Akhir Hidupku

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Akhir Hidupku
oleh Nora Fudhia

Akhir Hidupku

Nora Fudhla
MTsN 1 Bukittingi



Umurku sudah seabad lebih. Hal itu makin terasa saat angin berembus dengan kencangnya, yang membuat bagian tubuhku berderik-derik menyedihkan. Cat yang berwarna cokelat tua, yang satu-satunya membalutku, sudah mengelupas sehingga lama-kelamaan rayap hinggap dan mulai menggerogoti tubuhku. Papan namaku yang bertuliskan “Maghfirah” sudah terkulai lemas karena salah satu kayu penyangganya sudah patah.

Dibandingkan dengan bangunan lain di desa ini, memang akulah bangunan yang paling merana karena bentuk badanku yang sudah sangat memprihatinkan. Padahal, sewaktu zaman merebut kemerdekaan dulu, akulah tempat yang paling indah dan megah, yang merupakan tempat persembunyian dan pengaturan siasat para pejuang dalam berperang. Emosi yang meluap-luap tampak jelas sekali ketika mereka merancang taktik. Hatiku bergairah seakan turut memikirkan siasat bersama mereka. Telingaku nyaring saat ada perintah dari atasan, seakan perintah itu dititahkan kepadaku. Aku tak pernah merasa kesepian karena pemuda-pemuda itu selalu menemaniku. Setiap hari mereka melaksanakan salat, mengaji, belajar silat, dan bercengkerama. Setiap hari pula aku melindungi mereka dari panas menyengat, hujan badai, bahkan dari serangan peluru yang meletus dari senapan Penjajah. Hal itu membuatku merasa sangat dihargai.

Tapi sekarang, apa yang terjadi? Penduduk desa ini tak lagi berbuat demikian walaupun aku tahu ini bukanlah zaman merebut kemerdekaan lagi. Alih-alih untuk salat dan mengaji, mengunjungiku saja mereka tak pernah. Mereka tak peduli, apakah sudah saatnya menunaikan salat fardu, bahkan untuk melaksanakan salat Id pada hari raya saja mereka tak ingin melaksanakannya lagi.

Temanku kini hanyalah Haji Amir. Beliau adalah Pengurisku satu-satunya. Setiap hari ia mengumandangkan azan dengan suara tuanya yang amat merdu, memekik lembut memanggil orang-orang untuk salat. Namun, tak ada yang peduli sehingga setiap salat dirinya rangkap menjadi imam sekaligus sebagai makmum dan hanya ditemani sajadah tua. Hatiku pedih dan teriris melihat peristiwa ini. Tapi, aku kagum dengan ketabahan Haji Amir yang meskipun begitu masih taat dan bersyukur kepada Allah.

Terkadang aku merasa iri kepada rekanku sesama bangunan. Mulai dari mal, bioskop, dan aku paling dengki melihat diskotik yang mampu menggaet dan mengimami para jumaahnya hanya dengan lampu kerlap-kerlip, musik yang bising, narkotika, dan pelacur muda. Aku tak tahan dengan cacian mereka mengenai keadaanku yang katanya sudah tidak memiliki daya tarik lagi dan sebagainya yang membuatku sakit hati, Bukannya mau mengutuk atau apa, aku berharap nasib mereka bisa seperti aku, kesepian.
* * *

Siang ini udara cerah. Anak-anak bermain kelereng di halamanku dan membuat kebisingan karena mereka bersorak keras sekali saat mereka berhasil memasukkan kelereng ke dalam lubang. Burung-burung hinggap di kepalaku dan bersenda gurau sehingga kepalaku geli. Haji Amir sibuk dengan tugas kesehariannya, yakni mengepel dan mengelap kaca-kaca yang terdapat pada tubuhku hingga bersih. Aku menikmati segalanya dengan senang hati, sampai aku mendengar bunyi derum mobil yang mendekatiku. Anggapanku tak salah, mobil-mobil berkilat itu masuk dan berhenti di halamanku dan membuat anak-anak menghentikan permainan. Tak dinyana, Haji Amir keluar dan keningnya berkerut pertanda keheranannya.

Tak lama kemudian, orang-orang berdasi keluar dari mobil-mobil yang berkilat itu. Salah satunya membawa tas berwarna hitam dan memandang tubuhku dengan serius, diiringi anggukan-anggukan kecil, Lalu, mereka mendekati Haji Amir dan menjabat tangannya sambil tersenyum. Orang itu tampak cukup sopan ketika berbicara dengan Haji Amir, tak seperti penduduk desa ini umumnya. Setelah berbicara cukup lama, pria berdasi itu membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa helai kertas yang aku sendiri tak tahu itu kertas apa, untuk dibaca Haji Amir. Beliau menerima surat itu dan membacanya dengan saksama. Entah kenapa, Haji Amir berbicara sedikit keras sehingga membuat pria berdasi itu dan aku terkejut.

“Tanah ini tak pernah saya gadaikan, apalagi saya jual!” bentak Haji Amir, yang kelihatannya sudah kehilangan kesabaran.

“Tapi, Pak, surat ini membuktikan bahwa Anda pernah menggadaikan tanah ini kepada Tuan Senjoyo,” jawab Si pria berdasi. “Dan, tanda tangan Bapak terdapat disini,” lanjutnya.

Digadaikan? Pertanyaan itu muncul saja di benakku. Apa yang terjadi? Aku makin tak mengerti ketika melihat Haji Amir ingin mengusir pria berdasi itu.

“Tanda tangan apa? Saya tak pemah menandatangani surat perjanjian ini!” elak Haji Amir tegas. “Terserah Anda, Pak Tua, saya hanya menjalankan perintah atasan. Jika Bapak masih ingin mempertahankan musala tua ini, Bapak mesti membayar uang tebusan sebanyak yang telah disepakati bersama dalam surat ini!” kata si pria berdasi yang juga sudah emosi.

Haji Amir menyelesaikan membaca surat yang tidak pernah ditandatanganinya itu. Kemudian melipatnya dan beliau tertunduk lesu.

“Saya harap Bapak mengerti dan bisa membayar tebusannya sampai batas hari yang ditentukan. Jika Bapak tidak juga membayar tebusan, musala ini akan dirubuhkan dan diganti dengan bangunan baru.” jelas si pria berdasi itu.

“Maaf, Tuan, bukannya mau mencampuri urusan Anda atau pemilik baru tanah ini, bangunan baru apakah yang akan dibangun di atas tanah ini?” tanya Haji Amir.

“Hm... kalau tidak salah, pemilik baru tanah ini akan mendirikan diskotek karena Tuan itu menganggap lokasi tanah ini sangat strategis dan menguntungkan,” jawab pria itu, “Baiklah, saya tidak ingin berlama-lama di sini karena banyak pekerjaan lain, permisi.” Kemudian pria itu menaiki mobil dan pergi berlalu sambil menyisakan asap menyesakkan. Berbeda dengan Haji Amir, beliau masih berdiri terpaku, Hatiku berteriak parau, “Ya Allah, kumohon jangan biarkan orang-orang durhaka itu menghancurkanku dan mendirikan tempat maksiat itu, Ya Allah.”

Dengan segera, Haji Amir pergi mengambil wudu dan melaksanakan salat sunat untuk menghadap Allah Swt. Setelah berzikir memuji Allah, beliau menengadahkan tangannya. Hatiku dapat merasakan beliau menangis dan mendengarkan isakannya dalam doanya kepada Allah. Doa penuh harap dan belas kasih.

"Ya Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tuhan semesta alam, hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan dan perlindungan, tolonglah hamba-Mu ini yang benar-benar dilanda kesedihan, hamba tak tahu harus berbuat apa, hamba wajib mempertahankan rumah-Mu ini, Ya Allah. Tapi, dari manakah hamba mendapatkan tebusan puluhan juta itu? Ya Allah, hamba mohon tunjukilah jalan yang Engkau ridai kepada hamba dan tunjukilah hati mereka yang telah berani berniat menghancurkan rumah-Mu ini, Ya Allah,” isaknya, yang diiringi air mata yang tak mampu lagi ia bendung. Tak kurasa, aku juga telah terisak dan menangis, hanyut dalam doa Haji Amir yang benar-benar meluluhkan hatiku. Kuikuti doanya dengan mengucapkan, “Amin”. Diriku merasa bersalah karena aku menjadi beban bagi Haji Amir. Karena untuk mempertahankanku, beliau harus mencari uang sebanyak-banyaknya, yang aku sendiri tak tahu harus mencari dan akan didapatkan dari mana.

Haji Amir telah menyebarkan dan menyodorkan kotak sumbangan ke seluruh penjuru desa. Namun, yang didapat bukanlah uang. Malah, dorongan yang menganjurkan agar Haji Amir bersedia melepaskan dan merubuhkanku agar bisa dibangun tempat hiburan baru di desa ini. Hal itu membuat beliau sedih dan pulang dengan hati pilu. Ketika ia tiba di depanku, ia berdoa kepada Allah. “Ya Allah, maafkanlah aku, jika aku tak sanggup mempertahankannya, Ya Allah, maafkanlah aku.” Walaupun begitu, beliau selalu berusaha mendapatkan uang tebusan. “Ya Allah, berikanlah ketabahan dalam hatinya,” isakku.

Hari demi hari pun berlalu sehingga terdengar kabar bahwa ada pesta kesenian di wilayah desa sekitar. Haji Amir berpikir, mungkin ini saat yang tepat untuk meminta bantuan sumbangan karena dari hasil bantuan selama ini, hasilnya sangat jauh dari yang diharapkannya. Beliau pun berharap, bisa mendapatkan uang tebusan secepatnya karena batasan hari yang telah ditentukan sudah dekat.

Penduduk desa sangat antusias menyambut pesta kesenian yang akan diadakan sehingga mereka mereka benar-benar mematangkan perencanaan, memilih tempat, hiburan apa yang akan ditampilkan, dan dekorasi apa yang akan dipakai nantinya. Para penduduk sepakat, pesta itu diadakan di lapangan kosong yang terletak di depanku. Alhamdulillah, mereka mengundang Haji Amir dalam pesta itu untuk membuka acara dan menyampaikan pidato penyambutan. Beliau pun menyanggupi.

Pesta yang dinantikan itu pun tiba. Hiruk pikuk, itulah yang sangat jelas kudengar karena lokasinya tepat di depanku. Anak-anak berlari kian kemari. Nyonya-nyonya bergosip dan bapak-bapak sangat menikmati mengisap rokok mereka. Aku masih sempat melihat Haji Amir yang duduk sedih tanpa ada Seorang pun yang mempedulikannya hingga malam pembukaan tiba. Haji Amir membuka acara dan menyampaikan pidatonya. Suara tuanya yang sangat kukenal itu bergema mantap dan keras karena menggunakan mikrofon. Perkataannya diiringi tepukan di sana sini, sampai ketika beliau mulai menyinggung masalah tebusan diriku. Suaranya menampakkan pengharapan yang sangat agar para penduduk mau membantunya, Penduduk menimpalinya, tapi jauh dari yang diharapkan, malah berkata, “Buat apa, Pak Haji? Mengapa kami harus memberikan bantuan untuk menebus musala jelek itu?” ejek salah seorang dari mereka.

“Benar, Pak Haji! Biarkanlah musala itu dirubuhkan. Kan, kalau rubuh, desa kita ini mempunyai Japangan kosong yang bisa digunakan sebagai lapangan sepak bola! Nanti Pak Haji, deh, yang jadi manajernya,” timpal yang lain dan disambut cengengesan penduduk lain.

“Ya Allah, mengapa kalian berpikiran begitu? Musala itu satu-satunya tempat ibadah kita yang masih tersisa?” geram Haji Amir.

"Kan, tidak ada salahnya, kalau kita salat di rumah saja?”

“Tahukah kalian? Jika musala ini dirubuhkan, pemilik barunya akan mendirikan diskotek. Kita sama-sama tahu, itu tempat maksiat yang dilarang agama untuk mendirikannya,” jelas Haji Amir.

“Wah, bukannya itu hal yang bagus. Para pemuda dan pemudi desa ini benar-benar bosan dengan layar tancap. Mereka seharusnya mendapatkan hiburan yang baru. Kan menari-nari diiringi musik itu tidak salah? Setuju, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu?” kata pemuda di sudut tenda. Yang diikuti dengan anggukan penduduk lain.

“Ya Allah, sungguh Allah telah menutup mata, telinga, dan hati kalian,” ucap Haji Amir yang tampak sudah mulai menangis karena mendengar ucapan penduduk. Langsung saja beliar mengucapkan salam dan turun dari mimbar. Dan, tak seorang pun mencegahnya pergi.

Haji Amir berjalan dengan tenang ke arahku sambil mengurut-nrut dadanya. Kemudian beliau membuka pintuku dan masuk. Langsung saja beliau bersimpuh dan bersujud mohon ampun kepada Allah. Ya Allah, beliau menangis, ingin rasanya aku menenangkannya. Padahal, kusadari aku pun sedang menangis. “Ya Allah, tunjukilah hati mereka itu,” doaku berulang kali.

* * *

Pria berdasi itu telah berulang kali datang dan berbicara dengan Haji Amir, Setiap kali Haji Amir berbicara dengan pria berdasi itu, beliau selalu minta penangguhan dan mengatakan alasannya. Dan, seperti biasa pula, aku bisa mendengar pembicaraan mereka.

“Saya mohon, Pak, saya belum mendapatkan uang tebusannya, berilah tambahan waktu kepada saya,” pinta Haji Amir.

“Maaf, Pak, saya hanya menjalankan tugas saya,” tolak si pria berdasi, “Perusahaan Petravex telah menjualnya kepada seseorang, yang Bapak sudah tahu apa yang akan didirikannya, dan satu-satunya cara agar Bapak bisa mencegahnya ialah membayar uang tebusan,” lanjutnya jengkel.

“Baiklah, saya mengerti,” jawab Haji Amir murung.

“Ingat, tinggal dua hari lagi!” kata si pria tegas, yang kemudian langsung pergi dengan mobil berkilapnya. Batas hari yang ditentukan telah tiba, Haji Amir pasrah dan bertawakal kepada Allah, sambil berharap adanya mukjizat. Setelah segala upaya yang telah diusahakannya, beliau menunggu Si pria berdasi yang akan datang bersama pemilik baru tanah. Kepalanya bersandar ke tonggakku. Bisa kudengar ia berzikir.

Tamu yang ditunggu pun tiba dengan mobil sedan berkilap. Tapi, diiringi pula dengan..., Ya Allah, buldozer! Mobil raksasa berwarna kuning dan catnya yang sama nasibnya denganku, sudah mengelupas, ikut pula menghampiri dan parkir di depanku, Tak kukira ajalku telah dekat! Mobil raksasa itu pasti mudah sekali membunuhku hanya dengan sekali ayunan lembut belalainya atau apalah namanya karena tubuh tuaku yang sudah lapuk. Mobil itu menyeringai angkuh, seangkuh orang yang mengemudikannya. Kurasa napasku mulai tercekat.

Pria berdasi itu turun dari mobilnya bersama pria setengah baya, yang kukira pemilik tanah yang baru. Kudengar suara Haji Amir yang sama tercekat denganku.

“Maaf, Pak, saya kiratak secepat ini perubahannya,” ucap beliau cemas.

“Ha. ..ha... ha..., mana bisa lama-lama, Pak Tua! Membangun diskotek diperlukan waktu yang banyak. Jadi, ya, kita tak perlu berbasa-basi dan bertele-tele!” tukas si pria setengah baya.

Mendengar itu Haji Amir menunduk dan memohon sekali lagi.

“Saya mohon, Pak, jangan sekarang,” pintanya

Tetapi pria berdasi itu malah menyuruh si pengemudi buldoser menjalankan tugasnya menghancurkanku. Penduduk ramai-ramai berdatangan, ingin melihatku dalam menjalani sakaratul maut. Anak-anak berceloteh riang karena mereka senang sekali aku dirubuhkan. Haji Amir terduduk lesu menatapku dan menangis, hampir pingsan saat melihat buldoser itu mendekatiku, tanpa ada seorang pun yang mencegahnya.

Buldoser itu merangkak mendekatiku, mengangkat belalainya tinggi-tinggi. Aku berteriak keras, “Ya Allah, tolonglah aku,!” tubuhku berdiri gemetar saat mobil itu hanya beberapa meter dariku dan langsung menghantamkan belalainya padaku, braak! Tubuhku bergoyang-goyang, penduduk memekik, tapi Haji Amir lebih histeris. Beliau mendekatiku. Namun, berhasil dicegah penduduk. Belalai itu menghantamku lagi dan bagian-bagian tubuhku mulai rontok. Kepalaku yang berbentuk kubah dan memiliki puncak bertuliskan nama “ALLAH” miring dan bergantung lemas Pada kubahku.

Kutatap masing-masing penduduk, mereka tersenyum. Anak-anak bersorak saat menyaksikan bagian-bagian tubuhku yang mulai rapuh dan jatuh menghantam tanah dan berderak keras. Sakit, sakit, Ya Allah! Jeritku, Masih kucoba berzikir dan membaca tahlil, laa ilaa ha ilailah! Gubrak! Belalai itu menghantamku lagi. Kubahku jatuh. Puncaknya yang bernama Allah mengikuti dan patah ketika jatuh ke tanah. Napasku sudah tinggal seleher. Seluruhnya tampak kabur. Datanglah malaikat maut menjemputku, memapahku. Kulihat jasadku tinggal puing-puing kayu tua. Si pria berdasi bersalam-salaman bersama pemilik tanah picik itu. Penduduk berteriak-teriak senang. Haji Amir sudah pingsan. Buldoser itu sudah berhenti menghancurkanku dan mengumpulkan sisa-sisa jasadku. Menyaksikan itu membuatku berteriak, “Dengarlah, manusia, laknatullah! Sungguh kiamat sebentar lagi!”

* * *

Dua tahun pun berlalu. Seekor burung merpati menyampaikan kabar, diskotek itu telah berdiri dengan megahnya. Taraf ekonomi penduduk pun telah meningkat. Mereka beranggapan, ini adalah surga dunia. Tapi, tidak demikian dengan Haji Amir. Allah tidak membiarkannya larut dalam penderitaan dan kesedihan sehingga Haji Amir pun dipanggil-Nya. Wafatnya Haji Amir tidak mempengaruhi kegembiraan dunia penduduk desa itu. Mereka beranggapan, segalanya telah mereka dapatkan. Tapi, satu yang telah hilang dan tidak akan pernah mereka dapatkan, yaitu keimanan.