Lompat ke isi

Halaman:Aspek-aspek arkeologi Indonesia No. 7.pdf/22

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

tahun 1003 dan 1008.

Maka tidak adanya perutusan dari Jawa (873-992), jatuh pada masa perpindahan pusat kekuasaan serta masa pemerintahan raja Sindok dan raja-raja lain sampai ke Dharmawangsa. Sebab-sebab perpindahan itu adalah:

1)musibah alam atau2) sebab-sebab politik.

Boechari ( 1977) telah memperbincangkan masalah ini di dalam sebuah karangan. Ia sependapat dengan Van Bemmelen yang mengatakan bahwa sebabnya perpindahan pusat kekuasaan itu adalah letusnya Gunung Merapi. Tetapi ia tak sependapat tentang masa terjadinya musibah itu. Van Bemmelen menghubungkan musibah itu dengan ”pralaya”, ialah ketika keraton Dharmawangsa dimusnahkan pada tahun 1016/1017. Boechari menempatkannya sekitar 930, ialah ketika di Jawa Tengah prasasti-prasasti berhenti dikeluarkan secara tiba-tiba.

Kami sendiri sefaham dengan Van Bemmelen tentang letusan Gunung Merapi, tetapi sefaham juga dengan Boechari tentang waktu perpindahan keraton. Ada satu bukti: Candi Sambisari47) yang terletak di lembah Prambanan digali kembali pada tahun 1969 dari empat meter abu gunung berapi. Langgam hiasan pahatan dan arca-arca berasal dari masa Candi Prambanan dibangun atau sedikit lebih lambat. Ada beberapa petunjuk bahwa letusan gunung itu menutupi daerah luas antara Borobudur dan Prambanan (catatan dari beberapa kawan geolog).

Pada waktu letusan gunung Merapi itu banyak daerah subur, desa dan jalan dapat musnah dalam sekejap mata. Pada masa kini bila kita berjalan ke Borobudur setelah baru terjadi suatu letusan Gunung Merapi, kita dapat melihat betapa rusaknya jalan-jalan dan jembatan-jembatan oleh batu dan lava. Sekarang dengan peralatan yang modern jalan-jalan dan jembatan-jembatan dapat dibangun kembali dengan mudah, tetapi keadaannya lain pada abad ke 10. Jalan raya yang mungkin ada di sekitar Prambanan yang menghubungi ibukota kerajaan dengan bandar-bandar ramai di pantai Utara Jawa Tengah setelah musnah tetap dalam keadaan rusak. Bahwa memang pernah ada jalan raya dapat dibuktikan oleh prasasti Mantyasih, yang menyebutkan bahwa jalan harus dilindungi oleh para patih Mantyasih. Boechari berpendapat, bahwa jalan yang dimaksud itu adalah jalan raya yang menghubungi lembah Kedu dengan pantai utara liwat Parakan (Boechari 1976 : 9).

Pada hemat kami, ketika jalan raya itu musnah oleh letusan Gunung Merapi, maka para pangeran yang menjadi penguasa bandar-bandar di pantai utara Jawa Tengah, merasa bebas dari para raja di pedalaman, dan dapat berdagang dengan leluasa dengan Sriwijaya. Dengan demikian mereka tak perlu membayar sebagian dari hasil perdagangan itu kepada raja-raja di pedalaman. Raja-raja Sriwijaya masih tetap mereka hormati setelah Balaputra diusir dari Jawa , karena raja-raja Sriwijaya itu berasal dari keluarga raja

18