Tjerita Si Umbut Muda/4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Tjerita Si Umbut Muda diterjemahkan oleh Tulis Sutan Sati
Tanda Kasih Akan Anak

4. TANDA KASIH AKAN ANAK

Belalang terbang melajang,
terbangnja berapi-api.
Esa hilang kedua terbilang,
namanja anak laki-laki.

'Lah sebentar ia menangis ― 'lah sebentar ia bermenung ― ialah si Umbut Muda ― tibalah pikiran jang benar. Berkata si Umbut Muda: „Ibu, dengarkan ibu! ― djika ibu iba 'kan hamba ― menaruh sajang kepada hamba ― pergilah ibu hamba suruh ― pergilah ibu hamba seraja. Kalau ada malu 'kan terbangkit ― kalau ada malu 'kan terhapus ― tjarikan hamba talang perupuk ― ialah talang perupuk hanjut ― nun di Lubuk Mata Kutjing; sakti nan tidak sakti amat — dagang lali mati tegak — burung melintas mati djatuh; djernih nan tidak djernih amat — setukal benang berusai — dikepesong[1] nan mengeong — diserangkak nan berdengkang; nan dipalut naga sakti — nan dililit ular bisa — nan didjundjung ikan gedang. Talang itulah ibu tjarikan — perupuk itulah ibu ambilkan! kalau tak dapat perupuk itu — tak kasih ibu 'kan hamba — tak sajang ibu kepadaku.

Apa gunanja siput lagi,
siput’lah berangkai-rangkai.
Apa gunanja hidup lagi,
hidup ’kan betjermin bangkai;

biarlah hamba amuk badan hamba — supaja senang hati ibu.”

Mendengar kata demikian rusuh hati ibu si Umbut — sesak rasa kira-kiranja — bagai memakan simalakama akan pergi takut ’kan mati — tidak pergi anak mengamuk; itulah sukarnja akan ditjari — itu rupanja kehendak anak. Dipatut-patut dengan ’akal — dipikir-pikir dimenungkan — oleh ibu si Umbut Muda lalu berkata sama seorang: „Dari pada anakku mati — biarlah hamba mati djua.” Karena iba akan anak — tidak lagi pikirkan — tidak lagi dimenungkannja — berdjalan ia sekali. Dibawa kemenjan putih — menangis berundung-undung — kainlah gendjong gerongan[2] — napasnja sudah gedang ketjil. Berpantun ibu si Umbut:

„Kepekan sekali ini,
tak mungkin membeli lagi.
Berdjalan sekali ini,
tak ’kan kembali lagi.

Tinggi melandjutlah ’kau betung,
tak ’kan kudulang-dulang lagi.
Tinggal terdjengunglah ’kau kampung,
tak ’kan kuulang-ulangi lagi.”

'Lah sudah ia menangis — berdjalan ibu si Umbut — berdjalan tertegun-tegun — berdjalan terentak-entak; bumi dipidjak rasa gempur — langit dipandang rasa terban. 'Lah serentang ia berdjalan — 'lah dua rentang ia berdjalan — dekat semakin 'kan hampir — hampir dekat 'kan tiba: 'lah tiba ia disana — ialah di Lubuk Mata Kutjing. Serta sampai ia kesana — mendebak hudjan nan lebat — berdentung bunji petus tunggal; 'lah tiba sidolak-dolai[3] — gumambik[4] tanah dipidjakkan; 'lah kelam tentangan lubuk — kilat sudah belapi-api. Lalu menjeru ibu si Umbut — dibakar kemenjan putih — asap mendjulang keatas langit — harum setahun pelajaran. Dibatja ibu si Umbut: „Ja Allah Rasulu'llah — ja Tuhanku djundjungan hamba! perlakukan apalah kehendak hamba — beri apalah pinta hamba — hanjutlah kiranja talang perupuk!”

Pintanja akan berlaku — Allah akan menolong — serta sudah kemenjan dibakar — teduh sekali hudjan lebat — berhenti kilat dengan petus — sudah tenang angin nan deras — 'lah terang tentangan lubuk. Tampak talang perupuk hanjut — sedang didjundjung ikan gedang — sedang dipalut naga sakti — sedang dililit-lilit ular — sedang didjaga kala bisa; sudah dipesong-pesong air — 'lah dilamun-lamun ombak — djauh jang tak djauh amat — dipandang sajup-sajup sampai — djika sikait tidak dapat —djika didjemba kelampauan; kadang-kadang ia menepi — kadang-kadang ia ketengah — bagaikan hampir ia djauh — baru djauh iapun hampir — sudah hilang-hilang timbul — telah nampak-nampak apung.

Kononlah ibu si Umbut ― melihat rupa demikian ― memandang talang perupuk ― hatinja kembang ketjut ― hatinja harap-harap tjemas ― harap bertjampur dengan takut ― tjemas rasa tak kira'kan ― diberanikan malah hatinja ― dipedjamkan pula mata ― dihamrburi lubuk itu ― dilompati terus sekali ― ditjeburinja jang djadi. 'Lah dipesong-pesong air ― diernpas-empaskan ombak ― diletjutJetjutkan air; berundjun-undjun dengan kala ― beregang-regang dengan ikan ― berhela-hela dengan naga.

'Lah ganti empas mengempaskan ― 'lah ganti letjut meletjutkan; 'lah pajah berundjun-undjun ― 'lah puas hela menghela ― 'lah lama beregang-regang ― dapatlah perupuk seruas ― oleh ibu si Umbut Muda. Serta dapat perupuk itu ― keluarlah dari dalam lubuk ― berlari sekali pulang; 'lah berlari-lari andjing ― 'lah mendontjang-dontjang ketjil ― 'lah menghambur-hambur kilan; hilanglah malu dengan sopan ― karena hati sangat besar. Sukanja bukan alang kepalang ― riang nan bukan olah-olah ― badju sudah kojak-kojak ― kain sudah tjabik-tjabik ― rambut sudah tergebang-gebang[5]. Mana orang nan memandang ― mana orang nan melihat ― besar ketjil tua muda ― habis tertjengang semuanja ― gelak-gelak sekaliannja ― melihat laku ibu si Umbut ― melihat perangai. Eanjak orang nan menegur ― banjak orang nan bertanja ― satupun tidak diatjuhkannja ― satupun tidak dihiraukannja ― entah kedengaran entah tidah; ia terus berlali djua ― talang perupuk didjundjungnja. 'Lah sebentar ia berdjalan ― 'lah dua bentar ia berlari ― tibalah ia tengah halaman ― lalu naik ia sekali.

Bertanja si Umbut Muda: „O ibu, udjarku ibu! dapatkah nan hamba katakan — dapatkah nan ibu tjari?

Tarab diambil hari sendja,
dibelah-belah dengan kapak.
Harap rasa akan ada,
tjemas rasa akan tidak.”

Mendjawab ibu si Umbut — suara sajup-sajup sampai — berkata tertahan-tahan — pajah badan bukan kepalang: „O bujung si Umbut Muda! djika itu engkau tanjakan — djika itu engkau siasat — hampir mati badan hamba — hampir karam badan hamba — hampir kita tidak bersua.

Memukat tentang Teluk Gosong,
kenalah akan ikan hadji.
Djika tak Allah nan menolong,
haram terdjedjak tanah tepi.

Lihatlah badju dibadan — sudah habis tjompang-tjamping — lihat kain dipakai — sudah habis kojak-kojak: pandanglah badan diri hamba — tidak seperti badan lagi — sebab berundjun-undjun dengan kala — beregang-regang dengan ikan — berhela-hela dengan naga — diempas-empaskan ombak — dipesong-pesong air gedang — diletjut-letjut ikan raja. Karena untung pemberi Allah — dapatlah talang perupuk ini — tetapi hanja seruas sadja. Inilah dia, wahai bujung!”

Konolah si Umbut Muda — serta melihat talang perupuk — riang hati bukan kepalang — suka tak dapat dikatakan. Ditarik lalu talang perupuk — dibawa sekali masuk bilik — lalu diraut akan puput. Puputpun'lah sudah diperbuat — bertanja ibu si Umbut: „Bujung, apa nan engkau buat — bujung, apa nan engkau kerdjakan — bujung, mengapa engkau ini?”

Mendjawab si Umbut Muda: „Djika itu ibu tanjakan — hamba sedang membuat puput. Djika ada malu'kan terbangkit — djika ada malu'kan terhapus — hamba'kan pergi kelubuk — kelubuk Puteri Gelang Banjak.”

Berkata ibu si Umbut: „Bujung, usah engkau pergi — anak orang 'kan demam-demam — anak orang 'kan terkedjut-kedjut — anak orang lemah semangat!”

Mendjawab si Umbut Muda: „Ibu tak tahu dimalu — ibu tak tahu disakit; benar tebal telinga ibu — tidak patut ibu tegahkan — tidak patut ibu larangkan — tak lajak ibu tahani. Pikirkan benar oleh ibu — menung-menungkanlah dahulu! Tak mengapakah itu oleh ibu? Dengarkan benarlah oleh ibu:

Rumah gedang bertingkap tidak,
dimanalah angin 'kan lalu,
entah djika diliang lantai.
Hati bimbang bersingkap tidak,
siapalah orang akan tahu,
entah djika orang jang merasai.

Terhadap kepada badan hamba — sedjak mendengar kata si Gelang — tidur nan tidak terlelapkan — makan nan tidak termakankan — duduk tak dapat disenangkan; lamun nan sekali ini — biar hilang njawa badan — biar putus nan genting — biar hilang nan berketak — biar hamba tjoba benar:

Belalang terbang melajang,
terbangnja berapi-api.
Esa hilang, kedua terbilang,
namanja anak laki-laki!”

Mendengar kata anaknja — bertaka ibu si Umbut:

„Kutebang tidak tertebang.
bagai menebang batang sampir,
ditutuh dikerat-kerat.
Kularang tidak terlarang,
bagai menegah air hilir,
suka hatilah perbuat!”

  1. Putaran air.
  2. Tidak teratur lagi
  3. Angin puput baju.
  4. Bergojang-gojang.
  5. Rambut terurai ditiup angin.