Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Box 1
Tatkala Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik pada 20 Nopember 2008 dan disetujui oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sehari kemudian (21 Nopember 2008), publik pun sontak meradang dan mempertanyakan, bagaimana mungkin bank kecil seperti Century kok bisa ditetapkan sebagai bank sistemik yang mengharuskan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyisihkan dana Rp6,76 triliun untuk menyelematkannya (bail-out). Perihal sistemik atau tidak sebuah bank yang dinyatakan gagal oleh bank sentral memang masih menjadi bahan yang bisa diperdebatkan panjang lebar. Sebab, memang tidak ada aturan baku yang mengatur soal ini. Selama ini untuk mengukur sistemik atau tidaknya sebuah bank hanya didasarkan pada penguasaan aset. Semakin besar aset sebuah bank akan semakin tinggi pula potensi sistemik bank itu bila harus ditutup. Pada poin ini, boleh dibilang semua pihak sepakat dan bisa menerimanya. Begitu pula sebaliknya, bank dengan aset kecil maka potensi sistemiknya rendah. Memang bila merujuk asumsi di atas, bahwa semakin kecil aset bank akan minim pula potensi sistemik yang dapat ditimbulkan adalah valid. Misalnya, ketika BI mencabut izin usaha Bank IFI pada 17 April 2009. Tidak terlihat adanya goncangan publik terhadap penutupan bank tersebut. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun segera memainkan peran sebagai penjamin dana nasabah. Ketenangan publik ini bisa terjaga karena situasi ketika itu memang kondusif di mana tidak ada goncangan seperti krisis ekonomi dan moneter.
Faktor krisis patutlah diperhitungkan karena situasi makro yang sedang labil berpotensi akan ikut menjadi pemicu dan pemacu sebuah krisis baru. Mencabut izin usaha sebuah bank beraset kecil sekali pun dikala krisis mestilah memperhitungkan efek psikologis massa (publik). Bila saat krisis ada bank ditutup meski tergolong kecil berpotensi besar berdampak sistemik. Bagi sementara pihak, soal ini pun masih hal yang bisa diperdebatkan. Sebab memang tidak ada parameter yang dipakai. Penilaian (judgement) dilakukan beradasarkan pertimbangan kualitatif. Tapi, bila melihat fakta di masa lalu, sewaktu menutup 16 bank yang hanya menguasai 3% dari total aset perbankan nasional pada November 1997, malah terjadi rush luar biasa terhadap hampir semua bank (besar dan kecil). Bila pemerintah tak menenangkan kepanikan massa dengan menjamin semua dana nasabah, sistem perbankan akan rontok dan perekonomian nasional ambruk, bangsa ini pun hancur. Periode 1997/1998 adalah masa krisis ekonomi dan keuangan serius di republik ini. Peristiwa ini memberi pembelajaran berat bagi Pemerintah dan Bank Indonesia bila akan terpaksa (sekali) mesti mencabut izin sebuah bank. Manakala Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik, salah satu latar pertimbangan karena negara kita sedang menghadapi krisis yang sedang mendalam periode Oktober hingga Desember 2008. Bila Bank Century ditutup dalam situasi tidak krisis, dipastikan tidak berdampak sistemik. Disinilah perdebetan itu berlangsung, yakni dalam hal kriteria sistemik yang dipakai. Untuk lebih memperjelas kriteria yang dipakai, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank (DPNP) BI memakai kerangka analisis sistem Memorandum of Understanding (MoU) Uni Eropa, 1 Juni 2008, Salah satu bunyi petikan MoU UE itu mengatakan: “...in a such situation, one may also need to place more reliance on qualitative judgements rather than on up-to-date quantitative information.” Inti pernyataan itu, bahwa penilaian kualitatif menjadi unsur lebih penting ketimbang informasi kuantitatif terkini. Pandangan MoU UE itu sudah barang tentu didasarkan pada pengalaman panjang mereka dalam menangani dan mencegah krisis keuangan. Ada 4 (empat) aspek yang dipakai MoU UE dalam menganalisis bank gagal yang ditenggarai sistemik: (1) Institusi Keuangan. (2) Pasar keuangan. (3) Sistem pembayaran, dan (4) Sektor riil. Terhadap keempat aspek itu, BI mengimbuhi satu aspek yakni faktor psikologis pasar. Sehingga total aspek yang dikaji menjadi lima. Penambahan aspek psikologi pasar tak lepas pengalaman krisis perbankan periode 1997/1998 yang sangat kental unsur psikologi pasar. Kelima aspek inilah yang dipakai BI untuk membuat kajian sistemik—baik kualitatif maupun kuantitatif—terhadap Bank Century. Terhadap aspek institusi keuangan, parameter yang dipakai adalah porsi pinjaman antarbank, dana pihak ketiga, kredit, jumlah cabang, konsentrasi deposito atau kredit berdasarkan sektor dan wilayah. Terhadap aspek ini, BC memiliki kantor cabang sekitar 30 buah dan kurang lebih 65.000 nasabah tapi bank ini tidak memiliki keterkaitan dengan bank lainnya sehingga tidak signifikan karena penguasaan asetnya kecil. Pada aspek pasar keuangan, ukuran yang dipakai adalah rasio surat berharga yang dimiliki dibandingkan keseluruhan pasar, peran lembaga keuangan dalam pasar, tingkat kapitalisasi saham di bursa. Analisis pada bagian ini dikhawatirkan akan menimbulkan sentimen negatif di pasar keuangan, terutama dalam kondisi pasar yang sangat rentan terhadap berita-berita yang dapat merusak kepercayaan pasar keuangan. Sedangkan pada aspek sistem pembayaran, ukuran yang dipakai adalah porsi volume dan nilai dalam sistem pembayaran. Nah, apabila bank ini ditutup dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya rush (flight to quality atau capital outflow) pada peer bank dan bank-bank yang lebih kecil sehingga akan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Hasil pemantauan memperlihatkan ada 18 bank yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas dan 5 bank mirip seperti Bank Century pun alami kesulitan likuiditas. Aspek sektor riil ukuran yang dipakai adalah penurunan deposit, penurunan nilai investasi akibat mark to market, penurunan akses kredit, kemacetan sistem pembayaran, kesulitan penarikan simpanan oleh nasabah bank. Kredit BC ke sektor industri hanya 0,42% terhadap total kredit bank. Hasil pemantaun dan analisis: peran mengucurkan kredit ke sektor riil tidak signifikan. Kegagalan bank ini memiliki dampak yang relatif terbatas terhadap sektor riil. Sedangkan pada aspek kepercayaan publik, salah satu ukuran yang dipakai adalah kemungkinan terjadinya bank runs, munculnya rumor negatif di pasar, terjadinya pemindahan dana ke bank atau aset keuangan yang berisiko lebih rendah. Analisa yang disampaikan BI, kegagalan BC dapat menambah ketidakpastian pada pasar domestik yang dapat merusak kepercayaan terhadap pasar keuangan. Kelima aspek kajian sistemik sebuah bank gagal juga sudah terhisap dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Meski sudah dipaparkan kelima aspek tersebut yang menjadi landasan pengambilan putusan bahwa BC adalah bank sistemik, wilayah ini tetaplah menjadi isu kontroversial. Padahal, pada sisi lain, kriteria penilaian dampak sistemik mengikuti prinsip constructive ambiquity. Maksudnya, bila kriteria sistemik dibuat sedemikian jelas merujuk data dan informasi yang bersifat kuantitatif, dikhawatirkan akan menimbulkan moral hazard karena dapat dijadikan acuan oleh eksekutif atau pemegang saham bank untuk mengiring bank yang dikelola menjadi bank gagal yang masuk kriteria sistemik dan diselamatkan LPS. Untuk itulah, penilaian dampak sistemik hanya dilakukan secara situasional dengan mengambil pertimbangan kondisi pasar keuangan dan perekonomian pada saat terjadi institusi keuangan mengalami permasalahan. Kriteria tak tertulis lain yang patut juga mendapat perhatian adalah pada aspek potensi semua dampak yang mungkin dapat diprediksi (all foreseeable effect). Memperhitungkan berbagai aspek jauh ke depan yang mungkin terkena dampak dari penutupan bank tetaplah ikut menjadi wacana dalam memperhitungkan sebuah bank gagal sistemik atau tidak. Semakin jauh ke depan analisisnya akan sampai pada kesimpulan sementara berupa ketidakpastian besarnya dampak. Jika dalam hal menentukan sebuah bank gagal berdampak sistemik, analisa yang dilakukan adalah membaca tren kondisi makro ekonomi dan kondisi sistem perbankan dengan bingkai analisa merujuk MoU UE. Namun dalam praktiknya tidak semua kondisi tren yang dianalisis kecenderungannya dapat dibuat kuantifikasi merujuk informasi terkini (up-date information) sehingga analisa perlu dilengkapi dengan analisis yang bersifat judgment. (*)