Seri Pahlawan: Abdul Moeis/Bab 8

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

KEHIDUPAN BERKELUARGA

Anda sudah mengetahui perjuangan Abdul Moeis. Sudah Anda ketahui pula kemampuannya sebagai politikus dan sebagai pengarang. Anda pun sudah mengetahui penderitaan yang dihadapinya. Sebenarnya apa yang Anda ketahui itu belum lengkap. Hendaknya Anda sadari bahwa tidak mungkin kita mengetahui riwayat hidup seseorang selengkap-lengkapnya. Karena itu yang saya ceritakan pada Anda ini hanya bagian yang penting-penting saja.

Masih ada satu hal yang belum saya ceritakan pada Anda. Yang saya maksud ialah kisah kehidupannya dalam berkeluarga. Nah, sekarang marilah Anda ikuti uraian di bawah ini.

Dari buku Salah Asuhan Anda sudah mengetahui bahwa Abdul Moeis pernah mencintai seorang gadis Belanda. Gadis itu pun cinta kepada Abdul Moeis. Tetapi dalam soal jodoh, Tuhanlah yang menentukan. Percintaan mereka putus karena perbedaan adat-istiadat.

Akhirnya Abdul Moeis kawin dengan gadis pilihan orang tuanya. Gadis itu adalah gadis Minangkabau. Mereka hidup rukun dan damai. Tetapi malang bagi Abdul Moeis. Perkawinan itu tidak berlangsung lama. Isterinya meninggal dunia karena sesuatu penyakit.

Lama juga sesudah itu Abdul Moeis hidup sebagai duda. Kemudian ia menikah dengan seorang gadis pilihan hatinya. Gadis itu adalah gadis Priangan. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai dua orang anak. Tetapi perkawinan mereka kurang berbahagia. Tak lama kemudian isterinya minta cerai. Ia tidak tahan hidup dengan seorang politikus yang selalu sibuk dengan urusan politik.

Sesudah itu ia menikah dengan gadis lain. Gadis itu juga gadis Priangan. Tetapi ternyata isterinya itu tidak pula sanggup mengikuti cara hidup Abdul Moeis. Waktunya banyak habis karena urusan politik. Mereka pun bercerai.

Perkawinan yang gagal itu sangat mengecewakan Abdul Moeis. Ia ingin membina keluarga yang bahagia. la ingin beristerikan seorang wanita yang dapat mengerti dan mengikuti cara hidupnya. Hendaknya isteri itu mendorongnya dalam perjuangannya.

Kemudian ia berkenalan dengan seorang gadis yang juga berasal dari Priangan. Gadis itu bernama Sunarsih. Hubungan keduanya bertambah lama bertambah akrab, Ternyata Sunarsih seorang gadis yang berpikiran maju. Ia aktif menyokong perjuangan bangsanya. Waktu itu Sunarsih bekerja sebagai seorang wartawati pada Pers Agentschap Hindia Timur di Bandung.

Keduanya menikah dalam tahun 1925. Abdul Moeis betul-betul telah menemukan seorang isteri yang diidam-idamkannya. Sunarsih banyak memberikan dorongan semangat dalam perjuangan Abdul Moeis. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai 11 orang anak.

Hanya setahun mereka dapat hidup dengan agak bahagia. Dalam tahun 1926 Abdul Moeis dijatuhi hukuman buang oleh Pemerintah Belanda. Tetapi isterinya tidak mengeluh. Dengan sabar dan hati yang tabah didampinginya suaminya dalam pengasingan di daerah Garut. Mereka hidup sederhana. Banyak penderitaan yang mereka alami, namun mereka tetap merasa bahagia.

Abdul Moeis mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang baik-baik. Anak-anak itu tumbuh menjadi dewasa. Mereka hidup dengan bebas, tetapi tidak menyeleweng dari ketentuan yang diberikan oleh orang tua mereka. Abdul Moeis selalu menekankan agar anak-anaknya tidak terpengaruh oleh uang atau materi. ”Setiap kali engkau berkelebihan dalam uang, bantulah orang yang kekurangan. Bagilah kebahagiaanmu dengan orang lain. Kalau engkau menolong orang lain, maka orang itu akan merasa bahagia. Engkau sendiri juga akan bahagia karenanya, sebab engkau telah menolong orang yang kesusahan. Sifat tolong menolong adalah sifat yang terpuji. Tuhan sayang kepada orang yang suka menolong,” demikian nasehat Abdul Moeis kepada anak-anaknya.

Ia juga mendidik anak-anaknya agar mencintai tanah air dan bangsa. Anak-anaknya disuruhnya banyak bergaul. ”Dengan cara itu engkau akan dapat mengenal masyarakat. Engkau akan dapat mengetahui suka duka kehidupan mereka. Bersikaplah selalu rendah hati. Jangan sombong dengan apa yang kau miliki. Jangan sombong karena kepintaranmu. Tuhan marah kepada orang yang sombong,” katanya menasehati anak-anaknya.

Anak-anaknya dianjurkan pula supaya belajar bahasa asing. Bahasa itu penting untuk pergaulan dan untuk menambah ilmu pengetahuan. ”Banyak yang akan engkau ketahui kalau engkau pandai berbahasa asing. Pikiranmu terbuka untuk mencapai kemajuan. Janganlah menjadi orang yang berpandangan picik, seperti katak di bawah tempurung.”

Dalam soal berpakaian, Abdul Moeis tidak mengngekang kemauan anak-anaknya. Mereka bebas memakai pakaian yang mereka sukai. Karena itu anak-anaknya selalu mengikuti mode. Tetapi ia menasehatkan, ”Pandanglah dulu dirimu dan bertanyalah apakah hal itu cocok dengan pribadimu.”

Perhatian Abdul Moeis terhadap pemuda sangat besar. Ia menyadari bahwa nasib bangsa terletak di tangan pemuda. Mereka harus mendapat kesempatan belajar dengan sebaik-baiknya. Abdul Moeis sangat kasihan dan risau terhadap anak-anak yang tidak dapat meneruskan sekolah mereka. Karena itu dalam tahun 1946 di Garut didirikannya sebuah sekolah yang diberi nama ”Tulun”. Dalam sekolah itu ditampungnya anak-anak yang tidak dapat bersekolah di tempat lain, atau karena orang tua mereka tidak sanggup membiayainya.

Di kalangan teman-temannya, Abdul Moeis dikenal sebagai seorang yang selalu berpakaian rapi dan necis. Dalam bergaul ia sangat mernperhatikan sopan santun. Cara-cara bergaul yang baik dipraktekkannya dengan sungguh-sungguh. Kalau ia berjanji dengan seseorang, maka janji itu harus ditepatinya. Ia tidak mau mengecewakan orang lain.