Angin, Sampaikan Maafku

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Angin, Sampaikan Maafku
oleh Mardiati

Angin, Sampaikan Maafku

Mardiati
SMP N 41 Lembah Malintang Kab. Pasbar



Di kelas ini tidak seorang pun yang tahu tentang persahabatanku dengan Mia. Sampai-sampai ada yang bilang kami bagai mobil dan bensin, selalu bersama. Tali persahabatan ini terjalin dua tahun lalu, tepatnya sejak pertama kali masuk SMP. Bagiku, Mia lebih daripada seorang teman, ia sudah kuanggap saudara. Ia anak orang kaya, tapi tidak sombong, congkak atau tinggi hati, sama sekali tidak. Itulah yang membuatku kagum padanya. Satu hal yang menjadi catatan penting dalam diary ku adalah rasa kemanusiannya yang begitu tinggi. Tak salah jika teman-teman di kelas ku memberi julukan "Dewi Penolong". Pintu gerbang terbuka lebar saat aku tiba di sekolah. Seperti biasanya, pada jam-jam begitu kelasku masih sepi. Hanya ada petugas piket dan dua tiga orang siswa yang sibuk mengerjakan PR.

“Pagi, Rin,” sapa Lisa, temanku waktu SD dulu. “Surat cinta dari seseorang,” katanya seraya menyerahkan surat itu padaku.

“Jangan bercanda, deh!” sahutku diiringi tamparan kecil di pundaknya. “Terima kasih banyak, ya, atas hadiahnya,” ia tertawa, lalu pergi berlalu.

Di sampulnya tertulis: Kepada Bapak Ibu Guru. Sip: Mia Parera. Aku hanya tersenyum menerima canda pagi itu. Putri pengusaha itu sakit. O, iya, aku baru ingat, kemarin gerimis melanda Kota Semarang.

Bel berbunyi, menandakan jam sekolah usai. Perlahan aku melangkah meninggalkan gerbang sekolah.

“Rin....,” Suara itu mengagetkanku.

Aku menoleh memastikan siapa yang memanggilku. Lisa cewek itu lagi.

Kok, sendirian?”

“Tandanya tak berdua,” jawabku cepat.

“Rin..., temani aku ke toko buku, ya,” pintanya dengan manja.

“Aduh, nggak bisa, Lis! Soalnya aku mau ke rumah Mia, maaf, ya.”

Lisa hanya mengangguk, kemudian kami berpisah di persimpangan jalan. Taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumah bercat putih itu. Kulangkahkan kakiku menelusuri halaman yang luas, penuh dengan bunga mawar kesukaan Mia.

“Siang, Tante,” sapaku dibarengi senyum.

“Eh, Rini, mau ketemu Mia, ya?” Mama Mia menebak kedatanganku.

“Silakan masuk,” ujarnya sopan.

“Halo sayang,” aku mencoba membuat kejutan.

“Rini!” Mia tersenyum. Wajahnya terlihat ceria setelah melihat kedatanganku.

“Calon ibu dokter sakit, ya, sakit apa?” Aku mulai mengajak ia bercanda untuk mengubah suasana. “Iya, hati danjantungku menyatu, bagaimana memisahkannya?” Lalu, kami tertawa memecah sunyi yang menempel pada setiap dinding kamar.

“Aku terserang flu,” Mia mulai menceritakan penyakitnya setelah tertawa kami reda. Setelah bercerita panjang lebar, aku melirik jam tanganku.

“Nah, sudah pukul empat sore, tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Aku pulang dulu ya, cepat sembuh,” ujarku sambil melangkah pergi.

Kali ini aku benar-benar kesepian, sudah empat hari Mia sakit. Takada tempat mencurahkan isi hati dan masalah kecil yang sedang kuhadapi. Tapi, waktu kulihat, penyakitnya tidak erat, hanya flu.

“Ada apa dengan Mia? Mungkinkah ada penyakit lain?” hatiku bertanya tanpa ada yang menjawabnya.

Namun, hari ini sosok yang aku impikan itu muncul di pintu kelas. Kusambut hangat kedatangannya itu. Aku memeluknya untuk melepas rindu yang meluap. Kelasku sepi. Saat jam istirahat semua melakukan aksi yang bermacam- macam. Hanya aku dan Mia yang tinggal di kelas.

“Kamu sakit apa, sih, sebenarnya?” tanyaku penuh Penasaran. Mia menatapku agak lama. Entah apa yang tersirat di benaknya, aku tak tahu.

“Aku flu dan pusing, Dokter, beri aku obat yang cocok, dong."

“Ibu juga pusing,” tawa kami meledak, bagai membelah gedung segi empat itu. Tanpa kami sadari, Lisa telah berdiri di ambang pintu.

“Rin, pinjam tugas Fisika, dong,” ia memohon padaku.

Nggak, ah,” aku pura-pura cuek.

“Sekali ini saja. Orang pintar jangan pelit. Nanti jadi bodoh seperti aku,” pujiannya membuatku tersenyum.

“Besok harus dikembalikan,” perintahku dengan nada bercanda.

“Oke, permisi kecoak-kecoak cantik.” Percakapan terakhir itu membuatku dan Mia tertawa terbahak-bahak. Itulah yang kurasakan jika bersama Mia. Sepi, sedih, takut, dan gelisah akan hilang begitu saja saat Mia berada di sisiku. Selalu ada canda dan tawa menghiasi hari-hari kami. Mia adalah sahabatku dalam suka dukaku.

Pagi yang dingin membuatku tak ingin beranjak dari tempat tidur. Namun, karena suara mama yang nyaring diiringi dengan gedoran pintu, membuat mataku tak bisa terpejam lagi. Kuraih buku Biologi yang terletak di atas meja belajarku. Saat aku membalik buku itu, kudapati sepotong kertas dengan tulisan.

“Aku takut dengan hari esok.” Aku tak tahu siapa yang menyelipkannya. Tapi yang baru meminjam buku ini adalah Mia. Tapi, kalau seandainya Mia, apa maksud tulisan itu. Kubaca tulisan itu sekali lagi. Apa yang ada di balik kata itu?” aku mengernyitkan dahi, tak mengerti. Sepagi ini otakku telah dibelit tanya yang tak kunjung pergi dari ingatanku.

Sampai di sekolah, aku langsung mencari Mia, Tapi, ia tidak ada di dalam kelas. Namun, tasnya telah berada di laci. Ke mana dia? Aku bertanya pada diriku sendiri. Di kantin tidak ada, di kelas Lisa juga tidak ada, lalu di mana? Keputusan terakhir aku mencarinya ke perpustakaan. Mungkin saja ada di sana, gumamku dalam hati. Dugaanku tidak meleset. Kudapati Mia duduk sendirian dan termenung di sebuah bangku panjang perpustakaan.

“Mia...," aku memanggilnya.

“Rini,” ia terkejut melihat kedatanganku secara menda- dak.

“Lagi ngapain?”

“Tadinya mau baca buku, tapi karena petugas perpustakaan menyapu, ya nggak jadi,” jawabnya terbata.

Namun, aku masih curiga, apa sebenarnya yang terjadi dengan Mia. Dari sinar matanya aku dapat membaca ada sesuatu yang menimpa dirinya.

“Mia, apa maksudmu dengan tulisan ini?” aku menyerahkan sepotong kertas itu.

“Oh. Ini hanya coretan yang tidak mempunyai makna. Ini hanya sebagai judul puisi yang belum selesai kurangkai.”

“Benarkah, Mia?” aku masih belum puas dengan jawabannya.

“Rini, aku tak pernah berbohong padamu. Aku ini sahabatmu, Rin,” Mia menatapku dengan tatapan sayu. Lalu, Mia mengajakku kembali ke atas. Sejak hari itu, Mia sering termenung sendirian, enggan diajak bicara. Sampai hari ini aku belum tahu apa sebenarnya yang terjadi. Mia yang selama ini kukenal periang, murah senyum, sekarang semua itu sirna ditelan waktu. Mungkinkah la jatuh cinta? Pada siapa? Yang kutahu selama ini, ia tak pernah doyan pacaran. Ia paling alergi dengan hal-hal semacam itu. Dan, akhir-akhir ini Mia sering sakit. Yang penyakitnya aku belum tahu.

“Mia, apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu?” tanyaku pada suatu pagi, Mia tertunduk menatap lantai yang masih kotor.

“Rin, apa yang terpikir olehmu, jika suatu saat nanti aku pindah rumah?” Mia balik bertanya padaku.

Dari pertanyaan itu aku menangkap bayangan peristiwa yang belum bisa aku definisikan secara rinci.

“Tali persahabatan kita tak akan putus oleh jarak, kan?” Mia mengangguk lemah.

“Mia, kamu harus jujur tentang penyakitmu padaku.”

“Belakangan aku sering pusing, Rin.”

“Apa tak ada yang lain?” Mia menggeleng cepat.

“Tapi, kalau ada masalah, curhat sama aku, ya,” ucapku sembari menarik tangan Mia dan mengajaknya ke kantin.

Sebelum semua pertanyaanku terjawab dengan jelas, kini telah datang hal-hal yang baru. Mia benar-benar berubah drastis. Ja sering menolak bila kuajak ke kantin atau ke Perpustakaan. Ia lebih banyak diam apabila kuajak bicara. Bukan hanya aku saja yang merasakan perubahan itu. Teman-teman sekelasku juga merasakan dan menyaksikan senua itu.

“Rin, Mia kenapa, sih? Seperti ada yang tidak beres, deh!” tanya Lisa padaku.

“Aku juga nggak tahu Lis,” jawabku. Dan yang lebih rawat lagi, ia sering menghindariku. Hari ke hari ia menjauhiku. Pernah kutanyakan mengapa hal ini bisa terjadi, tetapi Mia hanya diam dan pergi meninggalkanku dalam seribu pertanyaan dan kebingungan. Ini membuatku terluka. Luka yang sangat dalam karena hal itu dilakukan oleh sahabatku sendiri. Dan, sering pula kulihat mata Mia sembah, sepertinya habis menangis. Hari ini guru bahasa Inggris sedang ada urusan. Jadi, kami disuruh ke perpustakaan untuk menambah ilmu.

“Mia, ke perpustakaan, yuk, membaca seri tokoh dunia, mungkin ada yang baru,” aku mencoba membangkitkan semangatnya. Ia hanya menggeleng dan pergi berlari meninggalkanku. Perasaan sesak di dadaku telah mampu menumpahkan air mataku. Tak bisa kubayangkan apa yang aku alami. Aku menangis di kelas yang sepi ini.

Bel pulang lima menit lagi akan berbunyi. Kuseka air mataku. Lalu beranjak meninggalkan kelas menuju kamar mandi untuk cuci muka. Setelah cuci muka di pojok ruangan, kulihat Mia menangis tersedu-sedu. Butir bening itu terus meleleh di pipinya.

“Mia.....,” aku memanggilnya. Ia menoleh, lalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa menahan air mata. Teka-teki semacam apa ini? Sandiwara apa ini? Aku benci.

Lamunanku buyar setelah sayup-sayup kudengar bel pulang berbunyi. Kulihat isi kelasku telah kosong. Kuraih tasku, lalu pergi membawa sejuta kepedihan.

Aku merebahkan badan di atas spring bed empuk beralaskan sprei pink berbunga. Peristiwa yang baru kualami itu masih menari-nari mengikuti gerakan bola mataku.

“Mia, apa artinya semua ini?” Aku bicara sendiri. Butir bening kemudian bergulir menuruni pipiku. Aku menangis untuk beberapa saat lamanya.

“Rin, ada telepon dari Mia.”Aku terkejut dengan omongan sepintas itu.

“Halo,” aku membuka pembicaraan.

“Rin.”

“Ya, aku Rini, Mia,” ucapku. Lalu kudengar suara tangis di seberang sana. Mendengar tangis pilu itu, aku pun ikut menangis. Kemudian teleponnya ditutup. Aku berlari ke kamar dan menangis lagi. Mengadu pada bantal yang takkan pernah menolongku.

“Rin, mungkin Mia benci padamu,” celoteh salah seorang temanku.

“Atau ia tak membutuhkanmu lagi. Bisa juga ia tak menganggapmu seorang sahabat lagi. Bisa juga ia tak menganggapmu seorang sahabat lagi?” Mendengar semua itu hatiku menjerit. Tak mungkin, ini tak mungkin, aku membantah semua pernyataan itu walau sebenarnya aku tahu Mia telah menjauhiku tanpa sebab. Namun, akhirnya aku terpengaruh oleh omongan teman-temanku. Dan apa boleh buat, perasaan benci kini telah timbul di hatiku. Yang lebih menyakitkan lagi, Mia lebih dekat dengan Lisa daripada denganku. Hari demi hari kami terlihat tak bersama lagi. Mia sendirian, aku juga sendirian, belum minat untuk bergabung bersama yang lain. Aku menikmati kesendirian itu dengan mengingat kenangan bersama Mia yang selalu diakhiri dengan deraian air mata yang membuat lukaku semakin hari bertambah parah.

Hingga kini rasa benci di hatiku telah melebar terbawa arus emosi. Bagaimana tidak, Mia sama sekali tak menyapaku lagi. Dua minggu lamanya aku berpisah dengan Mia. Hari ini Mia melempar senyum hampa padaku. Kulihat air matanya jatuh lagi. Disertai lambaian tangan untukku. Ini membuatku semakin tak mengerti lagi. Tapi, aku tidak menghiraukan, mengerti atau tidak, yang penting sekarang membalas senyum Mia dan juga melambaikan tangan. Luka apa lagi yang akan Mia torehkan untukku, aku mulai berprasangka buruk padanya. Berdosakah aku?

Esok harinya, aku tak menjumpai Mia. Surat pun takbada kulihat. Bu Wati, wali kelas kami datang dan menyampaikan bahwa Mia dioperasi. Ya! Operasi tumor ganas yang mengidap di tubuhnya. Jantungku seolah-olah tak berdenyut men- dengar berita itu. Dan tubuhku lemas tak berdaya. Aku menangis, tak tahu apa yang haris kuperbuat. Sejam kemudian aku dan rombongan telah berada di rumah sakit,

“Tante....,” aku berlari memeluk mama Mia.

“Rini, Mia....Rin..” kata-katanya tidak begitu jelas karena tangisnya yang keras.

"Kita doain saja agar Mia selamat," Bu Wati mencoba menghibur aku dan Tante Lia, mama Mia.

Dag dig dug jantungku menantikan hasil operasi. Ketika dokter keluar dari ruangan operasi, terlihat raut Wajah yang sedih.

"Maaf, kami tak mampu berbuat apa-apa lagi."

Kami semua menjerit histeris.

"Mia, jangan tinggalkan kami. Kami menyayangimu." tangis telah menghiasi kejadian itu. Aku menangis seakan tak percaya.

"Mia, mengapa ini terjadi? Apakah tidak ada jalan lain untuk memisahkan aku dengan Mia? Mengapa dengan cara seperti ini."

Aku menatap wajah Mia yang dingin dan kaku untuk terakhir kalinya. Kecupan terakhir juga kuberikan untuknya, air mata perpisahan terus mengalir tanpa henti di pipiku.

"Ya Allah, inikah kenyataan hidup? Mungkinkah ini yang terbaik untukku dan Mia? Pertanyaan di hatiku terlalu banyak. Hari itu alam pun ikut bersedih melepas kepergian Mia, gerimis telah menjadi saksi bisu tragedi hitam itu. Aku turut mengiringi jenazah Mia sampai ke pemakaman.

"Rin..., ada tante Lisa."

Aku keluar dengan mata yang masih sembab. Tante menyambutku dengan tangisan yang begitu pedih. "Ada apa, Tante?" tanyaku.

"Kado ini telah dititipkan Mia tiga hari sebelum ia dioperasi," tante menyerahkan kado itu padaku. Kemudian ia menangis di hadapanku, aku tak kuasa menahan air mata. Kami menangis dalam sendu yang tiada tara. Setelah Tante Lisa pergi, aku mengurung diri di kamar dan membuka kado itu. Kulihat isinya sebuah diary yang cantik dan sebuah jam tangan yang manis.


Kubuka diary itu. Semua kenangan indah aku dan Mia ada di sana. Fotoku dan Mia ada di sana. Aku menangis lagi menyaksikan foto itu pada halaman terakhir Mia menulis sesuatu untukku.

"Kuingin hidup di hari kemarin. Dunia begitu luas bagiku untuk temukan seuntai kebahagiaan yang telah meninggalkan diriku bersama penyakit yang tak kunjung pergi. Tawaku di hari kemarin telah berganti dengan tangis di hari ini. Kupikir ini hanya mimpi dan halusinasiku saja. Namun, ini benar- benar kenyataan. Akankah aku lari dari kenyataan ini? Tapi ke mana? Ke hutan? Ke gurun? Ke samudra?

Tak mungkin, ini harus kuhadapi. Andai saja aku bisa memutar waktu. Kuingin hidup di hari kemarin bersama Rini. Bercanda dan tertawa lagi. Aku sadar, hari ini kebahagiaan bukan milikku lagi. Hilang terhempas ombak. Akankah selamanya?

Air mataku meleleh. Entah untuk yang keberapa kalimat. Kubaca lagi tulisan yang ada di bawahnya.

"Untuk Rini tersayang"

Rin, aku tak sanggup mengatakan semua ini padamu karena aku takut kau terluka. Namun, hari ini semuanya kutulis juga untuk kaubaca. Rin, penyakit yang kusembunyikan padamu itu sangat berbahaya. Aku mengidap tumor ganas. Penyakit itu

seolah-olah mengancam jiwaku. Ia benci mendengar detak jantungku dan selalu mencoba untuk menyayat pembuluh darahku. Penyakit ini kuketahui ketika aku berobat ke dokter. Dan, katanya aku harus dioperasi. Rin..tolong aku Rin. Jangan biarkan aku pergi sendiri. Berawal dari situ aku selalu berusaha menjauhi dan menghindarimu walau batinku menangis. Ini harus kulakukan, Rin, agar kau bisa hidup tanpaku. Ya! Tanpa diriku lagi. Setiap detik aku selalu dihantui rasa takut. Seandainya...ah, tak baik untuk kukatakan.

Rin, aku menghindarimu karena aku sangat menyayangimu. Aku tak bisa berpisah denganmu. Persahabatan yang kita jalin terlalu indah. Kenangan yang telah tercipta begitu manis. Rin, aku selalu menangis mengingat semua itu. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Rin, apabila suatu saat aku tak bersamamu lagi, jangan pernah lupakan aku, ya. Rin, untuk semua tindakanku yang mungkin telah membuatmu heran dan benci, aku minta maaf, ya. Kamu memaafkan aku, kan, Rin. Dan, apabila kau merasa bersalah, sejak dulu aku memaafkanmu karena kau sahabat yang terbaik dalam hidupku. Sahabat yang menjadi bagian dari hidupku. Iya, kan, Rin?

Rin, semua ini kutulis lima hari sebelum aku operasi. Untuk jam tangan itu, dipakai, ya. Doain aku, ya, Rin Rin, percayalah, tali persahabatan kita tak akan pernah terputus, walau seandainya alam kita telah berbeda. Itu abadi. Kenang-kenanglah aku.

Aku kembali menangis, air mataku membasahi diary pemberian Mia. Aku ingat, saat perasaan benciku pada Mia makin melebarkan sayapnya. Benci, aku pernah membeci Mia, tidak ... tidak mungkin. Tangisku semakin keras.

"Mia, bawa aku bersamamu. Mia, aku tak akan pernah melupakanmu. Mia, di dadaku ada segenggam rasa bersalah. Maafkan aku, Mia. Aku tak sempat minta maaf sebelum kau pergi. Sekali lagi, maafkan aku.

Seiring dengan semua itu, hawa kamarku berganti. Angin berembus melalui jendela kamarku. Angin! Tiba-tiba aku ingin bicara pada angin, yang mungkin mengerti perasaanku saat ini.

Angin, sampaikan maafku kepada orang yang sangat aku sayangi. Sampaikan juga salam perpisahanku kepadanya. Katakan juga bahwa aku takkan pernah melupakannya. Kulampiaskan semua kepedihanku pada bantal yang tak pernah tahu tentang diriku. Aku menangis, ya menangis lagi untuk hari ini, dan mungkin untuk hari esok.

"Mia, adakah yang sepertimu?"