Lompat ke isi

Sultan Thaha Syaifuddin/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
BAB IV
PERJUANGAN SULTAN THAHA DAN
KEHIDUPAN RAKYATNYA


A. PERJUANGAN SULTAN THAHA SYAIFUDDIN

Sudah disebut di muka bahwa Sultan Thaha sejak kecil sudah memperlihatkan tanda-tanda sebagai seorang pemimpin. Beliau seorang yang cerdas, tangkas, pandai bergaul, berkemauan keras dan rendah hati. Pendeknya Sultan Thaha mempunyai kepribadian yang menarik, sehingga segala tindakannya sering dijadikan contoh oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

Menjelang usia dewasa nampaklah bakatnya sebagai seorang diplomat. Pada usia 21 tahun, ketika ayahnya, yaitu Sultan Muhamad Fakhruddin masih menjabat tampuk pemerintahan, Sultan Thaha pernah diutus mengunjungi Malaya (sekarang Malaysia), Singapura dan Patani guna memperkuat hubungan dagang antara Jambi dengan negara-negara itu serta meninjau perkembangan pendidikan di sana. Kunjungan beliau ke Malaya, Singapura dan Patani pada waktu itu keculai telah memperkuat hubungan dagang, juga telah menambah semangat beliau untuk memperbaiki dan meningkatkan segi-segi kehidupan rakyat Jambi (10, p. 19).

Jauh sebelum memiliki kesempatan memegang pemerintahan di Jambi, Sultan Thaha telah bercita-cita untuk memperbaiki kehidupan rakyat, memajukan pendidikan dan menyebarluaskan agama Islam. Beliau menyadari bahwa rencananya itu tidak akan berhasl baik, apabila orang-orang Belanda masih beada di Jambi mencampuri segala urusan pemerintahan kesultanan. Karena itu Sultan Thaha bercita-cita untuk mempersatukan seluruh rakyat Jambi dengan semangat keislaman guna mengusir orang-orang Belanda yang dikatakannya sebagai orang kafir itu dari seluruh wilayah Jambi.

Pada tahun 1841 ayah beliau, Sultan Muhamad Fakhruddin meninggal. Penggantinya adalah Pangeran Ratu, Abdulrahman, paman Thaha sendiri. Bersamaan dengan itu Sultan Thaha diangkat sebagai Pangeran Ratu (Perdana Mentri) menggantikan Pamannya (10, p. 20).

Sebagai Pangeran Ratu Sultan Thaha mulai memiliki kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya. Beliau melihat bahwa masih banyak rakyat Jambi pada waktu itu yang buta huruf, terutama tulis bacaan huruf Arab sebagai huruf Al-Qur'an. Demikian pula masalah pangan yang menurut beliau perlu segera ditingkatkan untuk menambah kesejahteraan rakyat.

Masalah sosial keagamaan menurut anggapan beliau perlu mendapat perhatian secara serius. Karena itu dalam sidang Dewan Menteri pertama sejak Sultan Thaha Syaifuddin memangku jabatan Pangeran Ratu, beliau mengeluarkan perintah kepada seluruh rakyat Jambi melalui Perpatih Dalam, Perpatih Luar, Jenang, Bathin dan semua Penghulu agar:

  1. Seluruh rakyat, baik laki-laki maupun wanita yang berumur lima puluh tahun ke bawah diwajibkan tahu membaca dan menulis huruf Al-Qur'an atau huruf Arab.
  2. Pertanian dan perkebunan harus diperluas.
  3. Hasil hutan, perternakan dan pertambangan emas supaya diperhatikan dan ditentukan mana yang perlu diekspor dan mana yang akan dipakai di dalam negeri sendiri.
  4. Pembangunan mesjid dan langgar supaya ditingkatkan.
  5. Di setiap dusun agar diangkat seorang hakim atau qadhi.
  6. Hendaknya rakyat selalu mempertebal keimanannya kepada Tuhan supaya fanatik dalam mempertahankan Tanah Air (10, p. 20).

Dari keenam "Perintah Harian" tersebut di atas tampaklah bahwa Sultan Thaha sangat memperhatikan kesejahteraan lahir dan batin rakyatnya. Untuk mempersatukan seluruh rakyat serta meningkatkan semangat anti penjajah Belanda Sultan Thaha dalan1 memberikan dakwah kepada rakyat selalu mensitir ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist.

Ayat-ayat Al Qur'an yang selalu disampaikan kepada rakyat antara lain ialah Surat Annisah ayat 144 dan surat Al Maidah ayat 51 yang intinya menganjurkan kepada Rakyat Jambi agar tidak memilih orang yang bukan Islam menjadi pemimpin mereka (10, p. 21).

Maksud Sultan Thaha dengan berkali-kali menyampaikan ayat-ayat tersebut di atas jelas, yaitu agar rakyat Jambi menolak penjajah Belanda di daerahnya. Sedangkan Hadist yang sering beliau sampaikan kepada rakyat ialah "Hubbul wathan minal iman" yang dapat diterjemahkan dengan cinta kepada tanah air itu sebagian dari pada iman.

Dengan seringkali mensitir hadist tersebut di atas Sultan Thaha bermaksud menanamkan perasaan kebangsaan kepada rakyat sehingga mereka rela mati demi mempertahankan tanah air dan mengusir penjajah Belanda (10, p. 21).

Pada tahun 1855 Sultan Abdurahman meninggal, dan pada tahun itu juga kekuasaan kesultanan mulai dipegang oleh Sultan Thaha Syaifuddin dengan pusat kesultanan Keraton Tanah Pilih.

Langkah pertama yang dilakukan oleh Sultan Thaha setelah menduduki takhta kesultanan Jambi ialah mengadakan peninjauan kembali terhadap perjanjian yang ada selama ini antara kesultanan Jambi dengan Pemerintah Belanda. Kemudian beliau berusaha memperkuat rasa keimanan rakyat terhadap Allah.

Untuk meningkatkan rasa keimanan rakyatnya itu Sultan Thaha mendatangkan tenaga Ulama dari luar negeri, yaitu dari Mesir dan Patani. Juga didatangkan ulama dari negeri tetangga, yaitu Minangkabau. Ulama-ulama yang mendapat gaji dari pemerintah kesultanan Jambi ini ditugaskan menjadi guru untuk memberikan pelajaran agama kepada rakyat dan keluarga kesultanan (10, p. 22).

Ketika Sultan Thaha mulai diangkat menjadi Sultan Jambi, perlawanan rakyat terhadap Belanda tengah berlangsung dengan sengit. Dalam situasi seperti ini Sultan Thaha dengan tegas menyatakan bahwa:

  1. Sultan Thaha Syaifuddin yang sudah dinobatkan sebagai Sultan Jambi tidak mau mengakui kekuasaan Belanda di Jambi.
  2. Sultan Thaha Syaifuddin bersama rakyat Jambi tidak mau mengakui dan mentaati segala perjanjian antara Sultan Iambi dengan pemerintah Belanda.
  3. Sultan Thaha Syaifuddin bersama rakyat Jambi tidak akan mengadakan perjanjian apa pun dengan penjajah Belanda (10, p. 22 dan 23).

Setelah mendengar pernyataan tersebut di atas Belanda mengancam akan memecat Sultan Thaha Syaifuddin dari jabatannya dan akan menangkap dan mengasingkannya ke Batavia. Ancaman tersebut sama sekali tidak dihiraukan oleh Sultan Thaha. Beliau bahkan menyiapkan pasukan untuk menyerang Belanda. Pasukan Sultan ini dipersenjatai dengan pedang, lembing dan senapan-senapan hasil rampasan dari tentara Belanda.

Setelah mengetahi bahwa ancamannya terhadp Sultan Thaha itu tidak berhasil, maka Belanda mulai mengubah sikapnya. Mereka mulai menghubungi Sultan Thaha secara lunak, menempuh jalan damai. Untuk keperluan tersebut Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengirim utusan yang terdiri dari Residen Palembang Coupernts dan Asisten Residen Strom van's Gravensande untuk menemui Sultan Thaha Syaifuddin guna diajak berunding. Sebelum utusan itu tiba di Jambi, sudah ada dua orang Indonesia yang diutus fihak Belanda, yaitu Jaksa Palembang, Pangeran Kartowijoyo dan seorang kepala kampung yang bernama Said Ali untuk datang ke Jambi guna menyelidiki siapa-siapa di antara keluarga Sultan yang setuju dan yang tidak setuju terhadap perjanjian dengan Belanda. Dengan demikian Belanda telah bersiap-siap untuk mengangkat keluarga Sultan yang lain andaikata perundingan dengan Sultan Thaha mengalami kegagalan.

Semua usaha Belanda untuk membujuk Sultan Thaha agar bersedia mengadakan perjanjian dengan mereka mengalami kegagalan. Sultan Thaha tetap pada pendiriannya, tidak mau mengadakan perjanjian apa pun dengan penjajah Belanda.

Sementara itu Belanda bertambah khawatir karena Sultan Thaha Syaifuddin berusaha mengadakan hubungan dan meminta bantuan dunia luar, seperti dengan Turki, Inggris dan Amerika Serika yang pada waktu itu selalu mengancam kedudukan Belanda (11, p. 14).

Kekhawatiran terhadap kemungkinan adanya bantuan Inggris dan Amerika Serikat terhadap Sultan Thaha itu telah menyebabkan Belanda mencari penyelesaian sepihak sebagai berikut:

  1. Sebuah pasukan Belanda dikirim ke Jambi.
  2. Sultan Thaha Syaifuddin masih diberi kesempatan berpikir selama 2 x 24 jam untuk mengadakan perjanjian baru.
  1. Jika Sultan Thaha Syaifuddin tidak mau mengadakan perjanjian baru, maka beliau akan diturunkan dari takhta kesultanan dan akan digantikan dengan Sultan baru yang mau mengadakan perjanjian dengan Belanda.
  2. Jika Sultan Thaha benar-benar tidak mau menyetujui diadakannya perjanjian baru, beliau akan diasingkan ke Batavia.
  3. Sultan Jambi diharuskan mengirimkan utusan ke Batavia untuk memberi tanda kehormatan kepada Gubernur Jenderal di Batavia.

Keputusan Pemerintah Belanda ini segera dilakukan. Pada tanggal 25 September 1858 datanglah di Muara Kumpeh sepasukan tentara Belanda di bawah pimpinan Mayor Van Langen dengan kekuatan 30 buah kapal perang dan 800 orang tentara.

Pertempuran terjadi selama dua hari dua malam. Kapal perang Belanda "Houtman" berhasil ditenggelamkan pasukan Sultan Thaha Syaifuddin. Dalam pada itu Sultan Thaha juga menyimpan 30 buah kapal perang di Muara Tembesi. Istana Jambi dikosongkan, semua penghuninya menyingkir ke Muara Tembesi, sehingga meriam yang ada di Istana Jambi tidak berbunyi lagi.

Dalam pertempuran di Muara Kumpeh ini tiga orang panglima yang mendampingi Sultan Thaha gugur di Medan juang, sehingga pimpinan perang kemudian diserahkan kepada Raden Mas Tahir. Sultan Thaha Syaifuddin yang mengetahui bahwa persenjataan fihak Belanda lebih lengkap secara diam-diam telah memerintahkan pasukannya untuk meninggalkan istana menuju ke Muara Tembesi.

Di Muara Tembesi Sultan Thaha Syaifuddin mulai menyusun pemerintahan baru dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Pangeran Hadi diangkat menjadi Kepala Bala Tentara.
  2. Pangeran Singo diangkat menjadi Kepala Pemerintahan Sipil.
  3. Pangeran Lamong diangkat menjadi Kepala Keuangan (11, p. 15).

Bagi Sultan Thaha Syaifuddin adanya ancaman maupun serangan militer fihak Belanda itu tidak mengubah pendiriannya yang tidak mau mengadakan perundingan dengan fihak Belanda. Hal ini dinyatakan Sultan Thaha kepada pembantu-pembantun­nnya "Saya tidak mau berunding dengan Belanda; bila saya berunding dengan mereka 1 maka hilanglah amal saya empat puluh hari" (10, p. 26).

Setelah Sultan Thaha Syaifuddin berhasil menyusun pemerintahan baru yang berpusat di Muara Tembesi, mulailah beliau menanamkan semangat juang secara lebih intensif kepada rakyat. Hal ini disambut oleh rakyat dengan penuh kesetiaan. Oleh karena itu di mana saja Sultan Thaha Syaifuddin memberikan penerangan kepada rakyat tentang tujuan perjuangannya, maka beliau dengan gamblang menyampaikan Setih Setia (Sumpah setia) yang diikuti oleh rakyat dengan penuh semangat untuk segera melaksanakannya.

Setih setia Sultan Thaha Syaifuddin terhadap pengikutnya itu sebagai berikut: Bila keadaan memaksa untuk menyerah kepada Belanda, maka berpura-puralah kamu menyerah. Namun bila ada kesempatan Belanda itu harus kamu lawan lagi. Bila Belanda menanyakan tempat Sultan Thaha Syaifuddin, janganlah kamu tunjukkan tempat itu.

  1. Tunduklah kamu ibarat pisau lipatan.
  2. Siapa yang tidak patuh, maka ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat dan berakar, di tengah-tengah dimakan kumbang.
  3. Janganlah kamu menusuk kawan seiring, mengisap darah di dalam, menggunting dalam lipatan, merangkak dalam tanah, menengok dalam air, budi menyuruk akal merangkak, pepat di luar rencong di dalam, telunjuk lurus kelingking berkait.
  4. Haruslah kamu serentak galah serengkuh dayung, ibarat menangguk ditangguk di udang sama menengok, tertangguk di tabun sama mengerok (membuang), dapat

sama balado, hilang samo rugi (10, p. 27).

Dari isi Setih setia seperti tersebut di atas tampaklah bahwa Sultan Thaha Syaifuddin selalu mengusahakan terbentuknya persatuan dan kesatuan seluruh rakyat Jambi di bawah satu komando untuk mengusir orang Belanda.

Kepemimpinan Sultan Thaha Syaifuddin ternyata diterima oleh seluruh rakyat. Apabila di suatu tempat akan dibacakan setih setia, maka rakyat yang akan mengikuti setih setia itu terlebih dahulu minum air yang telah direndam dengan Al Qur'an. Musyawarah yang diselenggarakan oleh Sultan Thaha selalu dihadiri oleh rakyat yang bersemangat untuk melaksanakan hasil musyawarah itu (10, p. 27 dan 28).

Setelah mengetahui kesetiaan rakyat terhadap kepemimpinannya itu, Sultan Thaha bertambah yakin bahwa cita-cita perjuangannya akan berhasil. Sultan Thaha menyadari bahwa untuk menghadapi Belanda yang mempunyai perlengkapan perang modern itu diperlukan segala taktik dan strategi. Belanda yang mengakui posisi Sultan Thaha yang kuat itu mulai menjalankan politik adu domba sesama rakyat Jambi. Mereka mencari keluarga Sultan Thaha yang bersedia diangkat menjadi Sultan Jambi. Tentunya dengan syarat bersedia untuk tunduk dan mentaati perjanjian yang dibuat dengan Belanda. Mula-mula jabatan Sultan itu ditawarkannya kepada Pangeran yang waktu terjadi pertempuran tidak sempat mengungsi, akan tetapi tawaran ini ditolak, karena Pangeran Ratu telah mengetahui niat jahat Belanda. Akhirnya Belanda menemukan juga keluarga Sultan yang bersedia diangkat menjadi Sultan Jambi yaitu Penembahan Prabu, Paman Sultan Thaha sendiri.

Pada tanggal 2 Nopember 1858 Pemerintah Belanda mengangkat Penembahan Prabu sebagai Sultan dengan gelar Ratu Ahmad Najarudin, sedangkan Pangeran Ratu Ningrat diangkat menjadi Pangeran Ratu lagi (11, p. 15).

Pada hari pengangkatan itu juga dibuat perjanjian baru yang ditandatangani oleh Sultan Ahmad Nazaruddin. Perjanjian baru yang kemudian diperkuat dengan piagam Gubernur Jenderal Belanda di Batavia itu berisi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

  1. Kerajaan Jambi adalah sebagian dari jajahan Belanda di Hindia Timur dan Jambi berada di bawah kekuasaan negeri Belanda.
  2. Negeri Jambi hanya dipinjamkan kepada Sultan Jambi yang harus bersikap menurut dan setia serta menghormati Pemerintah Belanda.
  3. Pemerintah Belanda berhak memungut cukai pengangkutan, barang masuk dan barang keluar Negeri Jambi.
  1. Kepada Sultan Jambi dan Pangeran Ratu diberikan uang sejumlah f. 10.000,- jumlah ini akan diperbesar jika penghsilan cukai pengangkutan bertambah.
  2. Segala perjanjian tahun 1834 tetap berlaku, jika tidak berlawanan dengan surat perjanjian ini.
  3. Sultan dan Pangeran harus mengirimkan utusan untuk menghormati Gubernur Jenderal di Batavia, bila dianggap perlu oleh pemerintah Hindia Belanda.
  4. Batas-batas negeri Jambi akan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda dalam piagam lain (3, p. 5).

Sesuai dengan apa yang diinginkan Belanda, maka setelah Panembahan Prabu dinobatkan menjadi Sultan Jambi oleh Belanda timbullah perpecahan di kalangan keluarga kesultanan dan rakyat Jambi. Tetapi sebagian besar rakyat Jambi hanya mengakui Sultan Thaha Syaifuddin sebagai Sultan Jambi yang syah.

Hal ini disebabkan karena Sultan Thaha Syaifuddin yang memegang tanda-tanda kebesaran dan alat-alat upacara kesultanan, antara lain "Keris Siginjai" yang merupakan lambang kesultanan.

Untuk mengatasi perpecahan ini oleh keluarga Sultan ditetapkan bahwa sebagian daerah Jambi masih tetap berada di bawah kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin (10, p. 29).


B. KEHIDUPAN MASYARAKAT

Sudah disebutkan di muka bahwa setelah terjadi pertempuran bulan September 1858 Sultan Thaha Syaifuddin berserta seluruh penghuni Keraton Tanah Pilih menyingkir ke Muara Tembesi. Di tempat yang baru ini Sultan Thaha mulai menyusun pemerintahan baru. Daerah kekuasaannya meliputi daerah Jambi bagian Hulu, ya1tu dari Lubuk Rusa sampai ke Muara Jambi (10, p. 34).

Struktur Pemerintahan Sultan Thaha Syaifuddin pada waktuitu dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang terdiri dari kelompok dubalang, ulama dari pemuka adat, pada masa pemerintahan beliau itu di Jambi sudah dikenal istilah rumah bertangganai, kampung batuo, negeri babatan, rantai bejenang dan alam berajo. Maksudnya sistem pemerintahan Jambi pada zaman Sultan Thaha itu mulai garis vertikal sebagai berikut :

RAJA

JENANG

TEMENGGUNG

BATIN

RAKYAT

Sultan Thaha Syaifuddin adalah Raja dan kepala pemerintahan, sedangkan Dubalang merupakan Panglima Perang dan Pembantu utama Sultan di bidang politik dan militer.

Kelompok Ulama mendapat peranan penting dalam pemerintahan Sultan Thaha, bahkan agama Islam dijadikan dasar utama dalam pemerintahan. Pada masa pemerintahan Sultan Thaha Syaifuddin inilah mula pertama diadakannya jabatan Hakim Agama atau Qadhi di daerah Jambi (10, p. 36).

Hakim Agama dalam menyelesaikan sesuatu masalah selalu berdasarkan hukum yang berlaku bagi pemerintahan kesultanan. Pada waktu itu ada tiga macam hukum yang berlaku dalam pemerintahan Sultan Thaha yang dikenal dengan nama: Hukum lamo, Hukum Bersamo dan Hukum Agamo (Islam).

Dengan demikian pada masa pemerintahan Sultan Thaha Syaifuddin ungkapan "Adat bersendikan Syarak dan Syarak bersendikan Kitabullah (Al Qur'an) benar-benar dijadikan pedoman. Di bawah kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin rakyat merasa mendapat perlindungan, sehingga mereka hidup dalam suasana yang tentram.

Adapun mata pencaharian rakyat pada waktu itu ialah bertani (sawah dan ladang), perkebunan karet, mengumpulkan hasil hutan, seperti damar dan rotan, menangkap ikan dan mendulang emas hanya dilakukan oleh rakyat di Muara Limun dan Batang Asai, Kabupaten Sorolangun Bangko. Kecuali itu di antara rakyat Jambi ada yang memiliki mata pencaharian mengambil sarang burung layang-layang.

Untuk memasarkan barang-barang tersebut, diadakan hubungan dagang dengan luar negeri, yaitu dengan Singapura, Malayu dan Cina. Untuk memenuhi keperluan hasil peternakan rakyat mendatangkan sapi, kerbau dan biri-biri dari Padang dan Bengkulu (10, p. 17).

Rumah-rumah rakyat pada umumnya didirikan di sepanjang pinggiran sungai. Mereka sudah memperlihatkan segi kesehatan, kebersihan dan kesopanan. Untuk membuang air besar dan kecil dibuatlah jamban umum di samping jamban keluarga. Di antaranya ada jamban yang dibuat khusus untuk laki-laki dan khusus untuk perempuan.

Rakyat Jambi di bawah pimpinan Sultan Thaha selalu hidup dalam suasana gotong royong. Sifat gotong royong rakyat nampak dalam menghadapi peristiwa seperti upacara perkawinan, kematian, turun baumo, (mengerjakan ladang), membangun rumah, mesjid, madrasah dan lain-lain (10, p. 18).

Sifat gotong-royong rakyat seperti tersebut di atas dipelihara baik-baik oleh Sultan Thaha Syaifuddin untuk membina persatuan dan kesetiaan rakyat dalam perjuangan mengusir penjajah Belanda. Sultan Thaha Sayifuddin sadar bahwa cita-cita kehidupan rakyat yang aman, tentram dan sejahtera lahir batin hanya bisa dilaksanakan apabila penjajah Belanda sudah terusir dari negerinya.