Thesis/Pengantar

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Seorang nakhoda yang berpengalaman cukup, yang mengemudikan kapal, yang kuat dan baru juga mesti menentukan keadaan pelayaran lebih dahulu sebelum bertolak dari pelabuhan.

Topan yang mengancam di waktu depan, bisa menyebabkan kapal itu menunda perjalanannya atau juga memukul kembali atau membelokkan pelayarannya ke kiri-kanannya, bahkan juga memukul kembali ataupun menenggelamkan kapal itu.

Syukurlah kalau nakhodanya berpengalaman lama serta mengetahui karang dan gerakan udara di lautan yang ditempuh, kini ataupun di hari depan.

Tetapi tiadalah dunia akan mendapat kemajuan seperti sekarang kalau semua nakhoda tidak mau berangkat sebelum keadaan udara laut dan cuaca sungguh diketahui lebih dahulu.

Colombus tidak akan sampai ke Amerika kalau ia bergantung pada pengetahuan yang sudah pasti, yang sudah diuji kebenarannya saja. Dia akan berbalik setengah pelayaran setelah menemui mara bahaya kalau ia cuma bergantung kepada teorinya ahli bumi Toscanelli saja. Semangat adventure, mencoba-coba sesuatu yang mengandung bahaya mautpun mesti dilakukan. Berbahagialah suatu negara dan masyarakatnya yang mempunyai semangat adventure itu.

Memang lebih dari 50% kemajuan masyarakat kita ditebus oleh jiwa yang bersemangat adventure itu, dalam semua lapangan hidup, politik, ekonomi, militer, bahkan semua cabang ilmu.

Dalam revolusi Indonesia sekarang banyak jalan yang belum kita ketahui. Semua jalan ke depan masihasinglah buat kita. Berjalan ke depan berarti adventure, percobaan yang mungkin membawa maut. Perjalanan yang pasti cuma perjalanan ke belakang, yakni kembali ke jalan yang kita jalani 350 tahun belakangan ini. Artinya ini kembali mencari jalan penjajahan, kembali menjadi budak jajahan…..berkhianat kepada turunan sekarang dan anak cucu. Inilah saja sekarang jalan yang pasti terang.

Bahwasanya perjalanan masyarakat kita terutama berarti perjalanan politik ekonomi sebagai garis besarnya. Garis besar dalam politik-ekonomi kita sebagai haknya masyarakat Indonesia, dalam dunia penuh pertentangan ini, mungkin bertentangan dengan garis besarnya politik-ekonomi negara lain ialah negara kapitalis. Mungkin garis besar kita terpaksa memutar dari garis besar politik-ekonominya negara lain, mungkin mem-viaduci atau menyelundupi ke bawah satu terowongan.

Bagaimanapun juga ahli politik ekonomilah yang berhak menentukan garis besar dalam perjalanan politik-ekonomi masyarakat Indonesia dalam revolusi sekarang ini.

Timbulnya satu golongan yang bangga menamai dirinya "akademisi" di Indonesia ini sudah mulai memonopoli semua pengetahuan yang berdasarkan ilmu. Di Philipina dan Hindustan, memang percobaan memonopoli itu sudah memperlihatkan hasilnya. Di sana sudah masuk betul paham di antara segolongan rakyat, bahwa umpamanya yang memimpin politik itu harusnya satu Mr. dan memimpin ekonomi itu mesti suatu Dr. dalam ekonomi.

Kalau kita ikuti logika semacam itu, jadinya seorang leek bukan bertitel tidak boleh meraba-raba ilmu. Selanjutnya pula seorang Drs. (yang baru 75% atau 75 1/2 % Dr.) dalam ekonomi mestinya takluk pula pada seorang Profesor dalam ekonomi. Jadi menurut pikiran pasar "The men on the street" dengan logika semacam ini kalau seorang Drs. (ekonomi) umpamanya menulis 3 buku, maka seorang Dr. (ekonomi) mesti sekurangnya menulis 4 buku dan satu Profesor jauh lebih banyak dari yang di belakang ini. Dilaksanakan di Indonesia ini, kalau ahli ekonomi kita yang sudah "diakui" itu ialah Drs. Moh. Hatta menulis setengah lusin buku tentang ekonomi, maka Dr. Samsi mestinya menulis sekurangnya 9 buku dan Prof. Sunario Kolopaking selusin ataupun lebih.

Dalam hal politik para Mr.-lah yang mesti memimpin politik kita sekarang, ialah menurut logika pasar tadi juga.

Tetapi apakah bukti yang kita lihat?

Sedangkan Drs. (75% atau 75 ½% Dr.) Moh. Hatta menulis lebih setengah lusin, Dr. Samsi dan Prof. Sunario Kolopaking sedikit sekali kelihatan buah penanya. Sedangkan di dunia politik Mr. Iwa Koesoema Soemantri umpamanya sedikit terdengar suaranya dan cuma dalam kalangan P.B.I-nya saja, tetapi warganegaranya sejawat kita Mr. Slamet, sudah sampai suaranya ke "Sri" Ratu dan seluruh rakyat Nederland serta dunia Imperialis lainnya.

Demikianlah kalau kita ikuti paham yang dimasukkan oleh Imperialisme Barat. Menurut paham itu kalau diambil akibatnya, maka yang bertitel itulah saja yang berhak merundingkan dan memimpin perkara ini atau itu. Yang tidak mempunyai "cap" dari sekolah akademi Barat itu menurut kehendak mereka janganlah dipercayai. Tidak ada yang lebih dikenal oleh penyakit ke-akademiannya itu daripada ilmu sosial, termasuk ilmu masyarakat itu pula.

Kita membenarkan sama sekali keperluan latihan akademi dalam ilmu seperti kimia, listrik, dan teknik. Tetapi inipun tidak berarti bahwa yang ulung dan berhak bersuara dalam ilmu semacam itu mestinya hanya keluaran akademi saja. Cukuplah di sini disebutkan bahwa pembikin beberapa teori yang amat berharga dalam hal listrik di jaman listrik ini seperti Michael Faraday cuma keluaran sekolah sebenggol (rendah) saja. Thomas Edison, penemu (inventor) listrik diusir oleh gurunya dari kelas satu atau dua di sekolah rendah tadi pula karena…..bodoh.

Penuh contoh lain-lain dalam ilmu seperti tersebut di atas: teknik, kimia, matematika ataupun biologi. Banyak ilmu yang dijalani dan teori penting yang dibentuk oleh hukum akademi. Sebaliknya banyak pula contoh yang membuktikan bahwa akademisi itu cuma tukang hafal saja, tukang "catut" ilmu orang lain saja. Semuanya membuktikan bahwa "title" itu cuma satu surat "pas" saja dalam dunia kecerdasan, bukanlah kecerdasan sendiri!

Apalagi dalam ilmu masyarakat, seperti politik dan ekonomi!

Dalam hal ini dua aliran yang bertentangan sudah nyata ialah aliran politik-ekonominya Proletariat dan Borjuis. Aliran Proletariat dipelopori oleh Karl Marx seorang Dr. Filsafat (bukan ekonomi) dan pengikutnya, serta aliran borjuis oleh para profesor ekonomi di sekolah tinggi seperti Rotterdam. Kedua aliran itu tidak bisa diperdamaikan seperti klas Proletariat tidak bisa diperdamaikan dengan klas borjuis. Hidupnya suatu klas di atas berarti matinya klas yang lain dan sebaliknya. Begitulah pula teori masing-masing klas itu sehidup semati dengan klasnya sendiri!

Kita akui penuh bahwa aliran yang kita pakai ialah aliran Marx, yang berdasarkan pertentangan dalam hal sosial, politik dan ekonomi. Dengan pisau analisanya yang bersifat pertentangan (dialektika) dua klas dalam masyarakat (Proletariat melawan borjuasi) inilah kita mencoba menaksir arahnya politik dunia bergerak menuju ke depan.

Dalam revolusi Indonesia mau tidak mau kita wajib menaksir arahnya politik ekonomi dunia itu bergerak. Dalam topan gelombangnya politik ekonomi dunia itulah kita dipaksa oleh keadaan mengemudikan kapal negara kita yang berdasarkan politik ekonomi pula. Bertolak atau tidaknya dari pelabuhan, membelok ke kiri atau ke kanannya kita disebabkan topan gelombang politik ekonomi yang menentang kita, serta timbul atau tenggelamnya kapal negera kita dalam adventure dalam revolusi, ini sebagian tergantung dari taksiran kita tadilah pula.

Tidak ada pengalaman yang sudah-sudah bagi kita di Indonesia boleh dipakai, karena sifatnya revolusi memangnya satu percobaan baru, lepas dari pengetahuan yang sudah-sudah dan pengalaman yang lampau. Pengalaman di negara lain seperti di Perancis, dan Soviet Rusia mesti kita perhatikan. Tetapi memperhatikan dan mempelajarinya tiadalah meniru-niru saja. Yang kita kemukakan ialah cara berfikir, ialah Materialisme Dialektika. Yang harus kita pelajari dari negara lain bagaimana para pemimpin masyarakat di sana melaksanakan metode berfikir tadi dalam keadaan suasana di negara lain itu, mengambil contoh yang baik dan menyingkirkan kesalahan yang diperbuat di negara asing.

Akan tetapi malangnya sampai sekarang kita tidak mendapatkan dan tidak bisa mendapatkan bahan yang cukup buat dalam dan luar Indonesia. Apalagi dalam keadaan tahanan sekarang, di mana kita terputus dengan perhubungan luar rumah yang kita dipaksa mendiami. Brosur ini terpaksa ditulis terhenti-henti disebabkan keadaan kita dalam tiga bulan ini (pindah-pindah tempat atau terganggu kesehatan).

Tetapi dengan memakai cara berfikir yang sudah jaya dipakai di lain tempat dan bahan yang sudah kita terima, apa yang sudah kita taksir 3 bulan lampau sudah menjadi bukti pada masa brosur ini hampir ditulis umpamanya saja pertentangan hebat antara dunia sosialis dan dunia kapitalis berhubung dengan itu pula kemungkinan Perang Dunia Ke-3.

Bahan baru boleh jadi akan kita peroleh besok atau lusa. Kesimpulan kita boleh jadi kelak terpaksa diubah di sana-sini. Tetapi sebab kita rasa cukup memperhatikan garis besar dalam hal metode berpikir yang dipakai dan politik ekonomi sekarang, maka kemungkinan perubahan kesimpulan itu tidak akan merombak sama sekali kesimpulan politik ekonomi kita tentang luar dan dalam Indonesia. Berhubungan dengan itu tiadalah mungkin banyak perubahan (kalau perlu) yang mesti diderita oleh organisasi, program, taktik serta strategi yang kita anjurkan kelak!

Bagaimanapun juga tiadalah kita perlu perlu selangkahpun juga kembali ke ahli politik ekonominya kaum borjuis besar, tengah, kecil -- ke ahli politik ekonominya kaum akademisi di Indonesia atau lainnya. Tiadalah kita perlu menempel-nempelkan ujar atau amanat professor ini atau itu, akademis ini atau pun buat dijadikan "buku" dan disampaikan ke sana-sini kepada Rakyat dan Proletariat Indonesia.

Kita sebaliknya akan melindungi Rakyat dan Proletariat Indonesia dari segala percoabaan akademisi yang akan membawa kembali politik ekonomi Indonesia ke bawah telapak kaki Imperialisme atau menimbulkan pengharapan yang tidak-tidak di antara Rakyat dan Proletariat Indonesia.

Cukup sudahlah pengalaman yang kita terima dari akademisi itu umpamanya tentang Distribusi dan Koperasi yang digembar-gemborkan dan di "praktekkan" di jaman Kempetai Jepang. Distribusi dan Koperasi yang disajikan kepada kita sebagai puncak pendapatan akademisi di masa Kempetai itu mungkin baik buat satu golongan kecil di salah satu tempat, ialah buat tempat bersarangnya tukang catut. Tetapi buat Rakyat Murba prakteknya ekonomi semacam itu semata-mata satu kebohongan kapitalisme dan imperialisme belaka.

Buat kita politik itu tidak bisa dipisahkan daripada ekonomi dan begitu juga ekonomi tidak bisa dipisahkan daripada politik. Sering kita dengar di kalangan kita sendiri, bahwa politik adalah konsentrasi dan pemusatan ekonomi. Di jaman Kempetai Jepang tidak akan kita pikirkan membikin badan ekonomi ini ataupun itu, karena machtfactor (perkara kekuasaan) untuk memeriksa dan menghukum yang bersalah, umpamanya tukang catut tadi tidak ada pada kita.

Politik ekonomi yang bisa dan patut kita praktekkan dalam masa berjuang ini, revolusi sekarang tidak lain dan tidak bukan melainkan politik ekonomi berjuang dan organisasi politik ekonomi di jaman Merdeka 100%.

Syahdan akhirnya, benar atau tidaknya sesuatu faham atau teori sosial dalam satu masyarakat yang berdasarkan pertentangan Proletar borjuis bukanlah diputuskan oleh "title", sebagai pengesahan borjuis saja, tetapi terutama oleh golongan Proletariat yang menantang!

Lawu, 10 Juni, 1946

TAN MALAKA