayah, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Serta aturan-aturan yang menyertainya. Setelah kemerdekaan masing-masing negara diproklamasikan, pembatasan wilayah itu mulai diberlakukan secara ketat. Orang tidak lagi bebas berlalu lalang antarpulau, seperti pada masa lalu yang dialami oleh pedagang-pedagang Bugis, Minangkabau, dan Banjar yang hidup di pulau-pulau pantai timur Sumatra. Akibatnya, banyak di antara para pedagang itu yang bangkrut. Dalam situasi seperti itu, akhirnya orang tua Harris memutuskan pulang ke kampung halaman. Mereka sekeluarga pulang ke Kampung Koto Panjang di Kecamatan Koto Tangah. Sekarang daerah itu termasuk wilayah Kotamadya Padang, tetapi dulu merupakan bagian dari Kabupaten Padang Pariaman.

Pada tahun 1956, ketika berumur enam tahun, Harris kecil masuk sekolah. Harris bersekolah di SD Negeri Ikua Koto yang merupakan satu-satunya SD yang terdapat di kanagarian tersebut. Jumlah murid dalam satu kelas pun sangat sedikit, hanya 25 orang. Pada tahun 1958 ketika Harris kelas 11 SD, perang PRRI pun terjadi. Perang tersebut antara Pemerintahan Republik Revolusioner Indonesia (PRRI) di bawah kepemimpinan Syafruddin Prawiranegara melawan pemerintahan RI yang dipimpin Soekarno. Perang yang terjadi akibat terpusatnya pembangunan hanya di Pulau Jawa itu menjadikan daerah Padang dan sekitarnya menjadi basis pertempuran. Harris yang merupakan anak kedelapan dari 11 bersaudara dari pasangan Thahar Umar dan Nurijah Rasyad ini bersama orang tua serta saudara-saudaranya mengungsi ke daerah perbukitan yang dianggap aman, yaitu ke daerah Tanjung Aur, Koto Tangah, Padang.

Pada waktu itu, setiap laki-laki di daerah tersebut yang dianggap masih produktif atau yang tidak bekerja tetap, seperti petani ataupun yang lainnya termasuk orang tua Harris, terancam dicurigai oleh pihak TNI dari pemerintah pusat. Keadaan itu menyebabkan ayah Harris berangkat ke Jakarta secara diam-diam dan susah payah. Ja meninggalkan Harris sekeluarga di kampung dalam suasana perang. Di Jakarta, ayah Harris bertemu kembali dengan teman-teman semasa sekolah di Tawalib Padangpanjang. Beliau adalah siswa Tawalib yang melanjutkan pendidikan ke Narmalic Islamic School di Padang, seangkatan dan pernah satu kelas dengan Hamka. Ketika bertemu dengan teman-temannya itu, mereka menanyakan ke mana saja Thahar Umar selama ini. Setelah berbicara panjang lebar, teman itu kemudian menawarkannya untuk menjadi pegawai negeri sipil di departemen agama. Tawaran tersebut diterima oleh ayah Harris dan waktu itu ijazah bisa diturunkan umurnya dengan surai keterangan dan segala macam persyaratan lainnya. Akhirnya. selama dua tahun menghilang, orang tua Harris resmi menjadi pegawai negeri sipil pada umur 40 tahun lebih dan langsung ditugaskan di Kabupaten Solok. Pada tahun 1960, Harris sekeluarga pindah dari

62

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Padang ke Kota Solok. Saat itu, Harris sudah duduk di kelas IV SD, sedangkan perang belum berhenti. Pada tahun 1961 barulah perang berhenti dan masa kanak-kanak yang indah dilalui Harris di Kota Solok, sebuah kota kecil yang damai.


Masa-masa di Solok benar-benar dilakoni Harris sebagai anak laki-laki remaja Minangkabau pada umumnya. Tidak ada kamar di rumah untuk anak laki-laki. Rumah bagi anak laki-laki hanya untuk ganti pakaian dan makan, selebihnya dilakukan di luar. Tidur di surau bersama teman-teman sebaya, mandi di sungai lebar yang membelah kampung dengan batu-batu dan airnya yang jernih, bahkan pekerjaan rumah diselesaikan di surau sehabis salat isa. Di sungai di atas batu-batu besar adalah tempat yang terfavorit bagi anak laki-laki di kampung untuk berkumpul, terutama menjelang mandi sore. Harris hampir selali hadir sebagai tukang kaba, tukang cerita.


Cerita yang paling diminati teman-teman Harris adalah cerita berbau seks bercampur humor. Ada-ada saja ide Harris untuk membelokkan cerita-cerita rakyat yang sudah menjadi milik masyarakat, seperti cerita Si Malanca yang mirip dengan tokoh cerita rakyat Jawa Barat Si Kabayan. Di mana ada gerombolan pemuda tanggung di kampung itu, di sanalah ada Harris. Di tengah-tengah mereka, bahkan orang dewasa pun suka menguping ceritanya. Oleh sebab itu, nama panggilan Harris di kampung bermacam-macam, sesuau dengan tokoh cerita yang berkesan oleh audiensnya. Ada tiga panggilan nama Harris yang populer di kampung, yaitu Si Malanca, 'Ngku Haji, Inyak (kakek). Ketiga nama itu adalah nama tokoh cerita lisan Harris yang selalu berganti episode, alias cerita berseri. Ide cerita timbul begitu saja ketika ia sudah memulai. Harris merasa tersanjung apabila teman-teman terkekeh-kekeh kegirangan karena lucu atau bersorak apabila terpancing cerita sensual.


Semasa kecil, Harris telah mengenal berbagai macam bacaan yang dikoleksi ayahnya. Ayahnya seorang pembaca, tiada hari tanpa membaca, begitulah yang ia saksikan setiap hari di waktu ia kecil. Dahulu ayahnya seorang mubalig. Setiap Jumat ia memberi khutbah Jumat dan pada hari-hari tertentu ia memberi wirid agama di masjid-masjid di sekitar kota, bahkan di se-Kabupaten Solok. Kebiasaan ayahnya mengekspresikan kemampuan berbicara di depan umum itu dibarengi olrh kebiasaannya membaca. Malah, dalam keadaan sulit pun ayahnya selalu berlangganan koran, baik koran yang diterbitkan di Padang ataupun mejalah Gema Islam yang terbit di Jakarta.

63

Sewaktu Harris belum sekolah, ayahnya sering membacakan buku cerita kepadanya, kadang-kadang ia membaca koran keras-keras di dekatnya, tetapi Harris hanya tersenyum karena ia tahu bahwa ayahnya sedang bercanda. Bacaan ayahnya bermacam-macam. Sebelum berangkat ke Solok, ayahnya berlangganan Eksperanto, buku kursus bahasa jarak jauh. Dahulu bahasa eksperanto itu merupakan bahasa internasional yang dirancang untuk menjadi sebuah bahasa yang normal dan netral. Namun, bahasa ini kurang berkembang karena peminat atau

penuturnya tidak ada.

Suatu waktu, ketika Harris tersentak bangun pada malam hari, ia melihat ayahnya sedang membaca kitab berbahasa Arab. Bacaannya tidak saja berbahasa Arab tetapi juga berbahasa Belanda. Tidak itu saja, ayahnya banyak memiliki koleksi novel karya Hamka, terjemahan karya Karl May, dan laim-lain. Waktu SD sampai dengan SMP satu-satunya hiburan di Kota Solok adalah taman bacaan komik dan cerita bacaan yang lain. Jadi, hiburan yang paling menarik itu adalah membaca, membaca komik dan membaca cerita-cerita picisan. Harris memiliki seorang teman bernama Aditiawarman. Ia tergolong anak orang kaya ketika itu karena orang tuanya memiliki toko. Ia sering mentraktir Harris meminjamkan atau membayarkan komik.

Selain itu, ayahnya tidaklah pemarah meskipun anaknya banyak. Di antara sebelas bersaudara, hanya Harris yang mengikuti jejak ayahnya yang rajin membaca. Uang jajan sekolah selalu ia sisihkan untuk menyewa kornik, buku cerita silat, dan buku-buku cerita lain. Ketika itu, film di bioskop hanya diputar dua kali seminggu atau satu kali seminggu saja sehingga kegiatan menonton tidak masuk ke dalam agenda hobi Harris.

Kehidupan waktu itu sangat susah, menjadi pegawi negeri di zaman PRRJ harus berhemat. Mengingat ekonomi keluarga yang sulit, ayahnya tetap berusaha mencarikan bacaan yang baik untuk Harris. Sampai-sampai ayahnya membawa pulang beberapa buku cerita anak karangan Aman IM. Majoindo, M. Kasim, dan lainnya yang ia pinjam dari kepala kantornya

Setelah tamat SD pada akhir tahun 1962, Harris melanjutkan ke SMP 1 Solok pada awal tahun 1963, Sewaktu duduk di SMP, hampir tiap Catur wulan, Harris berbasil menjadi juara kelas. Nilai paling tinggi yang ia dapatkan adalah pada mata pelajaran menggambar dan mengkarang. sehingga gora bahasa Indonesia sekaligus wali kelasnya, Bapak Bustanul Arifin, sering memujinya. Ketika di SMP 1 Solok itu, Harris mulai kenal dengan yang namanya cerpen karena di sekolah tersebut setiap hari Sabtu diadakan lomba cerpen dan diumumkan pada upacara hari Senin. Hampir setiap minggu, Harris maju ke depan sebagai pemenang pertama. Inilah yang membuatnya terus bersemangat dan senang menulis cerpen.

Suatu hari, ketika guru yang seharusnya mengajar tidak masuk, Harris membuat kesalahan bersama dengan teman-temannya. Ia bermain bola di dalam kelas dengan menggunakan tempurung kelapa bekas kerajinan tangan. Tempurung kelapa itu melayang dan mengenai kaca jendela dan akibatnya suasana menjadi gaduh dan hiruk pikuk. Bapak Bustanul Arifin yang sedang mengajar di kelas sebelah segera muncul dan Harris langsung tertangkap basah. Dengan ikhlas, Harris menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Tiga biang kerok, termasuk Harris, disuruh berdiri bagai patung di depan kelas, di samping papan tulis selama dua jam pelajaran. Ternyata hukuman untuk mereka bertiga belum cukup. Mereka masih diharuskan datang ke rumah guru itu untuk mengambil buku. Masing-masingnya harus memilih tiga buku, membaca, lalu menceritakan kembali isi buku tersebut secara ringkas. Hukuman itu bagi teman-temannya terasa berat, tetapi bagi Harris seperti sebuah hadiah. Harris memilih tiga judul buku cerita, masing-masing Selamat Jalan Anak Kufur kumpulan cerpen Utuy Tatang Sontani, Di Luar Dugaan kumpulan cerpen Soewardi Idris, dan Titian Dosa di Atasnya novel karya Motinggo Busye. Membacakan kembali cerita di depan kelas bukan merupakan hal yang sulit bagi Harris karena kesukaannya membaca dan bercerita di hadapan orang banyak.

Setelah hukuman itu, Harris malah diminta untuk menjadi ketua perpustakaan sekolah atau ketua perpustakaan pelajar. Perpustakaan itu terletak di belakang sekolah, di sebuah bekas gudang, bersebelahan dengan kantin. Sumbangan pertama koleksi perpustakaan tersebut diperoleh dari sumbangan wajib siswa SMP 1 Solok, baik yang dibeli baru maupun buku usang. Dalam mengelola perpustakaan itu, Harris dibantu oleh seorang wakil, namanya Darmaliza, sekarang ia menjadi dosen di FTI Universitas Negeri Padang.

Perpustakaan yang dikelola Harris itu berkembang dan koleksi yang paling banyak adalah buku sastra. Di sanalah Harris memamah semua buku yang dianggap bagus, mulai dari karya Soewardi Idris sampai buku terbitan NV Nusantara, Bukittinggi. Ketika masih di kelas dua SMP itu, Harris membaca buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk. Buku itu diambil paksa oleh kakaknya yang bekerja sebagai guru agama karena ia menganggap bahwa Harris belum saatnya mernbaca buku orang dewasa. Saat itu, ayahnya hanya memperhatikan mereka bertengkar, kemudian dengan diam-diam ayahnya membaca buku itu. Ayahnya pun selanjutnya memperbolehkan Harris membaca buku karya Hamka tersebut.

Akhirnya, di rumah Harris selalu sembunyi-sembunyi membaca kalau buku yang dibacanya itu buku orang dewasa, misalnya Salah Asuhan. Sampai kelas tiga SMP, Harris sudah menamati buku-buku yang dianggap sastra standar waktu itu. Ketika kelas tiga SMP, Harris harus menyerahkan tugas kepada adik kelasnya di kelas dua sehingga Harris tidak bebas lagi membawa buku, harus meminjam. Sementara itu, Harris masih diperbolehkan oleh Pak Bustanul Arifin meminjam majalah sastra. Berkat jasa perpustakaan sekclah itu, Harris kenal dengan tulisan A.A Navis, Muchtar Lubis, Chairil Anwar, Armijn Pane, Amir Hamzah, Hamka, dan lain-lain. Sementara itu, melalui majalah sastra, Harris kenal HB Jassin, Alex Leo Zulkarnain, Ajip Rosidi, Idrus, dan lain- lainnya.

Selepas SMP pada akhir tahun 1963, Harris melanjutkan ke Sekolah Teknik Menengah Negeri Solok (sekarang SMK 2 Solok) jurusan bargunan air pada awal tahun 1964. Di sekolah itu ia hanya dua tahun karena sewaktu ia baru di kelas 3, orang tuanya pindah tugas ke Padang. Jadilah ia tamat sekolah di STM Negeri Padang.

Selama tiga tahun di STM, Harris tidak memiliki kesempatan untuk membaca karya sastra karena waktunya tersita oleh pelajaran yang setiap hari harus menyiapkan PR timu pasti, kalkulus, mekanika, menggambar, dan praktik bengkel. Pernah waktu itu, ada koran Respublika yang terbit sekitar tahun 1964-an, sebelum Gestapu, kemudian ada koran penerangan milik PKI, tetapi ayahnya tidak mau membeli koran tersebut. Jika ayahnya mau membeli koran Respublika, itu pun kalau koran tersebut memuat kutbah Jumat. Di koran Respublika juga ada ruang puisi. Harris sudah senang membaca puisi, lalu mencoba pula mengirimkan puisi ke koran tersebut melalui pos. Puisi ita dibuat ketika ia mula-mula jatuh cinta kepada tetangga yang sekolah di sekolah pendidikan guru (SPG). Ternyata, puisi tersebut dimuat sehingga teman-teman menjadi ribut dan bertanya siapa yang mengirim puisi itu. Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrowan Sumatra Barat Waktu pindah ke Padang di kelas tiga STM, Harris sering bertandang ke koran Haluan. Harris ingin tahu bagaimana koran itu dicetak. Ia paling senang melihat ilustrasi, ada gambar-gambarnya, dan adegan yang aneh-aneh. Di koran tersebut ada tukang gambar, namanya Ipin. Kalau ada cerpen yang masuk, dialah yang membuat ilustrasinya.

Setamat STM, pada tahun 1967, Harris bersiap-siap hendak bekerja. Kebetulan, ada kawan yang mengajaknya tes di Pekanbaru, di Dinas Pekerjaan Umum. Ia ingin mengikuti tes itu guna memenuhi cita-cita menjadi arsitek. Akan tetapi, sebelum itu ada teman-teman yang mengajak mereka jalan-jalan ke kampus IKIP Padang. Harris mempertanyakan untuk apa berkunjung ke IKIP. Menurutnya, IKIP itu kan mencetak guru, sedangkan mereka bukan guru. Harris membayangkan waktu itu IKIP adalah lanjutan dari SPG Tamatan SPG langsung menyambung ke IKIP. Ternyata, IKIP memiliki fakultas teknik, yaitu fakultas keguruan teknik dan memiliki jurusan arsitektur pula. Harris baru mengetahui setelah sampai di sana dan merasa cocok dengan cita-citanya ingin menjadi arsitek. Harris kemudian mendaftar ke Fakultas Keguruan Teknik (FKT) Jurusan Pendidikan Arsitektur IKIP Padang (sekarang Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang-FT UNP), satu fakultas yang menerima lulusan STM.

Kemudian, Harris menanyakan apakah lulusan ini nanti akan menjadi guru atau menjadi arsitek. Ia mendapat jawaban bahwa hal itu terserah minat dan bakat masing-masing orang, mau jadi guru boleh, jadi arsitek juga boleh. Tanpa berpikir lagi, Hanris masuk ke jurusan tersebut. Namun, banyak orang berbisik-bisik mengatakan jurusan itu lama tamatnya dan dosennya tidak ada karena program itu baru dimulai. Ternyata, tiga tahun setelah itu, jurusan tersebut memang dihapuskan karena tidak relevan dengan STM. Jurusan yang bersesuaian untuk menjadi guru hanyalah jurusan bangunan, bukan arsitek.

Oleh karena itu, Harris akhirnya bergabung dengan Institut Teknologi Sumatra Barat (ITSB), nama dan dosennya sama, serta mata kuliah kearsitekannya juga sama karena di sini masalah-masalah keguruan pun dipelajari. Masa kuliah yang memiliki banyak waktu luang dimanfaatkannya untuk bekerja sebagai wartawan di surat kabar iningguan Canang. Alhasil, kuliahnya kedodoran schingga untuk menamatkan sarjana muda saja dia membutuhkan waktu tujuh tahun.

Dalam kurun waktu selama itu (1967-1974), sekitar tahun 1973 1975, Harris pernah bekerja dengan perusahaan riset Jerman Barat yang berpusat di Bukittinggi. Ia bekerja sebagai juru gambar (arsitek) pada Sumatra Regional Planning Study Project (Proyek Studi Perencanaan Pembangunan Sumatra), sebuah perusahaan yang bermitra dengan pemerintah Jerman Barat.

Setelah habis proyek tersebut, pada tahun 1976 ia menikah dengan Dra. Meitra Aziz. Pernikahan itu membuahkan tiga putra-putri, yaitu M. Isa Gautama S.Pd., M.Si. (sekarang dosen Ilmu Komunikasi FIS UNP); Siti Ine Kemala (pegawai Adira Finance/alumnus Agribisnis Pertanian Universitas Andalas); dan Bayu Ning Larasati (mahasiswa tingkat akhir Sosiologi-Antropologi Universitas Padjajaran).

Setelah kuliah di FKT IKIP, Harris mulai tertarik menulis di koran-koran dan media lain. Harris tidak pernah membayangkan akan menjadi guru, tetapi sudah terlanjur masuk IKIP dan konsekuensinya harus menjadi guru. Sebenarnya, jalan yang terbuka adalah menjadi guru sebab ketika tamat sarjana muda ia harus praktik terlebih dahulu di STM, dan sebelumnya harus praktik lapangan di kontraktor-kontraktor. Ketika itu, Harris sudah menikah dan tidak bisa memilih-milih pekerjaan. Ia harus bekerja, malu kepada mertua jika tidak memiliki pekerjaan. Apa pun jabatan, ia terima. Kemudian, ada tawaran menjadi teknisi pegawai adminisiratif dengan ijazah sarjana muda, Harris pun menerimanya. Karier menulis tetap ia lakukan dan ia kembangkan terus sambil bekerja menjadi pegawai negeri.

Barulah pada tahun 1990 ketika umur Harris sudah 40 tahun, salah seorang dosen muda di FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni), sekarang bernama FBSS (Fakultas Bahasa Sastra dan Seni), menawarkan Harris untuk melakukan transfer ke fakultas tersebut. Menurut dosen muda itu, transfer ke jurusan mana pun jika memiliki ijazah sarjana muda dapat dilakukan. Orang yang dikader Mursal Esten untuk menjadi kritikus muda tersebut sangat getol mengajak Harris. Ia bernama Muhardi dan ketua FPBS ketika itu. Harris mulai mengenalnya pada pertemuan sastra di Pulau Penang, Malaysia. Muhardi mengatakan bahwa mumpung ia menjadi ketua jurusan, segeralah Harris pindah ke fakultas itu.

Mubardi mengatakan, “Kamu (Harris) tidak cocok menjadi teknisi, tetapi harus menjadi dosen. Kalau nanti sudah menamatkan S-1, akan menjadi dosen.” Kebetulan, Jurusan Bahasa Indonesia memerlukan dosen baru yang mengerti seluk-beluk jurnalistik karena akan dibuka mata kuliah paket jurnalistik. Program itu dibuka untuk memberikan alternatif bagi lulusan yang akan memilih menjadi guru atau menjadi wartawan. Nah, kebetulan dosen untuk program ini belum ada, lebih baik orang yang sudah berpengalaman, seperti Harris yang direkrut menjadi dosen, tetapi syaratnya harus menyelesaikan S-1 Bahasa Indonesia terlebih dahulu.

Masih terngiang oleh Harris peristiwa lebih dari 10 tahun lampau tersebut. Ketika itu IKIP Padang (kini Universitas Negeri Padang, UNP) berniat membuka paket mata kuliah jurnalistik. Ia ditawari mengasuh mata kuliah itu, tetapi dengan catatan harus membuat surat lamaran ke IKIP Padang. Belakangan, atas masukan Mursal Esten dalam kapasitasnya sebagai guru besar Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP Padang, persyaratan itu diralat. Kata Mursal. "Kalau dia tidak memasukan surat lamaran, kita saja yang melamar dia. Soalnya, sangat membutuhkan orang dengan kualifikasi seperti dia."

Ketika ucapan Mursal Esten itu sampai kepada Harris, ada rasa haru. Ucapan yang sangat membesarkan hatinya itulah yang membuat ia memutuskan menceburkan diri menggeluti profesi sebagai guru. Pada saat menjadi anggota staf hubungan masyarakat, dia banyak menghadiri undangan. Namun, kegiatan menulis tetap digelutinya. Rektor pun tertarik dan memintanya melanjutkan kuliah S-1 (1990-1993) di FPBS. Pada 1 Februari 1995, Harris diangkat menjadi dosen tetap di IKIP (UNP). Pada tahun itu juga, ketua Departemen Humanis Australia, Prof. Compbel Mcknight datang ke Padang dan menawarinya mengajar di Negeri Kangguru. Tanpa ragu, kesempatan itu diambilnya, menjadi dosen tamu mata kuliah Bahasa dan Sastra Indonesia pada Jurusan Humanities Universitas Tasmania, Australia.

Tidak ada kata terlambat dalam sebuah pengabdian, juga dalam menuntut ilmu. Setelah sempat menjadi dosen tamu pada Jurusan Humanities, Universitas Tasmania, Australia, Harris memutuskan melanjutkan pendidikan S-2 di UNP (1994-2000). Kemudian Harris melanjutkan S-3 di Universitas Negeri Jakarta dan lulus tahun 2006. Disertasi yang ditulis Harris untuk meraih gelar doktor bidang bahasa dan sastra di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu bertajuk "Kekerasan dalam Cerpen-Cerpen Koran Pilihan Kompas 1992-1999; Suatu Tinjauan Struktural Genetik." Disertasi tersebut dipertahankan dalam ujian terbuka di depan tim penguji yang berlangsung di Kampus UNI Rawamangun Jakarta. Harris di usianya yang ke-56 tahun, suami dari Dra. Mitra Aziz, dan ayah dari tiga anak ini meraih prestasi yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan: menjadi "Doktor Cerpen". Antologi Biografi dan Karya Limo Sastrawan Sumatra Barat

Menulis cerpen sudah menjadi semacam jalan hidup bagi Harris Effendi Thahar. Adapun statusnya sebagai dosen yang kini ia Jakoni adalah anugerah Sang Pemberi Kehidupan. Lewat proses kreatif, ditambah kesenangannya menulis esai di surat kabar lokal terbitan Padang, ia kemudian ditawari menjadi dosen di IKIP Padang. Lewat pergumulan dalam dunia tulis-menulis, terutama cerpen, akhirnya itu mengantarkan dirinya meraih gelar doktor dengan disertasi juga tentang cerpen. Pada tanggal 24 Juni 2010, Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. dianugerahi gelar profesor dan dikukuhkan menjadi Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang.

Menjadi guru memang bukan cita-cita Harris sejak kecil. Ketika beranjak remaja, saat duduk di bangku SMP, dunia sastralah yang menyungkupi kehidupannya. Beruntung ia lahir dari pasangan Thahar Umar dan Nurijah Rasyad yang cinta bahan bacaan. Beruntung pula, ketika duduk di bangku SMP, ia punya seorang guru bernama Bustanu! Arifin yang pernah menghukumnya dengan ganjaran harus menghabiskan sejumlah buku dalam waktu satu minggu. Hal itu merupakan salah satu penyebab keinginannya untuk menjadi penulis semakin menjadi-jadi.

Selama tiga tahun di STM, Harris tidak mempunyai kesempatan untuk membaca karya sastra karena waktunya tersita oleh pelajaran. Setelah tamat STM dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Jurusan Arsitektur di Wakultas Keguruan Teknik (FKT) IKIP (sekarang FT-UNP), semangat membacanya kembali mengebu setelah tenggelam selama tiga tahun. Di FK IKIP waktu itu, hanya ada tiga dosen tetap untuk mata kuliah jurusan, selebihnya adalah dosen luar biasa yang jarang masuk karena kesibukan mereka sebagai konsultan dan pegawai Dinas Pekerjaan Umun. Oleh karena itu, banyak waktu lowong, untung ada perpustakaan yang punya banyak koleksi buku, majalah, dan berbagai surat kabar terbitan daerah dan Jakarta. Selain itu, di perpustakaan ada bundel tahunan majalah sastra #lorison yang berdebu karena tidak banyak peminatnya, Sementara itu, di koran Haluan terbitan Padang, secara teratur ada ruang sajak-sajak dan esai budaya setiap Selasa yang diasuh oleh penyair Rusli Marzuki Saria, serta hari Minggu ada cerpen dan cerita bersambung setap hari yang ditulis oleh wartawan senior Kiai Marlaut.

Harus sering berdiskusi dengan teman-teman yang sehobi tentang

70
Puisi, cerpen, dan cerbung yang dibacanya. Akan tetapi, lama-kelamaan Harris dituntut teman-temannya agar ikut menulis di koran karena Harris Suka mencela karangan orang lain yang telah dimuat itu sebagai karya yang dangkal dan kurang bermutu. Karena merasa tertantang, diam-diam Harris menulis dengan mesin ketik pinjaman di kantor senat Mahasiswa. Kebetulan Harris mempunyai teman yang bekerja sebagai Wartawan di koran mingguan Singgalang, namanya Makmur Hendrik, Senior Harris dari Jurusan Mesin FKT IKIP. Kemudian, Harris meminta tolong memasukkan cerpen itu ke koran. Namun, sebelum naskah

dikirimkan, temannya itu harus membacanya terlebih dahulu. Naskah itu dibaca di hadapan teman-temannya yang lain. Setelah naskah itu dibaca, temannya itu menertawakan tulisannya sehingga Harris menjadi Kesal dan tidak jadi mengirim naskah tersebut melalui Makmur Hendrik. Namun, Harris tidak patah semangat, cerpen tersebut lalu dikirimkannya secara diam-diam ke koran Haluan dan langsung dimuat. Akhirnya, Harris menjadi rajin membuat cerpen dan juga puisi yang diasuh oleh "Papa" Rusli Marzuki Saria.

Setelah cerpen Harris dimuat beberapa kali oleh Haluan dan ia pun sering bertandang ke Haluan. Harris banyak mengenal penulis lain, seperti Darman Moenir, Asneli Luthan (alm.), Hamid Jabar (alm.) yang datang dari Bandung, serta penulis lain yang lebih senior, seperti Syafrial Arifin. Harris sering berdiskusi dengan mereka dan diskusi ringan tersebut diperhatikan oleh sastrawan A.A Navis. A.A Navis kemudian meminta mereka membentuk sebuah kelompok diskusi yang mereka beri nama “Kerikil Tajam”, kelompok tersebut diketuai oleh Darman Moenir. Setelah beberapa kali tulisan Harris dimuat di Haluan, Makmur Hedrik, temannya yang dulu menertawakan karya Harris, memintanya untuk menulis di Singgalang. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu Harris harus menulis cerpennya dalam bahasa Minang, karena ciri-ciri cerita pendek di Singgalang itu bernuansa Minangkabau. Karya-karya Harris pun terbit di Singgalang, antara lain “Berburu di Belantara Jakarta” (1982), “Kartino Tahun 2082” (1983), dan “Silet” (1984). Setelah beberapa lama, akhirnya Singgalang yang semula merupakan surat kabar mingguan, berganti menjadi harian.

Sebelumnya, tahun 1971, Harris pernah menulis di Mingguan Mahasiswa (Dewan Mahasiswa). Waktu itu Haris masih menjadi mahasiswa teknik. Kemudian koran tersebut berubah nama menjadi Tri Darma (1974), lalu berubah menjadi SKK Ganto. Harris mulai dipercaya sebagai penanggung jawab SKK Ganto pada tahun 1998. Ketika Singgalang menjadi surat kabar harian, mereka membutuhkan banyak wartawan. Kesempatan itu tidak disia-siakan Harris. Ia melamar menjadi wartawan di Singgalang pada tahun 1986 dan bekerja di sana selama dua tahun. Ketika itu banyak seniman yang menjadi wartawan, seperti, di antaranya, Abrar Yusra, Hamid Jabar, dan Wisran Hadi. Di samping menjadi reporter, Harris diminta membantu di divisi penerbitan buku yang diketuai oleh A.A. Navis. Buku pertama yang terbit waktu itu adalah Padang Kota Tercinta. Buku tersebut berisi tentang akhir masa jabatan Hasan Basri Durin sebagai Walikota Padang. Selain itu, banyak lagi buku lain yang diterbitkan.

Setelah Harris menjadi pegawai negeri, ia tidak mungkin menjadi wartawan tetap di Singgalang. Selain itu, ia juga diberhentikan menjadi wartawan Singgalang berdasarkan SK yang dikeluarkan oleh Yusfik Helmi karena surat kabar tersebut dibekukan sementara. Beberapa tahun kemudian, muncul koran mingguan Canang sebagai pecahan dari Singgalang. Di Canang inilah (1986—2003) Harris kembali bekerja sebagai wartawan sekaligus menjadi pemimpin redaksi tanpa terikat dengan statusnya sebagai pegawai negeri.

Ada hal yang menarik (dan rasanya agak lucu) di fakultas teknik itu, Harris diwajibkan menyelesaikan tugas menggambar dan mendisain, tetapi dosennya jarang mengajar (baca: sering tidak masuk) sehingga mahasiswa teknik itu sangat lama tamatnya. Sementara itu, di fakultas pendidikan bahasa dan sastra (FPBS), mahasiswanya sangat aktif. Hampir di setiap semester, mereka mengadakan diskusi sastra dan pementasan drama/teater. Akhirnya, Harris ikut bergabung dengan mereka. Lucunya, pemenang dari setiap lomba pementasan teater tersebut adalah mahasiswa teknik, yakni Harris Effendi Thahar dan Makmur Hendrik. Begitu juga kalau ada diskusi-diskusi sastra, mereka selalu mengikutkan Harris dan Makmur. Harris, misalnya, sering diminta membuat makalah dalam diskusi sastra tersebut, Ketika Harris membuat cerita bersambung, seperti novel yang dimuat di Haluan, mahasiswa FPBS menjadikannya topik diskusi.

Ada cerita lain tentang karya Harris. Suatu ketika ia dituding oleh scarang dosen, Ybu Syahrmar Udin yang waktu itu beliau masih asisten di FBSS. Dosen ilu beranggapan bahwa Harris adalah “pengarang pomo”, Hal itu terjadi ketika Harris menulis novel berjudul Setelah Impian Berlalu. Ia terinspirasi menulis novel tersebut dari kisah

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

kehidupan mahasiswa di kampus. Cerita yang dimuat bersambung di Haluan itu mengisahkan tokoh aku, seorang mahasiswa miskin, badung, tetapi disenangi oleh cewek-cewek. Ia tinggal di rumah dosen yang pergi kuliah ke Amerika. Novel itu juga menceritakan segerombolan mahasiswi yang sebenarnya pergi kuliah bukan untuk belajar, tetapi Untuk mencari “mangsa” sehingga akhirnya mereka jatuh ke tangan laki-laki hidung belang. Sementara itu, tokoh aku adalah mahasiswa idealis yang akhirnya terpaksa kawin muda setelah terlanjur menghamili pacarnya, Cerita itu ditulis Harris karena terinspirasi dari novel yang diulis Ashari Siregar yang dimuat bersambung di Kompas berjudul Cintaku di Kampus Biru.

Novel Harris berjudul Jendela Kecil juga dimuat bersambung di Haluan. Selanjutnya, Harris mulai menyiasati agar sajak dan cerpennya bisa lolos di media yang lebih bergengsi dan bergaung luas. Tahun 1981 karya-karyanya mulai dipublikasikan di Kompas, seperti “Damai”, "Anak-Anak di Masa Perang”, dan “Jurang” (1982); “Guru Kita Usman Bakri", “Jalan Sepanjang Cinta”, “Kaca Mata Emak”, “Layang-Layang putus di Kala Senja”, “Tikus Gudang” (dalam antologi Anjing Bagus, 2005), “Siman”, “Pelawak Amatir”, dan “Orang Besar” (1984); “Seikat kayu Bakar”, “Tiga Orang Anak”, “Mami”, serta “Masnum dan Istrinya” (dalam Si Padang, 2003); “Istriku Kartini” (1985); “Mesin Ketik”, “Laki-laki yang Kubenci”, dan “Si Padang” (dalam Si Padang, 2003); serta “Kebulatan Tekad,” dan “Ketika Aku Malu” (1987). Dari beberapa karya terebut, di antaranya telah dibukukan oleh Kompas seperti Si Padang yang melambungkan namanya di pentas sastra Indonesia.

Kemudian, karya-karya Harris pun dimuat di koran seperti Sinar Harapan yang berubah nama menjadi Suara Pembaruan ("Tak ingin Merdeka"; 1987); Pelita (“Bukittinggi Kami”, 19871); Pikiran Rakyat (“Marah”, 1980); dan lain-lain. Begitu juga majalah Sastra Horison Yang memuat cerpen “Tewas” (1982). Cerpen "Lurus" (1980), "Titian Laut" (1983), dan “Pemilihan Umum” (1980), yang membuat gempar Masyarakat Yogyakarta waktu itu, dimuat dalam Antologi Sastra Indonesia Malaysia. Kemudian, cerpen “Ngarai” dibukukan Kompas dalam Kado Istimewa (1992), “Burung-Burung Pulang ke Sarangnya" dibukukan Kompas dalam Pelajaran Mengarang (1993), dan "Surat dari Paris” dibukukan Kompas dalam Lampor (1994). “Ketika Jakarta Dibom" dimuat dalam Kumpulan Cerpen Sebelas Dewan Kesenian Sumatra Barat. Selama menjadi wartawan di mingguan Canang, Harris bisa menuangkan kreativitasnya dengan membuat cerita bersambung dalam bahasa Minang, misalnya ada cerita seri “Mardambin”, dan seri “Mandaram”. Cerita itu bisa terbit setiap Minggu selama tiga tahun. Walaupun kuliah di bidang teknik, dunia cerpen tidak pernah ditinggalkannya, Hampir setiap Minggu cerpennya selalu mengisi surat kabar lokal di dan di luar Sumbar. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai juru gambar (arsitek) pada Sumatra Regional Planning Study (SRPS), sebuah perusahaan yang bermitra dengan pemerintah Jerman. Alhasil, kuliahnya kedodoran. Ditambah lagi ia menikah sebelum sarjana scthingga untuk menamatkan sarjana muda saja dia membutuhkan waktu tujuh tahun Jamanya.

Setelah tamat sarjana muda, ia menerima pekerjaan sebagai teknisi di jurusannya. Pekerjaannya mengurus media pembelajaran, OHP, CCTV, cetak, dan lain-lain, Harris memiliki bawahar 14 orang, semuanya tamatan STM dan seluruhnya teknisi. Kariernya meningkat perlahan sarmpai menjadi Kepala Percetakan IKIP Padang selama delapan tahun. Setelah menamatkan sarjana penuh, Harris langsung direkrut menjadi dosen, Itulah sebabnya, ia tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Ketika kuliah di jurusan pendidikan bahasa dan seni, barulah ia mengetahui bahwa seluk-beluk bahasa itu rursi!. Ia harus berurusan dengan morfologi, fonologi, komposisi, dan paragraf. Dahulunya, Haris tidak mempedulikan itu semua karena ia berasal dari praktisi sehingga haraya menulis saja tanpa memperhatikan kaidah bahasa. Menurut Harris, mungkin orang melihat tulisannya sudah bagus, tetapi Harris tidak bisa menjelaskan apa syarat sebuah kalimat yang baik itu. Kemudian ada orang yang meramalkan waktu itu, jika Harris sudah belajar bahasa, maka bahasanya akan menjadi rusak. Modal estetika bahasanya yang sudah hapus akan dirusak oleh wawasannya tentang ilmu bahasa.

Ternyata hal itu tidak terjadi sama sekali. Hal itu terbukti berdasarkan ulasan salah seorang komentator (yang menulis di buku kompulan Kompas tiap tahun itu) yang selalu memuji Harris. Komentator itu mengatakan bahwa bahasa Harris Effendi Thahar itu apik. Harris menganggap menulis itu sebagai suatu keterampilan, banyak orang yang berair pengetahuan, tetapi tidak trampil menulis. Ternyata, orang yang tidak berasa dari praktisi bahasa dan tidak “mengerti” bahasa, belajar bahasa justru akan membuat kemampuan bahasanya lebih bagus dari seheatanya Begitulah yang dirasakan oleh Harris selama ini.

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Menjadi pengajar di perguruan tinggi (FPBS IKIP Padang, sekarang FBS$ UNP) adalah “by accident” saja. Tidak pernah menjadi cita-cita dan anehnya Harris mencintai profesi ini karena bersifat mewariskan Yang terbaik yang kita miliki kepada generasi berikutnya. Selain menulis Cerpen, Harris juga menulis puisi dan buku yang telah diterbikan, antara lain: Lagu Sederhana Merdeka (kumpulan sajak), Jakarta: Yayasan Indonesia, 1978: Bendera Kertas dan Jati (cerita anak), Jakarta: IIIemandiri, 1998: Kiat Menulis Cerpen, Bandung: Angkasa, 1999: dan Riwayat Negeri yang Haru (kumpulan cerpen Kompas terpilih 1981— 1999, 2006)

Harris Effendi Thahar tidak pernah mendapatkan pendidikan formal Sastra. Kemampuannya menulis cerpen dan jurnalistik diperolehnya secara otodidak. Dalam menulis cerpen, Harris lebih banyak berangkat dari kondisi sosial yang dialaminya. Sebagai seorang yang gemar membaca cerita pendek, Harris sangat mengidolakan Mukhtar Lubis dan Montinggo Boesye. Berawal di tahun 1971, ia mulai menulis di media cetak yang pada masa itu masih bernama Mingguan Mahasiswa (Dewan Mahasiswa) yang terbit satu kali seminggu berjumlah lima halaman. Kemudian menulis di media lain, seperti koran Aman Makmur (Singgalang) dan Pelita. Kemudian Harris mencoba menulis ke majalah sastra Horison sekitar tahun 1981. Ia resmi menjadi wartawan tahun 1986 di Singgalang selams 2 tahun. Selanjutnya di mingguan Canang Selama 17 tahun (1986—2003).

Sebagai orang tua, Harris menyerahkan tanggung jawab kepada anak-anaknya untuk memilih jalannya sendiri-sendiri. Satu hal yang Sangat diperhatikan oleh Harris selama ini dari anak-anaknya adalah Penguasaan bahasa Indonesia mereka, baik secara lisan maupun tulisan. Itu terbukti apabila Harris membaca karya akhir mereka, baik karya ilmiah, skripsi, atau tampil di forum-forum. Mereka terampil berbicara dan dengan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka bertiga (M. Isa Gautama S. Pd, M. Si., Siti Ine Kemala, SPL, dan Bayu Ning Larasati, S.Sos.) merupakan aktivis di sekolahnya dan wawasan mereka sangat berbeda dengan anak-anak seangkatannya. Keberhasilan itu tidak terlepas dari faktor orang tua yang selalu mengajarkan dan menyediakan buku bacaan yang bermutu bagi mereka. Dari ketiga anakya, hanya satu yang mengikuti jejaknya sebagai penulis, yaitu anak pertamanya M. Isa Gautama. Ia telah mempublikasikan tulisannya, baik di Media nasional ataupun daerah.


75


Karya-Karya Harris Effendi Thahar
 Cerpen sebagai salah satu bentuk karya sastra dianggap sebagai bacaan yang paling mudah dibaca jika dibandingkan dengan puisi atau drama. Cerpen merupakan bentuk karya sastra yang keberadaan ceritanya relatif tidak terlalu panjang dan dapat dibaca dalam waktu yang relatif singkat. Namun, perwujudan yang relatif pendek itu tidak berarti akan mengurangi nilai sastra yang terkandung di dalamnya (Saptawuryandari,1999:43).
 Menyigi eksistensi Harris dalam kesusastraan Indonesia mutakhir, ia tidak bisa dilepaskan dari dunia cerpen. Ia lebih terkenal sebagai penulis cerpen daripada sebagai penulis puisi, penulis cerita anak, maupun sebagai penulis nonfiksi. Sejauh ini, selain terhimpun dalam kumpulan cerpen Kompas, Harris juga menulis di media lain, seperti Media Indonesia, Horison, Haluan, dan Singgalang. Selanjutnya, akan dibahas selintas tentang cerpen-cerpen Harris, baik yang dibukukan maupun tulisan lepas di media lain.


Kumpulan Cerpen Si Padang
 Kumpulan Cerpen Si Padang memuat 16 cerpen, di antaranya: “Si Padang”, “Dari Paris”, “Seperti Koin Seratusan”, “Ning”, “Beras Pirang”, “Isi Hati Umar Jotos”, “Jalan Sepanjang Cinta”, “Kacamata Emak”, “Kades Mungkaruddin”, “Layang-Layang Putus di Kala Senja”, “Lukisan Ompi”, “Marni”, “Masnum dan Istrinya”, “Potret Omen”, “Si Malanca”, dan “Suara-suara yang Hilang”. Beberapa cerpen tersebut menghadirkan fenomena sosial yang tentu saja bermula dari lingkungan kehidupan di sekitar, terutama masalah kampung dan rantau.
 Cerpen “Si Padang” misalnya, menggambarkan tabiat orang Minangkabau, termasuk para perantaunya. Betapapun miskinnya seorang pemuda Minangkabau di rantau, ia harus tetap berusaha tampil keren. Bila perlu, arlojinya disepuh emas, meskipun ia hanya seorang pelayan rumah makan atau pedagang kaki lima. Gaya “Si Padang”, begitulah orang di luar Minangkabau memanggilnya, rata-rata berperangai sama, mulai dari yang paling kere sampai konglomerat.
 Cerita “Si Padang” yang ditulis Harris dilatarbelakangi oleh kondisi sosial yang terjadi di Sumatra Barat saat itu. Pada masa itu sedang heboh-hebohnya pergantian jabatan bupati atau gubernur di Sumatra Barat sehingga banyak orang rantau yang merasa mampu mencalonkan diri. Cerita tentang keberhasilan seseorang di rantau kemudian “dijual” di

76 kampung untuk berbagai kepentingan termasuk kepentingan politik, seperti mencalonkan diri menjadi pejabat eksekutif.
  Cerpen "Dari Paris" juga berbicara sosok perantau pada sisi yang lain. Alwi, tokoh dalam cerpen ini, setiap bulan selalu mengirim wesel ayahnya dalam jumlah besar. Alwi juga memasangkan telepon di rumah ayahnya sehingga mereka hanya berbicara melalui telepon. Alwi tidak pernah lagi pulang ke kampung menemui ayahnya. Katanya tidak ada waktu. Inilah cerpen yang menyindir pada perantau Minangkabau yang enggan pulang ke kampung menengok keluarga dan sanak familinya.
 Tidak berbeda dengan itu, masih bicara soal laki-laki perantau Minang, cerpen "Isi Hati Umar Jotos" mengungkapkan rasa kebangsaan/nasionalisme. Umar Jotos yang telah kaya raya karena merantau ke Malaysia tetap merindukan kampungnya. Ketika ia mendengar lagu Indonesia Raya, ia terharu dan bahkan menangis. Artinya, seberhasil apa pun seorang di rantau, namun dalam hati kecilnya tetap ada kerinduan terhadap kampung halamanannya.
  Cerpen "Seperti Koin Seratus" berkisah soal warisan. Seorang ayah yang baru meninggal mewariskan koin seratusan rupiah kepada anaknya yang pulang dari rantau. Mendapati ada warisan, anak-anaknya bergembira, kontras dengan peristiwa meninggalnya ayah mereka itu. Namun, ketika mengetahui bahwa warisan itu hanyalah koin seratusan, anak-anaknya berpaling tidak menghargai.
  Cerpen "Suara-suara yang Hilang" mengisahkan seorang laki-laki yang pulang kampung karena ibunya meninggal dunia. Laki-laki itu kemudian terkenang pada masa kecilnya di kampung bersama seorang gadis, anak angkat dari ibu tirinya.
 Cerpen "Kades Mangkuruddin" mengisahkan seorang laki-laki yang pulang ke kampung halamannya. Laki-laki tersebut telah lama meninggalkan kampungnya dan ia diharapkan penduduk setempat untuk mengubah keadaan di daerahnya karena selama ini mereka dipimpin oleh seorang kades yang otoriter.
  Cerpen "Ning" mengisahkan seorang anak bernama Ning yang setiap hari harus menunggu ibunya untuk menjemutnya setiap pulang sekolah. Suatu hari ibunya terlambat menjemput Neng ke sekolah karena harus mengurus ayahnya yang mendadak datang. Ning yang merasa takut sendirian di sekolah mulai memberanikan diri untuk pulang sendiri ke rumah. Di perjalanan Ning bertemu dengan seorang pemuda dan mengajaknya singgah ke rumahnya. Di rumah tersebut Ning diperlakukan dengan baik sehingga Ning merasa betah di rumah tersebut. Ning berkhayal, seandainya rumah itu adalah rumahnya, betapa senang hidupnya dan tidak perlu lagi bersusah payah.
 Cerpen “Beras Pirang” mengisahkan suami istri yang harus menerima kehadiran seorang anak di rumah mereka. Anak tersebut merupakan anak dari teman suaminya. Temannya itu menitipkan anaknya agar anaknya bisa menyelesaikan sekolah dengan baik. Ketika akan menitipkan anaknya, temannya itu membekali si anak dengan bermacam lauk pauk dan sekarung beras. Istrinya merasa kesal karena beras yang diberikan ayah anak itu tidak bagus mutunya. Akibatnya ia marah kepada suaminya karena merepotkan dirinya. Melihat itu suaminya berusaha menyabarkan dan menenangkan istrinya agar ikhlas menerima keadaan tersebut.
 Cerpen “Jalan Sepanjang Cinta” mengisahkan tokoh Aku yang berkhayal di masa lajangnya. Apabila ra menikah nanti, kehidupan keluarganya harus senang, memiliki seorang istri yang cartik dengan anak-anak yang manis dan lucu-lucu. Namun, setelah waktu berlalu, khayalan seperti itu tidak pernah terwujud. Kehidupan yang pernah dibayangkan itu hanya sebatas khayalan. Sewaktu tamat SMA, tokoh Aku berharap melanjutkan ke perguruan tinggi. Selama menjadi mehasiswa, ia berusaha mencari pekerjaan sampingan untuk biaya kuliah. Selama bekerja, ia sering meninggalkan bangku perkuliahan. Teman-teman seangkatannya sudah banyak yang diwisuda, sedangkan ia tidak kunjung tamat sehingga masa depan yang dibayangkannya berangsur-angsur hilang dari khayalan.
 Cerpen “Kacamata Emak” mengisahkan tokoh Aku yang ingin selalu berbakti kepada kedua orang tuanya, Suatu hari, laki-laki itu melihat ibunya sedang mengaji tanpa memakai kacamata yang selama ini tidak pernah lepas dari matanya. Ketika hal itu ditanyakan, ibunya hanya mengatakan bahwa kacamatanya hanyut di sungai. Beberapa hari kemudian, Aku menerima wesel dari surat kabar ibukota. Kemudian ia berniat untuk membelikan kacamata yang diinginkan oleh ibunya. Ketika sampai di ramah, ra melihat ibunya terbaring sakit di tempat tidur ditemani oleh saudaranya yang lain. Melihat ibunya terbaring sakit, Aku segera membawa ibunya ke rumah sakit, Sesampai di rumah sakit, ibunya tidak bisa bertahan Jama. Menjelang Subuh, ibunya mengembuskan napas terakhir dengan membawa keinginan yang belum sempat terpenuhi oleh anaknya.


78  Cerpen “Layang-layang Putus di Kala Senja” mengisahkan seorang laki-laki tua yang baru saja di tinggal mati oleh istri yang sangat dicintainya. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah pergi ke mana-mana Scorang diri. Namun, setelah kepergian istrinya ia harus bisa melakukannya sendiri tanpa ada orang yang menemaninya. Begitu juga ketika ia memasuki sebuah toko pakaian dan tanpa sengaja menginginkan barang tersebut. Selesai berbelanja, laki-laki tua itu singgah ke sebuah restoran yang biasa ia kunjungi bersama istrinya. Di pintu masuk ia dicegat oleh seorang pengemis yang sebaya dengannya. Ketika ia Memperhatikan pengemis itu, ia merasa pengemis itu tidak kekurangan sesuatu apa pun. Dalam perjalanan pulang, laki-laki tua itu tertidur di dalam sebuah angkot dan ia bermimpi bertemu dengan istrinya. Dalam Mimpinya itu ia melihat anak-anak yang bermain layang-layang. Ia melambai-lambai dengan gembira. Tiba-tiba ia merasa gamang. Tali layang-layang itu putus dan membuatnya terombang-ambing dipermainkan angin. Ia tidak melihat istri dan anak-anaknya bermain layang-layang lagi.
 Cerpen “Lukisan Ompi” menceritakan tokoh Ompi yang selalu dipuji-puji oleh kakaknya. Perhatian Ompi terhadap keluarga kakaknya lalu mendapat perhatian dari anak kakaknya, terutama yang sulung. Cerita mengenai Ompi selalu ditunggu-tunggu. Apa pun yang diceritakan kakaknya selalu membuat kemenakannya itu kagum terhadap sosok Ompi, Ketika kemenakan sulungnya itu mendengar kabar kepulangan Ompiia sangat bangga dan gembira, tetapi setelah itu ia kecewa. Ternyata kepulangan Ompi karena ia akan dikawinkan dengan gadis kampung pilihan ibu Ompi. Suatu hari, kemenakannya itu mendengar mamanya bertengkar dengan Ompi. Setelah kejadian itu. kemenakannya itu tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Ompi. Sampai suatu hari Ompi datang ke rumah dan menginap untuk sementara waktu.
 Cerpen “Mami” mengisahkan tokoh Aku yang semula seorang laki-laki ambisius. Ia nekad melansungkan perkawinan dengan seorang perempuan pilihannya, perempuan yang tidak direstui ibunya. Meteka berani menikah karena saling hidup berdua karena perempuan itu juga mencinta. Marni, demikian nama istri tokoh tersebut, bersusah payah menundukkan ambisi suaminya. Pada suatu kali. Aku ditimpa malapetaka, ia diberhentikan bekerja pada sebuah perusahaan mebel. Marni pun tampil menunjukkan peranannya. Dengan ijazah PGA, Marni menciptakan pekerjaan dengan mengajar mengaji anak-anak tetangga mereka. Dengan usaha Mami inilah Aku dan keluarganya dapat melanjutkan kehidupan lagi. Hal itu membuat Aku merasakan dirinya lebih kecil, kehilangan ambisi. Untuk membeli rokok saja, ia harus menunggu istrinya pulang mengajar mengaji. Kadang-kadang timbul pula kecemburuan terhadap istrinya itu, tapi kecemburuan itu ia hilangkan saja ketika mengingat jasa-jasa Marni yang telah ia terima selang ini.
 Cerpen “Masnum dan Istrinya” mengisahkan tokoh Aku yang memiliki seorang sahabat semasa sekolah dulu. Temannya itu menjadi frustrasi karena dipecat dari pekerjaannya. Setiap hari ia selalu digangsu oleh temannya yang meminta agar bisa kembali bekerja di tempat Aku. Suatu hari, Aku kedatangan istri temannya itu yang bertamu sambil menangis karena ia baru bertengkar dengan suaminya. Istri temannya itu menuduh Aku yang telah menyuruh suaminya merampok. Merasa tidak bersalah, Aku berusaha menjernihkan masalah yang sebenarnya, tetapi dalam perjalanan pulang ke rumahnya, malah istri temannyz itu yang berusaha merampok Aku.
 Cerpen “Potret Omen” menceritakan tokoh Aku dengan tokoh Omen. Omen selalu mempunyai berbagai kesibukan di luar kantor sehingga untuk menemuinya terasa sangat sulit. Suatu hari, Oren mengundang Aku, seorang wartawan, untuk datang ke kantornya. Kedatangan Aku sangat diharapkan oleh Omen untuk meliput kegiatan yang dilakukannya selama beberapa waktu. Omen menyuruh anak buahnya memberi Aku beberapa lembar uang. Aku sangat terkejut menerima uang tersebut, apalagi ketika Omen memperlihatkan sebuah potret dirinya dengan seorang pejabat.
 Cerpen “Si Malanca” tentang tokoh bernama Malanca yang sehari-harinya bekerya membajak sawah dan di lain waktu ia juga bisa melawak, terutama di kalangan keluarga raja, Suatu hari, ketika Malanca sedang berada di sawah, dari kejauhan ia mendengar suara canang dipukul. Tidak berapa lama kemudsan, istri Malanca datang membawa bekal makan Siang. Saat itulah istrinya mengatakan bahwa raja meminta rakyatnya menyumbangkan minyak setiap bulan untuk ekspor kerupuk. Setelah banyak terkumpul, barulah diketahui bahwa sebagian sumbangan itu berupa air. Mengetahui sumbangan rakyatnya bukan minyak, raja menjadi murka Melihat keadaan raja seperti itu, putrinya memanggil pelawak Malanca untuk menghibur raja.

19 Kumpulan Cerpen Anjing Bagus
 kumpulan ini memuat 16 cerpen di anatarnya: "Anjing Bagus", "Goyang, Kebulatan Tekad", "Kopi Pahit", "Kredit Macet", "Kuitansi dan Panti", "Laki-laki yang kubenci", "Menunggu Putra Reformasi", "Murtadin dan Istrinya", "Oknum", "Orang Besar", "Romli Tidak Pernah Pulang", 'Sop Buntut", "Tamu Den", "Tikus Gudang", dan "Alamat Terakhir". Masalah yang diangkat oleh Harris dalam cerpen ini lebih kompleks dan menyentuh berbagai kalangan yang merasa tidak puas dengan keadaan dan situasi pada saat itu. Kritik Sosial yang diungkapkan Harris disampaikan dengan bahasa yang ringan dan dipahami oleh pembaca.
  Cerpen "Anjing Bagus" menceritakan tokoh Syarif yang anaknya digigit oleh seeokor anjing. Anjing yang menggigit anaknya itu kepunyaan Pak Bagus yang tinggal di kompleks tempat mereka tinggal. Melihat anaknya digigit anjing, Syarif merasa tidak terima karena ia takut anjing itu terkena rabies. Untuk mengetahui anjing itu menderita rabies atau tidak, Syarif bersikeras untuk membawa anjing itu diperiksa. Namun, Pak Bagus tidak bersedia anjingnya dibawa karena menurutnya anjing tersebut tidak berbahaya dan sudah diimunisasi.
 Cerpen "Goyang" mengisahkan tokoh Dokter Jambek yang dikerjai oleh anak buahnya yang bernama Sarmen dengan meniru cara bicara Doktor Jambek. Suatu hari Doktor Jambek kedatangan teman-teman sejawatnya beserta keluarga untuk berbuka puasa bersama. Kedatangan teman-temannya itu membuat heran Doktor Jambek karena ia mereka tidak mengundang mereka. Doktor Jambek terpaksa mentraktir mereka di sebuah restoran. Esok harinya, Dokter Jambek memanggil Sarmen untuk dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya tersebut. Ia yakin, Sarmen telah meniru suaranya dan mengundang teman-temannya melalui telepon. Doktor Jambek yakin bahwa Sarman melakukan itu semua karena merasa sakit hati sebab permintaan THR atas nama staf ditolak oleh Doktor Jambek.
  Cerpen "Kopi Pahit" menceritakan istri yang melakukan perang dingin selama beberapa hari. Perang dingin yang mereka lakukan itu menjadi perhatian dari putra mereka. Namun, semua itu tidak mengubah situasi menjadi lebih baik. Untuk beberapa hari, istrinya hanya berbaring di tempat tidur tanpa melakukan apa-apa sampai orang kantor tempat bekerja datang mengunjunginya, sedangkan suaminya tetap melakukan pekerjaan sehari-hari tanpa mengganggu istrinya.


81

 Cerpen "Kredit Macet" menceritakan seorang guru bernama Tapa yang dipindahtugaskan ke sebuah desa terpencil yang jauh dari kota. Kepindahan itu disebabkan ia terlibat penggelapan uang di tempat ia bekerja selama ini. Walaupun ia telah dipindahkan, kebiasaannya memakai uang kantor tidak pernah berubah. Uang tersebut dipakainya untuk berjudi sehingga ia memiliki uang kepada seseorang. Guru Tapa tidak memiliki penghasilan lain selain menjadi guru sehingga utangnya tidak pernah lunas. Tanpa sepengetahuan Guru Tapa, suatu hari orang tempat ia berutang datang ke rumahnya untuk menagih utang. Orang tersebut tidak bertemu dengan Guru Tapa ketika esok harinya ia pulang dan menemukan jejak kendaraan di halaman rumahnya. Hal itu tidak ditanyai oleh Guru Tapa kepada istrinya, tetapi ia mnegetahui apa yang terjadi atas diti istrinya karena sesudah itu ia mendapat kabar bahwa orang tersebut meninggal dalam sebuah kecelakaan sekembali dari rumah Guru Tapa.
 Cerpen "Kuitansi dari Panti" menceritakan tokoh Saya yang setiap sore selalu didatangi oleh anak-anak panti untuk dimintai sumbangan kegiatan yang dilakukan anak-anak panti panti tersebut membuat tokoh tersebut menjadi curiga, jangan-jangan anak-anak itu berasal dari sebuah sindikat yang mengatasnamakan sebuah yayasan. Suatu hari, tokoh Saya tidak keluar dari rumahnya untuk menyambut kedatangan anak-anak panti tersebut. Ia hanya mengintip apa yang dilakukan oleh mereka. Ternyata, karena orang yang punya rumah tidak ada, anak-anak tersebut hanya meninggalkan selembar kuitansi dan secarik kertas di depan pintu.
 Cerpen "Laki-laki yang Kubenci" mengisahkan seorang laki-laki yang usianya sudah di atas lima puluh tahun. Ia hidup senang, mempunyai dua orang menantu, dan seorang anak yang menjadi mahasiswa di perguruan tinggi terkenal. Di rumah, ia hanya tinggal berdua dengan istrinya. Sepertinya tidak ada persoalan dalam kehidupan mereka, kedudukannya cukup terhormat, dan masih aktif bekerja. Suatu hari, istrinya tempat dengan ikat kepala dan mengatakan bahwa ia sakit kepala, suaminya hanya menyuguhkan aspirin. Perempuan itu benci, benci sekali pada laki-laki yang telah lebih seperempat abad menjadi suaminya. Yang diinginkan istrinya adalah perhatian, seperti perhatian ketika mula-mula membina rumah tangga dulu, sedangkan sang suami tidak menyadarinya. Begitulah, pada hari ini, istrinya tidak bangkit-bangkit dari tempat tidur ketika suaminya pulang. Suaminya akhinya sadar. Ia kemudian mengajak istrinya ke restoran, berputar-putar keliling kota, masuk supermarket, dan lain-lain sehingga istrinya merasakan sesuatu yang lain. Hal yang baru dan menyenangkan.
 Cerpen "Menunggu Putra Reformasi" menceritakan seorang tokoh bernama Nasir yang hampir setahun mengajar di sebuah universitas di Tasmania, Australia. Kepulangannya disambut oleh istrinya yang sudah berbadan dua dan seorang pemuda yang lebih muda darinya. Dulu, ketika ia sampai di negeri orang, istrinya pernah mengabarkan kondisi dirinya yang sedang hamil serta memberitahukan bahwa paviliun yang menjadi ruang kerjanya telah disewa oleh seorang mahasiswa pacasarjana. Ternyata, mahasiswa itu telah "menyewa" semua milik Nasir yang telah datinggalkannya selama di Australia.
 Cerpen "Murtadin dan Istrinya" menceritakan tentang seorang tokoh yang ingin mendirikan sebuah partai. Semenjak kejatuhan Orde Baru banyak sekali organisasi yang muncul bak jamur. Murtadin pun terlibat di dalamnya. Ia mencari pengikutnya dengan berbagai cara. Namun, beberapa hari lalu, seseorang yang mengaku istri Murtadin mendatangi satu rumah ke rumah lain dengan membawa surat penting dari suaminya. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Murtadin meminta buntuan berupa uang dan uang tersebut harus diserahkan kepada istrinya.
 Cerpen "Orang Besar" menceritakan tokoh aku yang ingin masuk penjara karena telah bosan menjalani kehidupan yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan. Berbagai cara ia lakukan agar ia dimasukan ke dalam penjara, tetapi tidak pernah terwujud, sampai pada suatu hari ia ditemukan di kamar sebuah rumah sakit.
 Cerpen "Kebulatan Tekad" menceritakan tokoh Aku yang berusaha belajar mandiri dengan tidak tinggal lagi bersama kedua orang tuanya. Tokoh Aku dulunya sangat dimanja oleh ibunya, sampai-sampai untuk masa depannya harus ditentukan oleh ibunya. Namun, setelah jauh dari keluarga, terutama ibunya, tokoh Aku mulai menyadari kekeliruannya dan berharap suatu saat ibunya mau menerima kehadiran sesorang yang tidak disetujui oleh ibunya.
 Cerpen "Tikus Gudang" mengisahkan tokoh Aku yang setiap harinya bekerja di sebuah perusahaan, tetapi tokoh Aku ditempatkan oleh alasannya di bagian gudang mengawasi barang-barang yang keluar dan masuk dari gudang tersebut. Suatu hari, tokoh ku kedatangan tamu yang tidak disangkanya sama sekali. Tamu tersebut ternyata istrinya alasannya yang ingin memata-matai kelakuan suaminya selama berada


83

di kantor. Istri atasan tersebut menyuruh Aku untuk melaporkan apa saja yang dilakukan oleh suaminya. Suatu hari, tokoh Aku sangat terkejut ketika mengetahui istri atasannya telah melukai sekretaris suaminya.
 Cerpen "Oknum" menceritakan seorang tokoh anggota militer yang mulai jenuh dengan kesatuannya. Ia merasa tidak bebas lagi untuk melakukan sesuatu sehingga dengan berbagai cara ia membuat onar agar ia dikeluarkan dari kesatuannya. Suatu hari, setelah ia membuat keonaran dan berbicara dengan beberapa orang wartawan yang meliputnya, ia menjadi terkejut dan kesal ketika membaca hasil wawancaranya dengan seorang wartawan. Dalam pemberitaan tersebut ia dipromosikan menjadi bupati di sebuah kabupaten. Untuk menghilangkan kekesalannya atas berita koran tersebut, ia berencana menemui seseorang di suatu tempat di luar kota. Sesampai di sana, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa orang tersebut meninggal karena pembunuhan.
 Cerpen "Ramli Tidak Pernah Pulang" menceritakan seorang tokoh bernama Ramli yang baru pulang dari luar negeri dan telah lama tidak pulang ke kampungnya. Namun, sesampainya di kampung Ramli tidak pernah diizinkan memasuki kampungnya karena tidak memiliki identitas, hanya sebuah paspor yang menjadi tanda pengenalnya. Sejak saat itu Ramli tidak pernah lagi terdengar kabarnya.
 Cerpen "Sup Buntut" menceritakan penertiban yang dilakukan oleh sekelompok satuan patroli yang mendapat perlawanan dari masyarakat yang merasa tertindas dan diperlakukan tidak adil. Hal itu terjadi dalam suatu peristiwa penertiban terhadap pedagang yang berjualan di sepanjang trotoar dan sebagian taman kota. Sebuah warung sup buntut tidak terjaring razia seperti warung-warung lain di sekitarnya. Akibatnya, pedagang lain melakukan perlawanan. Salah seorang petugas patroli tersebut berhasil meloloskan diri dari amukan massa dan selamat sampai ke rumahnya. Ketika ia sedang membersihkan mobilnya, muncullah keponakannya meminta uang untuk biaya sekolah. Orang tersebut menolak memberikan uang dan keponakannya itu akhirnya pergi meninggalkannya dengan membawa kekecewaan di hati.
 Cerpen "Tamu Den" mengisahkan seorang tokoh bernama Den yang memiliki seorang teman, tempat Den bercerita, bersenang dan bersedih, dan sehilir semudik. Namun, sekarang temannya itu telah meninggal dua tahun lalu serta meninggalkan seorang istri dan anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang seorang bapak. Semasa temannya masih hidup, mereka sering berkumpul bersama dengan keluarga Den


84 Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Sehingga mereka seperti saudara saja layaknya. Suatu hari Den bertemu dengan istri temannya itu. Den merasa risih dan serba salah karena istri temannya tersebut datang bersama anak-anaknya dan men ganggap Den Seperti bapak mereka. Den merasa tidak tega untuk mengusir mereka dari rumahnya sebab Den ingin mereka sendiri yang menyadari kekeliruan mereka.

Cerpen “Alamat Terakhir” mengisahkan seorang tokoh bernama Opa Irfan yang menghabiskan hari tuanya di sebuah panti jompo. Sebelumnya Opa Irfan tinggal bersama anaknya yang menjadi profesor musik di Yogya. Namun, semenjak anaknya menerima tawaran mengajar di California, Opa Irfan dititipkan di panti bersama dengan orang-orang yang sebaya dengannya. Walaupun ia masih memiliki anak perempuan, tetapi ia lebih menyayangi anak laki-lakinya itu. Suatu hari Opa Irfan menerima telepon bahwa putranya akan datang dari luar negeri. Setelah bertemu dengan putranya itu, Opa Irfan menjadi sedih. Untuk menghilangkan kesedihannya itu Opa Irfan ingin cepat-cepat kembali ke panti agar ia tidak merasa kehilangan kembali ketika anaknya berangkat lagi ke luar negeri.

Karya-Karya Lepas

Cerpen “Pemilihan Umum” lahir dari dongeng masa kecil Harris tentang “Si Kancil yang Cerdik” yang tidak pernah pupus dari memorinya. Cerpen “Pemilihan Umum” yang dimuat di majalah sastra Horison itu menceritakan kancil yang cerdik sekaligus menjadi calon Presiden dan penyelenggara pemilu. Ia berhasil menjadi pemenang dengan jalan menelanjangi semua binatang (kontestan) yang lain. Namun, ia akhirnya gagal menjadi presiden karena keseleo menceritakan akal bulusnya kepada seorang wartawan. Cerpen tersebut sempat membuat gempar aparat keamanan Yogyakarta karena mahasiswa Asdrafi (Akademi Seni, Drama, dan Film) Yogya akan mengelar acara baca Cerpen di kampusnya dengan mengundang mahasiswa dan seniman dari luar kampus. Harris diundang untuk membacakan cerpen “Pemilihan Umum”. Menurut berita, biasanya acara serupa tidak pernah dilarang pihak keamanan. Polisi yang ditanyai wartawan mengatakan bahwa kegiatan kurikuler biasanya tidak mengundang orang luar kampus. Apalagi, materi yang dibacakan tidak sesuai dengan prinsip stabilitas dan dapat merusak opini masyarakat karena masa Pemilu sudah dekat.

Cerpen “Lurus” yang dimuat dalam Antologi Sastra Indonesia

85 Malaysia "Titian Laut" mengisahkan tokoh bernama Mubassir yang sehari-hari oleh teman-teman kerjanya dipanggil "Si Lurus". Ia dipanggil demikian karena dalam pekerjaannya sebagai bendaharawan ia dikenal sangat jujur "lurus". Suatu hari, Mubassir ingin meletakkan jabatannya sebagai bendaharawan karena tidak sanggup lagi mengelola keuangan yang menurutnya tidak sesuai dengan hati nuraninya. Setalah ia meletakkan jabatan tersebut. ia masih dinggap oleh teman-temannya sebagai "Si Lurus", begitu juga oleh istrinya bahwa ia telah pergi dengan seorang pelacut, tetapi istrinya tetap tidak percaya atas kebohongan itu.
  Cerpen "Tewas" yang dimuat majalah sastra Horison mengisahkan tokog Aku yang meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di kota T. Suatu hari, Aku menerima telepon dari seorang yang ia tulis dalam sebuah berita. Sejak saat itu, ia menjadi takut dan mulai mogok beberapa teman. Di antara surat yang dikirimkannya itu ada yang membalasnya, yaitu seorang teman di kota Y. Tanpa membuang waktu, Aku pergi menemui temannya tanpa membawa identitasnya sebagai wartawan.
  Cerpen "Istri Tukang Kasur" yang dimuat dalam Kiat Menulis cerpen berkisah tentang sepasang suami istri yang bekerja sebagaiu penjual kasur. Di sebelah kedai mereka berdiri pula warung nasi yang setiap hari ramai dikunjungi oleh pembeli. Hal itu membuat istri tukang kasur merasa iri karena kedainya tidak seperti warung nasi tersebut. Suatu hari, istri tukang kasur kedatangan petugas yang menanyakan racun api. Ia menjawab asal saja agar terbebas dari orang tersebut karena tidak siap dengan pertanyaan itu. Kedatangan petugas tersebut tidak diberitahukan kepada suaminya, hingga suatu hari kedainya dilalap oleh api dan menghabisi semua yang ada di dalamnya.
  Cerpen Arwana" yang dimuat di Kompas mengungkapkan kegelisahan dan "kemarahan Harris dalam bentuk yang lebih sublim. Ia mencoba menyodorkan sisi lain "kenyataan" kesarian pejabat lokal Minang berlatar militer lewat perilaku ajudannya yang gesit, tetapi bodoh.

Tanggapan Pengamat tethadap Karya Harris Effendi Thahar
  Banyak tanggapan yang muncul berkaitan dengan hadirnya cerpen "Si Padang" yang dimuat Kompas esisi 14 September 1986. Tanggapan


86 itu datang dari pembaca kritis yang (terkesan) menolak kehadiran cerpen tersebut. Namun, ada pula tanggapan yang berusaha menengahi segala komentar yang muncul akibat dari hadirnya cerpen tersebut. Tanggapan yang bersifat pro dan kontra itu justru menjadikan karya Harris Effendi Thahar menjadi karya yang cukup fenomenal. Pada bagian ini penulis mencoba menampilkan beberapa tanggapan pembaca sehubungan dengan cerpen “Si Padang” yang sebagian besar dimuat di Kompas.

Edizal, seorang pembaca karya Haris Effendi Thahar, memberi komentar mengenai cerpen “Si Padang” karya Haris Effendi Thahar yang penulis kutip dari Kompas edisi 21 September 1986. Dengan kegundahgulanaan dan ketidakpercayaan, Edizal mengapresiasi cerpen tersebut. Berikut, pendapat Edizal.

“Saya tidak yakin karya fiksi yang digambarkan penulis merupakan bayangan dari sebagian kecil masyarakat Minang di rantau yang telah mengingkari nilai-nilai yang dibawanya. Anak-anak Minang, seperti yang diutarakan juga oleh Uda Harris, diharuskan dengan ketat belajar agama sejak kecil pada seorang kiai dan biasanya mereka langsung tidur di rumah kiai tersebut. Sesuai dengan perubahan-perubahan sosial pada masyarakat, tampaknya kebiasaan belajar agama di rumah seorang kiai sudah tidak ada lagi di beberapa kota, akan tetapi di kampung-kampung hal ini tetap berjalan.

“Di samping itu, para guru maupun orang tua selalu mengajari serta menanamkan norma-norma bermasyarakat 'Berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki' dan ini sudah mendarah daging bagi mereka. Meskipun di rantau mereka menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 'Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung', nilai-nilai yang telah mereka anut tetap dipertahankan. Kalau ada yang melanggar nilai-nilai ini, mereka akan tersisih dari pergaulan dan di kampung sendiri tidak akan diterima sebagaimana mestinya.

“Saya pribadi tidak menyangkal adanya kemungkinan hal demikian terjadi pada satu dua orang dan adalah wajar sebagai manusia biasa. Akan tetapi, kurang wajar mengekspos setitik nila dalam sebelanga madu. Mudah-mudahan khayalan belaka bagi penulis.”

Meuthia Ganie Rochman, dari FISIP UI memberi komentar yang dimuat Kompas edisi 23 September 1986, tentang cerpen “Si Padang” dengan lebih pedas. Kritikan Meuthia seperti terurai berikut ini.

“Sehubungan dengan dimuatnya cerita pendek dalam Kompas Minggu 14 Desember 1986 berjudul “Si Padang”, saya ingin menanggapi sebagai berikut: Kejadian dalam cerita tersebut — tempat seorang tokoh yang dihormati di tanah Minangkabau ternyata seorang yang suka berbuat maksiat, munafik, dan memunyai anak yang amoral, tempat rumah tokoh tersebut mirip terminal burung dara, yang penghuninya hampir tidak pernah bertemu — adalah sangat tidak wajar, dalam arti kejadian tersebut sangat sukar ditemui.

 “Kalaupun ada, seorang penulis yang baik harus memakai pendekatan yang lain sekali, tidak dengan cara penyebar gosip yang hanya melihat kulit luar seseorang. Penulis harus pandai menggambarkan gejolak jiwa tokoh tersebut di tengah-tengah berbagai kejadian yang dihadapinya, kebingungan-kebingungannya, godaan-godaan, tekanan-tekanan, dan sebagainya. Dengan demikian pembaca melihat tokoh tersebut sebagai seseorang di tengah permasalahan tertentu dan memahami tindakan tokoh. Pendekatan yang digunakan pengarang sangat tidak mendidik masyarakat kita yang belum seluruhnya kritis.

 “Kecerobohan si pengarang bisa membawa dampak sosiologis yang negatif dengan mengambil seorang tokoh yang dihormati masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai daerah yang menjunjung tinggi adat dan agama. Seorang tokoh yang dihormati yang dijadikan panutan yang baik-yang berarti kehadirannya di tengah masyarakat membawa akibat positif-tidak layak dihancurkan daya tariknya hanya karena dosa yang merugikan dirinya sendiri. Katakanlah, apa guna menceritakan seorang ulama atau pendeta mesum—seandainya kejadian in? benar-benar Anda temui—-selain menimbulkan rasa sinis terhadap orang-orang alim dan kecurigaan terhadap sesuatu yang baik?

 “Masyarakat tetap membutuhkan tokoh anutan. Harapan saya, pada kali yang akan datang Kompas menyeleksi dengan ketat tulisan-tulisan yang akan dimuat. Apakah dengan pengalamannya yang bertahun-tahun, Kompas tidak bisa memikirkan akibat positif dan akibat negatif suatu tulisan?”

 Drs. Syaiful Ibrahim dari Padang menyampaikan pula kritikannya, berkaitan dengan hadirnya cerpen “Si Padang” yang dimuat Kompas edisi 23 September 1986. Berikut, kritikan Syaiful.

“Saya perlu memberikan informasi bahwa cerpen “Si Padang” karya Harris Effendi Thahar yang dimuat Kompas 14 Desember 1986, sudah dimuat oleh mingguan Canang yang terbit di Padang tanggal 13 Agustus 1986 dengan judul “Lydia, Paluaklah Denai”. Selama ini saya adalah pengagum karya Harris Effendi Thahar (HET) yang cerpennya sering muncul di Kompas Minggu. Tetapi dengan kasus ini, HET telah merusak citranya sendiri. “Si Padang” betul-betul telah mendarah daging bagi dirinya sendiri. Dalam hal yang negatifnya.

“Kalau melihat usia HET, dia masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Tidak usah meniru Chairil Anwar, yang berprestasi, tetapi dengan berbagai pemaafan dari pengagumnya bahkan H.B. Jassin, kekeliruannya tidak juga dapat membersihkan dirinya.”

Sugeng Riyanto, seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Juga turut mewarnai pro dan kontra mengenai cerpen itu. Berikut pandangan Sugeng sehubungan dengan kehadiran cerpen “Si Padang”.

“Sampai tulisan ini dibuat, cerpen “Si Padang” (Kompas Minggu 14 September 1986), sudah “dikritik” dua kali. Gejala yang cukup menarik, paling tidak minat masyarakat terhadap karya sastra cukup bisa dibanggakan. Sayang sekali “kritik-kritik” tersebut sebenarnya tidak perlu bila kita sadar bahwa karya sastra itu punya otonomi. Karya sastra harus kita terima sebagai karya sastra karena ia memiliki dunia sendiri, memiliki aturan-aturan sendiri yang berbeda dengan karya-karya tulis lain.

“Apabila kita menghadapi sebuah karya sastra, maka yang disungguhkan kepada kita adalah dunia kenyataan pencerita. Dunia yang harus dibedakan dengan kenyatan yang sebenarnya. Jika ada persamaan antara dua dunia tersebut, maka itu merupakan kebetulan saja. Karya sastra bukanlah salah satu penelitian, tapi hasil imajinasi pengarang, hasil rekaan (fiksi). Untuk itu, imajinasi harus kita hadapi dengan imajinasi pula, jangan kita tanggapi dengan salah-benar.

“Juga setelah membaca cerpen “Si Padang” ini, kita jangan lantas beranggapan bahwa memang ada orang Padang seperti yang diceritakan pencerita. Mungkin ada, tapi ini tidaklah relevan. Yang jelas pencerita menyungguhkan tokoh-tokoh yang diberi watak dan dengan gayanya yang memukau, membuat kita—pembaca—bisa terlena dan lupa bahwa kita menghadapi suatu hasil imajinasi belaka. Orang awam memang sulit menerima ini. Tapi bila kita ingat bahwa yang disuguhkan pada kita adalah karya imajinasi, masalahnya tidak akan semakin rumit. Kita tidak lantas merefleksikannya dengan kenyataan sebenarnya.

“Pengarang cerpen “Si Padang” mungkin lupa bahwa otonomi karya sastra di Indonesia belum begitu mendapat tempat selayaknya. Jadi, hendaklah jangan berbebas-bebas dalam menulis, Anda harus ingat Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

bahwa yang membaca karya Anda bukanlah semua orang yang mengakui otonomi karya sastra.”

Yesmil Anwar, S.H., seorang pembaca Kompas dari Bandung memberi komentar berikut ini tentang cerpen “Si Padang”.

“Keputusan Kompas memuat cerpen “Si Padang” karya Harris Effendi Thahar sangat simpatik. Saya ingin sekali menanggapi surat yang dimuat tersebut. Saya hanya ingin bertanya: “Mengapa Anda berdua malu bercermin?” Bukankah urang awak, suku yang berjiwa besar? Ibarat kita keluar dari restoran Padang setelah makan kenyang, lalu tanpa sengaja ada serpihan kulit cabe yang menempel di sela-sela gigi sementara itu kita tak mengetahuinya, sedangkan orang lain ris: melihatnya ketika kita asyik bicara dan tersenyum. Kita perlu cermin dan sebuah dongkrak untuk membuat senyum kita cemerlang kembali.”

Ir, Masfazil Maas, juga seorang pembaca Kompas dari Bandung memberi komentar berikut ini melalui Kompas, 5 Oktober 1986.

“Cerpen Harris Effendi Thahar “Si Padang” mungkin ada benarnya. Setahu saya, kalau hanya menulis cerpen tidaklah mutlak didukung suatu data otentik, lain halnya dengan hasil sebuah penelitian. Kita janganlah menyalahkan pengarang, tetapi simaklah hasil karangannya itu. Isi karangannya baik, memberi masukan baru bagi kita semua dan keluarga Minang pada khususnya, yang berdampak positif. Kita perlu lebih waspada dan introspeksi diri.

“Ada ataupun tidak ada kejadian yang identik dengan isi cerpen itu, tidaklah perlu kita permasalahkan. Sewajarnyalah kita acungkan jempol kepada pengarang “Si Padang” yang telah berani memberikan imbauan, supaya cerita seperti itu jangan sampai terjadi dalam keluarga Minang. Kalaupun kejadian seperti itu memang ada, hendaknya kita jangan menutup mata, tetapi kita berusaha mengatasi agar kejadian seperti itu jangan sampai meluas. Kita harus tegakkan adat Minang yang luhur ita, seperti kata pepatah Anak dipangku kemenakan dibimbing.”

Dasriel Rasmala, seorang wartawan dan juga sastrawan menulis tanggapannya terhadap polemik yang muncul akibat hadirnya cerpen “Si Padang”. Tulisan itu dimuat dalam Pelita, 17 Desember 1986. Berikut ini petikan tulisan tersebut.

“Ketika cerpen “Si Padang” dimuat di Kompas Minggu, 14/9/1986, banyak reaksi yang muncul. Di antaranya mengatakan bahwa cerpen tersebut telah mencorengkan arang di kening orang Minang. Padahal,

menurut penulis surat itu, orang Minangkabau selalu berbicara

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

memelihara lidah dan berjalan memelihara langkah. Surat lainnya menuduh Harris Effendi Thahar telah menyebar gosip yang hanya melihat kulit luar seseorang saja. “Kejadian dalam cerita tersebut—tempat seorang tokoh dihormati di tanah Minangkabau ternyata seorang yang suka berbuat maksiat, munafik, dan memunyai anak yang amoral, tempat rumah tokoh tersebut mirip terminal burung dara, yang penghuninya hampir tidak penah bertemu-adalah sangat tidak wajar, dalam arti kejadian tersebut sangat sukar ditemui”. Protes yang dilakukan itu sedang mengganyang sesuatu yang ada, tetapi pada hakikatnya juga tidak ada. Mereka memprotes “perlakuan” Harris Effendi Thahar yang membuat malu tokoh “orang Minang” tersebut, kendati “memang” perbuatannya sangat tercela. Mengapa demikian?

“Bila dilihat sikap protes yang ditunjukkannya, kita berkesimpulan bahwa yang melakukan protes tersebut adalah orang Minangkabau, atau Sekurangnya orang yang dibesarkan oleh subkultur Minangkabau dan Mereka merasa tercoreng arang di keningnya. Yang lebih penting lagi, mereka telah mengangkat cerpen tersebut ke dunia realita mereka. Cerpen tersebut dinilai sebagai suatu peristiwa konkret dan nyata tentang kehidupan manusia Minangkabau. Akibatnya, mereka ikut dipermalukan. Mengapa ada orang Minangkabau yang seburuk itu tabiatnya, semunafik itu hidupnya, di antara mereka yang sangat bangga akan ajaran budi luhur tradisi mereka.

“Bila demikian halnya, terlepas dari apakah cerpen “Si Padang” itu diangkat dari realitas yang benar-benar terjadi atau tidak, sebaiknya kita sorot sedikit latar belakang sastra Minangkabau yang sedikit banyaknya akan membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa reaksi-reaksi di atas tadi bisa dimaklumi adanya. Awal dari tradisi sastra Minangkabau dimulai dari kaba. Merupakan kisah-kisah tradisinal Minangkabau yang sering dikaitkan dengan realitas hidup orang Minangkabau sendiri. Pada mulanya kaba ini hanya menjadi cerita lisan yang biasanya dikisahkan oleh orang-orang tertentu dalam acara-acara tertentu pula. Pembawa cerita ini biasa disebut “janang”. Pada satu segi, fungsi “janang” ini bisa disamakan dengan “dalang” di Jawa. Hanya saja “janang” hanya bertutur saja, tanpa bantuan peragaan seperti wayang kulit, wayang golek, atau sejenisnya.

“Kisah-kisah kaba ini punya kecenderungan untuk menghubungkan Ceritanya dengan suatu peristiwa nyata. Penutur atau pembacanya seakan dihadapkan kepada realitas konkret. Hal itu masih diperkuat pula dengan hubungan antara kejadian dan tempat-tempat yang konkret sehingga menambah kekonkretan realitas. Pembaca atau pendengar kaba akan beranggapan bahwa yang didengar atau dibacanya adalah suatu peristiwa konkret yang tidak disertai imajinasi pengarangnya. "Hikayat Cindur Mato", sebuah kaba yang sangat legendaris di Minangkabau banyak dikatakan orang Minang bahwa itu adalah kisah di seputar kerajaan Minangkabau. Bundo Kandung, salah seorang tokoh dalam legenda tersebut diyakini sebagai raja Minangkabau yang matrilineal itu. Banyak legenda lainnya, seperti "Anggun Nan Tongga", "Sabai Nan Aluili”, bahkan dongeng "Malin Kundang" yang tersohor itu pun dianggap sebagai suatu peristiwa nyata yang pernah bersentuhan dengan kehidupan orang Minangkabau. Di zaman sastra modern Minangkabau, roman "Sitti Nurbaya" karya Marah Rusli juga dihubungkan dengan realitas hidup orang Minangkabau. Bahkan, sebuah taman wisata di kota Padang dinamai "Taman Sitti Nurbaya."


"Selain masalah di atas, ada hal lain yang mungkin menimbulkan "konflik" antara seorang pengarang dengan pembaca karyanya. Yang terakhir ini disebabkan perbedaan pola berpikir di antara keduanya. Umar Junus, seorang kritikus sastra Indonesia/Malaysia mengatakan bahwa pola pemikiran di antara kedua unsur itu semakin terasa jaraknya. Hal ini dimungkinkan karena di antara keduanya terdapat jurang pemisah. Dunia pembaca, menurut Umar Junus, merupakan dunia yang tidak kreatif karena ia hanya lebih merupakan pemakai atau pengguna. Kemungkinan kreatif yang mungkin ada dalam diri mereka hanya kesanggupan memberi reaksi yang positif terhadap kreasi baru.


"Sebaliknya, dunia pengarang tidak dapat dilepaskan dari proses kreatif sehingga selalu akan terjadi pembaharuan. Pembaharuan ini kadang-kadang terlalu maju sehingga pembaca mesti melepaskan sama sekali kerangka pemikiran yang dipunyainya sebelumnya untuk dapat memberi reaksi yang positif terhadap karya tersebut. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah cerpen "Si Padang" itu sebuah realitas yang diangkat ke imajinasi si pengarang belaka?


"Tentunya hanya Harris Effendi Thahar yang tahu masalahnya. Tetapi, sebagai orang yang menyukai tulisan-tulisan fiksi semacam itu, dan sesekali juga mencoba membuatnya, saya lebih cenderung mengatakan bahwa Harris hanya merangkai-rangkai angan-angannya saja. Tokoh yang dihormati orang di kampung halaman dan kemudian ternyata seorang munafik di rantau itu adalah tokoh rekaan Harris belaka. Tokoh itu hanya hidup dalam angan-angannya saja. Apakah tokoh itu pernah hidup dalam realitas, itu bukan urusan Harris. Persamaan-persamaan mungkin saja terjadi dalam kehidupan ini, kendati yang satu hanya hidup dalam angan-angan atau imajinasi pengarangnya saja. Lalu apakah kita bisa protes terhadap angan-angan orang lain?


"Begitulah, memang, seorang pengarang selalu ingin mengangkat suatu peristiwa ke dalam tulisan-tulisannya. Tetapi, apakah kemudian karya tersebut persis sama atau malah sangat berbeda dengan peristiwanya, tidak lagi penting, sebab pengarang mengangkatnya dengan emosi, nalar, dan interpretasinya. Sebuah peristiwa tidak akan begitu saja masuk ke dalam suatu karya fiksi seperti cerpen, novel atau puisi sebelum disaring dan diterjemahkan lagi sesuai dengan keinginan pengarang. Karena itu, kecil sekali kemungkinannya bahwa tokoh munafik dalam "Si Padang" itu terdapat pula dalam realitas kehidupan, kendati bukan mustahil. Seorang pengarang yang baik tidak akan memamah begitu saja suatu peristiwa dan memasukannya ke dalam karya fiksinya secara mutlak.


"Kondisi seperti itu pulalah yang terjadi pada cerpen 'Si Padang". Padahal tak ada jaminan yang bisa dipegang bahwa tokoh tersebut memang orang yang bersih. Seolah-olah mustahil ada orang Minangkabau yang bertipe macam tokoh dalam cerpen "Si Padang” itu, yang berbuat tak senonoh dan melanggar norma masyarakat umum. Keberhasilannya dalam hal materi juga tidak begitu saja akan menjadikannya sebagai orang bermoral tinggi. Keberhasilan materi malah bisa menggoyahkan seseorang yang tadinya baik. Contohnya cukup banyak di tengah masyarakat."

Amri Rovella R., seorang pembaca Pelita yang tinggal di Ciputat, Jakarta menulis tanggapannya atas tulisan Dasriel Rasmala. Tanggapan Amri dimuat dalam Pelita edisi 9 Januari 1987. Berikut tanggapan atas tulisan Dasriel Rasmala tersebut.


"Tulisan ini saya peruntukkan kepada Kakanda Dasriel Rasmala, sehubungan dengan tulisannya. Karena ulah Harris Effendi Thahar yang telah menulis sebuah cerpen yang diberi judul "Si Padang" di Kompas Minggu beberapa bulan yang lalu telah menimbulkan reaksi serta kritik dari beberapa orang yang tercoreng arang di keningnya". Dasriel Rasmala kemudian menulis tentang cerpen tersebut, yang lagaknya dimaksudkan sebagai penengah atau "hakim". Sebagai penengah? Betulkah? Uda Dasriel, seorang wartawan yang juga sastrawan, dalam "kasus" ini menurut saya agak kurang berhasil berdiri di tengah, dalam artian tidak menyalahkan para "penggugat", Edizal dan Meuthia Ganie Rochman serta yang lainnya, dan juga tidak menyalahkan sang pengarang 'Si Padang" sendiri.


"Agaknya, Uda Dasriel memijakkan kakinya di depan Harris sehingga ia memberat timbangannya dan mungkin memberat pula harganya sebagai sastrawan. Sebagai contoh, Uda Dasriel menulis:

"....sebagai orang yang menyukai tulisan-tulisan fiksi semacam itu, dan sesekali juga mencoba membuatnya, saya lebih cenderung mengatakan bahwa Harris merangkai-rangkai angan-angannya saja." Merangkaikan angan-angan saja? Ah, terlalu "bagadele". Saya yang juga "urang awak", jelas menyanggah argumen ini. Bukankah suatu angan-angan acapkali berangkat dari suatu kenyataan? Apalagi kalau dilihat gaya cerpen Harris mempunyai kecenderungan realis ketimbang fiksi total, apalagi absurd. Tepatnya cerpen Harris telah menampilkan suatu fenomena yang memang ada terjadi di dalam masyarakat di mana cerpen ini berangkat. Tapi tunggu dulu, sekalipun realita itu ada, toh itu jelas hanya segelintir jumlahnya. Tentu hanya orang bodoh yang akan membesar-besarkan setitik nila dalam sebelanga madu!


"Kalau soal tingkah orang seperti dalam cerpen "Si Padang" tersebut yang dipersoalkan, hal itu bukan saja ada dalam masyarakat Minangkabau, tetapi juga ada dalam masyarakat mana pun juga. Terlepas dari debat di atas, menurut hemat saya, yang menjadi biang ribut itu adalah cuma judulnya, yaitu "Si Padang". Pada gilirannya, tentu saja, si pengarangnya itu. Kenapa mesti "Si Padang", 'Da Harris?"


Simpulan

Dari uraian mengenai riwayat hidup serta karya Harris Effendi Thahar dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Harris Effendi Thahar menjadi seorang sastrawan adalah karena bakat alami yang ada pada dirinya semenjak kanak-kanak dan dipengaruhi pula oleh orang tuanya. Ayahnya adalah seorang mubalig tamatan Thawalib Padangpanjang yang setiap hari memberikan wirid di masjid-masjid dan mengharuskannya memiliki koleksi bacaan. Semasa kecil, Harris telah mengenal dan membaca berbagai macamn bacaan yang dikoleksi oleh ayahnya itu.


Kedua, sewaktu di SMP, Harris mulai kenal dengan cerpen karena di sekolah tersebut setiap hari Sabtu diadakan lomba baca cerpen. Harris selalu menjuarai lomba tersebut sehingga gurunya, sekaligus wali kelasnya, Bapak Bustanul Arifin sering memujinya. Harris pernah diundang ke rumahnya, diperlihatkan berbagai macam bacaan, dan dipinjami bacaan-bacaan tersebut. Harris sangat mengidolakan Motinggo Boesye dan Mochtar Lubis. Selama sekolah, Harris sudah menamatkan bermacam-macam karya penulis idolanya itu karena ia pernah dipercaya menjadi pengurus perpustakaan sekolah.


Ketiga, ketekunan dalam belajar tentang segala hal melalui bacaan yang senantiasa menambah wawasannya membuat Harris Effendi Thahar semakin mempunyai potensi untuk menulis. Keputusan Harris Effendi Thahar melanjutkan S-1 ke perguruan tinggi bidang bahasa dan sastra semakin memantapkan penguasaan estetika bahasanya.


Keempat, dalam karir kewartawanan, Harris sudah memulainya ketika masih menjadi mahasiswa dan sering bertandang ke Haluan membuatnya berkenalan dengan teman-teman seprofesi yang pada akhirnya menyebabkan ia semakin giat menulis. Harris pun bergabung dalam sebuah kelompok diskusi "Kerikil Tajam" yang ikut mempengaruhi kepiawaiannya sebagai sastrawan. Profesi sebagai wartawan telah dilepasnya semenjak tahun 2003. Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. menjadi dosen di FPBS IKIP Padang (sekarang FBSS UNP), mengantarkan dirinya meraih gelar doktor di bidang sastra, bahkan menjadi guru besar di almamaternya itu.


Kelima, dalam bidang kekaryaan, selain menulis cerpen, Harris juga menulis puisi dan buku yang telah diterbitkan. Cerpen "Si Padang" dan "Pemilihan Umum" adalah dua karya yang telah melambungkan namanya.