Lompat ke isi

Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/34

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Bernisap rahmat Engkau turunkan
Tidakkah ada bahagianku?

(Suryadi AG., 1987a; 101—102)

Dari larik-larik di atas terlihat bahwa pada satu pihak si aku lirik mempercayai kerahmanan Tuhan, tetapi pada lain pihak ia seolah-olah meragukan kerahmanan Tuhan karena penderitaan yang dialaminya. Dengan demikian, citra manusia yang tampil dalam sajak "Peminta-minta" adalah manusia yang beriman, tetapi tidak tabah dan tawakal.

Kehidupan bebas yang hanya menjalani kodrat dalam eksistensi diri yang penuh tanpa nilai-nilai yang membebani terkadang menjadi obsesi penyair sehingga mencuatkan semacam kegelisahan yang bersifat religius. Dalam sajaknya "Jarak", Subagio Sastrowardoyo mencoba menyifatkan perbedaan antara makhluk dengan Khalik. Makhluk penuh dengan kedinaan, kotor, dan rendah, sedangkan Khalik tinggi di atas, penuh dengan kesucian. Penyair mengungkapkan hal ini dengan 'Kau hilang dalam keputihan ufuk/Dan tersuruk ke hutan buta/Hiburku hanya burung di dahan/....'. Dari pandangan itu penyair lalu beranggapan bahwa Khalik tidak sepatutnya diwujudkan sama dengan makhluk. Obsesi tersebut diungkapkan sebagai berikut.

....
Bapak di sorga,
biarlah kita jaga jarak ini
Sebab aku ini manusia mual
Sekali kau tampak telanjang di hutan
Aku akan berteriak seperti Yahudi:
"Salib!"
Dan kau akan tinggal sebungkah
lumpur lekat di kayu.

(Simphoni, 1957)

Lebih lanjut, si aku lirik bertanya-tanya tentang kehidupan di sorga. Apakah sorga itu penuh dengan kesucian atau sebagaimana kehidupan manusia di dunia yang memiliki aneka watak dan tabiat. Dengan agak nakal penyair mengungkapkannya demikian.

SETASION



Adakah sorga seperti setasion ini
tempat kereta lelah berhenti

Manusia dan Tuhan

25