Lompat ke isi

Seni Patung Batak dan Nias/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB IV
SENI PATUNG NIAS

Di samping seni gaya Batak yang meliputi beberapa gaya pula, maka di daerah wilayah Sumatera Utara terdapat pula satu daerah gaya seni yang lain, yang kita dengan gaya seni Nias. Seni patung dan seni hias, adalah bidang seni yang akan diuraikan.
Adapun data-datanya berdasarkan observasi di desa Boronadu, desa Orahili kecamatan Gomo, desa Bawomataluo, desa Hilisimatano kecamatan Teluk Dalam dan Gunung Sitoli sekitanya dibuat sebagai sampel dalam tulisan ini.
Kami menyadari bahwa uraian yang ringkas ini belumlah dapat mengungkapkan semua aspek latar belakang sejarah dan makna yang terkandung di dalamnya yang meliputi hasil-hasil seni rupa secara menyeluruh.
Hal itu disebabkan karena cabang-cabang seni rupa itu sendiri cukup luas. Di lain hal banyaknya kesukaran-kesukaran yang dihadapi di dalam proses pengumpulan data.
Kesukaran-kesukaran mana antara lain:
Medan yang harus ditempuh agak sulit, sedang sumber data tentang hasil-hasil seni rupa seni patung, berada di daerah Gomo dan desa-desa lain di sekitarnya, dengan jarak tempuh sekitar satu hari jalan kaki.
Orang-orang tua atau pemahat yang dipandang banyak mengetahui tentang seni patung yang merupakan tumpuan untuk memperoleh data jumlahnya tidak banyak.
Meskipun demikian kami mencoba untuk menyusunnya sebagai melengkapi perkembangan seni patung yang terdapat di daerah Sumatera Utara, justru karena dia memiliki gaya tersendiri pula.
Harapan kami uraian ini kiranya dapat menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan tentang pertumbuhan seni rupa khususnya seni patung Nias di samping perbandingan terhadap hasil-hasil seni patung lainnya yang terdapat di daerah Sumatera Utara.
Megalith cultural heritage statue
Megalith cultural heritage statue

Gambar 105;


Patung peninggalan budaya megalit yang masih dapat diselamatkan dari kepunahannya.
Latar Belakang Sejarah
A. Letak Geografis
Pulau Nias letaknya berdekatan dengan daratan Sumatra lebih kurang delapan puluh dari pantai Sibolga dengan ibu kotanya Gu­nung Sitoli.
Pulau ini adalah pulau yang terbesar diantara lebih kurang 130 pulau kecil di sekitarnya, luas keselurnhan lebih kurang 5625 Km² tergabung dalam satu kabupaten yakni kabupaten Nias dengan tiga belas kecamatan.
  1. Kecataman Gomo
  2. Kecamatan Gunung Sitoli
  3. Kecamatan Mandrehe
  4. Kecamatan Gido
  5. Kecamatan Teluk Dalam
  6. Kecamatan Tuhembanuan
  7. Kecamatan Pulau-pulau Batu
  8. Kecamatan Idanogawo
  9. Kecamatan Sirombu
  10. Kecamatan Lolowau
  11. Kecamatan Alasa
  12. Kecamatan Lahusa
  13. Kecamatan Lahewa.
Pulau Nias termasuk lingkungan daerah Sumatra Utara, secara administratif Nias merupakan kabupaten tersendiri dengan jumlah penduduknya 417.108 jiwa (sensus penduduk 1975).
Letak pulaunya memanjang sejajar dengan pulau Sumatra pe­nuh dengan bukit-bukit yang tidak terlampau tinggi dan dataran rendah yang membujur dari tenggara ke arah Barat Laut diapit oleh pegunungan yang tingginya lebih kurang enam puluh meter dari per­mukaan laut.
Puncak tertinggi adalah Lolomatua lebih kurang 886 m. Iklim daerahnya kebanyakan dipengaruhi oleh iklim tropis dengan angin lautnya.
Sekalipun Nias berada di daerah tropis suhu udaranya tidak ter­lampau panas (tertinggi lebih kurang 30° C dan terendah 17° C).

Di sepanjang daerah pantai banyak ditumbuhi kelapa, sedang pada dataran tinggi masih banyak hutan-hutan yang belum dihuni oleh masyarakat setempat. Komunikasi antar kampung di daerah pedalaman masih sangat sulit, oleh karenanya sangat sukar dilalui oleh kendaraan, sebagai misal dari daerah Lahusa ke Gomo, sampai saat ini hubungan antar desa harus ditempuh dengan berjalan kaki. Namun demikian pulau yang terpencil itu mempunyai kekayaan so­sial seperti hasil bumi dan kebudayaan dan seni rupa peninggalan prasejarah yakni patung-patung megalit yang bertebaran di desa Bo­ronadu, desa Orahili di kecamatan Gomo, desa Bawomataluo, desa Hilesematano di kecamatan Teluk Dalam dan desa-desa lain di seki­tarnya.

B. Perkembangan Seni Patung Nias

Kebudayaan suku-suku di Indonesia sudah ada sejak kepulauan Indonesia didiami oleh manusia Indonesia, sedang kesenian, baru ada disekitar tahun dua ribu sebelum masehi setelah datangnya bangsa Austronesia ke Indonesia.

Semua suku-suku yang mendiami wilayah Indonesia pada zaman itu percaya akan adanya roh-roh (animisme) dan memuja ke­kuatan gaib (dinamisme).

Kekuatan gaib yang mengganggu harus dimusnahkan sedang yang menguntungkan dipuja dan dihormati. Sebagai media pemujaan lazimnya dibuat patung-patung yang merupakan alat komunikasi terhadap yang lebih tinggi itu sesuai dengan anutan kepercayaan masyarakat primitif, sebab lewat bentuk-bentuk patung itu roh ne­nek moyang kembali menjelma. Dikarenakan setiap pemujaan dila­kukan bersamaan oleh masyarakat maka diadakanlah upacara-upacara ritual lengkap dengan tarian-tarian diiringi oleh bunyi tatabuhan. Keadaan ini berlangsung sampai abad XVII setelah datangnya suku­-suku lain seperti Minangkabau dan Aceh yang membawa pengaruh agama Islam.

Pada abad XIX mis si Kristen mulai berpengaruh pula di daerah Nias. Pengaruh agama ini membuat kesenian rakyat setempat, khusus seni patung mengalami kemunduran, sebab seni patung dianggap se­bagai penghambat bagi berkembangnya agama di daerah itu.

Akhirnya patung-patung batu peninggalan kulkur megalit serta patung-patung kayu yang dibuat sebagai kultus terhadap nenek moyang banyak dimusnahkan, kalaupun ada hanya di beberapa desa seperti yang penulis kemukakan terdahulu.

Sisa-sisa patung yang ada sekarang seperti di desa Boronadu, desa Orahili di Kecamatan Gomo Desa Bawomataluo di kecamatan Teluk dalam sebagian masih terpelihara baik, dan kini dibuat sebagai bukti dari peninggalan masa prasejarah, disamping sebagai alat de­korasi, terlepas dari fungsi aslinya, yakni sebagai pemujaan terhadap Roh nenek moyang.

Untunglah di penghujung abad yang XX ini pemerintah mulai memperhatikan akan kemerosotan patung Nias yang mempunyai keunikan tersendiri itu, disamping patung-patung yang terdapat di daerah lain di Sumatra Utara.

Langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk ini mengada­kan registrasi tentang seni patung Nias disamping menghimbau kem­bali para seniman pemahat untuk menghidupkan kembali seni pa­tung Nias yang hampir punah itu.

Dengan demikian secara lambat laun seni patung Nias itu mun­cul kembali, hal ini dapat kita buktikan dengan terpanjangnya se­ni patung Nias di setiap toko-toko suvenir.
Di stand Medan Fair, kita dapat pula menyaksikan karya­-karya baru menurut gaya daerahnya, seperti Nias bagian Utara dan Nias bagian selatan yang justru mempunyai ciri-ciri tersendiri pula. Keadaan yang pada mulanya sangat mencemaskan itu akhirnya kem­bali lega.

Pada pameran seni patung Indonesia di Jakarta yang baru dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Me­dia Kebudayaan Jakarta 1980/ 1981, patung Nias turut serta dian­tara patung-patung tradisional kerakyatan dan kontemporer hasil karya seniman se Indonesia.

Di lain hal Departemen yang serupa, pernah mengadakan stu­di perbandingan seni patung kerakyatan (primitif) di Taman Ismail Marzuki di Jakarta 1981, seni patung Nias juga ambil bagian. Pera­gaan dan pemajangan beberapa buah patung Nias menjadi perhatian yang serius oleh setiap pengunjung. Bukti-bukti kenyataan, seperti yang kami kemukakan dapat kita lihat pada ilustrasi di bawah ini.


Gambar 106


Bentuk seni patung Nias bagian selatan pada ilustrasi gambar diil­hami oleh pemahatnya dalam corak dekoratif, atribut dan busananya dibubuhi dengan garis-garis ritmis yang mempesona. Namun de­mikian sifat patung ini tidak melepaskan ciri-ciri khas patung tradi­sional Nias sebagai seni primitif kerakyatan.
Gambar 107
Berikut ini ilustrasi yang diterangkan yakni seni patung Nias bagian Utara. Patung ini diolah oleh seni­mannya melalui media kayu (kayu besi) menggambarkan karakter seorang raja denga permaisurinya.

(Keterangan gb. 107)









Gambar l08
Dari kedua patung pada gambar ini terdapat perbedaan atribut yang disemat­kan dikepala, satu dipasang dibagian belakang dan yang satu lagi dipasang pada ba­gian depan. Perbedaan lain posisi patung Nias bagian utara umumnya dipahat tegak, sedang pa­tung-patung yang terdapat di Nias bagian selatan kebanyakan dalam posisi jong­kok atau duduk disamping penonjolan alat kelaminnya (patung telanjang) yang menjadi sumber pengilhaman senimannya,sedang pa­tung Nias bagian utara dibentuk dengan busana yang lengkap disamping orname/perhiasan yang mewarnai busana itu,(Keterangan gb.108)
Gambar 109

Patung si ulu sawali di desa Orahili ke­camatan Gomo. Pada patung ini kita melihat benda­-bendayang digenggam seperti pedang dan tombak.'
Benda itu tentunya mengandung maksud tertentu, antara lain lambang prestasi raja dimasa hidupnya selain seba­gai raja juga panglima perang. Patung ini . sengaja diletakkan diruang perte­muan disamping patung, kita jugadapat melihat jenis binatang seperti ayam, buaya dalam bentuk plastik (relief) dibuat sebagai perlambang kebijaksanaan raja. (Keterangan gb. 109)




Gambar 110








Ilustarsi pada gambar berikut (patung Si ulu sawali) dibentuk tampa busana, namun atribut yang melambangkan se­orang raja tetap dipasang.Perwujudan patung ini dibuat sebagai saksi tentang kejantanan seorang raja. Dari sumber yang layak dipercayamenjelaskan, ke­muliaan dan prestasi seorang raja di­nilai selain bijaksana adil, berperasaan sosial yang tinggi, juga keturunan yang banyak. (Keterangan gb. 110) Falsafah Batak dalam hal ini lebih jelas lagi : maranak sapulu pitu, marboru sapulu onom. Artinya, berketurunan tujuh belas putra dan enam belas putri. Detail patung dibentuk dalam sikap duduk menggambarkan tokoh penting dalam masyarakat.

Gambar 111
Osa-osa


















Duplikat patung yang dipahat mini melaui media kayu menurut in­forman yang dihubungi, dahulu dipergunakan pada upacara terten­tu (menyambut kebesaran raja), sedemikian rupa dipagelarkan de­ngan cara dipikul kemudian ditarikan berama-ramai. Osa-osa ini juga menurut imforman lain.yang dihubungi F. Harefa ex Kasi Pensiunan Kepala Seksi Kebudayaan Kabupaten Nias menjelaskan:

Selain upacara kebesaran raja, juga digunakan waktu upacara memin­dahkan tulang belulang leluhur raja yang telah disucikan kemudian disimpan di dalam guci(tempayan) untuk disemayamkan pada tem­pat yang baru.

Lebih dari pada itu patung (osa-osa) dipakai juga pada waktu-waktu kritis misalnya, timbulnya wabah penyakit yang dapat menular.
Gambar 112
Guci tempat tulang belulang sedang di sampingnya tempat tuak (minuman raja)

Dari beberapa ilustrasi, yakni gambaran patung-patung Nias yang dibubuhkan pada halaman demi halaman, kita optimis bahwa per­kembangan seni patung Nias untuk masa-masa mendatang akan me­nemui prospek yang menggembirakan.
Kepastian ini akan menjadi kenyataan apbila perhatian kita (para se­niman di daerah )) selain mencintai seni nenek moyang ingin pula menghidupkan kembali seni patung Nias yang langka itu.

C. Kesenian Megalit

Peninggalan kebudayaan yang menggunakan batu-batu besar untuk tujuan sakral, disamping alat sebagai pemujaan terhadap roh nenek moyang seperti menhir (batu tegak) dalam bahasa Nias dise­but bahu, bukti peninggalannya dapat kita lihat pada gambar di ba­wah ini.
Gambar 113

Detail menhir (batu tegak) di desa Orahili (kecamatan Gomo) pada puncaknya kita melihat bentuk burung enggang (fofo gogowaya) burung yang mulia, dibentuk dalam posisi hinggap Burung ini divaria­sikan memakai kalung yang biasa dipakai oleh raj a/ pengetua adat, tujuannya adalah lambang kedudukan tertinggi raja (pengetua adat). Letak menhir berada di halaman rumah Si Ulu (Si Ulu Sawali) di­ buat sebagai tanda ketulusan hati bagi siapa saja yang datang ke tempat itu.
Benuk batu tegak di desa Bawomataluo (kecamatan Teluk Dalam) dua batu bulat pada puncaknya dibuat khusus tempat roh nenek moyang bersemayam. Fungsi lain sama dengan menhir yang terdapat di desa Orahili, hanya gaya yang berbeda, namun kedua ba­tu tegak itu memberikan kesan kepada kita tentang ketangguhan nenek moyang suku Nias dalam mencipta sesuatu yang dapat diwaris­kan dari generasi-generasi. Di sampingnya terdapat batu tegak yang lebih rendah khusus untuk tempat pemenggalan kepala manusia.
Dari informan yang layak dipercaya (pengetua adat) yang di­ hubungi menjelaskan menhir (batu tegak) seperti yang terlihat pa­da ilustrasi gambar, dahulu setiap tahunnya dilaburi darah manu­sia. Untuk ini dibuat upacara yang meriah dengan mengorbankan beratus ekor babi.
Peninggalan-peninggalan lain seperti meja batu (dolmen) dipa­hat menyerupai lingkaran dengan ketebalan 10 sampai dengan 15 cm dengan garis menengahnya 1 Y2 lebih kurang ditempatkan men­datar di atas batu-batu lain sebagai penyangga.

Gambar 114













Dolmen di desa Orahili dipakai untuk tempat sesajen, tempat pemu­jaan terhadap roh nenek moyang di samping berfung$i sebagai tem­pat duduk dan menari pada waktu diadakan upacara adat. Diberi ukiran stilhasi jenis zoomorfis kedalam corak dekoratif, ekspresif. Suku Nias menyebutnya osa-osa. Bentuk kepala raksasa (laksara) melambangkan dewa pembina (nenek moyang) yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Motif lasara juga dipasang menonjol pada din­ding pengapit rumah menandakan lambang kebesaran bagi sipemi­liknya.
gambar 115

Peninggalan kesenian megalit yang dapat disaksikan pada ilustrasi ini dibuat sebagai ke­butuhan praktis dipergunakan dalam upacara ritual. Disam­ ping dolmen kita melihat tiga buah lasara menyatu pada bidang dasar empat persegi panjang berfungsi sebagai tempat duduk dan tegak sewaktu raja memberi pengarahan dan bim­bingan terhadap rakyatnya. (Keterangan gb. 115)





Gambar 116

Seorang penari sedang mera­gakan tari Fanarigawowo ter­golong tari tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun menurun ditarik­an di atas dolmen yang ber: bentuk lingkaran, dekorasi di belakangnya kita melihat menhir berdiri megah sedang di atasnya dipasang burung enggang (foto gogowaya). (Keterangan gb. 116)
Gambar 117

Patung osa-osa di desa Lahu­sa. Detail patung diungkapkan dalam bentuk tiga deminsional, mulutnya dipahat lebar dengan lidah dijulurkan kedepan, sedang hi­dungnya divisualisasikan bentuk hidung manusia biasa. Bagian kepala dan ekor dipisah oleh lingkaran yang difungsikan sebagai tempat duduk, buak ekspresi yang diolah melalui medis batu kedalam gaya primitif magis, religius , men­cerminkan bahwa peranan nenek moyang suku Nias zaman dahulu dapat memberikan ins­pirasi bagi seni modem masa kini. (Keterangan gb. 117)


Gambar 118

Osa-osa (di desa Orahili) dengan tiga lasara yang dipasang pada dasar empat persegi panjang. Kelihatan lebih unik, selain bentuk yang dipahat yang di pahat menyatu melalui media batu, dengan perhitungan yang sukup untuk tempat

duduk, dari hasil kegunaan dan fungsi, gerakan-gerakan bentuk yang ritmis, tidak pelak jika kita mengaguminya tiga buah lasara yang terdapat pada osa-osa sepertiyang kita lihat pada ilustrasi gambar menandakan pula tingkat golongan suku Nias yakni si Ulu Balo Silla, dan Banua Sato. (Keterangan gb. 118)
Gambar 119

Dolmen yang terdapat di desa Bawomataluo ( kecamatan Teluk Da­lam) bentuknya empat persegi panjang dihiasi dengan relief. Orna­men stilasi motif tumbuh-tumbuhan tampak artistik dan mengagum­kan dari hasil pahatan dan ungkapan ekspresi senimannya melalui media batu hitam, dengan peralatan yang relatif sederhana.
Plastik relif dipadu antara motif tumbuh-tumbuhan, binatang laut dan manusia yang dibelenggu, adalah buah ekspresi pemahatnya yang menggambarkan secara simbolis kekuasaan dan keperkasaan raja sebagai panglima.

Juga berfungsi sebagai tempat duduk raja (pengetua adat) pada waktu diadakan upacara-upacara penting.
Gambar 120

Motif hiasan (ornamen) sulur-suluran yang melengkapi dolmen seperti terlihat pada gambar disebut dalam bahasa Nias magai, artinya lambang hubungan persaudaraan (famili).
Dari peninggalan-peninggalan kesenian megalit (seni primitif) suku Nias seperti yang telah diuraikan berikut ilustrasi yang dite­rakan pada bab ini, baik fungsi atau kegunaannya, secara tidak lang­sung kita memperoleh informasi tentang pola kehidupan masyara­kat primitif dan esensi kehidupan sosialnya.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang yang menjadi sikap hidup yang fundamental, kepercayaan akan adanya kekuatan gaib, jelas bahwa benda-benda bersejarah seperti patung, menhir, dolmen, dan lain sebagainya fungsinya magis, religius.
Kenyataan-kenyataan itu dijelaskan oleh seorang penulis kenamaan, Herbert Kuhn, sebagai kesenian percobaan menggambarkan perhubungan gaib antara lahir dan batin antara yang fana dan yang kekal.

Menurut hemat kami penjelasan Herbert Kuhn di atas sinkron dengan kehadiran kesenian primitif yang terdapat di daerah Nias, barangkali juga dengan daerah-daerah lain di seluruh pelosok tanah air.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kehadiran ke­senian (seni patung) ditilik dari bukti-bukti peninggalan kesenian megalit kemudian dihubungkan dengan ciri dap perilaku masyara­katnya adalah sebagai berikut:

  1. Seni primitf Nias sudah ada sejak masa prasejarah,
  2. Kepercayaan masyarakat primitif Nias pada umumnya mempercayai adanya roh-roh halus (kepercayaan animisme ),
  3. Percaya adanya kekuatan gaib (dinamisme),
  4. Jalan pikirannya masih belum mempunyai logika (irrasional),
  5. Seni-seni yang dihasilkan umumnya bersifat simbolistis,
  6. Secara visuel seni yang dihasilkan masih sanngat sederhana, dan
  7. Ditilik dari fungsi dan kegunaannya patung-patung Nias dipuja dan dihormati.

D. Kedudukan Seni Patung Nias.

Dari informasi yang kami peroleh lewat responden dan penge­tua adat, patung yang mewarnai exterior rumah adat tradisional Nias, mempunyai peranan sosial yang tinggi. Dengan demikian patung (ar­ea peninggalan nenek moyang) yang terdapat di daerah Nias mengan­dung arti dan fungsi tersendiri (khusus). Oleh karenanya suku Nias sampai sekarang tetap mempertahankan ekstensi terhadap corak/ga­ya seni patungnya dari pengaruh lain, justru patung-patung Nias se­perti yang kita lihat pada illustrasi yang diterakan pada buku ini mempunyai ciri-ciri yang tersendiri. Kemungkinan ini boleh jadi pengaruh alat yang dipakai.

Patung Nias dibentuk lebih banyak berukuran mini. Oleh karenanya banyak ditemukan dalam interior rumah-rumah adat tradisio­nal, berarti patung-patung Nias tidak berdiri bebas di alam terbuka seperti hal patung Batak.

Selain patung-patung plastis, kita dapat melihat ukiran manusia pada tiang-tiang dan dinding rumah, baik dalam bentuk plastis (relief) atau patung utuh.

Patung-patung yang berfungsi sebagai penyangga tiang atau yang merupakan dekor pada rumah-rumah adat yang terdapat di daerah Nias, menunjukkan ciri-ciri yang tersendiri pula dari bebera­pa rumah adat tradisional yang ada di Sumatra Utara.

Gambar 121

Patung ataupun relief sebagai dekorasi interior rumah adat tra­sional Nias, hanya terdapat pada rumah yang dihuni oleh raja atau pengetua adat.
Dari hasil penelitian diperoleh beberapa keterangan yang cu­kup jelas untuk dijadikan data misalnya tiang penyanggah balok (tiang tarunahe).
Tiang tarunahe, sejenis tiang yang berukir dalam bentuk tiga dimensi. Istilah lain dalam bahasa Nias disebut kholo-kholo artinya tanda kebesaran raja. Tiang ini diletakkan pada tiang utama ruang bahagian muka.
Kayu (ranting) yang mencuat keluar dipahat sedemikian rupa menggambarkan tangan manusia yang sedang memberi hormat ja­habu, dalam bahasa Batak disebut horas, sedang dalam bahasa Indonesia diartikan selamat sejahteralah kamu sekalian.
Salam hormat itu sudah menjadi tradisi bagi suku Nias pada umumnya.
Uraian ini memperjelas kembali betapa besar fungsi tiang itu, selain sebagai perlambang, terasa membawa perasaan hormat.
Dari informan yang dihubungi fungsi tangan yang dipahatkan pada tiang dulunya dibuat sebagai sangkutan tengkorak manusia yang ditaklukkan. Maksudnya agar rumah (tiang) tetap kukuh.
Bentuk tiang seperti pada gambar hanya dimiliki oleh raja (pengetua adat). Bentuk tiang tarunahe (tiang penyanggah balok)

Gambar 122
Tiang tarunahe di desa Orihili kecamatan Gomo







Gambar 123
















Tiang tarunahe di desa Bawomataluo kecamatan Teluk Dalam. Perpaduan ornamen geometris dan roset kelihatan artistik, dekoratif. Detail tiang pada gambar kelihatan ukiran tangan yang sedang memberi hormat, sebagaimana cara memberi hormat orang-orang Jerman pada perang dunia II, sedang pada bagian lain kita melihat berbagai ukiran sebagai penambah dekorasi.
Contoh ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa seni ukir Nias tergolong seni ukir arsitektural. Untuk lengkapnya lewat tulis­an ini kami mencoba menguraikan secara terperinci contoh-contoh seni ukir (hiasan) yang terdapat disetiap rumah tradisional Nias yang terdapat di desa Orahili dan rumah adat tradisional di desa Bawoma­ taluo.
Seni Bias pada Rumah adat Tradisional Nias di Desa Orahili
Hiasan sebagai alat dekorasi pada rumah adat tradisional Nias, di setiap desa masing-masing mempunyai ciri dan keunikan tersen­diri.
Pada gambar di bawah ini terdapat gambar stillasi motif hewan dengan penggayaan bentuk dekoratif ekspresif. Pada bagian dadanya diukir patung motif manusia gaya_primitif (patung nenek moyang).
Menurut kepercayaan Nias patung itu adalah patung dewa yang memberi berkat, patung ini disebut dalam bahasa Nias bawolawole. Dari sumber yang layak dijelaskan bila keluarga yang empunya ru­mah akan mengadakan pesta perkawinan, untuk mendapat keber­katan, keluarga yang mempunyai hajat (pesta) harus didudukkan di bawah patung itu.

Patung Bawulawole (pemberi berkat)

Gambar 124
Profil patung Bawulawole.
Gambar 125
Patung dilihat dari bawah

Patung gambar di atas fungsinya sama dengan tiang tarunahe (fungsi praktis), yakni sebagai penopang tiang-tiang lainnya (pemikul). Bentuk patung diungkapkan secara impresif dalam pola-pola primitif, namun dapat memberikan inspirasi gaya kearah bentuk patung modern yang cukup ideal. Jika kita perhatikan detail patung ini jelas senimannya memvisualisasikan gaya burung elang yang sedang terbang sedemikian rupa diciptakan lewat stillasi bentuk zoo­ morfis dalam motif manusia raksasa. Pada bagian dadanya diukir gambar seorang manusia dalam bentuk relief timbul sebagai penjelmaan kembali nenek moyang yang dianggap pemberi keberkatan sesuai kepercayaan masyarakat Nias pada zamannya.
Pada bagian lain, kita melihat motif hiasan buaya (nio buaya) diukir dalam bentuk plastis relief dengan fungsi yang sama seperti di atas yakni tiang penopang balok. Hiasan ini disebut dalam bahasa Nias buaya anaa artinya buaya mas. Motif buaya digambarkan dalam dua jenis yang berbeda:

  1. Motif buaya yang lidahnya bercabang dua, dan
  2. Motif buaya yang ekornya bercabang dua.

Kedua motif hiasan itu mengandung makna yang berbeda pula. Motif hiasan buaya yang lidahnya bercabang dua ditamsilkan lewat puisi Nias seperti tersebut di bawah ini:
Sigelu zohuna-huna boroa zi dua razi lela.
Sarani faewere-were, dua ni faza wozawa.

artinya:

Ternggiling itulah yang bersisik, buayalah yang berlidah dua. Satu yang diminyaki-minyaki yang lain digantung-gantung­kan.

Ditilik dari arti tersebut di atas memang sukar untuk dicerna­kan begitu saja, namun demikian dapat juga diartikan jika kita me­ngaitkan dengan makna motif hiasan buaya yang ekornya bercabang dua yakni sebagai berikut:

  1. melambangkan raja (pengetua adat) yang mempunyai sifat­ sifat sosial yang tinggi, dan
  2. melambangkan sifat-sifat keadilan raja _dalam memutuskan se­suatu perkara bagi siapa saja yang melanggar hukum (hukum adat) yang sudah diputuskan bersama oleh beberapa pengetua adat.

Gambar 126

Dengan demikian maka dapatlah diartikan buaya yang lidahnya bercabangdua dapat diartikan yakni perlambang tentang upacara (titah) raja yang bijaksana, sedangkan buaya yang ekomya bercabang dua merupakan perlambang tentang seorang raja yang bersifat adil. Motif ukiran ini ada juga yang diabstraksikan lewat papan penga­pit dinding bagian.luar. Ujung papan bagian depan dibuat mencuat keluar seolah-olah tampak seekor buaya yang sedang mengangakan mulutnya, disebut dalam bahasa Nias sikholi artinya lambang ke­kuasaan serta keperkasaan raja. Motif ukiran ini hanya ada pada ru­mah yang dihuni oleh raja atau para bangsawan, sedang rumah adat lain yang dihuni masyarakat yang lebih rendah derajatnya tidak per­nah diketemukan.
Ukiran-ukiran lain yang fungsinya sebagai lambang prestasi keagungan raja dapat dilihat pada gambar ukiran ayam (ayam jago). Motif ini ada yang diukir dalam. bentuk relief dan ada juga dipahat dalam bentuk patung.

Jenis motif ini di sebut Simiwo bahili-hili dano artinya ayam ja­go berkokok di atas bukit. Makna motif ukiran ini mengandung ar­ti yang simbolis yakni Raja yang berhati bapak.
Gambar.127

Seni Hias pada Rumah Adat Tradisional Nias di Desa Bawomataluo
Hiasan-hiasan yang terdapat di desa Bawomataluo kecamatan Teluk Dalam, kelihatan lebih unit lagi karena rumah adat yang ter­dapat di desa itu masih utuh, sekalipun usianya menurut orang­-orang tua yang telah berusia lanjut menjelaskan bahwa rumah adat yang masih ada sekarang ini usianya sudah mencapai lebih kurang tiga ratus tahun.
Oleh karenanya seni ukir arsitektural yang terdapat pada rumah adat tradisional di desa Bawomataluo dipandang memadai sebagai data tentang kebolehan nenek moyang suku Nias pada masa yang lampau.

Hasil ukiran dari peninggalan nenek moyang yang berusia lanjut seperti pada illustrasi di bawah ini penting juga dibicarakan melalui bab ini, berhubung seni ukir yang terdapat pada rumah adat tradisio­nal di desa Bawomataluo diukir dalam bentuk relief timbul yang tebalnya cukup menonjol dari dinding papan, sehingga kelihatan se­olah-olah bentuk tiga dimensi yang utuh.
Gambar 128

Sejenis tiang tarunahe (tiang penyangga) yang terdapat di desa Bawomataluo tampak artistik. Jenis ukiran yang dipahat oleh seniman­nya terasa adanya pengaruh kebudayaan Dongson.

Gambar 129

Ilustrasi seni ukir arsitektural rumah adat tradisional di desa Bawo­ mataluo Kecamatan Teluk Dalam, (foto koleksi Burhan Piliang). Seperti pada gambar disebut naha nadu difungsikan : Kursi pertama, dibuat untuk tempat patung nenek moyang. Kursi kedua, dibuat untuk tempat patung si pemilik rumah.

Dari kedua buah kursi itu dibentuk dari batang pohon yang utuh lewat tatahan yang cukup cermat untuk memperoleh bentuk, sela­in difungsikan sebagai dinding, juga plastis relief yang dipahat kera­wangan dibuat sebagai simbol (perlambang) tahta kerajaan raja. Dua buah payung yang diterakan dibuat pula sebagai lambang pengayom agar raja selalu mendapat perlindungan serta rahmat dari leluhur­nya. Sepasang hiasan disebut dalam bahasa Nias masi-masi dipasang pada bagian kiri dan kanan kursi adalah simbol kasih sayang raja terhadap rakyatnya, sedang kotak (tempat perhiasan) diletakkan di atas kursi tanda raja sebagai pewaris dari raja-raja sesudahnya.

Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas jelaslah bahwa seni primitif yang meliputi seni patung, seni ukir arsitektural yang terdapat pada rumah adat tradisional, kedua-duanya terujud justru didorong oleh perasaan yang berhubungan dengan masalah kehidupan (ritual), disamping kemampuan teknis dan keterampilan senimannya dalam mengolah bentuk dengan menyesuaikan materi bahan sebagai sumber alam lingkungan untuk mencapai tujuan yang magis, religius.

Fungsi Patung Nias.

Secara umum pada beberapa contoh foto gambar tentang pa­tung Nias, makna yang terkandung di dalamnya lebih banyak dibu­at sebagai simbol pribadi raja (raja adat).

Patung-patung yang dimintai bantuannya didalam situasi kri­tis atau upacara-upacara penting seperti penolak bala, menyembuh­kan orang sakit, turun kesawan, dan menangkap ikan yang men­cakup masalah kehidupan tidak seberapa jika dibandingkan dengan patung-patung yang terdapat di daerah Batak. Sebagai contoh umpamanya upacara ersilihi (pengobatan tradisional) di daerah dima­na patung memegang peranan, hal yang serupa di daerah Nias tidak dijumpai lagi. Sebagai penggantinya dibuatlah ramuan-ramuan di­tambah dengan mantera-mantera agar ramuan obat itu mujarab (menyembuhkan).


Patung-patung yang sifatnya sakral baik patung yang dipahat melalui media batu atau kayu, di muka telah kami kemukakan bah­wa patung-patung itu sudah banyak yang dimusnahkan, justru pa­tung-patung bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut seperti ajaran agama Islam dan Kristen.

Kefanatikan akan ajaran agama itu, membuat sejarah baru akan perkembangan seni patung Nias. Jelasnya seni patung meng­alami kemerosotan total. Di lain hal banyak senimannya mengun­durkan diri dari dunianya sebagai seorang pemahat, ia takut kalau dituduh kafir. Gelar-gelar kehormatan yang dahulu diterimanya pupus sama sekali dan akhirnya kejayaan seni patung Nias itu kini tinggal nostalgianya saja.

Hal yang sama juga terjadi pada pandai rumah sebab mereka juga turut terlibat dalam ukiran yang difungsikan sebagai alat pe­mujaan oleh nenek moyangnya.

Kalaupun seni patung Nias pada akhir-akhir ini banyak ber­munculan kebanyakan dipahat oleh orang lain (bukan suku Nias). Senimannya yang terkenal banyak memproduksi patung-patung Nias belakangan ini, adalah Pokih Barus berasal dari daerah Karo.

Berbicara masalah fungsi dan kedudukan patung Nias jelas bah­wa seniman itu tidak banyak mengetahui jika dibandingkan dengan asli seniman daerah itu sendiri.

Hal inilah yang menyebabkan kesukaran bagi penulis untuk mengungkapkan secara menyeluruh tentang fungsi dan makna yang terkandung pada seni patung Nias, selain dari pada tiu orang-orang yang dipandang banyak mengetahui tentang latar belakang sejarah patung Nias itu (informan) kebanyakan mereka tutup mulut untuk memberi penjelasan secara terperinci dan mendetail, sedang menu­rut hemat kami masih banyak yang perlu dikemukakan terutama pa­tung-patung yang erat hubungannya dengan masalah kehidupan ritual nenek moyang pada zamannya.

Di lain hal senimannya untuk kembali membuat tidak menampakkan kegairahan untuk kembali membuat patung tradisonal/kerakyatan, tetapi me­reka lebih menyenangi menyenangi menjadi petani atau sebagai nelayan.

Menurut informan yang kami hubungi, Herambowo Tafonao, salah seorang seniman yang dikenal hanyak membuat patung dup­likat nenek moyang suku Nias zaman dahulu mengatakan: sejak
berlakunya undang-undang kerajaan dimana undang-undang raja sebagai undang-undang yang tertinggi, kemudian klasifikasi masyarakat terbagi pula atas beberapa golongan.

Si Ulu Sawali : golongan raja-raja adat.
Si Ulu : golongan keturunan bangsawan.
Balo Silla : golongan menteri (kepala desa).
Si ila : golongan orang kebanyakan diangkat oleh Si Ulu.
Sato : golongan masyarakat biasa.

Maka bentuk patung Nias menurut tahapan masyarakatnya dibedakan menurut golongannya.
Barangkali hal ini pulalah yang membuat jenis patung yang melambangkan tokoh seorang raja (raja adat) tidak boleh ada kesamaan raja deri.gan patung-patung yang lain. Selanjutnya informan itu menjelaskan kembali tentang status seniman, setiap dimintai ban­tuannya untuk membuat sebuah patung yang difungsikan sebagai perlambang (patung raja), setelah selesai seniman (pemahatnya) diberi sanksi untuk tidak membuat patung yang serupa, apabila hal ini dilakukan juga maka pemahatnya dibunuh. Peraturan ini tidak berlaku hanya pada seniman pemahat, tetapi hal yang serupa juga berlaku bagi seorang pandai rumah (tukang). Rumah dengan sega­la variasinya tidak boleh ditiru oleh rumah-rumah yang lain. Dari penjelasan informan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa tin­dakan raja tersebut membuat berkurangnya kreativitas para seniman, hal itu disebabkan keterbatasan disain-disain barn yang seyogiyanya dapat memperkaya corak seni patung Nias itu sendiri.
Dari hasil observasi berdasarkan data dokumentatif dan wawancara kami dengan beberapa informan di atas kami kembali berpen­dapat bahwa patung-patung yang diketemukan sebagai benda sejarah fungsi atau kedudukan patung itu belum dapat dijadikan kesimpul­an sebab menurut hemat kami masih banyak yang dirahasiakan baik fungsi praktis atau lebih dari pada itu, yakni fungsi spiritual, magis, religius.
Namun demikian oleh karena patung-patung Nias lebih banyak diketemukan di dalam interior baik patung utuh atau patung yang di­fungsikan sebagai penyangga balok (seni patung arsitektural), dan gambar-gambar plastik relief yang terdapat di desa Orahili dan desa Bawomataluo yang mewarnai rumah adat tradisional, dari kenyataan itu dapatlah dikatakan fungsi patung Nias itu tidak lebih dari suatu dekorasi yang melambangkan status (kedudukan) raja di samping fungsi praktis.
Selanjutnya menurut hemat kami boleh jadi pula patung atau plastik relif yang ada pada bangunan rumah (interior), patung, dolman atau menhir yang berada di halaman rumah (eksterior), menggambarkan awal dari pada jiwa masyarakat Nias itu dibentuk, diatur dan dilindungi oleh raja sebagai pengetua adat.
Hal ini tidak - hanya berlaku pada masa-masa lalu, tetapi sampai sekarang masalah yang berhtibungan dengan tata krama (adat istiadat) masih melekat dengan baik, sekalipun mereka (suku Nias) sudah lama menanggalkan fungsi yang sifatnya magis, religius, dan sakral itu.

Gambar 130
Pandangan frontal patung nenek moyang suku Nias, dipahat horisontal. Menurut informan yang dihubungi menjelaskan usianya sudah mencapai lebih kurang dua ribu tahun. Fungsi patung ini dianggap sakral oleh masyarakat Nias pada zamannya dan sekarang patung itu hanya dibuat sebagai bukti dari sisa-sisa warisan patung peninggalan nenek moyang pada masa prasejarah.
Gambar 131

Patung nenek moyang (adu zatua) berasal dari Gunung Sitoli (Nias Utara) dipahat melalui media batu tanpa busana dengan mengutamakan penonjolan alat kelamin, adalah illusi yang pada hakikatnya melambangkan sumber kesuburan serta perlambang tentang kejantanan seorang pria. Detail patung, wajahnya dibentuk membulat, bagaikan ekspresi wajah seseorang yang berambisi, sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang jantan yang satria. Kalung yang dipasangkan pada leher patung (nifulo-fulo) merupakan ciri-ciri khas patung Nias dan pertanda bahwa patung itu adalah patung raja (raja adat).

Perwujudan patung ini adalah tentang nenek moyang yang di puja dan dihormati.
Gambar 132



















Ilustrasi pada gambar berikut ini sejenis patung nenek moyang peninggalan prasejarah yang dapat diselamatkan. Patung yang dipahat melalui media batu adalah buah ekspresi seniman pada zamannya. Divisualisasikan sebagai patung pemberi berkat Capah (mangkok batu) yang dijunjung dibuat sebagai tempat air pada waktu diadakan upacara tepung tawar air tersebut dipercikkan pada orang yang diupah-upah dengan maksud agar mendapat perlindungan lahir batin. Bentuk susu dibuat telanjang sebagai perlambang sumber kesuburan.
Gambar 133
























Patung pada gambar berikut diekspresikan melalui media batu. Fungsi dan kedudukan­ nya sama dengan gambar terdahulu, hanya dalam sikap yang berbeda. Bentuk patung lebih mengarah pada ben­tuk patung naturalis, namun nnsur-unsur

dekoratifnya masih jelas kebhatan. Detail patung dipahat dalam posisi duduk sikap lutut yang tegak dimanfaatkan sehagai pe­mangku capah (mangkok batu) sedangkan kedua lengannya digambarkan dalam sikap memegang.
Gambar 134
Patung nenek moyang dipahat melalui media kayu yang silindris pada ilustrasi ini tampak lebih ekspresif sesuai dengan co­rak patungnya yang primitif, magis. Detail patung pada bagian kepala yang culas dipa­sang atribut yang dibentuk vertikal keli­hatan seolah-olah bagaikan orang yang sedang menjunjung sesuatu. Pangkal hidung yang kecil menyatu dengan kening sedang bagian mata dicukil seadanya berbentuk elips tampak pandangannya tajam kedepan. Ujung telinga bagian bawah dipahat hingga sampai kebahagian bahu diinterpretasikan telinga yang peka terhadap pendengaran. Bagian tangan yang kelihatan seperti sebatang rotan yang dilengkungkan dipahat menyatu dengan bagian tubuh sehingga kelihatan tidak lebih dari sebuah relief, namun patung ini memberi kesan tentang kekerasan watak sesuai dengan fungsi patungnya yang primitif magis, religius. Pada bagian lain kita melihat sikap patung yang duduk adalah ciri patung yang spesifik (patung Nias). Kaki oleh pemahatnya dibentuk makin mengecil kebawah, terasa bahwa demikianlah hasil warisan kesenirupaan nenek moyang suku Nias pada masa yang lampau sebagai konsep seni yang individu­al.
Gambar 135
(Foto coleksi Burhan Piliang).

















Patung nenek moyang (talinga woli-woli) di desa Bawomataluo kecamatan Teluk Dalam. Perwujudan patung ini menggambarkan tentang raja adat, dipahat melalui bahan kayu fakini (sejenis kayu besi) diungkapkan secara impresif kedalam bentuk patung primitif. Bentuk patung diilhami oleh pemahatnya sikap seorang yang sedang duduk, dengan posisi tangan diletakkan di atas lutut yang tegak. Detail patung dapat dilihat pada jenggot yang dibentuk terurai, kumis yang melintang serta mulut dipahat menonjol dengan tatapan mata tajam kedepan, dimaksudkan oleh pemahatnya seorang pengetua adat yang bijaksana, arif dan penuh kasih sayang. Hal ini ditandai dengan atribut yang dipasang di bahagian kepala disebut dalam bahasa Nias masi-masi ( simbol kasih sayang ). Dari beberapa contoh ilustrasi gambar (patung) yang diterapkan pada bab ini, pokok uraian kami tentang fungsi patung tersebut antara lain:

Berfungsi menunjukkan kemampuan prestasi nenek moyang suku Nias di bidang seni pahat.
Berfungsi sebagai media pemujaan pada waktu sebelum suku Nias menganut ajaran agama Islam dan Kristen.
Berfungsi sebagai tanda (simbol) tentang kedudukan raja (raja adat).
Berfungsi memanifestasikan daya cipta dibidang kebudayaan.

Gaya Seni Patung Nias

Di muka telah diuraikan bahwa ujud patung yang terdapat di daerah Nias, selain dilandasi oleh kepercayaan (spiritual), patung juga diujudkan sebagai simbol keagungan raja, disamping bentuk seni yang mempunyai nilai-nilai estetis.

Kehadiran seni patung Nias dan perkembangannya sejak beberapa abad yang lalu sampai saat sekarang ini tampak bentuk dan gayanya dipengaruhi oleh corak monumental dengan ciri-ciri penggambaran tokoh-tokoh nenek moyang dan kecenderungan bentuk tang mengandung nilai-nilai simbolis, sedang pada bahagian lain kita juga melihat adanya pengaruh dongson.

Ciri-ciri karakteristik dan gaya yang khas sebagai hasil seni rupa daerah (Nias) mempertegas identitas suku Nias di bidang seni patung sebagai hasil seni rupa daerah di Sumatra Utara, sedang gaya ataupun corak seperti yang dikemukakan di atas spesifik seni patung Nias turut memberi warna serta memperkaya perbendaharaan seni rupa nusantara.

Aneka gaya dan bentuk yang diterakan sebagai ilustrasi pada bab ini merupakan data pula tentang prestasi yang dimiliki nenek moyang Nias pada zamannya prestasi yang dimiliki nenek moyang Nias pada zamannya, sebagai pencipta seni di bidang seni pahat.

Penonjolan-penonjolan bentuk yang merupakan ciri khas seni patung Nias itu dapat kita lihat pada penonjolan alat kelamin, susu yang dibentuk telanjang, kalung yang dipasang menonjol pada bahagian dada dan atribut-atribut yang dikenakan pada bagian kepala seolah-olah seperti patung purbawi di zaman Mesir kuno. Dengan demikian maka patung-patung yang kita ketemukan jelas bahwa fungsinya tidak saja ditujukan sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau sebagai keyakinan akan kepercayaan (spiritual) namun lebih dari pada itu patung Nias juga dibuat sebagai penonjolan prestise raja sebagai kepala adat. Atribut-atribut jenis binatang seperti kadal atau cecak yang dipasang pada bahagian tubuh patung atau binatang lain sejenisnya (kita tidak menjumpainya pada patung Nias).
Kalaupun ada cecak yang dipasang pada dinding-dinding rumah seperti yang kita lihat sekarang ini, dimana dibuat sebagai simbol kehadiran nenek moyang adalah akibat pengaruh baru yang datang dari negeri seberang yakni negri tetangga yang terdekat.

Gambar 136

Kembali berbicara tentang seni patung. Kalau kita perhatikan bentuknya (seni patung Nias) sebagai peninggalan kebudayaan me­galit kelihatannya tidak lebih sebagai segumpal batu yang ditatah dalam bentuk relief (seni dua demensional) justru keutuhan bentuk batunya masih jelas kelihatan. Kendatipun demikian dari sudut gaya patung-patung Nias peninggalan kultur megalit tampak dinamis ekspresif magis. Berbicara tentang kebudayaan megalit oleh sarja­na Barat kenamaan Heine Geldem membaginya atas dua masa (pe­ riode).

Demikian pula halnya dengan kebudayan megalit yang terdapat di daerah Nias.

Kebudayaan megalit pertama ditandai dengan menhir dan dol­ men seperti ilustrasi yang diterakan pada bab ini. Kebudayaan me­galit kedua ditandai pula dengan area-area batu yang banyak terda­pat di desa Bronadu, Orahili di Keeamatan Gomo dan desa Bawoma­taluo, Hilisimatano di kecamatan Teluk Dalam.

Pada masa sejarah, pertumbuhan seni patung Nias tampak le­bih maju kaya dengan corak dan gaya, terlebih setelah mereka me­ngenal alat-alat praktis yang dibutuhkan dalam mengolah bahan batu dan kayu.

Pengaruh alat terhadap bentuk yang terdapat pada seni patung Nias jelas oleh kebiasaan pemahatnya ditujukan kepada bentuk (ga­ya) tentang karakter seorang raja sedemikian rupa untuk dipuja dan dihormati, disamping kebutuhan praktis "applied art " seperti pa­tung-patung yang dibuat sebagai penyanggah tiang, yang kita temu­kan di desa Orahili dan Bawomataluo. Melihat media bahan dengan alat yang dipakai (pisau, parang) terdapat hbungan yang akrab, dan dari hasil-hasil maksimal yang dieapai dapat kita lihat pada contoh ilustrasi di bawah ini.
Gambar 137

Patung si ulu sawali patung ini ditranfur patung pemberi berkat. Dilihat dari gayanya tampak pada patung ini pemahatnya menyesuaikan batang pohon dengan alat. Batang pohon yang besar diilhami oleh senimannya; karakter seorang raja (pengetua adat) sedang memegang cawan (tempat air) dibuat sebagai kebutuhan spiritual untuk dipakai pada upacara tepung tawar (upah-upah). Sikap memegang kita melihat lengan dan tangan dipahat kerawangan, sedang posisi patungnya divisualisasikan dalam sikap duduk.

Alat kelamin dipasang jelas pada patung menunjukkan ciri khas yang ditemui pada patung Nias. Embel-embel lain yang menggambarkan tentang seorang raja dapat dilihat pada kalung yang dipasang, sedang atribut pada bahagian kepala diterakan dengan memberinya ornamen (hiasan) berukir. Bentuk-bentuk lain seperti daun telinga yang dipahat lebar (simistris) turut diperkenalkan pada patung ini sehingga cenderung kepada bentuk patung dekoratif, namun sesuai dengan gaya dan fungsinya.
Polesan-polesan warna kini banyak kita temui pada patung Nias, hal ini kemungkinan akibat pengaruh dari luar. Namun menurut hemat kami polesan-polesan warna itu tidak perlu justru membuat patung tidak lebih dari sebuah boneka, sedang kita (pengamat) menghendaki akan keaslian seni patung itu sendiri. Memang perkembangan sejarah selalu membawa pengaruh terhadap konsep bentuk, hal ini bisa diakibatkan oleh pergaulan atau orang lain yang menyelusup membawa pengaruh terhadap kesenian asli tradisional, atau akibat peralatan baru yang dibawa dari luar, atau dan lain sebagainya, sehingga mengakibatkan pengaruh terhadap karya yang dihasilkan. Untuk melestarikan kekhasan seni patung tradisional (Nias), yang memang sudah dikenal melalui karya-karya yang berkwalitas indah dengan nilai-nilai yang estetis ekspresif sebagai konsep seni yang cukup kuat kiranya perlu untuk dipertahankan.
Sikap ataupun gaya pada seni patung Nias di muka telah diurai­kan, pada umumnya dibuat dalam sikap duduk sedang kedua lutut dibuat tegak, tangan ditumpukan pada kedua lutut atau memegang sesuatu.
Patung yang ditempa dalam sikap berdiri menurut pemahatnya datang kemudian setelah mendapat pengaruh dari luar, sedang menurut hemat kami hal tersebut sebenarnya justru disebabkan oleh faktor alam dimana masyarakat Nias itu berada. Penjelasan pendapat di atas dapat kita lihat pada kutipan di bawah ini. "Ma­syarakat primitif yang menetap di daerah pedalaman umpamanya yang sehari-hari melihat pohon dan gunung yang menjulang tinggi akan cenderung menciptakan pola patung vertikal".15)
Analisa kami dalam hal ini sependapat dengan tulisan tersebut di atas, mengingat akan konsepsi seni patung Nias menurut perkembangannya jelas menampakkan hasil-hasil konsepsi patung yang dibuat tegak (vertikal), sekalipun posisi patungnya dibuat dalam sikap duduk.


15) But Muchtar, Beberapa Catatan Tentang Patung Primitif, Departemen Seni Rupa, ITB, hal. 5, tahun 1981. Bahan/Proses Pembuatan Patung Nias.
Untuk mengenali bentuk dan wujud sebuah patung tepatnya jika kita memulainya awal dari proses pengambilan bahan sampai kepada terwujudnya sebuah benda (patung) dari hasil olah seni pemahatnya. Awai kehadirannya, dari kenyataan sejarah semula terbentuknya sebuah patung dibuat dari tumpukan-tumpukan batu yang divisualisasikan wujud dari nenek moyang sedemikian rupa dengan dasar kepercayaan bahwa tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral, yang hubungannya erat sekali dengan kepentingan-kepentingan religie masyarakat.
Kenyataan tersebut di atas dapat kita lihat pada kutipan di bawah ini:

Karena maksud-maksud akan penghargaan kesejahteraan, kekemakmuran, terhindarnya dari penjamuran, terhindarnya dari penyakit, kepercayaan hal kematian dan kembalinya roh yang meninggal ke tengah masyarakat, penghormatan pada cikal bakal dan lain-lain yang sejenis maka seni rakyat itu lahir atas dorongan metafisik dan emosionalyang kompleks dan atas dasar kesadaran koliktif. Demikian kreasinya bersifat sacrat16)

Demikianlah tumpukan-tumpukan batu tersebut secara evolusi, berkembang terus, sehingga tumpukan-tumpukan batu itu berrobah menjadi sebuah patung yang memberi rupa (bentuk) wajah manusia dan binatang.
Oleh pengaruh yang terjadi secara external dan internal bentuk patung sesuai dengan perkembangannya dari wujud sakral beralih kepada bentuk-bentuk yang simbolis, magis idioplastis (non realis) dan seni pakai yang sesuai menurut fungsinya.
Dari awal telah kami kemukakan, bahwa masyarakat prasejarah bahkan ada sampai pada sejarah, percaya akan adanya makhluk-makhluk yang bergentayangan dimana-mana, ada di atas batu, pada pepohonan dan lain-lain sebagainya. Dihubungkan dengan proses pembuatan patung dimana roh-roh itu nantinya ditempatkan, maka


16).Gudaryono, Drs.,Sarana-sarana Memelihara Dan Melindungi Seni Rakyat Indonesia, Pidato pada upacara Dies Natalis Ke 21 STSRI, Yogyakarta, Januari 1971, halaman 4. sebelum diproses media (bahan) yang akan dipergunakan harus terlebih dahulu diadakan upacara ritual berupa mantera-mantera atau doa, dengan tujuan agar patung sebagai penjelmaan kembali. roh nenek moyang, dapat memberikan keberkatan. Hal tersebut di atas sifatnya universal, karena demikian adanya, oleh masyarakat primitif dari berbagai bangsa (suku) yang landasan berfikirnya relatif sama.
Patung-patung Nias seperti yang kita lihat pada ilustrasi gambar, senimannya ,cenderung menciptakan gambar patung-patung dengan pola-pola organik (manusia, binatang) dari bahan batu dan kayu, tentunya bahan-bahan tersebut diproses oleh senimannya sehingga terwujudnya bentuk patung sesuai dengan yang diinginkan oleh yang berkenan memintanya, dalam hal ini adalah raja atau pengetua adat seperti yang telah diuraikan terdahulu.
Memproses patung misalnya, patung arwah nenek moyang (raja atau pengetua adat yang terdahulu, memakan waktu yang relatif cukup lama pula. Betapa tidak, justru dari awal pengambilan bahan sampai kepada akan memprosesnya (konsep bentuk) upacara-upacara ritual tetap berdampingan lahir batin untuk pemahatnya harus dikorbankan sampai beratus ekor babi.
Lebih dari pada itu setelah patung selesai (upacara pemindahan roh nenek moyang) pada patung itu dibuat upacara yang sama dengan mengadakan pesta meriah dengan tari-tarian yang diiringi tabuhan.
Peranan Seniman
Di muka telah disinggung bahwa seni patung Nias kini lebih banyak diolah oleh seniman lain (bukan seniman daerah). Alasan-alasannya disebabkan takut dituduh kafir dan lain sebagainya. Apakah alasan-alasan ini akan berkelanjutan terus atau kembali berkarya menghidupkan seni patung Nias sebagai hasil kesenian daerah atau menyerah mempertahankan alasan-alasan tersebut di atas, dalam hal ini kita masih menantikannya.

Menurut hemat kami, kemudian dihubungkan oleh himbauan-himbauan pemerintah, sikap bangsa yang pantang menyerah, serta para humanis dan pencinta seni, harga diri para seniman perlakuan ataupun alasan-alasan tersebut seyogyanya tidak terjadi bagi para seniman Nias. Kalau toh ini akan terjadi juga, maka para seniman akan berkabung untuk menyatakan diri bahwa Indonesia sudah kehilangan sesuatu yang paling berharga.
Seni patung sebagai cabang seni yang merupakan kebutuhan rohani yang pantas untuk dinikmati, sewajarnya mulai dari sekarang para seniman Nias yang justru mampu bercipta karya kembali membenahi diri untuk bergabung atau dengan kata lain kembali kegelanggangnya untuk mencipta dan menghidupkan seni patung Nias. Untuk ini pamong-pamong daerah cq Bidang kesenian kiranya perlu menaggapi apa yang sudah dicanangkan Pemerintah di bidang pengembangan industri parawisata, dimana kesenian daerah adalah sumber utama disamping keindahan alamnya.
Sejarah kesenian Indonesia sudah mencatat bahwa di daerah san (Toraja), kesenian prasejarah masih berkembang terus. Jelasnya dia tidak mandek ditengah jalan, sebagai contoh seni hiasnya. Sekalipun daerah itu dilibatkan oleh berbagai pengaruh seperti masuknya Islam, kemudian misi Kristen yang mendampinginya, dilanjutkan oleh pengaruh Barat sesudahnya, namun kesenian prasejarah berjalan terus dan tetap mempertahankan eksistensinya bahwa Toraja memiliki sesuatu yang berharga yakni warisan budaya nenek moyang. Apa kabar dengan Nias? Kami merasa dengan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, kiranya, selagi mumpung masih bisa, peranan seniman yang hampir langka itu ditempatkan kembali keprofesinya, tentunya dalam hal ini sebagai seniman yang kreatif guna melestarikan kembali kesenian Nias dalam hal ini seni rupa dan cabang-cabangnya. Yahobu.