Sultan Thaha Syaifuddin/Bab 7

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
BAB VI
EKSPEDISI MILITER BELANDA PERTAMA
(PENDUDUKAN MUARA TEMBESI)


A. LANGKAH-LANGKAH PERSIAPAN

Sebagai langkah persiapan sebelum dilakukannya pendudukan atas daerah Muara Tembesi fihak Belanda melakukan kegiatan penyelidikan dan pengumpulan bahan informasi sebanyak mungkin mengenai daerah Jambi. Untuk ini pada permulaan tahun 1900 Kolonel G.W. Beeger, Kepala Staf Angkatan Perang Hindia Belanda datang ke Jambi. Setelah melakukan peninjauan ke beberapa tempat, Kolonel Beeger segera mengetahui bahwa di luar pangkalan utamanya, fihak Belanda tidak dapat berbuat banyak, karena itu ia segera kembali ke tempat semula dengan meninggalkan seorang petugas topografi yang diperintahkannya untuk menambah dan memperbaiki peta-peta yang sudah ada mengenai daerah Batanghari dan sekitarnya.

Dengan bantuan para ambtenar dan agen-agen politik, petugas topografi tersebut mengumpulkan bermacam-macam bahan keterangan yang memperkaya pengetahuan pemerintah mengenai daerah Jambi.

Dari agen-agen politik disampaikan laporan perjalanan mereka ke sepanjang sungai Batanghari. Dari penyelidikan tentang jalan-jalan kecil antara dusun dengan dusun ternyata bahwa dari Jambi ke Dusun Tengah ada jalan tikus. Dari dusun ini ke Tembesi tidak ada hubungan darat. Dari penyelidikan jalan air di selat, ternyata tidak mungkin mendirikan pangkalan untuk kedudukan pemerintah di tepinya, karena medan di sana pada waktu pasang naik tergenang air sampai empat atau lima ribu meter ke daratan. Kontrolur Rawas memberikan bahan tentang jalan-jalan kecil yang menghubungkan daerahnya dengan Jambi.

Sementara itu komandan militer di Palembang menerima berita dari agen-agen politik tentang adanya penyelundupan senjata yang pada suatu waktu mencapai 1500 buah senapan repetir. Meskipun belum di cek kebenarannya, komandan militer itu telah memerintahkan untuk memperketat pengawasan daerah pantai Jambi kepada kapal perang kecil "Ceram". Kemudian ternyata bahwa perondaan sepanjang pantai yang dilakukan oleh kapal tersebut kurang bermanfaat, sehingga perintah komandan itu segera dicabut kembali.

Karena pendudukan daerah Muara Tembesi pada waktu itu telah dianggap mendesak, maka komandan militer di Palembang segera akan melakukan penyelidikan. Sebelum pekerjaan ini dilakukan terlebih dahulu musyawarah dengan agen-agen politik.

Dari agen-agen politik ini diketahui bahwa banyak pemimpin rakyat yang diperkirakan mempunyai badan-badan dan tugas rahasia yang tersusun rapi. Diingatkan oleh agen-agen politik tersebut bahwa musuh pemerintah yang sangat gigih di lapangan adalah Pangeran Diponegoro. Karena itu sebelum penyelidikan dilakukan perlu ada izin terlebih dahulu dari Pangeran Ratu (baca Sultan Thaha Syaifuddin) yang bertempat tinggal di Bandar Ul-Aman (dulu bernama Sungai Aro) yang terletak di tepi sungai Batanghari.

Setelah mendapat izin dari Pangeran Ratu pada tanggal 4 September 1900 berangkatlah komandan militer dan beberapa pemimpin rakyat yang berfihak kepada Belanda. Pada tanggal 4 September itu juga mereka sampai di suatu tempat terletak dalam ketinggian 800 meter, sebelah hilir Muara Tembesi. Dengan alat-alat kecil yang sudah disiapkan dilakukan apa-apa yang dibutuhkan, dan sebelum rakyat setempat yang berdatangan sempat menghalang-halangi, tugas penyelidikan sudah selesai dan rombongan dengan cepat kembali ke kapal pelayaran pulang dilakukan dengan cepat, karena agen politik tidak ingin memancing permusuhan.

Hasil dari penyelidikan ini ialah bahwa di tempat yang dimaksud ada sebagian yang bebas banjir seluas 20.000 meter persegi yang dapat dipergunakan untuk mendirikan kampemen (pangkalan) bagi suatu pasukan yang kuat. Diketahui juga bahwa tempat tersebut pernah dipergunakan Diponegoro menempatkan gudang garam dan kantor Bea Cukai.

Di Jambi juga dapat dikumpulkan informasi sebagai hasil penelitian yang hati-hati terhadap beberapa orang, bahwa saudagar dari Sumatera Barat yang datang dengan kuda melalui Sungai Kunit dan Sungai Tebo ke Jambi ketika sampai di Sungai Aro diharuskan membayar $6 (enam dollar Singapura) setiap kuda yang dipergunakan kepada petugas yang ditunjuk oleh Sultan Taha Syaifuddin.

Setelah itu dianggap perlu untuk mengadakan penyelidikan yang lebih sistematis dan ilmiah oleh tenaga-tenaga ahli. Untuk seluruh daerah aliran sungai, penyelidikan dilakukan oleh pasukan marine yang dibantu oleh seorang kapten dari staf umum angkatan perang. Penyelidikan ini mempergunakan dua buah kapal, yaitu perang "Ceram" dan kapal hekwieler "Tamiang". Kapal perang "Ceram" yang mempunyai awak kapal dengan 7 buah meriam. Sedangkan kapal hekwieler yang panjangnya 20 meter dilindungi terhadap senjata api dan dilengkapi dengan dua meriam 3,7 cm.

Sebagai komandan kapal penyelidik itu bertindak Letnan Laut I. Wichers. Kepada Letnan Wichers diperbantukan seorang dari staf umum angkatan perang, yaitu Kapten Kisjes dan salah seorang petugas topografi.

Sebelum kegiatan penelitian dimulai kepada dua orang perwira tersebut diberikan instruksi-instruksi sebagai berikut:

  1. Kecuali pengumpulan data yang akan diperlukan untuk operasi kepada dua orang perwira itu juga diinstruksikan untuk melakukan tindakan persiapan.
  2. Kepada mereka diharuskan melakukan musyawarah dengan agen politik yang pada waktu itu dijabat oleh Raedt van Oldenbarneveld, dan selalu bersikap waspada terhadap provokasi yang bersifat permusuhan.
  3. Kepada Kapten Kisjes dan staf umum diperbantukan untuk bertindak sebagai komandan sataf untuk daerah Jambi. Kepadanya juga diperintahkan untuk segara melanjutkan penelitian lapangan yang pernah dilakukan oleh komandan militer Palembang. Dalam hal ini kepadanya diperlukan seorang perwira kesehatan, Dr. Neek yang akan meneliti baik tidaknya suatu tempat untuk pembangunan loji-loji yang direncanakan dilihat dari segi kesehatan.
  4. Kepada Letnan I Wichers diperintahkan untuk melakukan kerjasama yang erat dengan pemerintah sipil dan militer (16, p. 18 dan 19).

Meskipun sejak permulaan Nopember 1900 kapal-kapal penyelidik itu sudah berada di Jambi, tetapi dalam penyelidikan hanya ditentukan bagian sungai Jambi-Muara Tembesi, karena agen politik pada waktu itu sedang menunggu selesainya perundingan mengenai kemungkinan diadakannya perjumpaan dengan Sultan Thaha Syaifuddin dan pengikut-pengikutnya. Agen politik khawatir bahwa perundingan akan mengalami kegagalan apabila pada waktu itu diadakan pameran kekuatan militer.

Setelah diketahui bahwa rencana mengadakan perjumpaan antara fihak Belanda dengan Sultan Thaha Syaifuddin tidak dapat dilaksanakan, penyelidikan dilanjutkan ke arah mudik sungai. Pada akhir Nopember 1900 penyelidikan di daerah sekeliling pangkalan utama selesai. Rencana pembuatan jalan Jambi-Muara Tembesi selesai diteliti. Demikian pula penyelidikan di sepanjang sungai untuk menentukan jalur yang dalam, terutama di jalan sungai sempit di selat passage.

Karena semua yang dianggap berat sudah selesai, maka pada tanggal 2 Desember 1900 kedua kapal penyelidik itu melanjutkan pelayarannya ke mudik sungai Muara Tebo. Kapal "Ceram" berhenti sampai di tempat itu, tetapi kepala "Tamiang" melanjutkan pelayarannya sampai beberapa jam melampaui muara sungai Jujuhan. Dalam perjalanan pulang diadakan pelayaran ke mudik sungai Tebo sampai Muara sungai Pelepat.

Hasil penyelidikan ini menunjukkan bahwa sungai-sungai itu tidak memungkinkan untuk dilayari lebih ke mudik lagi. Sikap penduduk di mana-mana kelihatan bersahabat, meskipun agak menjauh (16, p. 19).

Kemudian ternyata bahwa sikap penduduk yang dikatakannya tidak memusuhi pihak Belanda itu, disebabkan adanya perintah dari Sultan Thaha Syaifuddin untuk tidak mengganggu kapal-kapal penyelidik itu sampai ke teluk Kayu Putih (muara sungai Jujuhan).

Pada bulan Januari 1901 penyelidikan lapangan diteruskan sampai ke dekat muara sungai Tembesi dengan perlindungan patroli. Hasil penyelidikan ini menunjukkan bahwa bahan-bahan keterangan yang pernah dikumpulkan oleh komandan militer Palembang pada garis besarnya benar.

Penyelidikan lebih jauh ke arah mudik sampai sungai Tembesi menemukan sebuah lapangan yang dinilai strategis, yaitu suatu bukit yang rendah, lebih kurang 15 meter dari tepi sungai dan 500 meter dari muara sungai Tembesi. Meskipun hanya sebagian kecil dari tempat ini yang bebas banjir, namun dianggap strategis, karena hanya dari tempat itu pertemuan sungai-sungai dapat dikuasai.

Sementara itu oleh agen politik diterima berita tentang adanya penyelundupan 100 buah senapan lantak dan adanya senapan M. 95 yang dicuri dari Jambi. Setelah mendengar berita ini komandan militer yang teringat akan berita diselundupkannya 1500 buah senapan repetir tempo hari beranggapan bahwa persenjataan rakyat Jambi sangat baik, meskipun berita tentang persenjataan itu dan pemakaiannya tidak diterimanya. Berita yang masuk sampai tahun 1900 hanya menyatakan bahwa persenjataan rakyat Jambi sangat sedikit dan mutunya juga kurang baik, sebab senapan lantak yang dimiliki rakyat Jambi termasuk model lama.

Mengenai persenjataan rakyat Jambi ini komandan kapal "Ceram" pada bulan Pebruari tahun 1901 menerima keterangan bahwa hanya raja-raja dan kepala-kepala daerah yang mempunyai senapan beaumont dan senapan repetir dalam jumlah kecil, dan di beberapa dusun dijumapi senapan lila. Kecuali itu diketahuinya bahwa rakyat Jambi pandai mempergunakan kelewang dan tombak.

Dalam hubungan ini komandan kapal perang "Ceram" itu menyatakan sebagai berikut, "Memang saya mendapat kesan bahwa di tiap-tiap dusun disimpan banyak senapan, dan kelihatannya hanya kepala-kepala yang mempunyai senapan lantak belakang, orang-ornag kampung tidak ingin memiliki senjata jenis itu, karena memeliharanya tidak mudah. Peluru-peluru untuk senapan beamont dan yang sejenis itu dapat mereka buat sendiri. Mereka juga mempunyai meriam buatan sendiri dan lila yang dapat dilihat di sana-sini di halaman muka rumah kepala-kepala kampung. Di seluruh Jambi tidak nampak adanya tempat-tempat tertentu yang diperkuat (16, p. 20).

Demikianlah kesan komandan kapal perang "Ceram" yang ditugasi untuk melakukan penelitian, tentang persenjataan rakyat Jambi. Pada bulan Pebruari 1901 Konsul Jenderal Belanda di Singapura memberi tahu bahwa ada usaha untuk memasukkan 600 buah senjata dari Singapura ke Jambi dengan kapal. Konsul ini memberitahukan pula bahwa ia menerima desas-desus bahwa di dusun Pemahat, Muara sungai Merangin orang sedang sibuk membuat kubu-kubu pertahanan yang tiap hari memperkerjakan 300 orang atas perintah Puspo Ali yang ingin menghalang-halangi penyerbuan pasukan pemerintah Belanda melalui daerahnya. Sungai Tabir akan dipenuhi dengan batang-batang pohon sehingga tidak memungkinkan kapal api melewatinya. Untuk menghadapi pasukan pemerintah Belanda itu Puspo Ali memiliki 300 buah senjata lantak depan (16, p. 20).

Demikianlah antara lain hasil penelitian yang dilakukan Belanda sebelum mereka melakukan pendudukan atas daerah Muara Tembesi. Dalam melakukan penelitian tersebut mereka tidak mendapat perlawanan, karena Sultan Thaha Syaifuddin sendiri sedang mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan persiapan guna menghadapi segala kemungkinan.


B. PENDUDUK MUARA TEMBESI

Pada tanggal 6 Februari 1901 Residen Palembang dan Dr. Snouck Hugronje telah berada di Jambi untuk memimpin rapat pertemuan dengan kepala-kepala daerah yang telah direncanakan jauh-jauh sebelumnya. Pertemuan ini ternyata mengalami kegagalan, karena baik Sultan Thaha Sayifuddin, Pangeran Diponegoro, maupun kepala-kepala yang diundang, tidak satu pun yang bersedia datang.

Di sini nampak betapa besarnya pengaruh Sultan Thaha Syaifuddin. Kepala-kepala daerah yang menaruh dugaan fihak Belanda mempunyai sikap persahabatan dengan pemerintah, ternyata lebih tunduk kepada Sultan Thaha Syaifuddin.

Kegagalan pertemuan tersebut telah mengakibatkan Residen segera mengirimkan kawat ke Jakarta agar Gubemur Jenderal memerintahkan kepada pimpinan militer untuk segera melakukan pendudukan atas Muara Tembesi.

Sejak pertengahan Desember 1901 segera setelah Residen mengirimkan pendudukan MuaraTembesi, komandan militer Palembang dan pimpinan militer pusat memutuskan mengadakan persiapan segala sesuatu untuk memenuhi keinginan Residen itu. Komandan militer membuat rencana sampai terperinci, didasarkan kepada gagasan Residen itu yang kemudian diambil alih oleh pimpinan militer di Pusat tanpa perubahan-perubahan untuk segera dilaksanakan.

Usul-usul komandan militer itu pada garis besarnya adalah sebagai berikut:

  1. Pasukan pendudukan lebih kurang 200 orang, terdiri dari 4 orang perwira, 50 orang Eropa dan 150 orang pribumi sebagai bawahan yang akan diberangkatkan dari garnisun batalyon Palembang. Mereka ini terdiri pasukan-pasukan yang sudah biasa bertempur di lapangan yang berair dan telah dilatih khusus dalam mempergunakan perahu.
  2. Jangan ada pasukan di Palembang yang dipindahkan ke mana-mana, lebih baik dipergunakan untuk mengisi dan menambah pasukan di Muara Tembesi.
  3. Persediaan amunisi: 350 peluru tajam tiap senapan dan 100 peluru tajam tiap revolver.
  4. Keluarga dari pasukan yang ditempatkan di Muara Tembesi itu sedapat mungkin segera disusulkan.
  5. Persenjataan artileri terdiri dari 2 sampai 7 cm. K.A. dan sebuah mortir 12 cm. untuk melemparkan pelor penerang. Perlengkapan amunisi untuk satu seksi lengkap dengan peluru penerang disediakan secara cukup di Jambi.
  6. Personalia pasukan artileri dari 6 orang Eropa dan 5 orang pribumi di bawah komando seorang Letnan artileri.
  7. Harus didirikan zal kelas II untuk orang-orang sakit dengan tenaga seorang perwira kesehatan dan 5 orang bawahan. Selanjutnya dipekerjakan seorang mandor dan 24 orang hukuman.
  8. Pos militer di Muara Tembesi secara administratif berada di bawah garnisun Jambi, di mana akan ditempatkan seorang kepala kamp.
  9. Kapal kayu "Alnoer" disewa untuk mengangkat semua peralatan yang dibutuhkan, untuk memperlengkapi pengangkutan perwira-perwira pasukan dan orang-orang hukuman dari Palembang guna mendirikan pangkalan di Muara Tembesi.
  1. Selama membangun pangkalan di Muara Tembesi Kapa! "Alnoer" dipergunakan untuk mengangkut pasukan di Muara Tembesi.
  2. Sewa kapal "Alnoer" 1.000 gulden setahun. Orang-orang hukuman sebagai pekerja paksa diberi makan seperti serdadu pribumi.
  3. Perwira-perwira dan pasukan-pasukannya ditempatkan di bangunan-bangunan yang dibuat dari bambu dan berhubung dengan hawa Jambi yang panas, atapnya dibuat dari daun rumbia, bukan seng.
  4. Pembelian peralatan untuk pasukan pendudukan dilaksanakan di bawah pengawasan seorang opseter dan 8 orang bawahan dari bagian zeni.
  5. Selanjutnya diperlukan untuk membeli jukung dan perahu besar dan menengah guna pengangkutan pasukan dari satu tempat ke tempat lain.
  6. Komando atas pos-pos militer di Muara Tembesi diserahkan kepada Kapten Infateri P.A.H. Holten yang telah banyak berpengalaman dalam peperangan (16, p. 21 dan 22).

Demikianlah pokok-pokok rencana Komandan Militer Palembang yang telah disetujui oleh pimpinan militer di pusat untuk segera dilaksanakan. Meskipun demikian, karena pengangkutan tenaga dan bahan-bahan yang diperlukan untuk pembangunan kampemen atau asrama tentara dan penyiapan kapal serta perlengkapannya memerlukan waktu, maka pasukan pendudukan baru bisa diberangkatkan dari Palembang tanggal 2 Maret 1901.

Pasukan pendudukan tiba di Muara Tembesi tanpa mengalami kejadian apa-apa. Penduduk MuaraTembesi memperhatikan dari jauh dengan tenang. Keadaan kesehatan pasukan tetap baik dan semuanya berjalan ancar.

Kapten Staf Umum Kisjes dalam waktu singkat berhasil menemukan jalan baru ke mudik Balian yang bersambung dengan jalan Jambi – Muara Tembesi yang sedang dikerjakan. Penemuan jalan baru ini memungkinkan dibuatnya hubungan darat antara Jambi dengan Palembang, meskipun biaya untuk keperluan itu sangat mahal, karena harus melalui hutan-hutan.

Setelah daerah Muara Tembesi dapat diduduki dengan tenang, maka residen menggariskan tindakan-tindakan kelanjutannya sebagai berikut:

  1. Tugas pemerintah yang pertama-tama ialah memanfaatkan keadaan politik yang baik di daerah Hilir untuk memperluas pengaruh pemerintah di kerajaan Jambi. Hasilnya sangat tergantung kepada kebijaksanaan ambtenar-ambtenar pemerintah di tempat itu yang harus benar-benar mengetahui keadaan yang berlaku di tempat tugasnya. Mereka ini harus sabar, rajin, tekun dan bisa berusaha mengadakan perbaikan-perbaikan yang diharapkan rakyat.
  2. Perlu diingat bahwa hampir seluruh daerah aliran sungai bagian hilir merupakan apanage Pangeran Wirakusuma dan Pangeran Aria Kusuma dan hanya sebagian kecil yang dimiliki kepala-kepala yang lain, termasuk Raden Anom yang sangat gigih menentang pemerintah Belanda.
  3. Kalau ada kesempatan residen akan memerintahkan menangkap Raden Amon itu.
  4. Kalau di daerah hilir tidak diperlukan gerakan militer untuk mematahkan perlawanan rakyat, maka menurut pendapat residen pos-pos di Jambi dan Muara Tembesi perlu sering mengadakan patroli hingga penduduk dan kepala-kepalanya lambat laun akan terbiasa dengan gerakan-gerakan pasukan.
  5. Patroli-patroli semacam itu sedapat mungkin mengikut sertakan orang-orang pamong praja untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk mengetahui keadaan daerah dan apa yang sedang terjadi di resortnya. Hal ini sangat bermanfaat guna memperluas pengetahuan pemerintah tentang daerah itu.
  6. Pada tiap gerakan patroli harus dihindarkan semua yang dapat menyinggung rasa keadilan penduduk dan kepalanya, dan dalam keadaan bagaimana juga tidak dibenarkan merusak harta benda rakyat.
  7. Bagaimana cara mengadakan kontak dengan kepala-kepala dan penduduk daerah pedalaman Muara Tembesi masih harus dicari, dan dari hasil kontaak-kontak itu dapat ditentukan perlu tidaknya dilakukan patroli.
  1. Campur tangan pemerintah di daerah huluan akan dimulai dengan pemanggilan kepala-kepala yang menjalankan pemerintahan untuk berkumpul di Muara Tembesi. Di Muara Tembesi mereka harus menghadap residen dan merundingkan dengan residen segala hal yang menyangkut daerahnya masing-masing.
  2. Residen mengingatkan bahwa di antara kepala-kepala itu, Pangeran Ratu lah yang terkemuka. Hal ini tidak hanya disebabkan kedudukannya dalam masyarakat pribumi, tetapi juga disebabkan karena pengakuan dan penetapan pemerintah Belanda kepadanya.
  3. Selama Pangeran Ratu sebagai penguasa di daerah huluan menunjukkan kesediaan melaksanakan instruksi pemerintah Belanda, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak perlu diadakan pengaturan tentang kedudukannya oleh pemerintah. Kepadanya harus diberikan waktu yang cukup untuk datang menghadap residen guna menunjukkan keinginannya patuh kepada residen. Kalau ia membiarkan waktu yang ditetapkan itu berlalu, maka ia harus dipecat.
  4. Kalau Pangeran Ratu memenuhi undangan residen menyatakan patuh kepadanya, maka ia harus dipaksa untuk menghentikan pungutan-pungutan yang dilakukan atas pengangkutan barang-barang yang lewat di Sungai Batanghari dan Sungai Tembesi. Untuk ini di sungai Aro dan Muara Tembesi perlu didirikan kantor pajak.
  5. Selain itu kepada Pangeran Ratu juga harus dilarang menarik keuntungan dari monopoli garam di Sungai Batanghari. Larangan semacam itu juga harus ditujukan kepada Pangeran Diponegoro.
  6. Semua kendaraan air yang melalui pos militer di Muara Tembesi harus melapor untuk pemeriksaan orang dan muatannya. Pada malam hari mereka diharuskan memasang lampu dan singgah di pos tersebut, kalau perlu dengan cara kekerasan (16, p. 23 dan 24).

Demikianlah garis-garis besar gagasan Residen Palembang mengenai tindakan apa yang perlu diperhatikan sesudah Belanda berhasil melakukan pendudukan atas daerah Muara Tembesi.

Pada mulanya fihak Belanda menganggap bahwa pengaruh didirikannya pos-pos militer itu baik, kontak-kontak dengan kepala-kepala dan penduduk makin luas. Belanda menduga bahwa Sultan Thaha Syaifuddin dan Pangeran Diponegoro sengaja menghindarkan bentrokan dengan pasukan Belanda. Sultan Thaha Syaifuddin dan Diponegero meninggalkan tempatnya di tepi sungai Batanghari menuju ke Tahir Tengah, tetapi semua kepala dan keluarga dekatnya tetap tinggal di tempat.

Karena situasi keamanan pada waktu itu dianggap baik, maka pada bulan Mei 1901 Residen dan Dr. Snouck Hurgroje mengadakan perjalanan tanpa pengawalan dan tanpa disertai seorang pun kepala (tokoh mayarakat) yang berpengaruh. Residen dan Dr. Snouck Hurgronje berlayar sampai di Muara Sungai Tebo. Di tempat ini residen memanggil kepala-kepala yang diperlukan untuk berunding. Sesudah itu rombongan residen melanjutkan pelayarannya tanpa mendapat gangguan dari pasukan Sultan Thaha. Sungai Tembesi mereka layari sampai di Padang Panjang. Baru di tempat ini residen mendapat informasi bahwa penduduk akan menghalang-halangi apabila perjalanan residen diteruskan. Akibatnya rombongan residen tidak meneruskan pelayarannya, tetapi residen memerintahkan untuk segera menyelidiki keadaan di sana.

Kesimpulan dari penyelidikan itu menyebutkan bahwa Sultan Thaha Sayifuddin yang sesungguhnya memerintah di daerah huluan dan hanya Pangeran Diponegoro yang dikatakannya berani menyatakan pendirian atau pendapatnya kepada Sultan Thaha. Pengaruh Sultan Thaha di Muara Tembesi dinyatakannya hanya sampai di Ladang Panjang. Lebih mudik dari Ladang Panjang meskipun kepala-kepala mengakui kekuasaan Jambi, tetapi sikap mereka lebih bebas. Juga Pangeran Tumenggung dari Merangin, Ptspo Ali bersikap demikian, meskipun sikapnya terhadap pemerintah Belanda tidak mereka ketahui.

Besarnya pengaruh Sultan Thaha Syaifuddin nampak pada sikap kepala-kepala terhadap para ambtenar pemerintah. Kepala rakyat itu apabila dipanggil ambtenar Belanda datang, tetapi mereka tidak bersikap terbuka, tidak dapat memberikan kata putus, tidak banyak bicara, dan apa saja yang ditanyakan kepada mereka sukar sekali mendapat jawaban, karena mereka seolah-olah akan menanyakan terlebih dahulu bagaimana perintah atasannya, yaitu Sultan Thaha Sayifuddin (16, p. 24).

Sikap kepala-kepala atau pemimpin rakyat seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa mereka sangat teguh memegang setih setia yang diucapkannya di hadapan Sultan Thaha Sayifuddin seperti yang telah diuraikan dalam bab terdahulu yang antara lain menyebutkan bahwa bila keadaan memaksa untuk menyerah kepada Belanda, berpura-puralah menyerah, namun bila ada kesempatan harus melawan lagi.

Besarnya pengaruh Sultan Thaha Syaifuddin terhadap rakyat dan pemimpin-pemimpinnya, termasuk terhadap Pangeran Ratu, menyebabkan residen ingin segera bertindak tegas. Pangeran Ratu dipanggil untuk menghadap kepadanya, kemudian dibebastugaskan dari kedudukannya sebagai Pangeran Ratu. Selanjutnya residen menganggap bahwa saatnya sudah tiba untuk melakukan patroli ke daerah pedalaman guna memaksa Sultan Thaha Syaifuddin menyerah. Muara Tabir harus ditutup dan harus diusahakan untuk menangkap Sultan Thaha Syaifuddin dan Diponegoro atau mengusir mereka dari daerah Tabir.

Untuk memenuhi keinginan tersebut residen memerlukan kapal "Tamiang". Kapal ini juga akan dipergunakan sebagai pangkalan operasi patroli-patroli militer. Tugas-tugas lainnya menurut residen dapat dipikulkan kepada pasukan pendudukan Muara Tembesi dan Jambi, kalau perlu dapat ditambah satu detasemen lagi dari Palembang (16, p. 25).

Rencana residen seperti tersebut di atas ternyata tidak dapat segera dilaksanakan karena komandan militer terikat oleh instruksi pimpinan militer di pusat yaitu pasal 7 dan 12 yang berlaku untuk komandan-komandan militer di luar Jawa.

Pasal 7 dari instruksi tersebut antara lain melarang komandan militer memberikan tugas-tugas baru kepada pos-pos militer di luar tugas yang telah ditentukan, yaitu memertahankan pos yang telah dipercayakan kepada mereka. Sedangkan pasal 12 dari instruksi tersebut menyatakan bahwa dalam keadaan tenang, atau keadaan tidak mendesak, para komandan tidak diperkenankan mengadakan pemindahan kedudukan militer atau mengadakan gerakan militer, tanpa persetujuan khusus dari Departemen Peperangan (16, p. 25).

Untuk menebus kesulitan ini residen mengajukan permohonan langsung kepada pimpinan militer pusat di Batavia agar, kepada komandan militer Jambi diberikan keleluasaan untuk mempergunakan pasukan yang berada di bawah komandannya. Pasukan pendudukan daerah MuaraTembesi pada mulanya memang tidak mendapat perlawanan, tetapi hal ini tidak berarti bahwa rakyat yang tetap setia terhadap perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin tinggal diam. Mereka sedang menunggu kesempatan untuk mengadakan tindakan-tindakan yang akan merugikan fihak Belanda.

Di bawah ini disebutkan beberapa kejadian hasil pencatatan fihak Belanda sendiri:

  1. Pada pertengahan bulan April 1901 terjadi perampasan atas pengiriman uang sebesar 5000 gulden, milik maskapai minyak di Buyung Lincir (16, p. 27).
  2. Pada tanggal 30 Mei 190l pasukan rakyat yang berkekuatan 100 orang dengan 60 pucuk senapan menyerang tempat kedudukan kontrolur Surolangun yang telah diperkuat (16, p. 290).
  3. Kejadian-kejadian pada bulan Juni 1901.
  1. Pada tanggal 6 Juni kontrolur memberi tahu bahwa Sultan Thaha Syaifuddin mengirirnkan pasukannya yang berjumlah 500 orang dari daerah tepi sungai Batanghari untuk menyerbu bivak atau pos militer Belanda.
  2. Tanggal 11 Juni lampu-lampu yang dipasang Belanda di seberang sungai Tembesi dilenyapkan.
  3. Tanggal 12 Juni diterima kabar bahwa bulan Juni itu 1000 orang pasukan akan menyerang kampemen atau tangsi militer Belanda.
  4. Tanggal 16 Juni kontrolur menerima kabar bahwa 300 pasukan telah mendarat tidak jauh dari dusun Panjaringan dengan niat menyerang kampemen, tetapi dengan serta merta mereka kembali pulang.
  5. Tanggal 23 Juni seorang penembak Eropa yang tertidur di tempat kurang lebih 25 langkah di luar pos militer Belanda telah mati terbunuh dengan pisau.
  6. Tanggal 24 Juni rumah dari kayu yang dipergunakan polisi untuk mengawasi lalu-lintas telah dibakar. Dari pos militer yang ditugaskan mengawasi pekerja jalan telah dicuri dua pucuk senapan M.95 dengan 100 butir pelurunya.
  1. Tanggal 27 Juni pasukan patroli Belanda ke Rantau Kapas Tua telah ditembaki dengan beberapa letusan. Beberapa orang penduduk yang ditangkap Belanda mengabarkan bahwa Pangeran Haji Umar, menantu Puspo Ali beberapa hari lagi dengan kekuatan 500 orang akan menyerang pos Belanda.
  2. Tanggal 30 Juni Pangeran Ario yang pro Belanda memberitahukan bahwa ada 1500 pasukan dengan 1200 senapan berangkat dari Sorolangun dan berkumpul di Ampalu, pada hari Kamis yang akan datang akan menyerang pos militer Belanda (16, p.31, 32).

Demikianlah antara lain kejadian-kejadian sesudah dilakukannya pendudukan atas daerah Muara Tembesi sampai dengan bulan Juni 1901 menurut catatan fihak Belanda.

Dari kejadian-kejadian itu tampaklah bahwa rakyat Jambi di bawah pimpinan Sultan Thaha Syaifuddin tetap berjuang untuk mempertahankan tanah airnya dari penjajahan Belanda.