Seri Pahlawan: Abdul Moeis/Bab 5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

HIDUP SEBAGAI ORANG BUANGAN

Sebagai seorang pernimpin rakyat, Abdul Moeis sering berkunjung ke daerah-daerah. Ia berkunjung ke Bone, ke Toli-toli, ke Sumatra Barat dan tempat-tempat lain di pulau Jawa. Di tempat-tempat itu ia berpidato. Ia membakar semangat rakyat agar berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Dikatakannya pula, bahwa kemerdekaan pasti tercapai.

Pemuda-pemudi diajaknya supaya berjuang dengan gigih untuk membebaskan bangsa dan tanah air dari penjajahan. Diceritakannya bagaimana majunya negara-negara Barat. Sebagai bukti, diperlihatkannya foto-foto yang dibawanya dari luar negeri. Ia berkata, ”Jika orang lain bisa, saya juga bisa. Mengapa pemuda-pemuda tidak bisa kalau memang mau berjuang?”

Kunjungan ke daerah-daerah itu banyak bahayanya bagi dirinya. Tidak lama sesudah Abdul Moeis mengunjungi Toli-toli, terjadi huru-hara di situ. Seorang pembesar Belanda dibunuh oleh rakyat, sebab pembesar itu bertindak terlalu kejam. Pembesar itu bernama De Kat Angelino. Pemerintah menuduh Abdul Moeis yang menghasut rakyat untuk membunuh pembesar tersebut. Ia menolak tuduhan terhadap dirinya. Selain itu ia juga membela tindakan rakyat Toii-toli. Dikatakannya, bahwa rakyat itu tidak bersalah. Yang salah adalah Pemerintah Belanda.

Penduduk Sumatra Barat sangat menderita akibat pajak yang terlalu tinggi. Penderitaan itu menggugah hati Abdul Moeis untuk membela kepentingan rakyat di sana. ia diusir dari Sumatra Barat. Ia tidak boleh berkunjung lagi ke daerah tersebut, daerah tempat ia dilahirkan.

Meskipun banyak cobaan yang dideritanya, namun ia tidak mau menghentikan kegiatannya. Ia sudah berjanji akan memperjuangkan kepentingan bangsanya. Janji itu akan ditepatinya.

Pekerjaannya bertambah lagi, sebab dalam tahun 1922 ia diangkat menjadi Ketua Pengurus Besar Buruh Pegadaian. Waktu itu kaum buruh Indonesia hidup menderita. Gaji mereka kecil. Karena itu mereka hidup selalu dalam kekurangan. Mereka dipaksa bekerja keras dan sering dihina, disamakan dengan binatang.

Dalam bulan Januari 1922, kaum buruh pegadaian Yogyakarta melancarkan pemogokan. Yang menjadi sebab pemogokan itu ialah, seorang pegawai Belanda menghina seorang pegawai Indonesia. Pangkat pegawai Belanda itu lebih rendah dari pangkat pegawai Indonesia. Pemogokan itu dipimpin oleh Abdul Moeis. Mula-mula hanya buruh di Yogyakarta saja yang mogok, tetapi kemudian menjalar ke tempat-tempat lain.

Akibat pemogokan itu, tiga ribu orang buruh dipecat. Abdul Moeis dan beberapa orang kawannya ditangkap dan kemudian diadili. Untuk menolong keluarga buruh yang dipecat itu, Suryopranoto, yang juga seorang pemimpin buruh, meembentuk sebuah panitia yang disebut Komite Hidup Merdeka.

Kegiatan Abdul Moeis dianggap Pemerintah Belanda sudah sangat berbahaya. Karena itu ia semakin diawasi, Gerak-geriknya dibatasi. Sudah disebutkan di atas, bahwa ia dilarang berkunjung ke Sumatra Barat. Kemudian, ia dilarang pula meninggalkan pulau Jawa. Abdul Moeis terkenal pandai berpidato membakar semangat rakyat. Pemerintah Belanda

Buruh-buruh mogok karena sangat menderita.
Buruh-buruh mogok karena sangat menderita.

Buruh-buruh mogok karena mereka sangat menderita.

takut kalau-kalau ia menghasut rakyat agar memberontak.

Dalam tahun 1926 ia dijatuhi hukuman oleh Pemerintah Belanda. Ia dilarang melakukan kegiatan politik. Sesudah itu dijatuhi pula hukuman buang. Tetapi ia boleh memilih daerah yang disukainya untuk tempat tinggal.

Abdul Moeis memilih daerah Garut sebagai tempat tinggalnya. Maka hiduplah ia bersama isteri

Sebagai politikus Abdul Moeis tidak canggung bekerja sebagai petani.

dan anak-anaknya di desa Cicangtu, Wanaraja. Hatinya yang luka akibat pengasingan itu terobat sedikit. Alam daerah itu hampir sama dengan alam daerah kelahirannya. Penduduk Garut ramah tamah. Lagipula di situ banyak pengikut Sarekat Islam.

Ia menyesuaikan cara hidupnya dengan cara hidup orang desa. Ia bertani. Dengan tidak canggung-canggung, ia menggarap tanah yang diberikan kepadanya. Ia sudah mempelajari cara-cara bertani secara modern. Cara itu dipraktekkannya di desa Cicangtu.

Penduduk Cicangtu diajarnya pula mengerjakan tanah secara modem, agar hasilnya banyak. Dipeliharanya ayam dan sapi. Politikus itu telah mengganti pidato-pidato politik dengan percakapan dengan penduduk desa tentang masalah pertanian. Sebagai jurnalis, ia telah mengganti penanya dengan cangkul. Tetapi ia tetap merasa bahagia, walaupun penghasilan yang diterimanya tidak cukup untuk membiayai keluarganya.

Kegiatan politik jelas tidak dapat lagi dilakukannya. Dengan hati yang sungguh-sungguh, ia berusaha hidup sebagai orang desa, sebagai petani. Tetapi polisi rahasia Belanda selalu memata-matainya. Gerak-geriknya tetap diawasi. Belanda takut kalau-kalau Abdul Moeis lari dari Garut. Perlakukan itu menimbulkan rasa marahnya.

Pada suatu hari ia datang menemui Kepala Polisi Garut. Dengan marah ia berkata kepada Kepala Polisi itu, ”janganlah anda membangunkan anjing yang sedang tidur. Sekali saya berjanji tidak akan meninggalkan Garut, janji itu akan tetap saya pegang teguh,” Kepala Polisi itu menjawab, ”Saya hanya menjalankan perintah atasan.” Pengawasan terhadap diri Abdul Moeis tetap dijalankan, walaupun tidak seketat dulu.

Sekalipun ia sudah berusaha hidup sebagai Petani, namun semangatnya belum padam. Sering ia teringat kepada kegiatan-kegiatan yang telah dilakukannya. Ia masih ingin menyumbangkan tenaganya untuk perjuangan bangsanya. Karena itu ia bekerja sebagai pemimpin surat kabar Mimbar Rakyat yang terbit di Garut. Melalui surat kabar itu dilampiaskannya rasa marahnya kepada Pemerintah Belanda. Karangan-karangannya sangat tajam mengeritik Pemerintah. Akibatnya Mimbar Rakyat tidak diizinkan terbit.

Pada suatu hari, seorang kenalan Abdul Moeis datang ke Garut. Ia adalah seorang orang Belanda yang bekerja di Jakarta. Temannya ini merasa kasihan melihat nasibnya. Ia mengusulkan supaya Abdul Moeis meminta ampun kepada Pemerintah Belanda. Usul itu ditolak dengan tegas. ”Kalau saya minta ampun, berarti saya berkhianat kepada bangsa saya,” katanya.

Bagi seorang politikus, hidup dalam pengasingan merupakan siksaan yang berat. Begitu juga halnya dengan Abdul Moeis. Dari Garut ia masih dapat mendengar apa-apa yang sedang terjadi di tanah airnya. Ia mengetahui bahwa perjuangan bangsanya untuk memperoleh kemerdekaan, semakin ditekan oleh Pemerintah Belanda. Banyak pemimpin yang ditangkap dan dibuang. Hati Abdul Moes pedih mendengar kejadian itu. Tetapi ia tak dapat lagi berbuat apa-apa untuk membantu perjuangan. Kemana saja ia pergi, tentu ada mata-mata Belanda yang mengikutinya.

Sebelas tahun sudah berlalu. Sudah sebelas tahun lamanya ia hidup sebagai orang buangan. Umurnya sudah semakin tua, sudah lebih dari lima puluh tahun. Pada waktu itu, yakni dalam tahun 1937, kepadanya ditawarkan pekerjaan sebagai pegawai kontrolir atau pengawas untuk daerah Garut. Ia ragu-ragu. Akan bekerjakah ia dengan Pemerintah Belanda? Makan gaji? Dan dengan cara demikian berarti membantu Pemerintah Belanda memeras bangsanya?

Moeis teringat kepada perjuangannya pada masa yang lalu. Ia berjuang untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan. Kalau pekerjaan itu diterimanya, rasanya ia mengkhianati perjuangannya yang lalu. Ia akan mengkhianati pula teman-temannya yang sedang berjuang.

Tetapi ia mempunyai pertimbangan yang lain. Umurnya sudah semakin tua. Teman-temannya, yang kasihan melihat nasibnya, memberi nasehat, supaya ia menerima tawaran itu. Akhirnya Abdul Moeis mengalah.

Pekerjaan sebagai kontrolir itu diterimanya. Tetapi sebenarnya ia tidak melepaskan pendiriannya. Ia ingin memperlihatkan, bahwa sebagai orang Indonesia ia dapat juga bertindak keras terhadap orang-orang Belanda.

Pada waktu itu di Garut banyak orang Belanda yang tidak mematuhi peraturan Pemerintah. Mereka tidak mau membayar pajak. Sewa listrik, air leiding, dan sebagainya sering tidak mereka bayar. Orang-orang seperti itulah yang menjadi sasaran Abdul Moeis, Ia bertindak tegas. Orang-orang itu dipaksanya supaya memenuhi kewajiban.

Akibatnya, Abdul Moeis dimusuh oleh dua pihak. Orang-orang Indonesia lawan politiknya, menuduh ia sudah berkhianat. Ia dituduh sudah menjilat kepada Pemerintah Belanda. Atasannya mencari alasan bahwa ia tidak sanggup menjalankan tugasnya. Semuanya itu diterimanya dengan dada lapang. Ia tidak marah kepada orang-orang Indonesia yang mengeritiknya. Begitu pula kepada atasannya, sebab ia tahu bahwa ia bekerja dengan baik.

Pada awal tahun 1939 Pemerintah Belanda mencabut hukuman Abdul Moeis. Ia dibebaskan. Keputusan itu diterimanya dengan senyum kemenangan. Ia bersyukur kepada Tuhan. Ia gembira sebab pada akhirnya perjuangannya berhasil juga.