Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

2
BIOGRAFI DAN KARYA RUSLI MARZUKI SARIA


Biografi

Nama lengkap Rusli Marzuki Saria adalah H. Rusli Marzuki Saria dengan panggilan akrab “Papa” atau dengan inisial RMS. Nama belakang RMS, “Marzuki Saria” berasal dari nama ayahnya Marzuki gelar Datuk Rajo Penghulu dan nama ibunya Sarianun.

Rusli Marzuki Saria dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan perdesaan Minangkabau yang sarat dengan tradisi dan ajaran agama Islam yang kuat. Rusli Marzuki Saria adalah anak laki-laki satu-satunya dari 17 orang bersaudara. Ayah Rusli Marzuki Saria adalah seorang yang terpandang di daerahnya karena ia pernah menjadi wali nagari (pemimpin nagari) dan seorang pengusaha yang sukses. Tidak mengherankan kalau ayah Rusli Marzuki Saria memunyai istri sebanyak 23 orang. Dari saudara kandung satu ayah dan satu ibu, Rusli Marzuki Saria merupakan anak tertua dengan dua orang adik perempuan.

Rusli Marzuki Saria dilahirkan di Kamang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat pada tanggal 26 Februari 1936. Pada awalnya Rusli Marzuki Saria tinggal bersama ibunya di kampung halaman mereka, Kamang, Agam. Rupanya nasib Rusli Marzuki Saria harus menjadi anak piatu karena pada tahun 1946 ibunya meninggal dunia ketika itu ia masih duduk di kelas III SD. Ayahnya memboyong anak laki-lakinya ini pindah ke Labuah Basilang, Payakumbuh. Di Payakumbuh, ayahnya melanjutkan usaha di bidang jasa angkutan kuda (bendi), meneruskan usaha yang telah ada di Agam dulu. Di Payakumbuh inilah Rusli Marzuki Saria menyelesaikan pendidikan SD dan menamatkan SMP (Sore) pada tahun 1953 dan pada tahun yang sama ayahnya pun meninggal dunia sehingga rencana akan melanjutkan studi ke Akademi Seni Rupa (ASRI) Yogyakarta pun batal. Gagal melanjutkan pendidikan di ASRI Yogyakarta, Rusli Marzuki Saria melamar menjadi pegawai sipil pada Kepolisian Sumatra Tengah di Bukittinggi pada tahun 1953 dan ia diterima. Rusli diangkat menjadi calon klerk (juru tulis) golongan III A di kantor Koordinator Mobiele Brigade Korps 106 Sumatra Tengah (Koimob-106). Mobiele Brigade (Mobbrig) kemudian berganti nama menjadi Brimob (Brigade Mobil) dan berkantor di Jalan Merapi, Bukittinggi.


Pada tahun 1955, Rusli diasimilasi dari Pegawai Sipil menjadi Agen Polisi Kepala Mobbrig di kantor yang sama. Artinya, golongan III A PGPN 1955 diturunkan menjadi golongan BB/IH dengan masa kerja ditambah dua tahun karena memiliki ijazah SMP. Semenjak bekerja di lingkungan Mobbrig pada tahun 1953, Rusli melanjutkan pendidikan SMA di bagian A (Jurusan Bahasa) SMA (Sore) Sandyakalta di Bukittinggi. Di sekolah itu, Rusli mengenal sastrawan Datuak Batuah Nurdin Yacub yang terkenal dengan nama pena Dt. B. Nurdin Yacub. Sastrawan yang cerpen-cerpennya sering dimuat di majalah Kisah, Jakarta yang dipimpin oleh H.B. Jassin itu adalah dircktur SMA Sandyakala. Rusli tamat SMA pada tahun 1957.

Pada tahun 1988, ketika terjadi pemberontakan PRRI-Permesta (Perang Revolusi Republik Indonesia-Perlawanan Rakyat Semesta), Rusli Marzuki Saria dipecat dari kepolisian karena terlibat dengan pemberontakan daerah Sumatera Tengah terhadap Pemerintahan Pusat tersebut. Rusli bergabung dengan Kompi Mawar, kompi mahasiswa Kedokteran, Hukum, dan Ekonomi Universitas Andalas Padang, serta mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Bukitinggi. Kompi Mawar dipimpin oleh komandan kompi Lettu Husin Abdullah dengan daerah operasi Bukarch, Hukik Kaliriak, Tilatang Kamang, Kabupaten Ayat. Mereka yang begerilya di hutan-hutan Sumatra Barat, seperti Kompi Mawar yang berjuang sebagai tentara PRR U itu disebut "Di Luar”, sedangkan TNI (Tentara Republik Indonesia) yang menduduki kota disebut “Di Dalam?

Heberapa komp1 kepolisian terus-menerus mengadakan konsolidasi dan bergabung di bawah pasukan PRRI hingga aklurnya dibuka PKK. (Pendidikan Komandan Kompi), PKKSY (Penduhkan Kader Kepolisian Sumatra Tengah), dan Capa (Calon Perwawraj dh Lintau, Kabupaten Janah Datar. Rusli memasuki PRKST dan setelah selesai pendidikan ia berpangkat ATP (Ajun Inspektorat Polisi) dengan surat keputusan yang ditandatangani oleh Kombes (Komnsaris Besar) Palisi Soctan Sacas. Pada tanggal 31 Juli 1961, Presiden Soekarno mengumumkan amnesti untuk tentara PRRI-Permesta dan “karier” Rusli pun berakhir. Kisah perjuangan ketentaraannya inilah yang kelak banyak mengilhami puisi-puisi Rusli Marzuki Saria.

Setelah pemberontakan PRRI-Permesta selesai, Rusli Marzuki Sana menjalani kehidupannya sebagai warga sipil. Ia pun berangkat ke Padang dengan KTP Bukittinggi berlabel “Tidak Boleh Meninggalkan Daerah.” Ketika di Padang telah terbit surat kabar Aman Makmur. Respublika, Angkatan Bersenjata, dan Suara Persatuan, Rusli mulai mengirim puisi dan esai ke Respublika yang memiliki ruang kebudayaan yang dipimpin oleh Nasrul Siddik dan ke Aman Makmur yang salah seorang redakturnya adalah A. Pasni Sata. Di samping menulis di koran, Rusli pun memiliki ruangan sastra di RRI Padang.

Sejak tahun 1962, Rusli Marzuki Saria bekerja sebagai tenaga tata usaha di Koperasi Batik Fajar Putera, satu-satunya koperasi batik luar Jawa yang menjadi anggota GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia). Anggota koperasi tersebut adalah para pembatik dari daerah Sampan/Balahilir, Pungguang Ladiang, Lubuak Aluang di Kabupaten Padang Pariaman, Balingka di Kabupaten Agam, Payakumbuh dan Padang Japang di Kabupaten 50 Kota, dan Kota Padang. Rusli bekerja di koperasi tersebut sampai bulan April 1969.

Rusli Marzuki Saria menikah dengan Hanizar Musa di kampung halamannya, Kamang, Kabupaten Agam pada tanggal 4 Mei 1953. Ketika ituia telah berusia 27 tahun dan sedang sukses dengan usahanya di Kota Padang sebagai pengurus koperasi batik. Pernikahan itu dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Nama anak-anak Rusli Marzuki Saria adalah Fitri Erlin Denai (Padang, 23 Januari 1964), Vitalitas Fitrat Sejati (Padang, 24 Januari 1966), Satyagraha (Kamang, 20 Juli 1968), dan Diogenes (Padang, 14 Mei 1970).

Perkenalan Rusli dengan wartawan-sastrawan senior Sumatra Barat, seperti Chairul Harun, Syafri Segeh, dan penyair Leon Agusta terjadi melalui pertemuan-pertemuan informal dan diskusi sebagai sesama penulis kreatif Kota Padang waktu itu. Atas tawaran Kasoema, mereka menerbitkan kembali surat kabar harian Haluan yang telah di-breidel sejak sepuluh tahun lalu. Pada tanggal 1 Mei 1969, Haluan mendapat rekomendasi dari Kodim (Komando Distrik Militer) untuk terbit kembali. Rusli Marzuki Saria diberi tugas sebagai sekretaris redaksi hingga akhir tahun 1970 dan di Haluan yang terbit kembali itu, Rusli bertemu dengan wartawan senior Syamsuddin Datuak Tuo dan Annas Loeboek. Pengalaman bekerja sebagai wartawan Haluan salah satunya yang berkesan bagi Rusli seperti yang ditulisnya dalam Jejak Langkah Wartawan Senior (2011:101—108) adalah ketika mendapat penugasan meliput berita-berita Pengadilan Negeri Padang, Asma Samik Ibrahim, S.H. yang ketika itu menjadi humas Pengadilan Negeri Padang selalu meladeni dengan telaten dan sering berkata: “Baca sajalah BAP-nya.”

Rusli Marzuki Saria mengasuh ruangan "Remaja Minggu Ini” yang khusus memuat tulisan para penulis muda, seperti cerpen, puisi, dan esai. Ia juga rrengasuh ruangan "Budaya Minggu Ini” yang memuat tulisan-tulisan yang Julus dalam kriteria sastra dan seni. Melalui kedua ruangan yang diasuhnya, Rusli memberikan kesempatan yang sangat baik bagi para penulis muda dan penulis yang sedang meniti karier mereka untuk lebih menekuni dunia kepengarangan. Rusli Marzuki Saria pernah memasuki lingkungan legislatif, yaitu ketika Golkar (Golongan Karya) tampil sebagai partai besar tanpa saingan pada masa Orde Baru sedang berkuasa. Rusli pun menggeluti dunia politik dengan menjadi pengurus Golkar pada tahun 1985—-1988 dan menjadi anggota DPRD Tingkat II Kotamadya Padang pada tahun 1986—1991. Dunia legislatif hanya disinggahi sejenak sebab dunia sesungguhnya, bagi Rusli, adalah dunia kepenyairan yang dijalani dengan penuh konsistensi.

Semenjak bergabung dengan Haluan pada tahun 1969, barulah pada bulan Juli 1999 Rusli pensiun setelah 30 tahun berkarier sebagai wartawan, Rusli Marzuki Saria pensiun dari Haluan dengan status sebagai Pemihk Saham Pendiri. Serih payah sebagai wartawan telah dipetiknya ketika PWI Sumbar pada tahun 1973 mengurus perumahan bagi anggotanya. Bersama istri yang dipanggil “Mama” oleh anak-anaknya, “Papa” Rusli Marzuki Saria dan keempat anaknya mendiami rumah yang berada di Jalan Bangka No. 13 Wisma Warta, Ulak Karang, Padang. Saat ini, beberapa orang anaknya sudah tinggal terpisah karena melakoni kehidupan bersama keluarga masing-masmg di kota Izin.

Kedua orang tua yang telah memiliki sepuluh orang cucu dan tetap rukun sampai hari tuanya itu menunaikan ibadah haji ke Mekah pada tahun 1997, H. Rusli Marzuki Saria adalah satu di antara sastrawan Sumatra Barat yang berhasil mematahkan mitos bahwa untuk menjadi sastrawan besar seseorang harus merantau ke ibu kota. Pada tanggal 26 Pebruari 2011 talu, “Papa” Rusli Marzuki Sarta geuap berusia 75 tahun. Untuk memperingati ulang tahun ke-75 “Papa”, Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat menyelenggarakan perhelatan seni dan budaya tepat pada hari kelahiran penyair bersahaja itu. Acara yang diberi tajuk “Dendang Petani, Dendang Parewa” tersebut digelar di Teater Utama Taman Budaya Padang dan diisi oleh berbagai acara, antara lain, pembacaan, musikalisasi, dan dramatisasi puisi karya Rusli Marzuki Saria, serta orasi budaya dengan topik “Keberadaan Rusli Marzuki Saria dalam Kepenyairan Sumatra Barat dan Indonesia” oleh guru besar Universitas Negeri Padang, Prof. Dr. Hasanuddin WS. Dalam karier kewartawanannya, Rusli Marzuki Saria telah mengikuti berbagai pelatihan sebagaimana diurutkan berikut ini.

(1) Karya Latihan Wartawan Daerah di Padang, 1973.
(2) Karya Latihan Wartawan Nasional Gelombang XVI di Jakarta, 1978.
(3) Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Andalas, Padang, 1981.
(4) Karya Latihan Wartawan Nasional dan Seminar Wilayah I PWI Pusat di Medan, 1985.
(5) Karya Latihan PWI-SPSI di Yogyakarta, 1991.
(6) Karya Latihan Wartawan PWI/K.oran Masuk Desa di Yogyakarta, 1992.

Karier kewartawanan Rusli Marzuki Saria diawali dan diakhirinya di Surat Kabar Haluan. Beberapa jabatan yang pernah didudukinya di Haluan dan di organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adajah sebagai berikut.

(1) Ikut menerbitkan kembali Surat Kabar Harian Haluan pada tanggal 1 Mei 1969 setelah dibreidel pada bulan April 1958
(2) Sekretaris Redaksi Haluan, 1969-—1970.
(3) Asisten Chief Editor Haluan, 1970—1999.
(4) Redaktur Kebudayaan Haluan, 1970-1999.
(5) Wakil Bendahara PWI Sumbar, 1975—19809.
(6) Bendaharawan PWI Sumbar, 1980-—1984.
(7) Ketua Bidang Organisasi PWI Sumbar, 1980——1984.

Sepanjang perjalanan hidupnya, sebelum mengukuhkan identitasnya sebagai wartawan, berbagai profesi pernah dirambahnya. Berikut ini adalah berbagai profesi Rusli Marzuki Saria di luar kegiatan jurnalistik tersebut. (1) Calon Klerk pada Koordinator Mobbrig K.orps 106 Sumatra Tengah di Bukittinggi, 1953—1956.
(2) Agen Polisi Kepala pada Koordinator Mobbrig Korps 106 Sumatra Tengah di Bukittinggi, 1996—1958.
(3) Anggota DPRD Tingkat II Kotamadya Padang, 1986—1991.
(4) Dosen Luar Biasa Mata Kuliah Jurnalistik dan Menulis Kreatif di Universitas Bung Hatta, Padang, 2000—2011.


Dalam karier kewartawanannya, Rusli Marzuki Saria memiliki kesempatan melakukan perjalanan jurnalistik. Beberapa negara telah dikunjunginya dan melalui perjalanan-perjalanan tersebut, ia semakin mengukuhkan jiwa kepenyairannya. Selain menulis laporan safari jurnalistik, puluhan sajak pun ditulisnya sebagai rekaman pengalaman batin atas tempat-tempat yang ta kunjungi. Berikut ini adalah urutan kunjungan Rusli Marzuki Saria ke berbagai tempat berdasarkan kegiatan-kegiatan yang diikutinya.

(1) Mengikuti latihan perang Angkatan Laut Indonesia-Australia di Laut Karang Pasifik dan mengunjungi kota Cairns, Townsville, Australia, dan Dilli, 1977.
(2) Atas undangan Kedubes Jerman Barat di Jakarta, mengunjungi kota Frankfurt, Hamburg, Munich, Berlin Barat, Berlin Timur, dan Koln. Oktober 1984.
(3) Sebagai penyair, mengunjungi Malaysia, Bangkok, dan Pilipina.
(4) Sebagai wartawan, menulis faporan jumalistik: lawatan ke Malaysia, Bangkok, Australia, dan Jerman Barat.
(5) Sebagai wartawan, menulis laporan perjalanan haji “Parewa Naik Haji", 1997.


Rusli Marzuki Saria meraih penghargaan dari dunia yang saling berkelindan, baik dari dunia jurnalistik maupun dunia sastra. Ia tercatat memperoleh empat penghargaan di kedua bidang tersebut.

(1) Menerima Hadiah Sastra dari Pusat Babsasa, Departemen Pendidikan Nasional, 1997,
(2) Menerima Hadiah Tuah Sakato dari Gubernur Sumatra Barat, 2008.
(3) Menerima Piagam 30 Tahun Mengabdi Profesi Wartawan dari PWI Pusat, 2006.
(4) Menerima Tanda Keanggotaan PWI Pusat Seumur Hidup Karya-Karya Rusli Marzuki Saria

Rusli Marzuki Saria adalah seorang penyair yang telah menghasilkan banyak sekali karya, telah berjumlah ratusan. Rusli Marzuki Saria sebetulnya telah mulai menulis sajak semenjak masih duduk di bangku kelas V SD. Tulisannya ketika itu hanya sebatas coretan di buku tulisnya sendiri, namun publikasi sajaknya baru dimulai ketika ia sudah menjadi siswa SMA (Sore) Sandyakala di Bukittinggi. Rusli Marzuki Saria juga seorang penulis esai, meskipun jumlah dan publikasinya tidak seperti puisi. Puisi dan esai yang ditulis Rusli dimuat di ruangan “Kuncup Muda” dan sering pula di “Ruang Kebudayaan” di surat kabar harian Haluan Padang. Puisi-puisinya juga dibacakan pada acara “Ruangan Sosial Budaya” Radio Republik Indonesia (RRI) Bukittinggi yang diasuh oleh Alm. A.A. Navis dan Alm. Syakban. Puisi-puisi Rusli dimuat pula di koran Nyata, Bukittinggi yang memiliki halaman cerpen, sajak, dan esai. Pemimpin redaksi koran tersebut pada tahun 1956 itu adalah Suwardi Idris.


Ketika pindah dari Bukittinggi ke Padang setelah PRRI-Permesta usai, Rusli Marzuki Saria pun tidak lagi berada pada dinas kepolisian. Menulis sajak dan esai tetap dilakoninya. Kadang-kadang ia menulis hanya di kertas pembungkus rokok atau sembarang kertas lainnya, lalu dikirimnnya tulisan itu ke berbagai media. Tulisan-tulisannya pernah terbit di Majalah Zaman Baru, Indonesia, Konfrontasi, Aman Makmur, Respublika, Horison, Basis, surat kabar Sinar Harapan, Suara Karya, dan Budaya Jaya. Puisi-puisi yang ditulisnya itu di kemudian hari diterbitkan berbentuk kumpulan puisi sendiri atau antologi bersama penyair lain.


Kumpulan Puisi Rusli Marzuki Saria yang telah terbit adalah sebagai berikut.

(1) Pada Hari Ini, Pada Jantung Hati. Genta Padang.
(2) Monumen Safari: Antologi Berempat. 1996. Genta Padang.
(3) Ada Ratup, Ada Nyanyi. 1976. Puisi Indonesia, Jakarta.
(4) Tema-Tema Kecil. 1979. Puisi Indonesia, Jakarta.
(5) Sendiri-Sendiri, Sebaris-Sebaris dan Sajak-Sajak Bulan Februari. 1976, Puisi Indonesia, Jakarta.
(6) Sembilu Daruh (Lima Kumpulan Sajak). 1995. Dewan Kesenian Surnatra Barat dan Pustaka Sastra, Jakarta.
(1) Parewa: Sujak dalam Lima Kumpulan (1960—1992). 1998. PT Grasiodo. Jakarta. (8) Mangkutak di Negeri Prosa Liris. 2010. PT Grasindo, Jakarta.

Rusli Marzuki Saria merupakan penyair yang mempunyai intensitas kuat dalam merekam serta menghayati alam serta persoalan hidup dan kehidupan lingkungannya. Bagi Rusli, puisi adalah media yang benar-benar tepat untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya. Ia menyuarakan ketakjuban, keprihatinan, dan kerinduannya pada alam melalui ungkapan puisinya. Rusli juga mengungkapkan kegalauannya melihat penderitaan yang dialami suku bangsanya (Minangkabau) akibat perang saudara yang pernah terjadi. Rusli adalah tipikal manusia yang tidak suka membuka konflik dengan orang lain sehingga ketika ia merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan dengan lingkungan, ia tidak akan menghadapinya secara frontal. Rusli akan menggunakan kepiawaiannya merangkai rasa dalam kata untuk menyatakan apa pun yang ia rasakan. Laki-laki yang selalu tampil bersahaja itu menyampaikan sajak-sajaknya dengan nada tenang dan bersahaja pula.


Persoalan yang diungkapkan dalam puisi Rusli Marzuki Saria bukanlah persoalan yang berat dan rumit, melainkan persoalan-persoalan ringan yang sebetulnya juga amat sederhana. Meskipun demikian, umumnya pwsi Rusli Marzuki Saria lahir dari penghayatan yang mendalam terhadap persoalan yang diamati, dirasakan, dan dipikirkannya. Rusti menyampaikan sajaknya dengan lembut dan sering dengan kesedihan, bukan dengan emosi yang meluap-luap.


Puist-puisi Rusli Marzuki Saria sarat pula dengan budaya Minangkabau, suku bangsa tempat ia lahir, dibesarkan, dan yang memperkaya sepanjang perjalanan hidup penyair gaek itu. Budaya Minangkabau tergambar jelas melalui beberapa kumpulan puisinya, seperti Parewa: Sajak dalam Lima Kumpulan (1960—1992) dan Mangkutak di Negeri Prosa Laris. Rusli pun menulis puisinya dengan gaya syair sambil mengisahkan epos dan legenda rakyat Minangkabau, seperti puisi yang berjudul “Puli Bunga Karang”, “Mangkutak”, dan “Sajak-Sayak Parewa”.


Beberapa tema yang menonjol pada puisi Rusli Marzuki Saria adalah potret alam, gejolak PDRI, keresahan, napas keagamaan, kritik sosial, dan puisi lirik romantik. Tema-tema itu dideskripsikan pada bagian berikut.


Beberapa puisi Rusli Marzuki Sarta mengungkapkan potret alam dalam kehidupan yang tenang, damat, harmonis, meskipun kadangkadang miris. Hal itu terdapat di antaranya pada puisi “Berkelok Jalan ke Maninjau Danau” (1962), “Danau Singkarak Tengah Hari” (1962), dan “Yang Rindu” (1962).

BERKELOK JALAN KE MANINJAU DANAU (1962)

Berkelok jalan ke Maninjau, danau
Tak kulupa wajah orang tua yang rawan
Masa mudanya dihabiskan di rantau, o rantau
Awan senja pun turun, biru air danau hijau pebukitan

Pisau Jempagi di saku terasa meronta ingin ditikamkan
Perantau ingin menulis riwayat selama kembara
Pengalaman bagai danau, O danau
Kiranya ditimba selalu bila “kan keringnya


Kisah perantau tua yang menghabiskan masa hidupnya di rantau digambarkan melalui pemandangan indah di Danau Maninjau: kelok jalan yang banyak sekali, awan biru, air danau yang juga berwarna biru, dan perbukitan hijau yang melatari danau tersebut. Perjalanan dan pengalaman hidup yang banyak dan panjang dari perantau itu merupakan sumber cerita yang tidak akan pernah habis meskipun telah diceritakan berkali-kali. Hal itu dimetaforakan melalui air danau yang takkan pernah kering meskipun ditimba setiap hari. Keinginan kuat orang tua itu untuk mengisahkan pengalamannya selama merantau dimetaforakan pada pisau lempagi di saku terasa meronta ingin ditikamkan/perantau ingin menulis riwayat selama kembara.

Perantauan bagi setiap orang Minangkabau tidaklah membuat mereka melupakan kampung halamannya. Selama apa pun tanah kelahiran ditinggalkan, ikatan kekerabatan, cmosional, dan finansial dengannya tetap terjalin kuat. Motivasi merantau di antaranya adalah untuk membangun kampung halaman, di samping untuk meningkatkan kemakmuran hidup pribadi dan keluarga. Seorang perantau senantiasa merindukan kampung halamannya dan ingin kembali pulang suatu ketika.

Pada puisi lain, Rusli Marzuki Saria menceritakan mirisnya kehidupan petam di kampung halaman dengan segala keterbatasannya. Sajak Danau Singkarak Tengah Hari bercerita tentang kehidupan yang serba kekurangan di kampung dan keinginan meninggalkan kampung untuk dapat memperbaiki kehidupan. Kampung halaman yang sangat dicintai, namun juga harus ditinggalkan, dan suatu saat kelak akan dikunjungi kembali karena kerinduan terhadapnya yang tidak pernah bisa dihapuskan dari perasaan.


DANAU SINGKARAK TENGAH HARI (1962)

Singkarak
wajah si Upik bermata perak
sekali beriak
tengah hari.

Singkarak ni
danau di kaki bukit
di atasnya awan berarak
bagai selimut putih.

Kusadari ada duka
ada luka,
mengiris jantung petani
lewat tali-tali rebab
di kedai-kedai kopi.

Danau
hatiku danau
berlinang mata penumpang
kereta makin lari
ningpalkan senyuman kau.

Singkarak
wajah si upik bermata perak
sekah beriak
tenyah hari


Pesan yang dapat dimaknai pada sajak itu adalah tentang penderitaan kehidupan petani di kampung yang banyak didera penderitaan karena sutitnya penghidupan. Pesan itu disampaikan lewat rebab, alat musik gesek tradisional yang sering dimainkan dengan nada-nada mendayu-dayu untuk mengiringi pantun-pantun kesedihan. Rebab merupakan instrumen pengiring dalam menyampaikan kaba. Biasanya, kaba bercerita antara lain tentang penderitaan hidup di kampung, perjuangan hidup di rantau, dan nelangsanya hidup di hari tua. Tepat sekali apabila Rusli Marzuki Saria menggunakan diksi tali-tali (dawai) rebab sebagai metafora, yakni alat yang dapat mengiris jantung para petani dan yang membuat mereka semakin merasa perih.


Menghayati hakikat kehidupan sebagai petani yang menggarap sawah setiap hari merupakan suatu romantika kehidupan yang indah dan mengundang kebahagiaan tersendiri bagi masyarakat di desa. Sebagai petani, sebenarnya mereka telah akrab dengan keindahan nuansa alami perdesaan, tetapi ketika dihadapkan kepada persoalan perekonomian yang sulit, terasa sekali penderitaan yang mereka tanggung sehari-hari. Setiap hari menggarap tanah dan sawah, namun hasil yang mereka harapkan tidak sesuai dengan kebutuhan hidup yang harus ditutupi, kegagalan panen, apalagi dibandingkan dengan usaha kerja keras yang telah dilakukan, menambah penderitaan bagi petani. Salah satu alternatif untuk mengubah persoalan tersebut bagi orang Minangkabau adalah merantau. Puisi “Danau Singkarak Tengah Hari” mengisahkan perjalanan merantau seseorang yang harus meninggalkan segala kenangan: Danau Singkarak yang indah, perempuan yang bermata perak, dan perjalanan dengan kereta api yang membuat air mata menitik.


Pada puisi berjudul “Yang Rindu”, Rusli masih memakai metafora alam. Jika pada dua puisi terdahulu perlambangan digunakan pada Danau Maninjau dan Danau Singkarak, kali ini pada Ngarai Sianok.

YANG RINDU (1962)

Busur pelangi senja

Terpanah duka di sarangnya

Mengalir sungai dalam banjir

Lembah Sianok di dasarnya.


Di tubir sungai curam

Tumbuh enau dan bunga lala

Seperti sangkutan baju yang setia

EX rumah pengantin baru

16

Lembah biru
Yang rindu

//Di tubir ngarai yang curam/tumbuh enau dan bunga lala/seperti sangkutan baju yang setia/di rumah penganten baru// bercerita tentang kerinduan terhadap kedamaian dan keindahan suasana perdesaan yang asri. Di dalam kesusahan hidup di desa “di tubir ngarai yang curam”, ada keindahan “tumbuh enau dan bunga lala”, ada kesetiaan pula di sana “seperti sangkutan baju yang setia/di rumah pengantin baru.” Komparasi bait-bait puisi itu seperti dualisme pengembaraan jiwa Rusli Marzuki Saria yang hidup antara realita dan fantasi.


Pada zaman pemberontakan PRRI-Permesta, Rusli Marzuki Sarta mengalami sendiri semua akibat yang ditimbulkan oleh perang saudara karena waktu itu ia ikut menjadi tentara pemberontak daerah yang berperang melawan tentara pusat. Penderitaan yang ditimbulkan oleh perang terscbut menjadi rekaman dalam ingatan Rusli Marzuki Saria yang dilahirkannya kembali melalui sajak-sajaknya yang bernada kepiluan. Kumpulan Sajak Ada Ratap Ada Nyanyi yang bertuliskan angka tahun 1962 sampai tahun 1974 menyuarakan balada tentang ratapan rakyat Minangkabau yang sengsara dalam menyuarakan aspirasinya terbadap kepentingan daerahnya.


Di antara saja-sajak yang dituliskan Rusli Marzuki Saria dalam kumpulan Ada Ratap Adu Nyanyi itu adalah sajak “YBL”, “Lambaian Tangan”, dan sajak “Perjalanan Jauh”. Sajak “YBL” bercerita tentang kemiskinan yang dialami sebagian besar masyarakat Minangkabau pada waktu itit, /Hidup pun selalu hadir/bersama kemiskinan dan lapar/kita tolak muka kena tampar// (hait ke 2).


YBL

Cinta pun selalu hadir
bergama diri yang mencari dan lahir
dengan kebidupan membunga di tangan.

Hidup pun selalu
hadir
bersama kemiskinan dan lapar
kita totak muka kena tampar.

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Kita berdiri di muka mereka yang terbanyak
bernyanyi dan teriak:
kepada kemiskinan dan lapar
sudah kita rangkul lalu kita tolak!

1962

Pada sajak “Lambaian Tangan”, Rusli Marzuki Saria bercerita tentang harapan semua orang terhadap kedamaian, //Pemberontakan dari kerusuhan-kerusuhan/kedamaian selalu diimpikan// (bait ke 1).

LAMBAIAN TANGAN

Lambaian tangan petani
dalam sawah luas berlunau
Di perbukitan ada api
menyala dan mengilau


Pemberontakan
dari kerusuhan-kerusuhan
Kedamaian
Selalu diimpikan

1963

Sajak “Perjalanan Jauh” dituliskan sebagai monumen terjadinya perang saudara di ranah Minang, “Sejarah mencatat dan tuliskan/Dan akankah kami mengangguk:/Di sini pernah perang saudara” (bait ke 4).

PERJALANAN JAUH

Perjalanan jauh mendobrak usia jadi tua
Terasa tali mengikat kami rapuh dan putus
Sajak biru lama kukantongi di saku celana
Sajak kehidupan dipertaruhkan pada limbubu


Angin damai mengelus kepala dinihari
Adalah kehidupan yang pernah masuk kilangan
Dihoyak rawa musim selama pemberontakan
Dikuyak mulut lapar lama bersitahan

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Salut yang jujur kuberikan tanda hormat
Aku letih dari perjalanan yang liat
Aku kenal satu nama dalam catatan,
Yakni keyakinan!

Sejarah mencatat dan tuliskan
Dan akankah kami mengangguk:
Di sini pernah Perang Saudara!

1963

Sebagai penyair yang melarutkan diri ke dalam alam kehidupan masyarakat lingkungannya, maka suasana keresahaan jiwa Rusli terlihat lewat penghayatannya terhadap sisi kehidupan itu sendiri. Keresahan Rusli merupakan sebentuk keresahan yang bertolak dari alam. Keresahan itu dinyatakan lewat simbol-simbol yang kebanyakan mengambil referensi dari alam, seperti ditemui dalam puisi “Kuundang Gerimis”.


Suasana kehidupan masyarakat yang memprihatinkan juga menimbulkan keresahan jiwanya. Ia berusaha merekam suasana kehidupan, jiwanya jadi resah, dan ia tidak kuasa melepaskan keresahaan itu, Rusli jadi terperangkap oleh keresahan jiwanya sendiri. Beberapa putsi Rusli tentang haf itu adatah “Serumah dengan Angin”, “Sajakku Kuman Tak Berjejak", dan “Mengurung Burung”.


Dengan mengambil simbol-simbol yang bersifat kealaman, Rusli mengungkapkan suasana kehidupan yang penuh keresahan. Puisi “Serumah dengan Angin” memperlihatkan hal itu.

SERUMAI DENGAN ANGIN (1986)

aku serumah dengan angin sarang angin bilik angin
tempat tidur angin kelambu angin bantal angin
selimut angin bersanggama angin!
lahir anak-anakku angin tujuh tanimanku angim
dari barat dari timur dari utara dari selatan aku
menyimak angin berpacaran angin herketuhkesah
Angin tahu...
apa katamu: datanglah musim datanglah berati datanglah
kemarau datanglah hujan! Kutadah angin kutadah hujan kutadah

19

Antologi Biografi don Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

kemarau kutadah lengkisau au!
dulu aku memang suka gembalakan kerbau di pematang
datang angin datang petir datang gabak
datang mendung datang hujan dulu aku memang suka pantun salung
sentimentil di dangau-dangau tembakau musim panen tembakau
berlalu panen jagung datang pula aku suka cerita beruk
penjagung cerdik tak pernah bisa dijerat petani kerbau
yang suka kerjakeras melotot pada kucing pusyku lenguh
sapi perah di ladang ubi kambing lepas masuk ladang mentimun
muda Jabu muda peria muda umbut muda
segala muda
bapak
bapak
bapak! (kataku: bapakku banyak istri kata orang
istrinya 23 orang) aku senang lihat wajah bapakku malam hari
dan betul-betul jantan! Kucingku, pusyku hitam bapakku mengeong
malam ketika mendengar kisah jenaka aku berwajah gembira
kancil yang cerdik terkena getah mati seketika sajakku angin
mengusikmu pelan sajakkku jenaka mengusap dahimu perlahan
kupclihara angin kusumbat botol kutangkap angin kulepaskan
terali penjara sajakku penjara angin angin masuk penjara
sajakku...


Puisi di atas mengungkapkan keresahan jiwa Rusli dalam mempertahankan hidup. Kehidupan yang menurutnya harus selalu nyata sehingga ia menyesali semua kehidupannya yang tidak berarti, semuanya hanya seperti angin. tidak melahirkan hal-hal yang dapat dijadikan kenangan indah. Ia juga menyampaikan keresahan mempunyai bapak seorang laki-laki yang gemar kawin. Rusli Marzuki Saria resah dengan perilaku bapaknya yang secara ironi dipujinya sebagai lelaki jantan, sekaligus disamakannya dengan kucing pussy.


Dirinya selatu dihanyutkan oleh resah yang bergayut semakin dalam. Walau ada angin, tetapi angin pun tidak bisa mengusir keresahan itu, matah menjadikannya pesimis dengan kehidupan. Rusli melukiskan bahwa segala yang dia punyar adalah angin, sarang angin, bilik angin, bahkan kalau pun ia mempunyai keturunan, tujuh turunannya adalah angin karena ia pun bersenggama dengan angin.


Keresahan jiwa tidak juga kunjung hilang walaupun ia menceritakan


20

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

suasana kegundahan hatinya bukan dengan menghiba. Ia menyuarakan kersahannya dengan nada ironi, dia menertawakan pengalaman masa kecilnya yang suka sekali mendengarkan cerita-cerita binatang yang bersifat licik sebagai sindiran terhadap perilaku manusia yang berkeadaan sama. Rusli Marzuki Saria suka cerita beruk pejagung yang Suka menipu petani, ia juga suka cerita tentang kancil cerdik yang akhirnya mati karena getah (yang biasanya menjadi senjatanya untuk memperdayai lawan). Ia ternyata lebih senang merajut, mengukir kenangan masa silamnya dalam resahnya karena bapaknya yang beristri banyak. Rusli Marzuki Saria terlihat protes atas kehidupan poligami bapaknya, namun ja hanya melahirkan dengan diam dan bersajak dengan nada lembut.

Keresahan jiwa Rusli semakin bertambah, di saat ia menatap Suasana kehidupan masyarakat lingkungan yang “rawan”. Lewat puisi “Sajakku Kuman Tak Berjejak”, Rusli menyindir suasana kehidupan masyarakat yang rawan itu.


SAJAKKU KUMAN TAK BERJEJAK (1968)

dalam pasar kehidupan kau jadi sayur dan aku jadi belacan
kau ikan aku kail berbaris di sampan kau pukat aku tenggiri
menggigit jari putus kail ikan-ikan kecil berbaris dikejar ombak
tagaknya ikan besar pongahnya bukan main rahangnya terbuka lebar
aku tenang-tenang memasang umpan tergolek ikan besar di pasir
Inut tak pernah setia ketika kubercinta tempohari
angin begitu pula berang di senja kibaskan pucuk-pucuk
sekali nasib berjalan sepanjang pasir pantai
yang panjang aku seperti lupa kehidupan sehari-hari
tapi tidak! Lengah bukan berarti lupa lupa bukan berarti tak cinta!
Kita harus siapkan segala topeng Jengan semua ukuran musim anak
panah yang datang silih berganti datang lagi datang lagi
aku fupa kita pernah jumpa dulu di waktu suhit gerimis mengantar
kav ke gerbang sudah itu aku melambai dan termangu pada musim
yang datang tak perlu menyimak nanti nyinyir datang bagai
orangtua ku belajar kembali pada musim karena aku dalam musim
berbuah mangga di halaman
 bersarang ulat dalami mangga
 jambu berbunga di belakang rumah
 aku tak tak tahu jantan dan betina

21

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

kucari jejak ulat kucari jejak kumbang! sajakku kuman
kusidik lewat mikroskop mana jejaknya mana jejaknya!
sajak-sajakku kuman tak berjejak gatal
datang! Sajakku suka berikan
gatal-gatal padamu dalam daging...


Rush Marzuki Sarta resah dengan kepongahan masyarakat kelas atas yang dinyatakannya sebagai “ikan besar” yang suka memamerkan rahangnya yang terbuka lebar. Ia juga menyindir manusia-manusia yang sering berlaku munafik hanya untuk menyesuaikan diri dengan keinginan penguasa. Hal itu dituliskannya dengan //kita harus menyiapkar. segala topeng dengan segala ukuran musim//. Rusli Marzuki Saria resah dengan hidup yang penuh kepura-puraan, seperti harus memakai topeng dengan segala bentuk dan setiap musim. Hanya melalui sajaklah Rusli Marzuki Saria menyatakan keresahan dalam bentuk protes yang tidak terlalu disadari orang lain jika tidak menyimak isi sajaknya secara teliti. Bagi Rusli Marzuki Saria protes melalui sajak bagaikan terkena kuman tidak berjejak, namun gatal-gatalnya terasa ke dalam daging.


Dalam puisi Mengurung Burung diungkapkan dua warna kehidupan yang saling paradoksal, vaitu optimisme dan pesimisme. Timbulnya hal itu adalah sebagai akibat keresahannya terhadap masa depan yang belum tentu ujung pangkalnya. Rusli tidak mampu menebak kehidupan yang akan ditempuhnya di masa yang akan datang. Ja tidak percaya kepada keberuntungan yang kelak akan menghampirinya, sekaligus juga berharap banyak dengan ketekunannya ia akan mendapatkan hasil yang cemerlang. Keresahan Rusli Marzuki Saria dalam sajak “Mengurung Burung” adalah ekspresi seorang manusia yang ingin selalu mengubah nasib menjadi lebih baik.

MENGURUNG BURUNG (1986)

Aku menanfi gagak jadi putih kuda
bertanduk minta telor pada kerbau
kami sama berjalan di tengah hari
bayang-bayang tak tampak tapi selalu
saja terasa di kepala merawa terpancang
mengamit-ngamitku kembali dan
angin kemarau bersamamu di tengah padang wah!


22

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

musim silih berganti yang tua merenda angan
aku mengayam tikar
aku belajar pada sangkar
 Bertahun-tahun menanti
 burung-burung yang terbang
 lepas entah ke mana
Musim datang lagi
 pengalaman menyihh lagi
 angin datang lagi bersama intuisiku
 terbang lagi
aku bertenun kehidupan dari hari ke hari membuat jaring
dengan teliti
aku pilih laut aku pilih sungai kau pilih danau
aku senang lihat adu tinju aku senang main dadu nasib
tersenyum di situ
aku senang pada telor masa depan
ada di situ
aku senang nenek nyinyir
kearifan tersembunyi di situ
membalik sungai aku tak mau menjunjung gunung aku tak mau
mengurung angin aku tak mau mengurung burung aku terkurung...


Bait pertama pada puisi di alas memperlihatkan suasana resahnya hati Rush Marzuki Saria. Hal itu dilukiskan sebagai //aku menanti gagak jadi putih/menanti kuda bertanduk/ dan minta telor pada kerbau//. Keadaan yang dilukiskan di sajak ini memberi kesan bahwa yang diungkapkan adalah tentang keinginan yang mustahil akan terkabul. Semua burung gapak bulunya berwama putih, tdak pemah ada kuda yang hertanduk, dan kerbau pun tidak akan mungkin bertelur, tetapi tutah yang sedang ditunggu Rusli Marzuki Saria, sesuatu keajaiban yang tidak akan pemah terwujud.


Ketika membaca bait kedua puisi di atas, spontan kita tersentak dari keterlenaan bahwa sesungguhnya suasana keresahan hati Rusli Marzuki Sana terhadap masa depannya bukanlah hanya sebatas menunggu hadirnya hal yang mustahil. Ia ternyata belajar menyadari kehidupan yang hakiki bahwa keadaan mesti diubah bukan untuk dikhayalkan. Ia mesti mempunyai kesabaran dengan “menganyam tikar/belajar pnda sangkar yang bertahun-tahun menanti burung yang terbang


21

Antolagi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


lepas entah ke mana//. Rusli Marzuki Saria juga mesti //bertenun kehidupan yang dari hari ke hari membuat jaring dengan teliti. Pada//Aku senang adu tinju/main dadu/nasib tersenyum di situ//, Rusli Marzuki Saria menertawakan kebiasan meramal yang ada di tengah masyarakat kita. Sajak “Mengurung Burung” ini menyiratkan kearifan seorang Rusli Marzuki Saria yang //senang pada telor masa depan//, senang memetik hikmah dari kenyinyiran seorang nenek, tidak mau menjunjung gunung, tidak mau mengurung angin karena dengan mengurung burung ia sendiri serasa terkurung.


Menghadapi kenyataan hidup yang selalu “rawan” dan “murung” yang tiba silih berganti, tentulah keresahan jiwa semakin padat dan berhimpitan. Rusli selalu mencari cara terbaik untuk melenyapkan keresahan jiwanya. Dengan menumpuk keresahan dalam jiwa menjadikan Rusli semakin tidak percaya pada dirinya. Ia serta-merta menjadi takut pada dirinya dan takut menatap segala bentuk tragik kehidupan yang semakin membuat ia resah. Untuk itu semua, Rusli mendapat suatu cara yang baik untuk menatap dirinya, menatap kerawanan dan kemurungan hidup masyarakatnya, tidak dengan rzata telanjang. Rusli akhirnya menginginkan sebuah topeng, ingin melihat dirinya dan kehidupan ini secara enak dan aman agar tidak lagi membuat jiwanya resah.


Putsi “Beri Aku Topeng” mengungkapkan keinginan Rusli menghilangkan resah. Walau telah ada topeng, namun keresahan itu selalu saja hinggap. Topeng itu pun tak mampu mengusir keresahannya. Ia jadi tak berarti apa-apa, “terlantar” dan “sunyi”. Kita simak puisi Beri Aku Topeng berikut.


BERI AKU TOPENG (1979)

Beri aku topeng
Karena kau takut pada diriku sendiri
Beri aku topeng
 Karena lebih enak menyidik dari dalam
 Rumah siput itu
Hai, topeng itu
Telantar
Sunyi


24

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


Pengertian napas keagamaan pada tulisan ini bukanlah dimaksudkan untuk membicarakan puisi Rusli Marzuki Saria yang mempermasalahkan agama secara tuntas dengan segala seluk-beluknya atau petunjuk yang mengajak manusia untuk beriman, beribadat, dan sejenisnya. Penyair tidak hendak berkotbah karena di dalam puisi-puisinya ia lebih cendrung menempatkan masalah agama/kepercayaan sebagai tempat penyerahan diri (yang terakhir) untuk bisa lepas dari berbagai persoalan hidup yang mengimpit. Rusii menempatkan seluruh persoalan hidup sebagai suatu takdir dari-Nya. Oleh karena itu, tiadalah dijumpai sebuah pun puisi yang mempersoalkan agama sebagai ajang dakwah yang dimaksudkan menggugah iman seseorang setelah membacanya.


Bertolak dari kehadiran puisi-puisi yang tidak mempersoalkan agama secara hakikat, tetapi sebagai tempat penyerahan diri dalam memecahkan persoalan hidup, dalam beberapa puisinya ditemui sosok penyair yang berusaha menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Di samping menerima semua persoalan hidup sebagai takdir-Nya, juga diperlihatkan upaya untuk memperbaiki pola hidup dengan memanjatkan doa-doa kepada Tuhan. Puisi Rusli yang mengungkapkan hal itu adalah “Yang Tak Lupa”, “Ketika Aku Jadi Takut”, “Desa Kehadiran”, “Selamat Malam Ya Malaikat”, “Selamat Malam Ya Tuhan”, dan “Do'a Seseorang Petani”.


Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan bengkalai kerja yang bertampuk-tumpuk. Hat itu sering menyeret kita sampai ke ujung kenestapaan. Manusia berada dalam lingkar kehudupan nestapa itu, Rusli menggambarkan dengan sudut pandang "aku", //kelambu nestapa diriku dalamnya//. Kendati demikian, amnusia harus tetap gigih menggenggam tali kehidupan agar terhindur dari kenestapaan, meskipun usaha itu tidak kunjung juga membawa keberhasilan, Sang “aku” dalam sajak itu selalu tdak bisa menumpas rasa Japar yang melilit sekujur tubuhnya. Kelaparan selalu datang di saat-saat penting, seperti di tengah berkecamuknya pemberontakan. Sebuah pemberontakan adalah sebuah kemalangan. Rush merasakan bahwa seusai pemberontakan akan banyak sekali sesal yang timbul oleh kematangan dari pemberontakan itu, Akhirnya, penyair mengembalikan segalanya sebagai takdir dari-Nya. Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

YANG TAK LUPA (1963)

Bagai kelambu nestapa diriku dalamnya
Berharap kepadanya dengan semua bengkalai kerja
Kugenggam sajak kehidupan
Tak bisa tumpas lapar tapi nanar oleh kata

Bita diriku siuman dari sebuah pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya berceceran
Semua takdir kita yang punya


Di dalam puisi berjudul “Ketika Aku Jadi Takut”, penyair masih mengungkapkan sikap penyerahan diri kepada Tuhan bilamana dirinya dalam keadaan takut. Ketakutan menjelma apabila ia ingat pada masa kanak-kanaknya yang selalu disuguhkan cerita perintang tidur oleh bapak, yakni tentang hantu besar dan galak. Kemudian setelah merasakan diri semakin berangkat tua, Rusli kini kembali dilanda perasaan takut akan ketuaan. Masa tua dikonotasikan dengan “tumbuh uban dan botaknya kepala” dan “daun telah jadi kerisik”. Bayangan hari tua menimbulkan ketakutan ganda, yakni, tentang datangnya maut. Bila maut datang, “Mulut tidak berguna lagi, beku, tinggal hanya muka yang tengadah”. Dalam keadaan demikian, Rusli selalu berserah diri pada Tuhan dengan menghafal ayat-ayat. Lengkapnya puisi Ketika Aku Jadi Tukut adalah sebagai berikut.


KETIKA AKU JADI TAKUT (1969)
I
Ketika aku jadi takut. Semuanya mengambang di mata
Aku ingat NYA dalam imaji sendiri. Tidak terbavangkan roman
mukanya
Kata bapak di masa kanak : “Hantu itu besar dan galak”
Hu sebuah cerita perintang tidur. Di malam sunyi
Kembutnya jemari Ibu
Menggelitik di ubunku


26

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

II
Bagi anak laki-laki tidak ada jalan membujur lurus: itu kata Ibu
Mestilah berani menjajah malam. Seperti seorang suami yang
pergi
malam dan burung mayat juga yang selalu bersembunyi
Di tengah malamku

II
Barang kali ketuaan berupa pada wajah. Lisutnya kulit muka
Tumbuh uban, botaknya kepala
Daun pisang jadi kerisik. Gugur daun durian kuningnya di senja
Unggun tak berapi lagi

IV
Mulut tidak berguna lagi, beku. Tinggal hanya muka yang tengadah
Tidak juga berharap, dan tidak pula menyerah
Satu-satu ketakutan datang merasuk di ketuaan
Dan aku terbenam dalatn rawa

V
Ketika aku jadi takut. Kuhafal saja Surah Yasin, di luar kepala
Membenamkan muka di bantal. Memang, jurang tidak semudah
ketawa
Burung mayatitu makin nyinyir menghimban
di tengah


Di dalam puisi “Desa Kehadiran" terdapat suasana kehidupan yang damai, penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan penyerahan diri tersebut diungkapkan dengan bahasa perlambang //Di pucuk-pucuk menara mesjid singgah matahari/mereka kenal penyerahan diri yang abad//.


DESA KEHADIRAN (1964)

Geresah daun bambu
Lamalah duka lekang dibakar matahari tiap hari
Lewat kandang kerbau datar jalan ke sawah
Siulan dan bunyi pantun.


27

Pasar kedamaian berputar tiap hari
Tangan-tangan bekerja jari-jari yang memohon
Di pucuk-pucuk menara mesjid singgah matahari
Mereka mengenal penyerahan diri yang abadi.

Begitu juga puisi "Selamat Malam", "Ya Malaikat Selamat Malam", "Ya Tuhan" masih mengungkapkan kepasrahan kepada Tuhan. Penderitaan yang dirasakan sebagai akibat pemerintah yang tidak mengurus kepentingan rakyat dengan sungguh-sungguh dan hanya mengumbar janji dan program kosong membuat kehidupan masyarakat terpuruk. Namun, penyair menyampaikan protes atas keadaan itu dengan nada lembut, bahkan cenderung sebagai ratapan, bukan dengan protes yang berapi-api. Puisi ini diakhiri dengan pemasrahan diri pada Tuhan dengan berdoa dan harapan bahwa kehidupan akan menjadi lebih baik/ //Semoga tahun datang Tuhan begitu ramah/Memberi hujan/ padi berubah runduk/Ketela padat berisi/Itik dan ayam bertelur banyak//, suatu optimisme yang mengandung keyakinan teguh terhadap kekuasaan-Nya.


SELAMAT MALAM, YA MALAIKAT SELAMAT MALAM,
YA TUHAN (1965)

Ada bulan lingkar ketiding
Bagai tersenyum pelan-pelan
Padaku.
Serasa aku balik 19 tahun
Erlin manggil
Papa!

Kami dalam lingkar penderitaan
Bersama berdoa lalu berterima kasih
Ya, Tuhan. Kami tidak menagih

Di sebuah kamar sewa di kota
Terkaca ladung renda, sawah berbandar langit

Ah, lekangnya!
Tapi jatah semen ke mana?


28

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Mulut manis pemimpin-pemimpin kecil:
“semuanya swasembada”, ai, ini slogan
yang tak bertenaga

Kita harap insinyur-insinyur muda
Jangan buat rencana saja

Semoga tahun datang Tuhan begitu ramah
Memberi hujan, padi berubah runduk
Ketela padat berisi
Itik dan ayam bertelur banyak
Selamat malam ya Tuhan
Selamat malam, ya Malaikat
Amin


Puisi lain yang bernafaskan keagamaan dalam wujud penyerahan diri serta pengharapan pada Tuhan adalah “Doa Seorang Petani”. Puisi ini sarat dengan doa-doa dan pengharapan sebagai seorang petani yang sangat dengan kehidupan agraris. Penyair mengibaratkan tanah sebagai selangkang yang mengantarkan kepada rahim yang subur yang nanti akan menghasilkan benih-benih yang bermutu.


DOA SORANG PETANI (1979)

Sebelum matahari terbit
Aku berdoa di bawah bayang-bayang perbukitan
Aku ingin hanya sekedar jadi petani
Yang bersenggama dengan tanah

Aku ingin kaki terhujam seperti urat-urat rumput
Di padang-padang, di tembah-lembah dan perbukitan dan kuminta
hujan
Sepanjang tahun

Aku ingin bercinta denganmu
Tanah yang subur bukalah selangkangmu
Aku menyuruk ke dalam
Seperti anak kecil yang ingin masuk kembah ke dalam rahimmu


29

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Pada mulanya adalah sekeping tanah yang kau kepal
Aku ingin hanya sekedar jadi petani
Yang bersenggama dengan tanah
Di negeri ini
Amin

Persoalan agama di dalam puisi Rusli adalah penyerahan diri seorang hamba yang lelah didera oleh berbagai persoalan kehidupan yang pahit dan penuh perjuangan. Penyair seakan hendak mengajak kita untuk memasrahkan diri dan selalu berdoa kepada Sang Pemilik kehidupan ini. Dengan demikian, kita akan memperoleh perasaan damai dan ikhlas menerima segala keadaan yang dialami.

Jika akhirnya ditemukan kritik sosial di dalam beberapa pusi Rusli, hal itu tidaklah akan menyebabkan orang mengepalkan tangan dan mengacungkan tinju secara heroik menantang seseorang atau sekelompok orang. Kritik-kritik sosial dalam puisi Rusli tidaklah mengundang dan mendorong semangat untuk bertindak secara emosional. Hal demikian adalah karena kritik sosial yang diungkapkan lebih merupakan potret diri penyairnya yang selalu tenang menghadapi segala “kejahatan” dunia. Meskipun berisi kritikan terhadap tradisi dan tata cara kehidupan masyarakat di lingkungannya, penyair menyampaikan puisinya dengan nada melankolis. Beberapa puisi Rusli yang dengan jelas memperlihatkan kritik sosial adalah “Payung Hitam Para Imam”, “Penemuan”, dan “Pepatah Petitih”.

Penyair termasuk seseorang yang selalu mengendapkan setiap gejala sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Ia mengembalikan gejolak itu pada dirinya lalu meresepsi hal itu dengan dimensi-dimensi yang terdapat di dalam dirinya. Oleh sebab itu, segala penilaian menyangkut baik atau buruk, mulia atau hinanya kehidupan tidak ditanggapinya secara ekstrem walau diam-diam Rusli mengiyakannya. Ketika ia memandang para imam sering berfatwa, namun tidak memberikan teladan secara nyata, ia merasa ada ganjalan-ganjalan yang tidak kuasa dibendung. Rusli tersentak dan spontan, ia mengkritik, kebenaran bukan terletak di atas mimbar//. Kritik demikian dilontarkan Rush sebagai ayakan bagi semua orang agar mengenali diri sendiri dan memiliki keyakinan diri untuk menebarkan kebajikan sebagaimana yang diajarkan nabi,

30

AYUNG HITAM PARA IMAM (1961)

Bila orang kembali mengenal wajahnya sendiri
Pada kaca waktu dikaratkan zaman
Beberapa padi isinya makin berinti
Semuanya ada dalam balans hatinya sendiri

Seperti padi isinya makin berinti
Selamat jalan bagi para imam, kebenaran bukan terletek di atas
mimbar.

Kalau tak terkatakan bagai nabi dalam hidup sehari-hari
Ada kebajikan sekarang terlalu mekar


Pada puisi “Penemuan” penyair menyampaikan kritiknya tentang ulah orang-orang di kota. Berikut, puisi tersebut dikutip secara lengkap.


PENEMUAN (1961)
(Kepada Nasroel Sidik)

Penemuan
Pisah di tahun baru
Pergilah kawan pergilah
Dengan hati syahdu

Kenangan yang niakin berat
Zaman kanak-kanakku
Menyayat Juka orang tua
Menyandang dunm kecil rumah tangga.

Hidup bagar pedati yang bertolak dari desa
Bila 'kan sampai
Kota sudah ramai oleh orang jual bivara
Jangan harapkan temui setu.

Di dinding-dinding tertera tuhan filsafat
Tapi hanya tulisan tinta emas.
Dan ia sendiri bahi duka
Kang sebauai sangkar bagi burung camar

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Pisah di tahun baru
Pergilah kawan pergilah
Dengan hati syahdu


Kehidupan kota ditatap Rusli dengan bingkai kacamata desanya yang masih polos, murni, dan sederhana. Setiba di kota banyak kelainan yang ditemui, satu di antaranya adalah tentang kesetiaan. Orang di kota sangat suka mengumbar janji, namun sulit sekali menepatinya, kesetiaan sudah tidak ada lagi. Di kota, semboyan dan slogan (kata berfilsafat) hanya sebagai hiasan dinding belaka, bukan untuk dipahami, apalagi diteladani. Puisi yang didedikasikan kepada budayawan Nasroel Sidik mengisahkan kepergian seorang kawan yang dilepas dengan perasaan sendu.

Puisi berjudul “Pepatah Petitih” mengungkapkan kritik terhadap pepatah-petitih yang berlaku di dalam adat Minangkabau “Tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas”. Menurut Rusli, pepatah ini tidak lebih dari sebuah kata-kata berbisa, barangkali Rusli teringat kenangan masa kanak-kanaknya yang ditandai oleh banyaknya yang berpoligami, sedangkan ibu tirinya (pengganti ibunya yang telah meninggal) selalu setia “bagai sangkutan baju”.


Timbulnya hal itu karena dalam adat Minangkabau (dahulu) seorang laki-laki “dijemput” oleh pihak perempuan sebelum perkawinan dilangsungkan, Hal itu mengakibatkan seorang lelaki beristri lebih dari seorang. Rusli ingin mengkritisi pepatah-petitih tersebut, tetapi keinginan itu hanya terungkap dalam bentuk kritik yang bertolak dari diri dan kehidupan masa kanak-kanaknya yang agak menyedihkan.


PEPATAH-PETITIH (1963)

Apakah yang didenyutkan kata berbisa ini di hati ?
Lembar rawan kelabu rumah serta kebun jagung
Ketika hati ini tersedu dengarkan pepatah petitih
“tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas”

Bertolak dari kata-kata berbisa ini yang mendera
Rumah padang sudah tua melenguh kerbau tua
Teringat zaman kanak-kanakku bapak berpoligami
Ibu tiri setia bagai sangkutan baju


32 Kesederhanaan merupakan ciri khas puisi Rusli Marzuki Saria. Kesederhanaan itu tampak di dalam persoalan yang diungkapkan dan cara pengungkapan (struktur) puisi. Persoalan dalam puisi Rusli bertolak dari tema-tema sosial, sejarah, iman, keagamaan, rumah tangga, kampung halaman, kemiskinan, kesunyian, protes, dan sebagainya. Semua persoalan ini dalam porsi kecil, dengan gelora diam yang menggemuruh dalam batin, menyimbolkan keresahan diri sendiri. Rusli pada akhirnya kembali kepada perlambangan-perlambangan yang paling akrab dengan dirinya sendiri (Korrie Layun Rampan, 1977).


Dengan demikian, lewat puisi, penyair berusaha mengungkapkan persoalan dengan pengucapan diri dan perasaannya. Hal itu memberi gambaran bahwa puisi-puisi Rusli bersifat impresionisme dan kesan selintas terhadap berbagai persoalan kehidupan yang diungkapkan lewat curahan emosi dan perasaan.


Dalam mengungkapkan persoalan, Rusli tidak menampilkan struktur, susunan kata-kata, dan kalimat-kalimat yang sulit dipahami. Bagi Rusli, struktur bukanlah hal penting, isi adalah yang utama. Persoalannya adalah bagaimana setiap persoalan yang diungkapkan bisa lekas dipahami atau dimengerti pembaca. Ada kecenderungan, puisi-puisinya bersifat tematik yang mengutamakan tema, mengkesampingkan struktur.


Melihat kenyataan bahwa puisi-puisi Rusli selalu mengungkapkan persoalan-persoalan yang sederhana dan hanyut oleh perasaan, puisinya merupakan puisi lirik karena menampilkan struktur yang sederhana. Menurut Semi (1984:95), puisi lirik pendek mengekspresikan emosi (perasaan). Puisi lirik diartikan juga sebagai puisi yang dinyanyikan karena disusun secara sederhana dan mengungkapkan sesuatu yang sederhana pula. Dengan demikian, setiap puisi pendek cenderung digolongkan ke dalam puisi lirik.


Persoalan sederhana tentang kehidupan masyarakat desa dalam keadaan susah dan senang diungkapkan Rusli di dalamı "Ada Ratap Ada Nyanyi". Kesusahan hidup selalu disampaikan lewat ratapan pantun yang diiringi alunan sedih musik saluang di kedai-kedai kopi tua.


ADA RATAP ADA NYANYI (1962)

Di kedai-kedai kopi tua
Sepanjang jalanan kecil desa
Ada ratap ada nyanyi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Di kedai-kedai kopi tua
Sepanjang jalanan kecil desa
Ada ratap dalam salung


Puisi “Ada Ratap Ada Nyanyi” menggambarkan kehidupan masyarakat di desa-desa di perdalaman Minangkabau yang gemar memainkan alat musik tiup saluang sebagai pengiring dendang (melagukan pantun) yang mengandung ratapan atau ratok tentang penderitaan hidup di kampung. Ratapan itu bisa saja bercerita tentang penderitaan menggarap sawah ladang, kemiskinan, perpisahan dengan orang yang dicintai, atau kerinduan terhadap kehidupan yang layak. Orang-orang di desa di Minangkabau memainkan saluang dan dendang di kedai-kedai kopi yang biasanya dilakukan sambil meminum kopi dan makanan kecil pengusir hawa dingin di malam hari. Berdendang sambil bersaluang merupakan media untuk mengekspresikan perasaan.


Kesusahan itu timbul karena terjadi pemberontakan dan kerusuhan melanda kehidupan petani di desa. Perang PRRI-Permesta yang merupakan pemberontakan daerah di Sumatra Tengah terhadap pemerintah pusat akibat ketidakseimbangan pembangunan itu memberikan dampak langsung terhadap masyarakat di desa. Petani tidak bisa lagi menjalankan kehidupan dengan tenang seperti sedia kala, “kedamaian selalu diimpikan”, akibat hidup semakin menderita. Sawah sudah berlunau (berlumpur tebal) karena tidak tergarap dengan baik, api menyala di perbukitan karena dibakar tentara pusat untuk menghancurkan kubu pertahanan tentara PRRI, serta petani pun harus siap mengungsi setiap waktu untuk menghindari dampak peperangan. Puisi “Lambaian Tangan" mengungkapkan hal itu.


LAMBAIAN TANGAN (1963)

Lambaian tangan petani
Dalam sawah luas berlunau
Di pebukitan ada api
Menyala dan mengilau

Pemberontakan
Dan kerusuhan-kerusuhan
Kedamaian
Selalu diimpikan


34

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Rusli menyuarakan keprihatinan pascaperang melalui pengamatannya terhadap Pantai Padang. Ia teringat kepada bekas lubang pertahanan di masa perang (PRRI-Permesta). Ia teringat pula ketika kapal-kapal yang sarat berisi mesiu didatangkan dari pusat (Jakarta) untuk memerangi saudara sebangsa di Sumatra Tengah. Ia teringat kepada baju hijaunya karena ia termasuk pelaku pemberontakan itu dan Ia pun melihat senjata api menjadi besi-besi tua pascapeperangan itu. Ia seperti mencibirkan penyelesaian perang saudara dengan seremoni menabur bunga di atas pusara para tentara PRRI-Permesta, seolah-olah dengan demikian persoalan selesai dan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah itu kehilangan semangatnya, ibarat bara api yang sudah dingin. Persoalan sederhana ini diungkapkan dengan menampilkan kata-kata yang sederhana pula di dalam puisi “Pantai Padang” berikut.


PANTAI PADANG (1967)

Pantai Padang, bekas lubang
Pertahanan perang
Laut kaca diriku
Laut membisu, engkau tersedu
Di musim kemarau dulu. Kita
Anak-angk dengan senjata dan peluru
Kapal-kapal serat mesiu
Baju hijau, geletak besi tua
Kau tabur bunga, kutabur bunga
Sesudah peristiwa
Sesudah mengusap muka
Bara dingin


Beberapa puisi Rusli Marzuki Saria juga mengungkapkan persoalan yang ditemukan dalam kaba (cerita rekaan klasik Minangkabau). Ia sering menulis puisi yang berstruktur dan berjudul Seperti kaba. Pengaruh kaba dalam puisi Rusli Marzuki Saria wajar terjadi karena intensitas kehidupan dan wawasannya terhadap tradisi kesastraan lisan Minangkabau, Puisi “"Mangkutak” berisi nukilan Kaba Sabai Nan Aluih yang dicantumkannya sebagai catatan kaki. //Aku simangkutak pulang petang/setelah bermain ;ayang layang. /pematang gelanggang alangkah tamai/semusim tuak tua/semusim adu ayam silangkaneh// (pembuat onar).


35

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


MANGKUTAK*

aku simangkutak pulang petang, setelah bermain layang
layang
seharian, awan kelabu terbang rendah di kaki pebukitan
nun
di sana, lama kucari jejak di pematang gelanggang
alangkah
ramai
semusim tuak tua semusim adu ayam silangkaneh
alangkah
ganasnya
sabai, sabai..., sabai...
aku mabuk kuda melajang halaman panjang, di siang hari
terik
hijau rerumputan padang ilalang bergoyang
bapak, bapak, bapak..., bapaaak...
dalam hati siapa tahu mahaagung duka bersarang
aku si mangkutak pulang petang, bermain layang-layang
raja nan panjang, raja berbanding dibunuh orang
...............................................................
1997

  • dari cerita rakyat Minangkabau Sabai Nan Aluih

(dicuplik dari Kumpulan Sajak Mangkutak di Negeri Prosaliris)


Kaba Sabal Nan Aluih sebagai karya sastra yang hidup dalam tradisi pelisanan di Minangkabau mengisahkan keutamaan sosok perempuan bernama Sabai Nan Aluih. Prosa bernuansa feminis itu menampilkan sosok perempuan sebagai pembela harga diri dan kehormatan keluarga. Ia memiliki seorang adik laki-laki bernama Mangkutak (Alam) yang sehari-harinya hanya bermalas-malasan, berjudi di gelanggang, dan bermabuk-mabukkan. Suatu hari, ayah mereka, Rajo Babandiang, ditembak oleh orang jahat bernama Rajo Nan Panjang. Sabai Nan Aluih membalas kematian ayahnya dengan membunuh orang jahat itu, sedangkan Mangkutak sedang berjudi ketika kejadian itu berlangsung. Puisi ini mengisahkan ketidaktahuan dan kesedihan Mangkutak atas peristiwa saling bunuh itu. Rusli Marzuki Saria menerjemahkan kisah itu melalui puisinya.


36

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


Rusli menghayati kaba secara intens, terutama kaba yang disampaikan lewat salung, sehingga ia mempunyai persepsi tertentu terhadap kaba. Baginya, kaba selalu meyampaikan persoalan hidup dalam lingkaran suka dan duka, indah dan sedih, “ada cinta/ada air mata”. Kaba mengungkapkan suasana alam, seperti //pegunungan hijau/lembah-lembah, serasab//, dan “punggung bukit yang ungu”. Semuanya merupakan simbolisasi terhadap suka dan duka kehidupan sebagai gambaran hidup dan kehidupan yang akrab dengan alam. Puisi Lagu Salung mengungkapkan hal tersebut.


LAGU SALUNG (1962)

Kalau dia bicara juga
Ada cinta
Ada air mata

Pegunungan hijau
Lebah-lembah
Serasah
Punggung bukit yang ungu
Lagu salung


Pola persajakan yang dianut Rusli adatah pola lirik, tetapi lirik-liriknya terlihat sebagai lirik pemberontakan yang mendobrak konvensionalisme, tetapi berangkat dari tradisi (Korrie Layua Rampan, 1977). Hal itu menunjukkan bahwa sikap Rusli menulis puisi dengan pola-pola lirik tidaklah kukuh. Ia selalu berontak, berusaha lari dari konvensi lirik untuk menciptakan pola-pola baru, tetapi tetap bertolak dari tadisi, yaitu puisi sebagai curahan pikiran dan perasaan terhadap persoalan hidup yang terjadi di lingkungannya.


Dasi segi struktur puisi, pemberontakan Rusli terlihat dengan meninggalkan bentuk puisi yang pendek-pendek dan beralih ke bentuk yang panjang-panjang. Beberapa di antaranya cenderung berbentuk balada, seperti dalam “Sajak-sajak Parewa” dan “Puteri Bunga karang”, Peralihan tersebut menimbulkan suasana: suasana tertentu dalam puisi. Yakni suasana romantik. Ramantik adalah aliran kesenian yang mengulamakan perasaaan, "Lukisan romantik biasanya disertai dengan bintang bulan dan harum bunga-bungaan. Untuk melukiskan perasaan


37

Antologi Biagrafi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


bahagia yang tidak terucapkan, dipergunakan banyak titik-titik permintaan perhatian. Demikian juga banyak ucapan-ucapan bersedu-sedan karena kesedihan yang tidak tertanggungkan dalam dunia yang serba kejam ini. Salah satu pengucapan jiwa romantik ialah hasrat pada alam yang luas, tempat sagala masih suci bersih, tiada bernoda seperti di kota” (Jassin, 1977:25—26).


Suasana romantik dalam puisi “Beri Aku”, “Padang Kotaku”, “Beri Aku Tambo Jangan Sejarah”, “Aku Suka Seribu Hikayat”, “Sajak Waktu”, “Kutulis Badai dan Angin Kutulis Langit dan Mendung”, dan “Ingin Berteduh di Bawah Atap Rumahmu”.


Perasaan bahagia Rusli diungkapkan dalam puisi “Beri Aku” yang dilukiskan lewat banyak titik permintaan, mulai dari cinta dan senyum sampai kepada pengharapan memiliki pikiran kecil yang dapat dimengerti semua orang. Semuanya disimbolkan Rusli kepada alam, seperti daun-daun, ilalang, sungai, gunung, awan, lembah, dan hutan sebagai pengucapan jiwa romantiknya.

BERI AKU (1909)

Beri aku cinta yang sederhana sayang
Cinta yang tergantung di daun-daun
Cinta yang menyumbul di runcing-runcing ijalang
Cinta yang mengalir di sungai-sungai gunung

Beri aku senyum sederhana, sayang
Senyum perawan yang bergayut awan di lembah
Senyum hutan-hutan tegalan yang telanjang
Senyum tadang-ladang harum dari jagung bakar merkah

Beri aku kata-kata yang sederhana, sayang
Kata-kata yang keluar dari mulut petani sesudah panen
Kata-kata ciloteh nelayan dari laut sesudah subuh
Kata-kata ajaib dari tukang sadap nira yang berbisa

Beri aka pikiran kecil yang bisa dimengerti semua orang, sayang
Pikiran yang tidak ganda, tapi jujur tanpa apa-apa
Pikiran yang lahir di mata air lembah gunung
Pikiran yang dilahirkan satu ditambah satu hanya dua


38

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


Beri aku kebutuhan yang sederhana, sayang
Kebutuhan yang wajar, tidak usah berlebih-lebih
Kebutuhan manusiawi, sedikit reliji alam yang ramah
Kebutuhan orang-orang biasa dalam bekerja


Rusli Marzuki Saria menghabiskan hampir sepanjang kehidupannya di Kota Padang. Ia akrab dengan kehidupan di kota itu semenjak kota itu ada, mulai berbenah, berubah, hingga semrawut akibat salah urus dan terpaan bencana. Kecintaannya terhadap “Kota Bingkuang” itu disuarakannya melalui sajak berjudul “Padang Kotaku” yang mungkin saja menginspirasi pemerintah menjadikannya sebagai slogan “Padang Kota Tercinta: Kujaga dan Kubela”. Sajak yang ditulis pada tahun 1975 itu, menurut Rusli, tercipta akibat kegundahannya terhadap rencana pemerintah yang ingin menghapuskan angkutan umum tradisional bendi, yakni kereta kuda yang beroperasi di daerah inti Kota Padang (Pasar Raya dan sekitarnya). Pemerintah Kota Padang pada masa itu berpendapat bahwa bendi menjadi salah satu penyebab kekotoran kota karena kotoran kuda dibiarkan berserakan begitu saja di sepanjang jalan yang dilaluinya.


PADANG KOTAKU (1975)

Padang, kotaku. Suatu waktu nanti takkan lagi dengar ketipak ladam
kuda
Padang kotaku. Suatu hari nanti takkan lagi dengar ringkik kuda
Padang, kotaku.
Takkan tapi bermimpi derak derik, leguh legah pedati dan genta
Padang kotaku. Nanti takkan bagi terisak dari perjalanan yang jauh
dan lama
Gedebur ombak Purus yag menghiba,
kuning air muara-muara dan kapal-kapal kecil di senja
Dan aku tak melupakanku, gunung Padangku, Taman Siti Nurbaya
Meriam Jepang serta kuburan Tionghoa
Panasmu basahkan kemeja, dera badanmu, angin langkisaumu dan
masa lampaumu.
Aka tak bersedih karena semuanya ini
Sebab telah nenggelitik bawah sadarku sampai
Aku jatuh cinta


39

Bila aku tiada lagi nanti Padang, janganlah
Bersedih
Bagai mentari tenggelam di balik lautmu

Penyair ini merasa gundah dengan rencana penghapusan bendi yang tentu juga berimbas pada angkutan sebangsanya, yaitu pedati yang merupakan angkutan barang. Ia menyuarakan kehilangannya apabila rencana itu menjadi suatu keputusan resmi pemerintah. Ia merasa akan kehilangan keindahan suara tarompa 'terompa' (ladam) kuda, kekhasan ringkikan kuda, serta derik-derik, laguah-lagah ‘leguh-legah' (suara heboh) pedati dan genta. Kesedihan akan kehilangan bendi dan pedati tidak mutlak dirasakan Rusli Marzuki Saria sendiri. Ia juga menyuarakan kepiluan ombak di Pantai Purus dan air berwarna kuning yang mengaliri Muara Padang. Melalui puisi ini, Rusli menyampaikan pandangannya bahwa bendi dan pedati adalah bagian dari tradisi Kota Padang yang menyatu dengan kekayaan alam berupa pantai, muara sungai, bukit yang bernama Gunung Padang, taman legendaris yang berasal dari roman terkenal Sitti Nurbaja, senjata meriam peninggalan Jepang, serta kompleks perkuburan kelompok etnik Tionghoa. Penyair ini juga menggambarkan cuaca panas Kota Padang yang membuat kemeja jadi lusuh, angin langkisau yang acap menimbulkan bencana, serta masa lampau (sejarah) Kota Padang sebagai kota pelabuhan. Ia menyataan kecintaannya terhadap Kota Padang dan kesadarannya bahwa suatu waktu nanti ia pasti akan meninggalkan kota kecintaan ini apabila ajalnya telah sampai. Ia seperti berbicara pada kotanya itu bahwa apabila ia wafat biarkanlah kecintaannya itu ia bawa serta dan kenanglah ia sebiasanya saja, seperti lumrahnya matahari tenggelam di balik laut ketika hari telah petang.


Dalam "Sajak-Sajak Parewa" kita menemukan sosok idola Rusli Marzuki Saria dalam kehidupan etnik Minangkabau. Rusli Marzuki Saria menyukai kepribadian figur parewa yang dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau lama adalah sosok seorang lelaki sejati, ia memegang teguh kebenaran dan keadilan, pemberani, selalu menjadi nomor satu, dan orang bebas. Parewa sesungguhnya mempunyai keberanian yang kuat untuk menentang keangkaramurkaan meskipun ia hidup sebagai laki-laki bebas dalam kehidupan malam yang liar, seperti berjudi sabung ayam dan meminum tuak. SAJAK-SAJAK PAREWA

jangan bersedih parewa
bila ayammu tewas di medan laga
simpanlah taji
bawa kembali emas di pura.

"tidak, tidak! Aku tidak bersedih
karena laut gemuruh
gunung-gunung menanti aku
gadis dengan mata taji ayam
perawan dengan perawas ranum
menanti aku!"

(di kendi-kendi tuak tua
di perian air jernih gunung
di sana dahaga dilepaskan
di balik purnama)

"aku ingin rumah yang tenang
di balik bukit
bila matahari tenggelam
aku ngintip jejak yang lekang."

"ayamku sudah tua
kalah bertarung di medan laga
tajiku sudah mundu
kilatnya, wahai karat di sana!"
....................................


Pada tradisi Minangkabau, Parewa tidak merupakan sosok laki-laki ideal, namun kehadirannya dibutuhkan dalam kampung karena ia adalah pahlawan yang mampu menegakkan kewibawaan kampungnya. Ativitasnya sehari-hari adalah menyabung ayum dengan taruhan emas yang selalu disimpan di puro 'pura' (kantong yang diselipkan di pinggang). Ia memiliki ayam tangguh yang selalu mengharunkan nama kampungnya dalam pertarungan adu ayam antarkampung. Ia ditunggu oleh perawan desa yang memiliki paraweli 'perawas' (payudara) ranum karena para gadis itu mengidolakan ketangguhannya. Singkat kata, sosok Parewa memiliki beberapa kesamaan dengan jawara di Betawi.


Rusli Marzuki Saria sering menulis esai di Haluan. Salah satu kumpulan esainya yang telah diterbitkan berjudul Monolog dalam Renungan telah diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 2001. Buku ini adalah tulisan Rusli Marzuki Saria berupa renungan mengenai kelahiran setiap puisinya yang telah ditulis sepanjang perjalanan kepenyairannya selama 45 tahun.


Monolog dalam Renungan berisi 320 esai, dengan jumlah halaman sebanyak 439. Kumpulan tulisan ini pernah dimuat di surat kabar Harian Haluan setiap hari Senin, mulai bulan Januari 1958 sampai dengan Desember 1991.


Tanggapan Pengamat terhadap Karya Rusli Marzuki Saria

Karya-karya Rusli Marzuki Saria mendapat tanggapan cukup banyak dari para kritikus sastra. Tidak kurang, H.B. Jassin, kritikus yang disegani, pun memberikan pendapatnya terhadap karya Rusli. Tanggapan para pengamat atas karya Rusli Marzuki Saria diuraikan di bawah ini. Di antara para pengamat itu, selain H. B. Jassin, adalah Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ismail, Korrie Layun Rampan, Idroes, Darman Moenir, dan Ismet Natsir.


H. B. Jassin tidak mengadakan penilaian tertentu terhadap karya Rusli Marzuki Saria. Tentang karya-karya Rusli Marzuki Saria yang sering dimuat dalam berbagai majalah ibukota, Jassin mengajak pembaca agar menerima kepenyairan Rusli. Jassin tidak melihat kehadiran sosok Rusli Marzuki Saria sebagai sesuatu kekurangan. Jassin mengistilahkan impresionistis atas cara pendekatan Rusli terhadap kenyataan hidup yang dilukiskan dalam sajaknya, sebagai satu hal yang berbeda sekali dengan kehendak orang-orang ekspresionistis.


Sutardji berpendapat bahwa Rusli Marzuki Saria adalah seorang penyair yang ganjil. Keganjilan itu terlihat pada karya-karyanya yang hersifat heroik. Rusli Marzuki Saria menyajikan syair-syair legenda yang bersifat epik. Di saaT orang pada zamannya berbeda selera dengan Rusli Marzuki Saria mengenai gaya sajak, ia tidak peduli dengan hal itu. Sutardji berpandangan bahwa untuk berani tampil beda karena masih terikat pada bentuk-bentuk syair lama, Rusli Marzuki Saria mesti bisa menginterpretasikan karya-karyanya yang konvensional itu ke dalam visi pribadi yang kreatif, yang merupakan ekspresi individual yang unik dari penyair.

Menurut Taufik Ismail, Rusli Marzuki Saria adalah penyair Indonesia yang banyak menulis karyanya tentang pemberontakan di daerahnya yang terjadi pada tahun 1958. Rusli Marzuki Saria menyuarakan sajaknya melalui nada-nada sederhana, tidak dengan luapan emosi yang tinggi, bahkan sering dengan alunan lembut dan kesedihan. Secara implisit Taufik memuji kepenyairan Rusli Marzuki Saria karena gaya bahasanya yang tenang dan sederhana dalam ungkapan syairnya.


Kumpulan sajak Rusli Marzuki Saria yang berjudul Ratapan dan Nyanyian menurut Korrie Layun Rampan banyak menyajikan petikan peristiwa masa lalu dan masalah sosial, seperti kemiskinan, suasana perdesaan, dan dampak perang saudara (PRRI-Permesta) yang memberi bekas pada sebagian besar rakyat Minangkabau di perdalaman. Selain itu, Korrie terkesan pada sajak-sajak Rusli Marzuki Saria yang bercerita tentang berbagai hal dalam kehidupan manusia.


Perbandingan antara Chairil Anwar dengan Rusli Marzuki Saria menurut Idroes terletak pada kebebasan sanjak pada karya Rusli Marzuki Saria. Idroes memuji Rusli Marzuki Saria yang menurutnya sangat menarik hati karena sajak-sajak Rusli Marzuki Saria yang menggunakan metafora-metafora yang diambil dari kehidupan orang Minangkabau.


Bagi Darman Moenir, Rusli Marzuki Saria adalah seorang penyair Indonesia yang telah banyak sekali menulis puisi. Perjalanan kepenyairan Rusli Marzuki Saria telah dimulai semenjak tahun lima puluhan sampai kini (tahun 2011). Rusli Marzuki Saria menulis sajak tidak lagi dalam jumlah puluhan, tetapi telah beratus-ratus sajak diciptakannya. Meskipun demikian, Darman Moenir mengkritisi sajak Rusli Marzuki Saría sebagai Sajak yang biasa-biasa saja, sentimentil, penyampaian ide yang mendesak, tidak ada kewajaran puitik, kata-katanya tidak mempunyai daya gugah yang mengelitik, dan miskin imaji.


Kesetiaan dalam menulis puisi dan pengekspresian pengalaman hidup Rusli Marzuki Saria dalam baris-baris yang puitik merupakan hal yang sangat mengesankan bagi Ismet Natsir. Dalam kehidupan yang serba cepat berubah, dengan gejolak masyarakat yang demikian di negeri ini, amat sulit untuk tetap bertahan hidup pada jalur kesusasteraan, tetapi Rusli Marzuki Saria telah menunjukkan kesetiaannya itu. Ia tetap berkiprah di dunia sastra dan tetap bertahan tinggal di kampung halamannya Sumatra Barat. Untuk menjadi penyair nomor satu, ia merasa tidak perlu merantau (seperti anggapan banyak orang bahwa perantau adalah warga kelas satu dalam pandangan masyarakat Minangkabau). Rusli Marzuki Saria setia pada pilihan hidupnya, yakin terhadap kemampuan kreatifnya, dan tidak harus meninggalkan negeri leluhurnya. Bagi Ismet Natsir, Rusli Marzuki Saria merupakan penyair yang besar dengan keyakinan dan kemampuan pribadi, menjadi penyair Indonesia dengan inovasi terhadap warna lokal yang merupakan kekayaan wawasannya.


Dalam perjalanannya sebagai seorang jurnalis, Rusli Marzuki Saria masih terinspirasi untuk menulis sajak. Pada kumpulan sajak Sajak-Sajak Perjalanan (1977-1980), Rusli Marzuki Saria merekamkan kesannya terhadap daerah yang dikunjunginya melalui sajak. Sajak "Gemuruh Laut" (1977) bercerita tentang laut Lombok yang dalam ingatan Rusli Marzuki Saria tersangkut dengan sejarah penyatuan Nusantara oleh Gajah Mada, //lewat gemuruh laut/dan bisik Gajah Mada/ dalam kalbu terpaut/pulau-pulau Nusantara//. Dalam perjalanan ke Laut Banda, Rusli Marzuki Saria juga teringat pada nukilan sejarah tentang kepahlawanan Patimura melawan Belanda, //laut mengamuk di laut Banda/kapitan Pattimura/dulu mengusir Belanda/perang pala//. Sajak yang lain yang juga bernuansa heroik adalah "Laut Arafuru" (1977), "laut Arafuru/lautnya Yos Sudarso".


Dalam lawatannya keluar negeri, Rusli Marzuki Saria banyak menulis sajak di antaranya, "Ketika James Cook" (1977), "Lavarrack Barrack" (1977), dan "Matahari di Balik Bukit Cairns" (1977). Sajak James Cook ditulis Rusli Marzuki Saria atas ingatannya kepada penemu Benua Australia sehingga keberadaannya di sana dikenangnya dengan sajak yang diberi judul nama sang penemu benua tersebut. Rusli menulis, //ketika James Cook/menemukan Australia/laut gemuruh/tapi ia harus ke laut kembali//. Wawasan Rusli Marzuki Saria terhadap sejarah dunia ternyata cukup lengkap. "Lavarrack Barrack" ia bercerita tentang sepak terjang Jendral Mac Arthur di Australia dalam Perang Dunia ke II. Ia menuliskan, //Lavarrack Barrack/Perang Dunia II/Mac Arthur ke Australia/"I shall return", lalu kembali ke Philipina//. Lalu, tentang Pelabuhan Cairns, Queenslands, Rusli Marzuki Saria juga mengaitkan persoalannya terhadap pelabuhan tersebut dengan masalah urbanisasi yang dihadapi daerah ini Rusli Marzuki Saria menuliskannya begini, /Matahari di balık bukit Cairns/di pagi hari/teringat tanah kelahiran yang sepi/karena urbanisasi//.

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Pengaruh warna lokal Minangkabau sebagai juga sering muncul dalam karya Rusli Marzuki Saria, ia suka memakai kata, antara lain: salung, parewa, perian, dan kaba. Kata-kata yang sangat akrab dengan kehidupan keseharian orang Minangkabau. Dalam sajak “Lagu Salung” (1962), Rusli Marzuki Saria menyuarakan perasaan sentimentilnya tentang cinta, keindahan alam, melalui lagu saluang (bait ke 3), yang Iramanya selalu mendayu-dayu. Sajak “Perian” (1963) diciptakan Rusli Marzuki Saria di saat ia merasa gelisah karena kehausannya dalam keruarau. Perjan adalah nama sebatang bambu yang telah dilubangi Tuasnya sebagai tempat pembawa air dari sumber mata air ke rumah. Rusli Marzuki Saria menuliskan, //kusandang juga perian ini naik tebing dan lembahnya/Sebab kemarau berdatangan dengan wajah ungu/ Bawalah daku kepada mata air beningmu di telaga/Dalam keadaan diriku Waspada terhadap lintah-lintahmu//. Dalam Sajak-Sajak Parewa, kita Menemukan sosok idola Rusli Marzuki Saria yang hidup sebagai tokoh-tokoh legendaris dalam kehidupan etnik Minangkabau.

Rusli Marzuki Saria menyukai figur parewa yang dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau lama digambarkan sebagai sosok laki-laki sejati, memegang teguh kebenaran dan keadilan, pemberani, selalu menjadi nomor satu, dan orang bebas. //Beri aku kuda si Gumarang, Beri aku ayam si Kinantan, Beri aku kerbau jantan si Binuang, Beri aku Petir dan guruh tengah hari, Beri aku gabak hitam di hulu, Beri aku Cewang di tangit!, Beri aku darah yang jalang, Beri aku anak si ngiang-ngiang rimba, Beri aku sekeranjang kacang miang, Beri aku hutan penuh Penyamun, Beri aku perompak lanun, Beri aku gergasi dan garuda, Bert dku si mambang dan peri, Beri aku jin baik dan jin buruk, Beri aku Sagak-pagak, Beri aku elang-elang// (bait ke 14) mengisyaratkan siapa parewa sesungguhnya, yaitu pribadi mempunyai keberanian yang kuat Untuk menentang keangkaramurkaan.

Beberapa puisi Rusli Marzuki Saria mengungkapkan persoalan yang ditemukan dalam kaba (cerita rekaan klasik Minangkabau). Ia sering Menulis Puisi yang berstruktur dan berjudul, seperti kaba. Pengaruh kaba dalam sajak-sajak Rusli Marzuki Saria wajar saja terjadi Karena kreativitasnya sebagai seorang penyair. Puisi “Putri Bunga Karang" (Sekodi sajak 1977-—1978) dan “Beri Aku Tambo Jangan Sejarah "berstruktur kaba dan nukilan cerita rakyat rakyat Minangkabau itu. //Aku tak tahu apa nasib Imbang Jaya/setelah pergumulan malam/Sang puteri rait entah ke mana/di abad-abad yang tenggelam (bait ke 1. Beri


45

Aku Tambo Jangan Sejarah). Awan merendah. Angin berpusar-pusar/Putri Bunga Melur keluar dari muara Muar/Sebuah lancang kecil/Kisah ini dirawikan lewat kaba// (bait ke 1, "Putri Bunga Karang").


Simpulan

Dari uraian mengenai riwayat hidup dan analisis karya Rusli Marzuki Saria dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Rusli Marzuki Saria menjadi seorang penyair terkenal semata-mata hanya karena bakat alami yang ada pada dirinya semenjak masa kanak-kanak. Tidak ada pengaruh orang tua terhadap Rusli Marzuki Saria, mengingat ayahnya adalah seorang pedagang dan wali nagari, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa yang meninggal ketika ia masih kecil. Kedua, pendidikannya di SMA bagian A, Jurusan Sastra dan Kebudayaan sangat mendukung kiprahnya di bidang kesastraan.


Ketiga, pengalamannya terlibat langsung dalam peperangan PRRI-Permesta sebagai tentara pemberontak sangat mempengaruhi penajaman inspirasi Rusli Marzuki Saria dalam menulis puisi. Tugasnya sebagai wartawan di surat kabar harian Haluan selama berpuluh tahun sangat mendukung wawasan pikirannya untuk mencipta karya-karyanya. Kehidupan rohaninya sebagai umat Islam juga mempengaruhinya dalam melahirkan sajak-sajak ketuhanan tanpa berkesan dakwah.


Keempat, dalam karir kewartawanannya yang sering bepergian dalam perjalanan ke luar negeri maupun di dalam negeri banyak. melahirkan sajak yang merupakan kesan-kesan Rusli Marzuki Saria terhadap perjalanan tersebut.


Kelima, dalam bidang kekaryaannya, selain telah menulis beratus-ratus sajak dan csai, Rusli Marzuki Saria juga sering mendapatkan anugrah sem. Salah satu karya Rusli Marzuki Saria yang mendapat penghargaan adalah kumpulan sajak berjudul Sembilu Darah yang diberikan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1998.


Demikianlah, Rusli Marzuki Saria menulis puisinya sebagai rekaman pengalaman hidupnya yang dijalani sepanjang hidupnya. Rusli Marzuka Sama melahirkan puisi-puisinya dengan pengaruh dari suasana yang dirasakannya dan dipikirkannya dalam setiap tempat dan kondisi yang dialaminya.