Politik/Bab2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

A. Bentuk Negara[sunting]

MR. APAL : Sebenarnya selama ini sudah kita bicarakan bentuk Negara itu, pada permulaan. Sendirinya kita sampai kepada kedaulatan. Memang bentuk Negara itu banyak berhubungan dengan kedaulatan. Sebelum kita selidiki perkara Kedaulatan lebih baik kita tegaskan dahulu perkara “Bentuk Negara”.

SI TOKE : Saya sering dengar Negara bentuk Kerajaan dan Negara berbentuk Republik. Dalam perundingan kita tadi sudah saya rasa perbedaan kedua bentuk itu, tetapi perbedaan yang pasti memang saya minta tegaskan kepada Mr. Apal.

MR. APAL : Dalam suatu kerajaan tulen, Raja itulah yang mempunyai kemauan tertinggi. Raja itulah yang memberi putusan terakhir. Rajalah yang berdaulat. Tidakkah sering kita baca atau dengar dalam komedi setambul: “Daulat Tuanku?”

SI PACUL : Memang. “Daulat Tuanku” sering pula ditambahtambah dengan “digantung tinggi dan dibuang jauh” kalau tuanku menghendaki!

SI TOKE : Tetapi di mana raja Indonesia itu terbatas kekuasaannya oleh rakyat seperti di Sumatera, maka kita dengar pula: “Raja adil Raja disembah, Raja zalim Raja disanggah.” Jadi Raja –terutama di Minangkabau—amat terbatas sekali kekuasaannya.

MR. APAL : Memang kerajaan itu mempunyai beberapa jenis pula. Satu jenis bernama kerajaan tunggal: absolute monarchie. Dalam kerajaan tunggal itu kemauan raja itu tak ada batasnya. Andaikata pagi ini raja itu marah atau cemburu pada seorang gundiknya, maka hari itu juga menterinya dilepas dari pekerjaannya, karena “whim” (buah hati) saja. Atau karena girang gembira mendapatkan selir yang cantik molek, maka Fulan yang tak tahu apa-apa tentang urusan Negara diangkat jadi Menteri, sebab ia sekarang menjadi iparnya Raja. Kerajaan Tunggal itu mudah sekali bertukar menjadi “Kerajaan sewenang-wenang”.

SI PACUL : Balasannya tak lain pemberontakan buat mencari Raja Adil Bijaksana.

SI TOKE : Berapa lama Negara itu beruntung mempunyai seorang Ratu Adil? Seandainya sesudah naik tahta seumur Ratu Adil. Hidup dia terus adil bijaksana, tetapi bagaimana kalau turunannya seorang bangsat atau bodoh?

MR. APAL : Ada pula jenis kerajaan di mana kekuasaan Raja itu amat dibatasi oleh undang-undang. Undang-undang itu dibikin oleh rakyat. Undang-undang itu tak boleh diubahubah oleh siapapun. Jadi Sang Raja berlaku dikendali oleh undang-undang dasar. Keadaan begitu kita dapati di Inggris sekarang dan dahulu kala di Minangkabau. Kerajaan semacam itu dinamai Constitutional Monarchy (Kerajaan terbatas).

SI TOKE : Jadi yang sebenarnya berkuasa pada kerajaan terbatas itu ialah undang-undang dasar. Raja itu cuma satu lambang persatuan saja. Tetapi lambang itu amat mahal. Bukankah rakyat mesti memikul semua ongkos raja dan keluarganya yang sebenarnya kelas nganggur? Apakah tak lebih murah harganya dan tepat-jitu sifatnya kalau undang-undang dasar saja yang memerintah, mengendali Negara?

MR. APAL : Bentuk semacam inilah yang kita sebut sekarang “REPUBLIK”. Dalan suatu republik Raja dan keluarganya itu tak ada sama sekali. Dalam suatu republik Negara itu diperintah menurut undang-undang. Perintah itu terletak di tangan Presiden dan para Menterinya, beserta Sidang Pusat dan Daerah, dan sebagian juga di Mahkamah Tertinggi.

SI TOKE : Saya minta sedikit penjelasan tentang kalimat terakhir ini.

MR. APAL : Seorang ahli filsafat Perancis bernama Montesquieu membagi kerja (function) pemerintahan itu atas tiga bagian : 1. Kekuasaan membikin undang-undang (Legislative Power). 2. Kekuasaan menjalankan undang-undang (Executive Power). 3. Kekuasaan mengawasi undang-undang (Judicial Power). Kekuasaan membikin undang-undang itu ditaruh di tangan sidang perwakilan. Kekuasaan menjalankan undang- undang itu ditaruh di tangan Sidang Para Menteri. Akhirnya pengawasan terhadap Negara membikin dan menjalankan undang-undang itu ditaruh pada Mahkamah Agung.

SI PACUL : Jadi membikin, menjalankan, dan mengawasi undang- undang itu tidak terletak pada satu orang seperti pada raja. Juga tidak pada satu badan melainkan pada tiga badan.

MR. APAL : Memang begitu! Dalam undang-undang dasar Amerika ditegaskan pula, maksudnya tiga pembagian itu ialah buat mengadakan setimbangan (check and balance) dalam pemerintahan Negara. Tiap-tiap bagian itu ditentukan pula kekuasaannya dengan undang-undang dan batas kekuasaannya.

SI TOKE : Apakah tiap-tiap bagian tak akan terlampau merdeka sendiri-sendiri dan menimbulkan kekacauan pula???

MR. APAL : Memang kemungkinan itu ada. Tetapi semua bagian itu dipersatukan dan dikuasai oleh kelas yang terkuasa dalam Negara Republik itu dengan perkakasnya yang dinamai birokrasi. Tetapi baiklah kita diamkan saja perkara ini. Lebih baik kita bicarakan perkara kedaulatan.

B. Kedaulatan[sunting]

SI PACUL : Kedaulatan itu sebenarnya apa???

MR. APAL : Kedaulatan itu sebenarnya kekuasaan yang tertinggi, kekuasaan yang memutuskan suatu persoalan. Sovereignity, namanya dalam bahasa asing.

SI TOKE : Jadi kalau suatu undang-undang atau tindakan menimbulkan percekcokan dalam satu Negara, maka kekuasaan tertinggi itulah yang akan menjatuhkan putusan terakhir. Itulah yang terkuasa, yang berdaulat. Memang perkara ini satu perkara yang penting. Seharusnyalah dalam sesuatu Negara ada sesuatu yang memberi putusan terakhir. Tetapi tak pula kurang pentingnya, di tangan siapakah Kedaulatan itu mesti ditaruh?

MR. APAL : Di zaman Kerajaan-Kota memutus itu terletak di tangan raja. Jadi undang-undang itu terletak di ujung lidahnya raja atau di ujung pedangnya saja.

SI PACUL : Benar sekali, bahwa dalam suatu kerajaan, di mana perkataan raja itu adalah satu undang-undang, harta gampang dirampas, kemerdekaan orang gampang diperkosa, dan perempuan orang gampang diambil oleh yang berkuasa.

MR. APAL : Sebab itu menurut dasar republik seharusnyalah kedaulatan itu di tangan rakyat dan pada undang-undang yang dibikin oleh para wakil rakyat. Kalau suatu tindakan menimbulkan kesangsian atas benar atau tidaknya tindakan itu, maka Mahkamah Tertinggi bisa membandingkan tindakan itu dengan Undang-Undang Dasar. Seandainya sesuatu macam ”pajak” yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat menimbulkan kesangsian itu, maka Mahkamah Agung boleh memutuskan cocok atau berlawanankah tindakan itu dengan Undang-Undang Dasar.

SI TOKE : Bagaimana kalau putusan Mahkamah Agung itu sendiri menimbulkan kesangsian pula?

MR. APAL : Dalam hal ini beberapa Negara Republik menaruhkan kedaulatan itu pada Permusyawaratan Rakyat, umpamanya di Swiss. Suara seluruh rakyat dewasa dipungut. Ini dinamai referendum rakyat. Suara terbanyak itulah suara putusan.

SI PACUL : Tiga atau empat juta penduduk Swiss saja tiada mungkin berkumpul pada suatu tempat buat bermusyawarat dan berunding. Apalagi 70 juta rakyat Indonesia, seandainya bisa mereka meninggalkan kota atau desanya masing-masing. Jadi bagaimana mempraktikkan kedaulatan rakyat itu???

MR. APAL : Memang bukan perkara mudah menjalankan referendum itu. Tetapi biasa dijalankan, yakni seperti menjalankan pemilihan juga. Seandainya warga A dalam Republik itu tak setuju dengan tindakan pajak tadi maka ia catatkan saja “tidak setuju” dalam kartu resmi. Kartu itu dimasukkan ke dalam peti umum. Warga B yang setuju, mencatatkan “setuju”. Kalau seandainya di antara 40 juta warga Negara Indonesia yang berhak bersuara, 30 juta tidak setuju dan cuma 10 juta yang setuju, maka undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat tadi jadi “batal”, yaitu tak sah.

SI PACUL : Kalau begitu memang rakyat yang terkuasa karena putusan yang terakhir betul di tangan Rakyat Jelata. Gampang tetapi jitu dan tepat teknik memerintah semacam itu.

SI TOKE : Ingin pula saya hendak mengetahui siapa orangnya mengeluarkan pikiran itu yang bermula sekali? Siapa pemikir besar yang menghasilkan paham yang begitu yang berfaedah buat masyarakat manusia?

MR. APAL : Amat susah mengatakan siapa yang sebenarnya “pada awalnya” memikirkan referendum atau “suara Rakyat” itu. Boleh jadi bukan satu orang pada satu waktu saja yang mendapatkan pikiran itu. Boleh jadi pikiran yang bermula keluar itu belum nyata benar, tetapi sudah mempunyai garis besar atau sifat yang pasti. Boleh jadi pula pikiran itu sudah pasti, tetapi cuma pinjaman dari orang lain atau negara lain. Boleh jadi pula pungutan “Suara Rakyat” itu dijalankan begitu saja, bukan sebagai pelaksanaan satu teori atau paham melainkan sebagai “naluri rakyat murba” belaka (political instinct of the masses).

SI TOKE : Bagaimana juga, tentu “Suara Rakyat” sebagai teknik memerintah itu sejalan dengan sempurna atau tidaknya Suara Rakyat itu mempunyai sejarah. Barangkali bukan sejarah menurut kesempurnaannya.

MR. APAL : Memang “Suara Rakyat” itu bukan saja satu teknik yang penting gampang buat suatu pemerintahan. Tetapi Suara Rakyat itu juga menjadi ukuran jauhnya kemerdekaan Rakyat dalam suatu Negara.

SI TOKE : Dengan obor semacam itu cobalah tuan cantumkan secara sederhana “Suara Rakyat” yang berseluk-beluk dengan Kedaulatan Rakyat dan kena mengena dengan kemerdekaan Rakyat itu.

MR. APAL : Saudara sudahkah mendengar nama Min Tze, artinya guru Ming?

SI TOKE : Belum. Tetapi nama guru Kung Cu, yaitu pemikir Tionghoa memang sudah saya dengar. Hidup kira-kira 2.500 tahun lampau.

MR. APAL : Nah, Guru Kung memang seorang pembentuk masyarakat Tionghoa yang terbesar. Negara bentukan Guru Kung berdasarkan kekeluargaan yang dipuncaki oleh Raja dan keluarganya. Muridnya ialah Guru Ming memberatkan kedaulatan itu bukan kepada Raja seperti gurunya, tetapi kepada Rakyat Jelata. Maksudnya Guru Ming lebih kurang, apabila Raja itu zalim maka Rakyat berhak memberontak.

SI TOKE : Jadi bukanlah Rakyat buat Raja, melainkan Raja buat Rakyat. Seperti pepatah Indonesia di atas: Raja adil Raja disembah, Raja zalim Raja disanggah.

MR. APAL : Baru saja tahun 1789, jadi lebih kurang 22½ abad di belakang Guru Ming, Jean Jacques Rousseau, di samping Montesquieu, mengeluarkan pikiran yang sama artinya dengan pelajaran Guru Ming tadi. Pengaruh Tionghoa memang terang pada Montesquieu tadi. Dan Rosseau itu dianggap Nabinya Pemberontakan Perancis.

SI TOKE : Indonesia tak perlu lari ke negara asing saja. Indonesia sendiri mempunyai “suara rakyat” itu. Di masa luhurnya Minangkabau, abad 14 sampai l6, Minangkabau berdasarkan kekeluargaan juga: Rakyat ber-raja pada Penghulu Penghulu ber-raja pada Mufakat Mufakat ber-raja pada alur dan patut. Jadi raja yang diakui lebih tinggi dari Penghulu sebagai wakil rakyat ialah kata Mufakat. Tetapi “Kata Mufakat” itu mesti diperoleh dengan perundingan yang merdeka, tenang, dan luas. Putusan yang diperoleh tiadalah takluk pada Kata Raja atau laskarnya, melainkan pada Alur (logika) dan Patut (keadilan). Alur dan Patutlah Raja Tertinggi di Minangkabau pada masa jaya. Maharaja di Minangkabau itu takluk pada Kata Mufakat, pernah disalahkan oleh Mahkamah Agung Minangkabau. Disangka kedaulatan Rakyat Minangkabau semacam itu, yang berupa “suara rakyat” itu diturunkan oleh pemikir “Ketumenggungan”.