Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia
oleh Bank Indonesia
Bab 4: Menyibak Kegagalan Bank Century

Tumpukan kertas-kertas berserakan di atas meja kerja seluas 80 cm x 110 cm. Di antara kertas-kertas itu, sebuah monitor LCD ukuran 17 inchi masih menyala. Di depan layar monitor tadi sepasang mata seorang staf peneliti di Direktorat Pengaturan dan Penelitian (DPNP) Bank Indonesia seperti tak pernah berkedip memandang layar monitor komputer. Ia tidak sedang menonton film atau main game. Ia bersama beberapa staf lainnya sedang menggarap laporan yang berisi kajian bilamana Bank Century yang pada 6 November 2008 kemarin ditetapkan masuk pengawasan khusus (special surveillance), apakah menimbulkan efek domino (dampak sistemik) atau tidak terhadap stabilitas sistem perbankan Kajian sistemik memang harus dilakukan ketika trigger potensi kegagalan bank mulai terpantau dan perlu dikaji seberapa jauh dampaknya (efek domino) terhadap sistem perbankan secara keseluruhan. Para peneliti DPNP tadi sadar betul atas apa yang sedang digarapnya amatlah penting untuk disajikan dalam Rapat Dewan Gubernur BI 18 Nopember 2008. Mereka pun berusaha membuat laporan sekomprehensif mungkin terkait kajian dampak sistemik bagi bank sekarat tadi. Pengetahuan termutakhir seperti kerangka acuan kajian sistemik Uni Eropa coba diterapkan. Kajian sistemik meliputi aspek psikologi pasar, infrastruktur keuangan (sistem pembayaran) dan pasar keuangan. Bahwa bank dengan penguasaan aset besar saja yang sistemik tak valid lagi. Bisa saja bank berskala kecil tapi menimbulkan goncangan. Kajian sistemik itu pun rampung dan siap dilaporkan ke RDG. Persis seperti yang diagendakan bahwa pada 18 Nopember akan digelar RDG. Pimpinan DPNP pun mempresentasikan materi yang telah dipersiapkannya. Seperti biasa, dinamika tinggi sebuah rapat yang sedang membahas persoalan serius terkait bukan hanya nasib sebuah bank tapi juga sistem perbankan, keuangan dan keamanan dana masyarakat pun berlangsung. Berbagai catatan kaki perbaikan serta masukan terhadap kajian itu disampaikan peserta RDG. Revisi atas kajian sistemik itu pun dilakukan untuk mempertajam validitas atas kajian tersebut yang akan banyak mendapat sorotan publik nantinya. Sementara itu, waktu terus berjalan, kondisi bank yang sedang menjadi pasien unit gawat darurat pengawasan BI itu kian mengalami penurunan kinerja. Meski sebelum ini telah mengajukan dua kali fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) dari BI (cair dua tahap, tanggal 14 Nopember 2008 untuk tahap satu, tanggal 18 Nopember 2008 tahap dua). Berbagai upaya untuk menyehatkan kembali bank ini sudah coba ditempuh, tapi tidak membuahkan hasil. Putusan pun harus diambil oleh RDG. Pada 20 Nopember 2008, RDG menetapkan bank sebagai bank gagal. Dari hasil kajian BI, meski penguasaan aset bank ini kecil saja terhadap total dana pihak ketiga (DPK) perbankan, namun ditenggarai akan berdampak sistemik. Sebab, ketika itu situasi sedang dalam keadaan krisis yang sangat potensial ikut membawa goncangan terhadap sistem perbankan.

Merger Yang Menjadi Sorotan Itu[sunting]

Bank Century adalah hasil merger tiga bank. Mereka adalah Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac. Perjalanan kelahiran BC seperti tak lepas dirundung masalah hingga diputus sebagai bank gagal. Awal kisah merger ketiga bank tersebut tatkala Chinkara Capital Ltd (CCL) menjadi dewa penyelamat Bank Pikko yang masuk pengawasan khusus (SSU) BI, 20 Juni 2000. Posisi CAR bank minus 9,6%. CCL selaku calon investor bersedia menyetorkan dana sebesar US$ 12 juta. Dana itu berada di escrow account Bank CIC yang akhirnya dipindahkan ke rekening CCL di Bank Pikko. Pada 8 Juni 2001, manajemen Bank Pikko mengajukan izin melakukan penawaran umum (right issue) senilai Rp128 miliar yang diborong oleh CCL. Walhasil, di atas kertas perusahaan yang berbasis di Kepulauan Bahama ini menjadi pemilik mayoritas saham (66,6%) Bank Pikko. Setelah melahap saham di Bank Pikko, CCL pun membelanjakan dana dengan membeli saham Bank Danpac di lantai bursa. Ia dan bersama Morgan Stanley International Nominees Ltd secara de facto menguasai 70,2% dari modal disetor bank. Bank Danpac tergolong bank dengan volume usaha kecil. Di bank ini tidak ada masalah serius menyangkut permodalan maupun lainnya. Sementara itu, sepak terjang CCL dengan tetap mengandeng Morgan Stanley diam-diam membeli 16,5% saham di Bank CIC, 10 Oktober 2001. Pihak CCL lalu menambah modal disetor Bank CIC sebesar US$10 juta dan menjadikan dirinya adalah pemegang saham mayoritas. Walhasil, CCL di atas kertas adalah pengendali ketiga bank tersebut. Namun begitu, BI selaku bank sentral yang memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak setiap calon pemeggang saham pengendali (PSP) sebuah bank, tidak langsung menyetujui proses akuisisi CCL terhadap ketiga bank tadi. Sebab, proses akuisisi tersebut belumlah sesuai dengan aturan main yang berlaku tentang tata cara merger, konsolidasi dan akuisisi bank umum (Surat Keputusan Direksi BI No.32/51/KEP/Dir tentang “Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum). Selanjutnya dicermati dan dipertimbangkan dari berbagai sudut, untuk memastikan apakah proses akuisisi Bank Pikko merupakan upaya penyelamatan bank tersebut serta bagaimana kejelasan status PSP yang nantinya harus bertanggungjawab atas ketiga bank tadi. Lagi pula ada rencana CCL untuk melakukan proses merger ketiga bank. Atas dasar pertimbangan itulah, maka pada 27 Nopember 2001, RDG memutuskan untuk menyetujui proses akuisisi yang dilakukan CCL dengan beberapa catatan kaki. Pertama, CCL dalam waktu yang tidak terlalu lama melakukan rencana merger. Hal ini baik untuk memperkokoh dan memperbaiki kinerja bank tersebut. Kedua, BI meminta pernyataan hitam di atas putih bahwa selaku PSP, CCL akan melakukan upaya-upaya memperbaiki kinerja bank. Ketiga, pihak CCL berjanji tidak akan melakukan tindakan melawan hukum dan berusaha untuk mencukupi modal bank hingga mencapai syarat minimal modal (CAR) sebuah bank yakni 8%.

Legalitas Akuisisi Belum Lengkap?[sunting]

Dewan Gubernur BI sadar betul bahwa persetujuan atas proses akuisisi CCL diambil melalui sebuah tindakan (discretion) dengan pertimbangan menyelamatkan sebuah bank sebagai lembaga kepercayaan dan sistem perbankan yang kala itu masih dalam pemulihan setelah krisis 1997/1998. Ketika putusan diambil, ada dua syarat yang belumlah sepenuhnya bisa dipenuhi oleh CCL untuk menjadi PSP atas ketiga bank yang dikuasainya. Misalnya, keharusan pihak CCL melampirkan laporan keuangan setidaknya 3 (tiga) tahun terakhir. Hal ini penting untuk mengetahui kemampuan finansial calon PSP bila nantinya dimintakan untuk menambah modal disetor guna memperbaiki kinerja bank. Serta belum adanya surat rekomendasi dari otoritas moneter dari tempat asal CCL. Terhadap syarat pertama yakni melampirkan laporan keuangan tiga tahun terakhir, BI mencoba meneropong kekuatan keuangan CCL dari laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik JPL Wong & Co Singapore. Dari laporan keuangan itu diketahui bahwa secara finansial, CCL memperlihatkan kinerja yang memadai. Hal itu diperlihatkan dengan kesiapan dana yang telah disetor ke escrow account. Sedangkan terkait surat rekomendasi dari otoritas moneter tempat asal CCL, BI mendapat salinan surat pernyataan “certificate of good standing” dari Commonwealth of Bahamas the International Business Companies. Selain itu, BI juga mengantongi surat pernyataan dari kantor hukum Rodyk & Davidson yang menyatakan bahwa CCL dalam kondisi sebagai entitas bisnis yang “good legal standing”

Dengan adanya alternatif pemenuhan kedua syarat tersebut, Dewan Gubernur BI menilai adanya keseriusan pihak CCL yang sudah menempatkan dana sebesar US$12 juta untuk Bank Pikko pada 27 Nopember 2000. Untuk itu, RDG mengambil keputusan untuk memberikan persetujuan proses akuisisi Bank Pikko dan Danpac oleh CCL. Keputusan itu diambil dalam kerangka upaya menyelamatkan dan menyehatkan bank serta tetap terjaganya stabilitas di sektor perbankan dan moneter sebagaimana diamanatkan UU Perbankan (Pasal 29 jo 37).

Indikasi Perbuatan Melawan Hukum?[sunting]

Setelah keluar persetujuan BI atas proses akuisisi Bank Pikko dan Bank Danpac, pihak CCL berencana melakukan strategic merger terhadap tiga bank yang dikuasainya. Namun ketika permohonan merger disampaikan, Pengawas Bank BI menemukan adanya indikasi perbuatan melawan hukum baik yang melibatkan secara langsung maupun tidak langsung pihak CCL di Bank CIC. Ada praktik penyimpangan? Ya, tapi ini barulah sebuah indikasi yang masih diselidiki pihak BI. Indikasi perbuatan melawan hukum itu berupa penerbitan surat-surat berharga (SSB) oleh Bank CIC senilai US$200 juta yang ditempatkan sebagai modal disetor ke bank itu. Hal itu ditambah lagi adanya dana fiktif sebesar US$25 juta yang nyantol di kas Bank CIC. Adanya temuan yang mengindikasikan praktik perbuatan melawan hukum ini memang harus dibuktikan keabsahannya. Pihak BI pun menerjunkan Tim UKIP (Unit Khusus Investigasi Perbankan) untuk melakukan penyelidikan. Sementara proses penyelidikan berjalan, ada permintaan pihak CCL untuk melakukan merger ketiga bank yang dikuasainya (CIC, Pikko dan Danpac). Untuk membahas permohonan CCL, Dewan Gubernur BI pun mengelar pertemuan pada 19 Juni 2002. Agenda pertemuan membahas belum dapat dilaksanakannya keputusan RDG 27 Nopember 2001 yang memberi persetujuan proses akuisisi Bank Pikko dan Bank Danpac oleh CCL karena adanya indikasi perbuatan melawan hukum. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, kelebihan dan kekurangannya, bahwa dalam kerangka menyelamatkan dan menyehatkan perbankan, putusan pun harus diambil. Keluarlah surat Dewan Gubernur BI kepada pihak manajemen Bank Pikko dan Bank Danpac pada 5 Juli 2002. Inti bunyi surat itu, bahwa BI pada prinsipnya tidak keberatan atas rencana CCL mengakuisi 66,65% saham (senilai Rp127,9 miliar) atas Bank Pikko dan 54,94% (senilai Rp53,9 miliar) atas Bank Danpac. Persetujuan BI itu dengan satu catatan kaki. Bila dikemudian hari dari hasil pemeriksaan diketahui adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan CCL, maka BI akan membatalkan proses akuisisi dan meminta dalam kurun waktu 12 bulan agar CCL melepaskan semua saham di bank-bank yang dikuasainya. Surat persetujuan BI tadi masih pula diimbuhi kewajiban CCL sebagai calon PSP di Bank Pikko dan Bank Danpac. BI meminta jaminan bahwa pihak CCL akan melakukan perbaikan sistem, prosedur dan kontrol atas pengelolaan risk management di kedua bank tersebut. BI juga meminta agar pihak CCL tetap menghargai independensi direksi bank dalam mengambil keputusan dan tidak melakukan intervensi. CCL juga diwajibkan untuk memenuhi dan menjaga kecukupan modal di kedua bank tersebut. Dan BI melarang pihak CCL mengalihkan saham yang dimiliki ke pihak lain tanpa persetujuan bank sentral. Bila hasil merger bank yang dikelola CCL tidak memperlihatkan perbaikan kinerja, maka CCL akan dilarang untuk memiliki atau membeli saham bank-bank di Indonesia. “Dan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap PT Bank CIC terbukti bahwa CCL selaku pemegang saham PT Bank CIC melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang atau dinyatakan Tidak Lulus dalam penilaian fit and proper test, maka BI akan membatalkan persetujuan akuisisi pada bank saudara. Selanjutnya dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak pemberitahuan BI, CCL wajib melepaskan kepemilikan sahamnya baik secara langsung maupun tidak langsung pada bank-bank di Indonesia,” tandas surat BI bernomor 4/54/DpG/DPIP tertanggal 5 Juli 2001. Isi surat ini jelas memperlihatkan sikap hati-hati bank sentral ketika memberikan persetujuan akuisisi Bank Pikko dan Bank Danpac oleh CCL. Setelah keluar izin prinsip persetujuan BI itu, pihak CCL mengajukan permohonan melakukan merger Bank Pikko dan Bank Danpac ke dalam PT Bank CIC sebagai bank hasil merger melalui surat tertanggal 5 Nopember 2004. Merespon permohonan itu, BI melakukan berbagai kajian terhadap kinerja ketiga bank bila dimerger kelak. Hasil financial due dilligence kantor akuntan publik (KAP) Dedy Muliadi & Rekan, 30 April 2004 dan proyeksi bank pasca merger dua tahun ke muka, diperoleh gambaran yang positif. Misalnya, total aktiva meningkat 38,53%. Dana pihak ketiga melonjak 54,25%. Posisi CAR pun di atas 8,69% dengan TKS masuk kategori sehat. “Meski gambaran posisi CAR sudah baik, tapi BI tetap meminta tambahan modal setidaknya Rp60 miliar paling telat disetor Nopember 2004 agar posisi CAR menjadi 11,66%,” pinta BI kepada CCL. Merespon permintaan BI untuk setor dana tambahan, CCL menginformasikan ada calon investor yang bersedia menyetorkan dana sebesar US$9 juta pada 28 Oktober 2004. Selain itu, ada calon mitra investor lokal CCL yang menempatkan dana dalam wujud deposito sebesar Rp20 miliar. Dengan tambahan setoran dana sebesar US$9 juta, posisi CAR bank (per neraca Agustus 2004) setidaknya mencapai 8,05%. Dua hari kemudian setelah surat permohonan merger itu, 6 Desember 2004, keluar surat Gubernur BI bernomor 6/7/KEP.GBI/2004 tertanggal 6 Desember 2004, yang isinya rekomendasi merger Bank Pikko dan Bank Danpac ke dalam Bank CIC.

Kinerjer Bank Pasca Merger Sempat Membaik[sunting]

Berbekal proyeksi hasil merger yang positif membuat lega Dewan Gubernur BI. Adalah wajar bila akhirnya keluar izin merger dari BI. Betapa tidak karena setiap upaya yang dilakukan BI adalah tetap dalam rangka ingin menyehatkan dan menyelamatkan perbankan nasional sebagai institusi kepercayaan, tempat masyarakat menitipkan uangnya. Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan kinerja bank hasil merger kondisi bank ternyata tidaklah seindah yang diharapkan. Sisa persoalan di masa lalu masih terus membayangi bank tersebut. Salah satu pokok persoalan krusial adalah penerbitan surat-surat berharga (SSB)—medium terms note/MTN Dresdner Bank— senilai US$127 juta oleh Bank CIC yang diperkirakan mengalami masalah di kemudian hari. Ketika merumuskan soal status SSB yang tidak memiliki rating ini, BI merujuk rekomendasi Komite Evaluasi Perbankan (KEP) di Bali, 3-4 Juli 2003, yang menyatakan bahwa surat utang berharga MTN tidak digolongkan macet sepanjang belum jatuh tempo. Namun, bila MTN tadi jatuh tempo dan tidak terbayarkan maka langsung dinyatakan macet. Rekomendasi KEP ini memberi kejelasan atas status MTN tadi. Kebutuhan modal untuk mencapai CAR 8% bank pasca merger menjadi tidak terlalu besar, yakni hanya Rp71 miliar. Sedianya, BI akan meminta CCL tambahan dana antara Rp300 miliar hingga Rp400 miliar karena memperhitungkan potensi macet SSB tersebut. Pada sisi lain, bila suatu ketika ternyata MTN yang jatuh tempo tak terbayarkan alias macet, maka berpotensi akan membebani permodalan bank pasca merger. Untuk mengantisipasi hal ini, BI meminta kepada PSP Bank Century—bank hasil merger—tambahan modal sedikitnya Rp400 miliar plus US$15 juta yang disetor pihak CCL. Dengan tambahan dana segar ini akan memungkinkan pihak bank memenuhi kewajiban terhadap MTN yang jatuh tempo tanpa harus menguras modal dan memukul kinerja CAR bank hingga di bawah yang disyaratkan yakni 8%. Rupanya, permintaan tambahan modal tidaklah sepenuhnya ditaati CCL. Tak lama setelah merger, persisnya rentang waktu 2005 hingga Oktober 2007, Pengawas Bank BI menempatkan status pengawasan intensif. Hal ini karena adanya gangguan SSB valas yang berkategori non investment rating bakal mengalami kemacetan. Ditambah lagi kondisi kredit macet ( performing loan) yang berada di atas 5%. BI meminta kepada manajemen Bank Century agar SSB tersebut cepat-cepat dijual agar tidak menganggu permodalan bank (aktiva bank). Rupanya pihak BC mengalami kesulitan melego SSB tadi. Untuk menyelesaikan SSB valas senilai US$ juta, pihak PSP BC mengajukan proposal ke BI berupa cash collateral (asset management agreement/AMA) selama kurun waktu tiga tahun (Februari 2006 hingga Februari 2009). AMA tersebut mendapat jaminan dana tunai salah satu PSP BC (Hesham Al Warraq) senilai US$220 juta yang berada di Dresdner Bank di Swiss. Pihak BI meminta agar seluruh SSB tersebut sudah terjual selama pemberlakuan AMA. Skim penyelesaian SSB melalui AMA boleh dibilang berjalan lancar. Hal itu dapat dibuktikan ketika ada SSB jatuh tempo periode Desember 2006 hingga September 2008 senilai US$33 juta dapat dibayar pihak BC. Memasuki triwulan keempat tahun 2007, menyarankan kepada PSP dan manajemen BC agar menjajaki calon investor untuk menyuntikkan dana segar guna memperbaiki kinerja permodalan bank. Rekomendasi BI ini dalam kerangka menyehatkan dan menyelamatkan bank. Ada beberapa calon investor yang telah menyatakan minat. Mereka adalah Kuwait Finance House, Korean’s Shinhan Bank, Hana Financial Group, Carlyle, HSBC Noor Islamic Bank. Yang menjadi kabar gembira adalah ketika Hana Financial Group menandatangani Letter Intent dan Point of Understanding dengan PSP BC, April 2008. LoI ini memberi harapan akan adanya calon investor baru yang akan menyuntikkan dana segar. Memasuki Juli 2008, krisis gagal bayar properti (sub-prime mortage) di Amerika Serikat mulai memukul tidak hanya pasar keuangan dan perekonomian di negeri itu, tapi juga ikut memporak-porandakan pasar uang seantero jagad. Pihak Hana Financial Group asal Korea Selatan yang sudah meneken LoI dengan PSP BC pun dengan berat hati membatalkan rencana akuisisi BC. Alasannya karena otoritas moneter di Korea melarang perbankan mereka melakukan ekspansi di luar negeri. PSP BC pun mulai kelimpungan untuk mendongkrak kesehatan bank tersebut. Pada 15 Oktober 2008, BI mengundang PSP BC yang diwakili Robert Tantular, Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq. Robert Tantular tadinya bukanlah pemeggang saham pengendali BC. Tapi, pada 7 Januari 2008, Pengawas Bank BI mendapati bahwa ia dan Ali Rizvi melakukan kesepakatan tertuang dalam shareholder agreement bahwa mereka berdua adalah pemegang saham mayoritas (70%) di BC. Pertemuan itu membahas upaya-upaya memperbaiki kinerja BC yang tertuang dalam Letter of Commitment. Inti LoC meminta pihak PSP BC untuk menyelesaikan permasalah likuiditas bank. Salah satu pokok soal yang harus diselesaikan adalah SSB valas, menambah modal dan mempercepat masuknya investor baru. Meski sudah ada LoC, pihak PSP mengalami kesulitan untuk memenuhi ketiga komitment yang telah disepakati. Sementara itu, hasil pemeriksa BI diketahui bahwa kinerja keuangan khususnya CAR bank per 30 September mengalami penurunan menjadi 2,35%. Pada sisi lain, muncul SSB valas senilai US$65 juta di luar skim AMA yang jatuh tempo diindikasikan tak terbayarkan alias macet. Lalu, ada kewajiban bank untuk melakukan PPA senilai Rp59 miliar yang ikut mengerus modal. Hal itu masih ditambah lagi accrue bunga senilai Rp300 miliar yang ternyata di-reverse sehingga mengurangi pendapatan bank. Pada akhir Oktober 2008, kondisi likuiditas BC semakin parah. Melihat gelagat tak beres pada BC, pemeriksa dan pengawas BI mengusulkan kepada DG BI agar BC masuk pengawasan khusus (SSU) pada 5 November 2008. Dasar pengenaan status SSU karena CAR bank dibawah 8%. Beberapa kali terjadi pelanggaran GWM serta likuiditas bank yang terus memburuk. Banyak aspek memasukkan sebuah bank dalam pengawasan khusus. Biasanya modal bank rendah dan tingkat kredit bermasalah tinggi serta profitabilitas yang rendah pula.. Dalam kondisi yang sedang terpuruk ditambah lagi penarikan dana pihak ketiga secara terus menerus dan hembusan rumor miring membuat kondisi BC pun mulai semponyongan dan limbung. Bank ini juga sempat mengalami gagal kliring (13 Nopember 2008), karena terlambat menyetor prefund. Peristiwa ini semakin memukul BC ketika deposan melakukan aksi rush dana mereka di bank itu. Sesuai ketentuan yang berlaku, BI pun membuka pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek (FPJP) bagi BC. Pada tanggal 14 Nopember 2008, BC mengajukan FPJP dan disetujui sebesar Rp502 miliar. Pada tanggal 17 Nopember 2008, BC kembali mengajukan FPJP kedua dan diberikan sebesar Rp187 miliar sesuai penilaian atas jaminan yang diserahkan BC kepada BI. Kedua FPJP itu ternyata tak menolong BC. Mencermati kondisi likuiditas BC yang terus mengalami penurunan, Dewan Gubernur BI mengelar pertemuan (18 Nopember 2008). Pokok serius bahasan adalah laporan kinerja terkini BC dan kajian sistemik bank tersebut bila terpaksa harus dicabut izin usahanya. Dua hari kemudian (20 Nopember2008), RDG BI memutuskan BC tidak bisa lagi diselamatkan dan disehatkan oleh PSP bank sehingga ditetapkan sebagai bank gagal yang berstatus sistemik dan merekomendasi untuk diselamatkan oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bila bank ini tak diselamatkan akan membawa efek menular kepada sejumlah bank sekelas BC dan sistem perbankan serta keuangan. Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang dipimpin Menkeu Sri Mulyani pun memutuskan BC sebagai bank sistemik yang harus diselamatkan. (*)