Pidato Pada Pemberian Gelar Doctor Honoris Causa oleh UGM kepada Ki Hadjar Dewantara
![]() | Disarankan membagi karya ini menjadi beberapa halaman. JIka Anda ingin membantu, silakan lihat pedoman gaya dan halaman bantuan. |
PIDATO PADA PEMBERIAN GELAR DOCTOR HONORIS
CAUSA OLEH UNIVERSITAS GADJAH MADA
KEPADA KI HADJAR DEWANTARA
pada hari Dies Natalis jang ke - VII tg. 19 Desember 1956
diutjapkan oleh Prof. Dr. M. Sardjito
Presiden Universitas Gadjah Mada.

Saudara Ki Hadjar Dewantara.
Pada Dies Natalis Universitas Gadjah Mada jang ke-VII ini, atas nama Senat Universitas, berdasarkan atas kekuasaan jang tertinggi, jang diberikan kepadanja, sebagaimana tertjantum dalam Statut Universitas tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1950 pasal 20 ajat 2, dan putusan rapatnja, setelah dipertimbangkannja bahwa Saudara dengan telah mengamalkan djasa jang sangat besar terhadap nusa dan bangsa Indonesia dalam lapangan kebudajaan, amat berdjasa dalam arti pasal 20 ajat 2 tersebut, kami mengangkat Saudara mendjadi Doctor honoris causa dalam ilmu Kebudajaan, sehingga Saudara memperoleh segala hak-wadjib serta kehormatan jang menurut hukum dan adat terlekat pada deradjat itu.
Sebagai bukti tanda, Saudara akan menerima dari Presiden Universitas surat tanda promosi honoris causa, jang ditanda tangani oleh Presiden Universitas dan Sekretaris Senat Universitas, dan dibubuhi lambang Universitas serta dilekati meterai besar Universitas.
Saudara Dr. Ki Hadjar Dewantara.
Menurut adat kebiasaan jang djuga kami semua djundjung tinggi, maka diperkenankanlah kami mengadakan uraian sebagai pertanggungan djawab atas tindakan Senat Universitas itu.
Mengingat hakekatnja Balai nasional Ilmu pengetahuan dan Kebudajaan merupakan pendidikan dan pengadjaran tinggi, menurut pasal 1 dari Statutnja, maka lima belas bulan jang lalu pada tanggal 19 September 1955 Universitas Gadjah Mada atas usul Senat Universitas memperoleh kekuasaan djuga untuk memberikan doctoral dalam ilmu kebudajaan, jang sungguh suatu novum didalam sedjarah pendidikan dan pengadjaran tinggi di tanah air kita, sehingga lebih lengkap lagi sjarat² jang ada padanja untuk menunaikan pula tugasnja ikut serta dalam membangun, memelihara dan mengembangkan hidup kemasjarakatan dan kebudajaan, sebagaimana tertjantum dalam pasal 3 huruf c dari Statutnja, dengan berdasarkan atas tjita-tjita Bangsa Indonesia jang termaksud dalam Pantjasila, kebudajaan Indonesia seluruhnja dan kenjataan. Dalam hubungannja jang satu dengan jang lain, maka Ketuhanan jang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakjatan dan keadilan sosial diambilnja sebagai asas filsafat dan pendirian hidup, sedangkan kebudajaan Indonesia sebagai pendjelmaan daripada asas filsafat dan pendirian hidup itu didalam bentuk keseimbangan perkembangan pribadi manusia Indonesia, ialah daripada bakat, kesanggupan dan kekuatannja lahir dan batin, serta pula hasil daripada pendjelmaan dan perkembangan itu jang berudjud nilai-nilai hidup, kerohanian dan kedjasmanian, jang digunakan sebagai pedoman hidup dan selandjutnja selalu diinginkan meningkat keluhurannja. Adapun kedua²nja diletakkan atas kenjataan, dalam bentuk dapatnja ditjapai oleh manusia maupun dalam objektivitanja, sebagai dasar mutlak daripada ilmu pengetahuan dan djuga sebagai dasar kemanusiaan umum. Dengan pengertian jang demikian terdapatlah bagi Universitas Gadjah Mada kemungkinan dan kesempatan membentuk ilmu kebudajaan, jang menghasilkan pengetahuan analitis, kritis dan sintetis sebagai bekal kreatif dalam ikut sertanja membangun, memelihara dan mengembangkan hidup kebudajaan.
Dalam pada itu perlu diingat, bahwa kebudajaan, baik mengenai pelbagai lingkungan hidup maupun dalam lingkungan tempat dan waktu, merupakan keutuhan dan dipandang dari sudut susunannja terdiri atas bagian² jang mewudjudkan heterogenita mengandung perbedaan².
Sehingga keutuhan itu tidaklah hanja mendjadi pendjumlah daripada bagian²nja, tetapi sesungguhnja diantara bagian²nja itu terdapat kesatuan atau paling sedikit kesamaan dalam dasar,perangai dan tjoraknja. Lain dari itu memang ada suatu kenjataan didalam sedjarah kemanusiaan, bahwa dalam semua kebudajaan terdapat ketunggalan, jang terikat kepada suatu bangsa dan djuga kepada keadaan masjarakat serta kenegaraannja. Demikianlah asas jang menjatakan adanja kebudajaan nasional Indonesia tadi, dapat dipertanggungdjawabkan sebagai suatu keutuhan, tersusun atas bagian² jang disamping sifat² perbedaannja sebagai pendjelmaan daripada perbedaan² sepertinja waktu, tempat tinggal, keadaan kehidupan, kepertjajaan, sifat² chusus suku² bangsa, serta pula pelbagai lingkungan usaha hidup, kesemuanja mempunjai dasar kesatuan atau kesamaan dasar, perangai dan tjorak, jang mutlak bagi seluruh bangsa, jang sekarang telah djuga memenuhi asas² sjarat kemasjarakatan dan kenegaraan jang selajaknja. Soalnja ialah mentjari dan mendapatkan unsur² tersebut, dan mendjadikannja bekal bagi usaha pembangunan, pemeliharaan dan perkembangan hidup kebudajaan Indonesia.
Didalam diri Saudara Dr. Ki Hadjar Dewantara, Senat Universitas menganggap menemukan perintis hidup kebudajaan dalam arti jang luas isinja dan luas lingkungannja, terutama hidup kebudajaan Indonesia dan djuga hidup kebudajaan umumnja, dengan dasar-dasar jang sekarang djuga ternjata ada ketjotjokannja dengan jang berlaku bagi Universitas Gadjah Mada. Jang demikian itu mendjadikan Senat Universitas merasa sukur, karena Saudara sedjak berdirinja Universitas Gadjah Mada mendjabat anggauta Dewan Kurator. Dapat kami kemukakan pula, bahwa putusan Senat Universitas dalam hal pemberian doctor honoris causa dalam ilmu Kebudajaan kepada Saudara ini dengan persetudjuan Dewan Kurator djuga.
Mula² sebagai tokoh perdjuangan nasional dengan djalan politik, dan setelah mengalami penderitaan akibat reaksi pendjadjah, jang sebaliknja daripada maksudnja menumbuhkan dasar kerohanian jang murni dan leluasa untuk melaksanakan hasrat memerdekakan nusa dan bangsa, maka Saudara memperoleh kebidjaksanaan djiwa, jang memberi kesadaran akan tertjakup tudjuan kemerdekaan politik bagi nusa dan bangsa dalam terbangunnja kebudajaan pribadi bangsa Indonesia.
Atas kebidjaksanaan djiwa itu, djuga sesuai dengan peladjaran sedjarah kemanusiaan jang menundjukkan hubungan mutlak antara kebudajaan dan pendidikan, maka Saudara dengan ketjerdasan pikir dan metodis menempuh djalan perdjuangan baru, ialah pendidikan dalam pengadjaran sebagai bentuk pokok.
Perintjian uraian selandjutnja untuk djelasnja akan kami bentangkan dalam rangkaian jang banjak sedikit djuga menggambarkan riwajat hidup Saudara.
Mula² kami ingat pada hari² jang sudah setengah abad jang lampau, waktu Saudara sebagai Senior dengan nama R.M. Soewardi Soerjaningrat, dan kami sebagai Junior siswa dari Stovia.
Diwaktu itu gambaran jang kami dapat membuat dari Saudara berbentuk sebagai Nojorono, pemuda, senantiasa gembira hati, dan tangkas, tidak sepi humor.
Kami ketika itu sudah tertarik kepada hasrat Saudara terhadap beberapa kesenian, sepertinja tidak sadja terhadap gamelan, tetapi djuga terhadap seni musik Barat, dengan sandiwara dan operanja. Dengan sendirinja kesusasteraan dapat perhatian sepenuhnja dari Saudara tentu sadja djuga kesusasteraan Belanda, jang diwaktu itu digemari.
Semua-semuanja memperlihatkan tanda2, bahwa djiwa Saudara menginsjafi rasa keindahan budaja, dari Timur dan dari Barat. Melainkan itu pada hari tanggal 20 Mei 1908, perkumpulan Budi Utomo didirikan didalam rapat, digedung Stovia jang bersedjarah, oleh siswa² Kedokteran, dengan pengurusnja jang pertama jalah almarhum² Sdr. Soetomo sebagai Ketua, Sdr. Goenawan sebagai wakil ketua, Sdr. Soewarno sebagai penulis I, almarhum Sdr. Moh. Saleh penulis II, Sdr. Slamet sebagai bendahari, almarhum Sdr. Moh. Soelaiman, dan Sdr. Soeradji sebagai anggauta. (Diwaktu Bapak doktor Wahidin datang di Djakarta untuk membitjarakan hal studifonds, perkumpulan Budi Utomo sudah berdiri).
Kedjadian jang sangat menggemparkan ini, dan jang djuga memberi getaran hebat dalam perasaan kebangsaan jang kembali dihati sanubari para pemuda peladjar diseluruh Indonesia, memberi djuga kepada Sdr. Soewardi Soerjaningrat getaran djiwa jang luhur ini, jang akan memberi tjorak seterusnja dalam perkembangan djiwa Saudara.
Sebelum tahun 1908 keinsjafan perasaan kebangsaan masih belum merata dan belum berorganisasi; meskipun disana sini ada djiwa pribadi jang mengandungnja, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bondjol, Teuku Umar, Hasan Nuddin, R.A. Kartini dll.
Budi Utomo mematjak didalam anggaran dasarnja tudjuan akan mentjari djalan untuk mempertinggi deradjad hidup rakjat Indonesia. Dengan ini maka kita semua sebagai rakjat baru mendjadi bangun dan insjaf akan kedudukan kita sebagai rakjat jang didjadjah.
Dengan meratanja perasaan itu, maka muntjullah djiwa jang mentjari djalan lain atas tjorak pribadinja sendiri² dengan maksud selaras dengan tudjuan Budi Utomo, seperti Serekat Dagang Islam (S.I.)
Sdr. Soewardi Soerjaningrat jang berdjiwa progresif dan agresif bersama2 dengan almarhum Sdr. Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dan Sdr. Douwes Dekker terkenal sebagai „Tiga Serangkai”, mendirikan partai politik di Indonesia dengan sembojan „Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”, beraksi untuk Indodonesia merdeka dan berdaulat.
Pertumbuhan djiwa Sdr. Soewardi Soerjaningrat mendjadi semakin djelas ketangkasannja didalam menjerang fihak Belanda Kolonial. Titik puntjaknja jalah berudjud buku siaran dengan kepala: „Als ik eens een Nederlander was”, dalam bahasa Indonesianja „Seandainja aku seorang Belanda”. Tulisan itu berupa reaksi terhadap rentjana Gubernemen Belanda jang akan mengadakan ditanah djadjahannja Indonesia, pada tanggal 15 September 1913 peringatan besar²-an oleh semua penduduk, dari hal 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda sesudah didjadjah Perantjis dibawah Napoleon. Buku brosur jang dulu sangat menggontjangkan itu menjatakan tidak setudjunja, tidak selajaknja bangsa Indonesia turut² merajakan kemerdekaan orang lain, dari bangsa jang menindas kita. Disitu digambarkan menjolok matanja peringatan jang direntjanakan itu, dan lagi menusuk kedalam perasaan kebangsaan kita, perasaan mana baru bertumbuh kembali.
Didalam tulisannja Sdr. Soewardi Soerjaningrat sebagai Nojorono memberi tamparan jang hebat kepada siangkara murka pendjadjah. Tetapi tjaranja tidak kasar, tidak dengan maki², senantiasa tetap sebagai ksatria, memberi kata² jang tepat, djitu, indah susunannja ada humornja, ada sinisnja, tertjampur edjekan jang pedas, jang dilemparkan kepada sipendjadjah, tetapi selandjutnja djuga memberi pandangan², jang dapat direnungkan untuk fihak sana, dan djuga untuk fihak kita.
Brosur itu dikeluarkan oleh „Panitija Bumiputera” dimana duduk almarhum Sdr. Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo.
Karena sebelum terbitnja brosur itu belum pernah ada suatu orang Indonesia jang berani mengritik tindakan Pemerintah Belanda dimuka umum, maka reaksi dari Pemerintah itu sangat kerasnja, dan tangan besinja segera berdjalan dengan memanggil dan memeriksa panitia tersebut diatas.
Reaksi Pemerintah Belanda ini mendjadi saran untuk dibahas habis²-an oleh almarhum Sdr. Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo.
Djuga almarhum Douwes Dekker menjokong sepenuh-penuhnja aksi dari Saudara²-nja seperdjuangan dengan menulis „Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en R. M. Soewardi Soerjaningrat” (Pahlawan² kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan R. M. Soewardi Soerjaningrat).
Kedjadiannja pahlawan² kita itu mendjadi pelopor, mengenal penangkapan dan disimpan dipendjara.
Achirnja pada tanggal 18 Agustus 1913, Pemerintah Belanda mendjatuhkan putusan menginternir R. M. Soewardi Soerjaningrat, sekarang Ki Hadjar Dewantara ke Bangka, almarhum Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo ke Banda Neira dan almarhum Sdr. Douwes Dekker alias Dr Danu Dirdjo Setiabudhi ke Timor Kupang. Djala djaring rantai besi akan mengikat Tiga Serangkai, tetapi karena tangkasnja dan tepat siasatnja ksatria² perdjuangan tadi, ketetapan dapat dirubah mendjadi diexternir ke negeri Belanda. Djadi prakteknja keputusan, jang diantjamkan oleh Pemerintah Belanda sebagai hukuman berubah mendjadi bepergian ke negeri Belanda, jang dapat dirasakan sebagai perdjalanan untuk bersenang-senang. Panah rantai besi hilang sifatnja mendjadi hudjan bunga.
Untuk Ki Hadjar Dewantara bepergian itu suatu kesempatan dan kemungkinan untuk memperkembangkan djiwanja dengan dasar jang lebih luas. Keputusan externiran ditjabut pada tanggal 17 Agustus 1917. Dan kita dapat menggambarkan karena putusan itu, kembalinja perasaan merdeka jang dialami oleh Sdr. Ki Hadjar Dewantara, jang menjiapkan diri untuk kembali kemedan perdjuangan.
Baru pada tanggal 6 September 1919 Sdr. Ki Hadjar Dewan tara dapat pulang di Indonesia, dan terus menggabungkan diri dipartai politik „Indische Partai”, tidak sebagai anggauta biasa, tetapi pegang tapuk pimpinan, mula-mula sebagai penulis, lalu mendjadi ketuanja.
Djuga Sdr. Ki Hadjar Dewantara mempunjai kesempatan sepenuhnja untuk mengeluarkan tjita-tjitanja, karena memegang redaksi dari harian „De Expres”.
Sekembalinja dari negeri Belanda djiwa agresif bersendjatapenanja tetap tinggal, dan karenanja seringkali dilus-lus tangan besi Pemerintah Kolonial Belanda, jang diwaktu itu sangat kedjamnja.
Karena sendjata pena tidak dapat mengimbangi sendjata rantai besi dan pendjara, maka pergantian siasat harus didjalankan.
Dengan ini tjorak perdjuangan Sdr. Ki Hadjar Dewantara mendjadi lain dan menjeburkan diri didalam perguruan menurut bakatnja.
Dasarnja perubahan tindakan itu jalah djuga kejakinan dari Sdr. Ki Hadjar Dewantara, bahwa: „Keadaan jang berdjiwa kolonial itu tidak akan lenjap, djika hanja dilawan dengan pergerakan politik sadja. Oleh karena itu djanganlah kita hanja melulu mementingkan perlawanan terhadap pada luar sadja, akan tetapi harus djuga mementingkan menjebar benih hidup merdeka dikalangan rakjat kita sendiri dengan djalan pengadjaran, jang disertai pendidikan nasional”.
Sedjarah Sdr. Ki Dewantara dilandjutkan dengan masuk mendjadi guru disekolah „Adidarma”, kepunjaan kakaknja R.M. Soerjopranoto pada tahun 1921. Sesudahnja berpraktek satu tahun lamanja, maka Ki Hadjar Dewantara bertjantjut tali wondo dimulai dengan mengangkat pekerdjaan jang mendjadi besar, pekerdjaan pembangunan jang menadjubkan, jalah pada tanggal 3 Djuli 1922 didirikan Perguruan Kebangsaan „Taman Siswa”. Pendirian ini disertai suatu niat jang ditaati jalah: Dalam satu windu, atau 8 tahun kita harus bertapa diam serta bekerdja sekuat-kuatnja: „tidak boleh berpropaganda dengan rapat² umum, tjukup dengan bermupakatan antara satu dengan lainnja jang setudju sadja”.
Sungguh pendirian ini harus diambil sebagai tjontoh oleh kita semua djuga didalam djaman jang serba tidak memuaskan ini. Didjaman pembangunan ini djanganlah senantiasa berkonggres, dengan tuntutan² dan beresolusi: disudailah tempo berbitjara² itu, dan dimulailah dengan berdiam untuk bekerdja keras.
Djadi meskipun tjorak perdjuangan berlainan, sungguh hakekatnja tidak berubah, jalah dengan mendidik rakjat untuk mendapat djiwa nasional dan merdeka, dengan sendirinja dikemudian hari, kader² itu akan memperkuat barisan dari Sdr. Ki Hadjar Dewantara untuk menentang kolonialisme. Dari itu Taman Siswa selain merupakan badan pembangunan djuga mempunjai sifat badan perdjuangan.
Didalam menindjau asas² Taman Siswa itu dapat diambil sebagai dasar demikian.
Berikan kemerdekaan dan kebebasan kepada anak² kita: bukan kemerdekaan jang leluasa, namun jang terbatas oleh tuntutan kodrat alam jang chak atau njata dan menudju kearah kebudajaan, jalah keluhuran dan membahagiakan hidup dan penghidupan dari masjarakat, maka perlulah dipakainja dasar kebangsaan, akan tetapi djangan sekali² dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar jang lebih luas, jaitu dasar kemanusiaan.
Dengan dasar ini Sdr. Ki Hadjar Dewantara menjiptakan sistim dalam arti technis-paedagogis dan dalam arti organisatoris ekonomis.
Didalam mendirikan Perguruan Kebangsaan, asas-asas Taman Siswa antara lain jalah, hak mengurus keadaan sendiri, selaras dengan perhubungannja pergaulan-hidup jang sempurna. Tidak setudju dengan pendidikan jang membangun watak anak dengan sengadja, dengan djalan perintah, paksaan batin dan paksaan akan ketertiban dan kesopanan.
Didjundjung tinggi pendidikan jang berarti mendjaga dengan suka-tjita, jaitu sjarat terpenting untuk membuka kekuatan anak, baik kekuatan watak dan fikirannja, maupun badannja. Pendidikan ini dinamakan „Among Systim” jang mengemukakan dua dasar:
- Kemerdekaan sebagai sjarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak, sehingga dapat hidup merdeka (berdiri sendiri);
Kodrat alam, sebagai sjarat untuk mentjapai kemadjuan dengan setjepat-tjepatnja dan sebaik-baiknja menurut hukum evolusi.
Disini dibebankan dipundak guru2 Taman Siswa suatu beban jang lebih berat bila dibandingkan dengan tugasnja guru2 dari sekolah Gupernemen.
Tugas para pemimpin Taman Siswa ialah terdjun kedalam kalangan rakjat, menjeburkan diri dalam hidup dan penghidupan rakjat, serta menggerakkan rakjat kearah kemadjuan, tidak sebagai penuntun-penuntun jang dengan paksaan menarik-narik dari depan, namun sebagai pendorong-pendorong jang berdiri dibelakang.
Tepat djuga sembojannja: „toet woeri andajani” bermaksud mendorong para pengikut untuk mentjari djalan sendiri, djangan selalu menanti „aba” perintah-perintah dari sipemimpin. Dalam pada itu sipemimpin djangan melepaskan perhatian dan pengawasanja terhadap para jang dipimpin dan tetaplah ia berwadjib memberi pengaruh-pengaruh dari belakang.
Seterusnja asas Taman Siswa berbunji: „Bebas dari segala ikatan, dengan sutji hati mendekati sang Anak; tidak untuk meminta sesuatu hak, namun untuk berhamba kepada sang anak”.
Didalam asas² dari Taman Siswa 1922 tertjantum djuga dasar kerakjatan, dengan maksud mempertinggi pengadjaran dan menjebarkan pendidikan dan pengadjaran untuk seluruh masjarakat murba, lagi pula supaja dilapisan jang besar lambat laun dapat mendesak djiwa kolonial jang djuga tumbuh dimasjarakat kita Indonesia.
Dalam lapangan pengadjaran ditjiptakan olehnja sistim paedagogik dan metodik baru. Sistim pendidikan nasional Indonesia dipertimbangkan olehnja dalam teori dan praktik, didasarkan atas kodrat dan alam Indonesia. Sistim itu sekarang masih dapat dipakai. Masjarakat mengetahui hal ini. Tinggal terserah kepada ahli2 daripada generasi sekarang dan jang akan datang untuk melandjutkan sistim itu sesuai dengan bentuk masjarakat jang akan datang.
Sistim pendidikan Taman Siswa besar pengaruhnja dalam perdjuangan nasional. Ini dapat dibuktikan dari :
- berkembangnja Taman Siswa meskipun mendapat rintangan hebat dari Pemerintah kolonial diwaktu itu ;
- badan pendidikan Taman Siswa mempengaruhi masjarakat serta organisasi2 rakjat dalam perdjuangan nasional diwaktu itu ;
- banjaknja pedjuang² nasional jang dihasilkan atau dipengaruhi oleh Taman Siswa dalam perdjuangan kemerdekaan.
Didalam perdjuangan itu tokoh dan pribadi Sdr. Ki. Hadjar Dewantara merupakan pusat lebih² waktu menghadapi Ordonansi Sekolah liar ditahun 1932. Bukti njata bahwa perdjuangan menghadapi ordonansi itu adalah perdjuangan nasional, ialah bahwa seluruh pergerakan nasional, politik, agama, maupun sosial, serentak berdiri disekeliling Sdr. Ki Hadjar Dewantara.
Bahwa asas² sistim pendidikan Sdr. Ki Hadjar Dewantara tidak sadja dapat dipakai dalam lapangan pendidikan, tetapi djuga dapat dipakai sebagai dasar dalam hidup kemasjarakatan, dapat didjelaskan antara lain sebagai berikut :
- asas „cultureel nationalisme” dapat dipakai kedalam sebagai dasar kesatuan bagi bangsa Indonesia jang tjorak kebudajaannja beraneka-warna, dan keluar sebagai titik pertemuan dengan kebudajaan² dunia;
- asas „among” atau „toet woeri andajani” dapat dipakai sebagai dasar hubungan pihak penguasa dengan rakjat, hingga timbul pengertian timbal-balik dalam hidup demokrasi;
- „zelfbeschikkingsrecht”, hak untuk menentukan nasib diri sendiri; ini adalah pengakuan hak pribadi tiap² orang untuk mengembangkan setjara bebas bakatnja dan swadajanja; asas ini sekarang penting bagi bangsa kita sebagai keseluruhan maupun bagian² Indonesia sebagai satuan² swatantra ;
- asas demokrasi, jang oleh Sdr. Ki Hadjar Dewantara diartikan, „democratie met leiderschap”, ialah bahwa tiap² kebebasan ada batasnja dan perlu disalurkan dan dipimpin ; pembatasan ini mentjegah ketelandjuran² (exces², anarchie, dsb.) dan mengharuskan adanja keseimbangan serta tata dan tertib ;
- asas „zelfbedruiping”, ialah membiajai diri sendiri dari sumber² sendiri; asas ini mengharuskan adanja perhitungan dan kesederhanaan, jang penting djuga bagi pelaksanaan swatantra ;
- asas kekeluargaan, jang tidak sadja berguna bagi alam pendidikan, tetapi djuga bagi penghidupan ekonomi, sosial dan politik ; asas ini akan lebih memperbesar iklim saling-mengerti dan kerdjasama diantara pihak² jang berkepentingan ;
- asas „tricon” (concentraciteit, convergentie, continue) adalah pengakuan, bahwa antara orang-orang dan dunia sekitarnja selalu ada pertimbangan, persatuan dan persambungan; asas ini
Sistim pendidikan jang ditjiptakan Sdr. Ki Hadjar Dewantara itu dikehendaki merupakan alat untuk mentjapai tudjuan jang besar, jaitu kebudajaan nasional.
Dalam pada itu bermaksud menjuburkan kesenian, sehingga kesenian ini benar2 mendjadi milik rakjat, dan mengembangkan kebudajaan daerah2 dengan maksud untuk membentuk kebudajaan nasional, kebudajaan Indonesia, jang merupakan „puntjak2 dan sari2 kebudajaan jang bernilai diseluruh kepulauan, baik jang lama maupun jang tjiptaan baru, jang berdjiwa nasional”.
Kebudajaan bangsa sendiri perlu, karena sesuatu bangsa hanja dapat kuat dan bahagia dalam pergaulan dunia, djika bangsa itu mempunjai tjorak jang sesuai dengan kodrat dan watak pembawaannja, jang terlahir berupa kebudajaan. Kebudajaan nasional mendjamin tetap adanja kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Kebudajaan bangsa dapat dipergunakan sebagai perisai dalam menghadapi cultuur-imperialisme negara2 asing.
Dalam pada itu pemeliharaan kebudajaan tidak berarti asal memelihara kebudajaan sadja, tetapi pertama2 membawa kebudajaan kebangsaan itu kearah kemadjuan jang sesuai dengan ketjerdasan zaman, kemadjuan dunia dan kepentingan hidup rakjat lahir dan batin dalam tiap2 zaman dan keadaan.
Dalam lapangan kesusasteraan Sdr, Ki Hadjar Dewantara djuga menundjukkan ketjakapannja dalam tjara meletakkan buah pikirannja itu dalam tulisan, menundjukkan perasaannja akan kesenian bahasa. Alangkah pandainja serta indah kata2nja dalam tjara beliau menjusun buah fikirannja. Dalam ini saja mengulangi tundjukkan saja pada bukunja „Als ik eens een Nederlander was”. Susunan kalimat dalam bukunja itu mengandung arti semua. Peristiwa2 jang dikemukakan itu benar? terdjadi, bukan chajalan dan djuga tidak mengandung fantasi,
Sekarang dapat kami njatakan, bahwa Sdr. Ki Hadjar Dewantara berdjiwa sebagai perintis dalam 3 lapangan, perintis kemerdekaan nasional, perintis pendidikan nasional dan perintis kebudajaan nasional.
Pada achir kata2 kami, perlulah kiranja kami ulangi perumusan Wasa pikiran bagi pemberian gelar doktor honoris causa itu. Karena djiwa dari Sdr. Ki Hadjar Dewantara seperti berlian jang indah mempunjai banjak facet2nja, maka mendjadi soal untuk Senat Universitas memilih gelar keilmuan apa jang akan disadjikan.
PIDATO SAMBUTAN
KI HADJAR DEWANTARA
Perkenankanlah saja membuka kata sambutan kami ini dengan utjapan terima kasih jang seichlas²-nja kepada Dewan Senat Universitas, jang dalam sidangnja tanggal 7 Nopember 1956 telah memutuskan akan pemberian gelar Doctor Honoris Causa kepada kami.
Utjapan terima kasih itu saja tudjukan pula kepada Sdr. Prof. Dr. Sardjito jang selaku Presiden Universitas telah berhasil mengumpulkan berbagai unsur, jang dianggap tjukup penting, untuk dipakai sebagai dasar atau alasan guna mempertanggungdjawabkan putusan Senat tersebut.
Saudara Ketua !
Dari pidato Prof. Sardjito, jang penting ringkas serta tegas itu, dapatlah saja menangkap dua buah kesan utama.
Pertama: beliau tidak sadja menindjau object penjelidikannja setjara exclusief, namun memasukkan pula „penjandra” mengenai pribadi kami kedalam uraiannja. Kedua: dengan tegas beliau ménghubung - hubungkan, bahkan menjatukan tiga lapangan pekerdjaan kami, jaitu: 1. perdjoangan kemerdekaan nasional, 2. perdjoangan pendidikan dan 3. perdjoangan kebudajaan, mendjadi suatu „tri- tunggal”.
Mengenai kesan jang pertama, jaitu bahwa disamping pengutaraan dasar² jang pokok serta garis² besarnja, Prof. Sardjito masih menganggap perlu menjandra sifat pribadi kami, itu menundjukkan ketelitian beliau dalam menjelidiki so’al jang sedang beliau hadapi. Memang, kebaikan sifat² dasar serta kebaikan garis² besar atau bentuknja, ataupun organisasinja, belum mendjamin pasti adanja isi serta irama atau tjara melaksanakan jang baik. Dalam pada itu harus kita sadari, bahwa „sifat” dan „bentuk” adalah unsur² jang timbul karena pengaruh kodrat-alam, sedangkan „isi” dan „irama” sangat lekat hubungannja dengan djamannja dan pribadinja seseorang jang bersangkutan. Empat ukuran ini, S.B.I.I. (Sifat, Bentuk, Isi dan Irama) sungguh perlu dipakai untuk mendapatkan nilai jang lengkap dan benar. Saudara Ketua!
Tjara pernilaian dengan memakai 4 ukuran tersebut, sungguh perlu digunakan, lebih2 didjaman sekarang, berhubung dengan kerap ~ kalinja kita harus menghargai dan menilai anasir-anasir kebudajaan jang datang dari dunia ~ luar, terutama dunia Barat. Disini sampailah kita pada saat baik untuk mulai menjinggung ~ njinggung so'al kebudajaan, jang termasuk dalam kesan jang ke ~ dua. Kini kita berada dalam djaman „akulturasi” atau pertukaran kebudajaan dengan dunia Barat. „Sifat” pokok dari tiap2 kebudajaan adalah universil, jang boleh dianggap sebagai pemberian Tuhan Jang Maha Murah kepada machluk manusia untuk mempertinggi hidup dan penghidupannja. Adapun „bentuk” dari kebudajaan tadi terdjadi karena pengaruh kodrat ~ alam, jang didunia ini ber-lain2an matjam dan rupanja, Adapun „isi” dari hidup kebudajaan itu timbul karena pengaruh djaman, sedangkan djaman itu tidak lain daripada waktu jang ditempati masjarakat, jang biasanja menundjukkan sifat2 dan tjorak warna hidup ~ kedjiwaan jang agak chusus dan jang terus ~ menerus berganti ~ ganti isinja. Achirnja tentang „irama” harus dipahami, bahwa tjara menggunakan segala unsur kebudajaan itu mendjadi tanggung ~ djawab tiap2 orang atau masjarakat jang berpribadi.
Ada sembojan jang mengandung filsafat dalam so’al akulturasi jang telah kita masukkan didalam rangkaian azas2 ke ~ Tamansiswaan, Jaitu ,,Azas Tri ~ con” jang mengadjarkan, bahwa didalam pertukaran kebudajaan dengan dunia-luar harus kontinuiteit dengan alam kebudajaannja sendiri, lalu konvergensi dengan kebudajaan2 lain jang ada dan achirnja, djika kita sudah bersatu dalam alam universil, kita bersama mewudjudkan persatuan dunia dan manusia jang konsentris, Konsentris berarti bertitik-pusat satu dengan alam2 kebudajaan sedunia, tetapi masih tetap memiliki garis ~ lingkaran sendiri2. Inilah suatu bentuk dari sifat „Bhinneka Tunggal Ika”.
Dalam keterangan tentang sifat dasar dan bentuk diatas, istilah ,,bentuk” ini saja gambarkan sebagai ,,organisasi". Dalam hal ini haruslah kita ingati, bahwa tiap2 organisasi, agar bermanfaat, harus bersifat ,,organis’’ jang berarti hidup, djangan sampai sesuatu bentuk organisasi menghalang-halangi terlaksananja kenjataan2 jang mendjadi tudjuan organisasi itu. Memang benar organisasi perlu untuk tata-tertibnja keadaan lahir, akan tetapi djangan organisasi itu bertentangan dengan hakikatnja sesuatu kenjataan. Ingatlah saja akan suatu peladjaran jang dipentingkan dalam filsafat Islam, jang berbunji: „Sjari’at tidak dengan hakikat adalah kosong”, sebaliknja „Hakikat tidak dengan sjari’at adalah batal”. Dengan sendiri teringatlah saja akan petuah sutji, berasal dari Sultan Agung Mataram, jang terkenal sebagai Aulia, sebagai Pudjangga dan Pemimpin negara di-abad jang ke- 17. Menurut Sultan Agung, kalau sjari’at sembahjang tidak dituntun oleh kesutjian djiwa (jang disebut ,,gending” olehnja) maka batallah sjolatnja orang terhadap Jang Maha Kuasa. Tak ada perlunja orang memelihara hidup kebatinan, djika tidak berisikan pengluhuran Dhat Allah, jang Maha Sutji.
Bagi mereka jang ingin mengetahui wedjangan Sang Sultan Agung mengenai hal tersebut, baiklah disini saja sadjikan naskah jang orisinil, terkutip dari „Serat Sastra Gending”, tjiptaannja.
Pramila gending jén bubrah,
Gugur sembahé mring Widdhi,
Batal wisésaning salat,
Tanpa gawé ulah gending.
Déné ngran tembang gending :
Tuk iréng swara linuhung,
Amudji asmaning Dhat,
Swara saking osik wadhi,
Osik mulja wentarring tjipta surasa.
Saudara Ketua !
Dalam pidatonja maka Prof. Sardjito menjatakan, bahwa hidup dan pekerdjaan kami menundjukkan banjak facet2-nja, jang tidak memudahkan bagi Senat untuk memilih keilmuan gelar apa jang akan disadjikan. Ada jang menitik beratkan penghargaannja kepada keachlian kami dalam soal „pendidikan”, karena menurut Prof, Sardjito jang sekarang dilihat oleh masjarakat sebagai pekerdjaan jang sungguh besar, extensif dan intensif, ialah dilangsungkan perguruan Taman ~ Siswa. Sebaliknja ada jang beranggapan, bahwa hal itu hanja mengenai satu facet sadja dan dengan sendirinja dianggap belum tjukup. Achirnja oleh Dewan Senat ditetapkan,bahwa penghargaan serta pernilaian terhadap apa jang oleh Prof. Sardjito disebut „djasa-djasa” kami, ialah dengan memandang pribadi kami sebagai perintis kemerdejaan nasional, perintis pendidikan nasional dan perintis kebudajaan nasional.
Saja sendiri dapat memahami sepenuhnja apa jang dinjatakan leh Dewan Senat itu. Bahkan kami dapat membenarkan pula penilaian tersebut. Seperti berulang ~ ulang telah saja njatakan pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudajaan jang hidup dalam masjarakat kebangsaan. Dengan maksud agar segala unsur peradaban dan kebudajaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknja. Dan dapat kita teruskan kepada anak-tjutju kita jang akan datang. Dalam pada itu sudah pada waktu berdirinja Taman-Siswa saja beranggapan (dan ini disinggung-singgung pula oleh Prof. Sardjito), bahwa kemerdekaan Nusa dan Bangsa untuk mengedjar keselamatan dan kebahagiaan rakjat, tidak mungkin tertjapai hanja dengan dijalan politik. Terhadap pergerakan politik, orang tahu akan gambaran chajal kami, jang kerapkali djuga sudah kami djelaskan, bahwa untuk dapat bekerdja disawah dan ladang dengan tenteram dan seksama (ja’ni tugas para pendidik dan para pedjuang kebudajaan) sangat kita perlukan adanja pagar jang kokoh dan kuat, untuk menolak segala bahaja jang mengantjam dari segala kekuasaan dan kekuatan jang mungkin dapat merusak sawah dan ladang serta tanaman²-nja, jang kita pelihara. „Pagar” tadi tak bukan dan tak lain ialah pergerakan politik rakjat kita. Itulah sebabnja selalu adanja hubungan jang baik dan erat antara pergerakan pendidikan dan kebudajaan Taman-Siswa dengan pergerakan politik.
Ada satu hal didalam pidato Prof. Sardjito jang perlu kami beri sedikit pendjelasan. Saudara Sardjito menganggap „aneh”, bahwa dari pemimpin² kita sekarang ini sebagian terbesar adalah buah dari pendidikan dan pengadjaran didjaman Belanda itu, namun begitu toch tidak dapat dikatakan, bahwa mereka itu terasing dari dan kehilangan dasar² nasionalnja.
Saudara Ketua! Dalam hal ini harus kita insjafi, bahwa para penguasa bangsa Belanda di Indonesia sebenarnja samasekali tidak memperhatikan so’al pendidikan kebudajaan. Mereka semata-mata mementingkan pengadjaran, jang intelektualistis serta materialistis; karenanja pendidikan disitu semata-mata berupa pendidikan intelek. Dalam keadaan jang sedemikian anak² dan pemuda² kita, jang dirumah keluarganja masih dapat mengetjap suasana kulturil (ondanks meradjalelanja sistim pendidikan dan pengadjaran jaang intelectualistis, materialistis dan kolonial itu) tetap mendapat pengaruh dari segala apa jang terus hidup didalam berbagai tradisi kebudajaan, sekalipun dalam lapangan ini belum ada pendidikan jang modern. Keuntungan daripada keadaan tersebut ialah, bahwa banjak pemimpin² didjaman sekarang itu tidak terasing dari atau kehilangan dasar² nasionalnja. Ini bukan barang „anèh”, sebaliknja hal jang „logisch” jang dapat dimengerti, hal biasa, hal jang semestinja. Saja sendiri adalah product dari pendidikan dan pengadjaran Barat, karena diwaktu ketjil saja belum ada perguruan nasional. Semoga so’al ini kita perhatikan setjukupnja, jaitu bahwa disamping pendidikan ketjerdasan fikiran harus ada pendidikan jang kulturil. Djangan sampai kita hanja meniru sistim pendidikan dan pengadjaran jang sepi pengaruh kebudajaan, seperti jang kita alami didjaman Belanda dengan pendidikannja jang intelektualistis, materialistis dan..... kolonial itu.
Baiklah disini kita sadari, bahwa pendidikan dan pengadjaran setjara Barat tidak boleh setjara mutlak kita anggap djelek. Banjak ilmu pengetahuan jang harus kita kedjar, sekalipun dengan melalui sekolah² Barat. Kita mengerti, bahwa djuga di Indonesia kini masih banjak pendidikan dan pengadjaran jang dilakukan setjara sistim Barat. Ini tidak mengapa, asalkan kepada anak² kita diberi pendidikan jang kulturil dan nasional, jang semua-semuanja kita tudjukan kearah keluhuran manusia nusa dan bangsa, tidak dengan memisahkan diri dari kesatuan peri-kemanusiaan. Untuk dapat mentjapai tudjuan ini tjukuplah disini saja nasehatkan: didiklah anak² kita dengan tjara jang sesuai dengan tuntutan alam dan djamannja sendiri. Disamping itu peladjarilah hidup kedjiwaan rakjat kita, dengan adat istiadatnja jang dalam hal ini bukannja untuk kita tiru setjara mentah-mentah, namun karena bagi kita adat istiadat itu merupakan petundjuk² jang berharga.
Tentang pengertian „Keluarga” jang baru sadja kami siggung sebagai lingkungan jang melindungi keselamatan dan kebahagiaan anak2 dalam hidup kebudajaannja, perlulah disini diketahui, bahwa didalam sistim Taman-Siswa hidup Keluarga itu mendapat tempat jang luhur dan istimewa. Sebagai masjarakat jang paling ketjil namun jang paling sutji dan murni dalam dasar² socialnja, lingkungan Keluarga itu merupakan suatu pusat pendidikan jang termulia. Tjinta kasih, semangat tolong-menolong, rasa kewadjiban berkorban dan ikut bertanggungdjawab d.l.l., pendek kata segala unsur² dari budi social dan kesusilaan dalam sifat² pokoknja terdapat lengkap didalam hidup Keluarga. Selain itu, seperti sudah tersinggung diatas, lingkungan Keluarga inilah jang meneruskan segala tradisi, baik jang mengenai hidup kemasjarakatan, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain² unsur dari pada budi kesusilaan. Berpisahnja anak² dengan keluarganja berarti kehilangan tuntunan ataupun pedoman untuk laku hidupnja dan membahajakan keselamatan dan kebahagiaannja sebagai manusia jang susila dan bertanggung-djawab. Tak usah saja djelaskan disini, bahwa menurut statistik setjara modern dapat dibuktikan, bahwa kedjahatan - kedjahatan kriminil sebagian besar dilakukan oleh orang² jang tidak mempunjai hidup kekeluargaan dan atau berasal dari keluarga jang rusak kesusilaannja. Semoga hal jang amat penting ini djangan dilupakan oleh pimpinan² perguruan kita diseluruh Indonesia.
Nasehat² serupa jang saja utjapkan itu adalah perlu, karena sedjak lama rakjat kita boleh dikata keputusan tradisi. Kita tidak tahu lagi bagaimana sifat dan bentuk serta isi dan irama pendidikan dan pengadjaran didjaman dahulu kala. Rakjat kita sekarang berhasjrat besar untuk mengadakan pembangunan, djuga dilapangan kebudajaan dan pendidikan. Saja peringatkan disini, bahwa hingga sekarang kita kenal istilah² jang berhubungan dengan pemeliharaan pendidikan dan kebudajaan didjaman dulu. Pudjangga2 kita dan Ki Dalang dari dibawah blentjong hingga kini masih mentjeriterakan adanja tjantrik, tjekel, mengunju, djedjanggan, malah sebutan² untuk student² puteri, seperti mentrik, sontrang, dahjang, bidang dll. Pula nama² untuk guru² besarnja, seperti dwidjawara, hadjar, pendita, wiku, begawan dsb. Adanja istilah² itu membuktikan, bahwa didjaman dahulu sudah pernah ada perguruan² luhur,dengan aturan² tata - tertib jang berdifferensiasi, dimana terbukti para wanita dibolehkan mengikuti peladjaran dipawiyatan² luhur. (Barang tentu kita semua tahu, bahwa di Nederland misalnja, didjaman seratus tahun jang lalu, kaum perempuan dilarang untuk mendjadi student. Dr. Aletta H. Jacobs marhum, jang pernah hidup didjaman kita ini, adalah student perempuan jang untuk pertama kali dibolehkan mengikuti peladjaran tinggi, sampai menempuh udjian terachir dan memperoleh deradjat „medica”).
Jang saja utarakan ini adalah termasuk pengetahuan „spekulatif”, tetapi tjukup penting kira saja untuk diselidiki setjara ilmiah „positif” oleh para achli sedjarah dan kebudajaan kita.
Saja mempunjai kejakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainja bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan „garis kontinu” dengan djaman jang lampau, maka sistim pendidikan dan pengadjaran dinegeri kita, jang sekarang sudah mendjadi negara jang merdeka dan berdaulat, didjaman jang kita tempati sekarang ini, pasti akan mempunjai bentuk serta isi dan irama, jang lain dari pada jang kita lihat sekarang; mulai di TamanKanak² sampai di Universitas². Saja mengerti, bahwa bentuk, isi dan irama jang kita dapati didjaman sekarang ini, baik jang mendjadi milik badan² perguruan partikelir maupun jang dipelihara oleh Kementerian P. P. & K., pada umumnja masih merupakan „doordruk” (sekalipun doordruk jang sudah dikoreksi disana-sini) dari sekolah² jang terpakai dalam sistim Belanda. Malah kadang² masih nampak djuga, sekalipun suram², tendens² jang materialistis dan ....... kolonial.
Saja mengerti, Saudara Ketua, bahwa rakjat kita merasa wadjib, segera atau dalam waktu jang singkat melakukan pembangunan dilapangan pendidikan dan pengadjaran. Akan tetapi tidak ada tjontoh² jang positif, jang lebih baik dan dapat kita tiru. Kita lihat didjaman sekarang masih dipakainja bentuk² rumah sekolah, daftar² peladjaran jang tidak tjukup memberi semangat mentjahari ilmu pengetahuan sendiri, karena tiap² hari, tiap² tri-wulan. tiap² tahun peladjar² kita terus-menerus terantjam oleh sistim pernilaian dan penghargaan jang intelektualistis. Anak² dan pemuda² kita sukar dapat beladjar dengan tenteram, karena di-kedjar² oleh udjian² jang sangat keras dalam tuntutan²nja. Mereka beladjar tidak untuk perkembangan hidup kedjiwaannja; sebaliknja mereka beladjar untuk dapat nilai² jang tinggi dalam „school-rapport”-nja atau untuk dapat idjazah. Dalam so'al ini sebaiknjalah kita para pemimpin perguruan, bersama-sama dengan Kementerian P.P.&K. mentjahari, bagaimana tjaranja kita dapat memberantas penjakit „examen cultus” dan „diploma jacht” itu.
Saudara Ketua, saja sendiri sebagai pemimpin perguruan menjadari, bahwa maksud² jang baik dari para perintis atjapkali gagal, tidak berdaja untuk mempengaruhi masjarakat jang sudah terlandjur dalam batinnja terikat oleh bentuk, isi dan irama jang ada didalam sistim² pendidikan dan pengadjaran setjara Barat, sekalipun masjarakat tadi insjaf benar², bahwa sistim Barat tsb. sebenarnja tidak tjotjok dengan kebutuhan hidup kita, baik lahir maupun batin. Sjukurlah sedjak tertjapainja kemerdekaan nusa dan bangsa kita, tampak adanja keinginan, kehendak, bahkan hasjrat dari berbagai golongan rakjat, untuk memperbaiki segala apa jang tidak atau kurang beres itu. Sjukurlah pula, bahwa Kementerian P. P. & K. kita, jang berturut-turut dipimpin oleh orang² jang berachli, makin lama makin nampak keinsjafannja dan kesadarannja untuk mengadakan perubahan² jang perlu².
Saudara Ketua, djanganlah sekali-kali orang mengira, bahwa kita harus menolak pengaruh² kulturil dari dunia luar umumnja, dunia Barat chususnja. Djangan sekali-kali! Sebaliknja djanganlah kita memasukkan bentuk, isi dan irama dari luar jang tidak perlu. Dalam hal ini kita wadjib menundjukkan kepada dunia, bahwa kita tjukup bebas dan merdeka serta berdaulat, untuk memilih sendiri segala apa jang kita perlukan. Indonesia bukan Nederland, bukan Inggris, bukan Amerika. Djakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaja, Makassar, Medan, Padang . . . . . . . bukan Amsterdam, Leiden, Utrecht, Groningen, bukan djuga London Cambridge, bukan djuga kota² Universitas Amerika. Memang benar, kita harus meniru segala apa jang baik dari negeri manapun. Ambillah sifat² dasar jang ada diseluruh dunia, jang dapat memperkembang atau memperkaja kebudajaan nasional kita. Sebaliknja rakjat kita harus berani, sanggup dan mampu untuk mewudjudkan bentuk sendiri, isi sendiri, irama sendiri, seperti jang lajak boleh diharap-harapkan dari bangsa jang telah memasuki Dunia Internasional, tetapi sebagai Bangsa jang Berpribadi.
Marilah sekarang kita menindjau setjara singkat berturut-turut soal² Politik Pendidikan Kolonial didjaman V.O.C., serta rumusan dalil² mengenai Pendidikan dan Pendidikan Nasional, serta Kebudajaan.
POLITIK PENDIDIKAN KOLONIAL DI DJAMAN V.O.C. DAN HINDIA BELANDA.
Pada djaman beralihnja V.O.C. (Vereenigde Oost - Indische Compagnie) mendjadi pemerintah „Hindia Belanda”, maka sebenarnja sekali-kali tidak ada perubahan sikap dan tindakan terhadap segala urusan tanah-air kita. Pada hakikatnja pemerintah H. B. merupakan konsolidasi, dari segala apa jang tadinja dilakukan oleh V.O.C. tersebut. Baru sesudah nampak adanja kebangunan nasional pada permulaan abad ke - XX, bersamaan waktu dengan mulai tumbuhnja aliran „kolonial modern, jang disebut „ethische koers” atau „ethische politiek” di Nederland, barulah nampak adanja perubahan dalam sikap pemerintah kolonial. Sajang hanja mengenai sementara hal; a.l. jang bertali dengan pendidikan dan pengadjaran bagi rakjat, hal mana kini akan kami djelaskan lebih landjut.
Seperti diketahui maka dalam djaman O.I.C. (Oost - Indische Compagnie) bangsa Belanda menganggap tanah air kita semata-mata sebagai objek perdagangan. Mentjahari dan mendapat keuntungan materiil jang sebesar-besarnja, itulah maksud dan tudjuan dari pada segala usahanja dalam segala lapangan. Tidak lebih dan tidak kurang. Pendidikan dan pengadjaran diserahkan sama sekali kepada para pendeta Kristen. Kemudian ada instruksi jang menegaskan, bahwa kepada fihak rakjat hendaknja diberi pengadjaran membatja, menulis dan berhitung, akan tetapi hanja setjukupnja sadja dan melulu untuk mendidik orang² pembantu dalam beberapa usahanja. Djadi semata-mata guna memperbesar keuntungan perusahaan²-nja sendiri.
Pada djaman Napoleon Bonaparte djatuh kekuasaannja, dan pemerintah Nederland dibentuk kembali (th. 1816) maka dinegeri kita Indonesia oleh pemerintah H.B. diadakan beberapa perubahan. Diantaranja pada th. 1818 diadakan peraturan pemerintahan pokok, sematjam „undang² dasar” (jang disebut „Regeeringsreglement”, singkatan dari „Reglement op het beleid van de Regeering van Nederlands Indië”). Dalam R.R. 1818 itu mulai disebut-sebut tentang pemeliharaan pengadjaran, akan tetapi tidak pernah dilakukan. Pada th. 1836 R.R. dirubah dan dalam R.R .1836 tadi sama sekali tidak di-sebut² lagi tentang pengadjaran. Baru dalam R.R. 1854 terdapat pasal-pasal jang mengenai pendidikan dan pengadjaran. Diantaranja ditjantumkan pasal 125 jang berbunji: „Het openbaar onderwijs vormt een voorwerp van aanhoudende zorg van den gouverneur-generaal” (Pengadjaran negeri adalah hal jang senantiasa mendjadi perhatian gobnordjenderal). Ketetapan ini sungguh baik, akan tetapi pasal² berikutnja membuktikan djiwa kolonialnja pemerintah H.B. Pasal 126 misalnja menetapkan, bahwa pemberian pengadjaran kepada anak2 bangsa Eropa dibolehkan setjara bebas (Het onderwijs aan Europeanen is vrij). Pasal 127 berbunji selengkapnja: „Voldoend openbaar lager onderwijs moet worden gegeven overal, waar de behoefte der Europese bevolking dit vordert en de omstandigheden het toelaten”, jang artinja jalah sedapat-dapat harus ada pemberian pengadjaran rendah dari pemerintah, jang mentjukupi kebutuhan penduduk bangsa Eropah.
Teranglah disitu maksudnja: djangan sampai ada anak² bangsa Eropah tidak dapat pengadjaran. Bagaimanakah sikap pemerintah H.B. terhadap anak² Indonesia? Pasal 128 dalam soal itu menjebutkan: De gouverneur-generaal zorgt voor de oprichting van scholen tendienste van de Inlandse bevolking", dan ini berarti untuk rakjat gobnor djenderal diserahi untuk mendirikan sekolah². Lain tidak lebih dari pada mendirikan pun tidak. Tak ada disebut² disitu tentang keharusan, tentang kebutuhan, tentang perlunja ada usaha jang mentjukupi d.l.l. sebagainja.
Pada waktu itu ada beberapa bupati mendirikan „sekolah² kabupaten”, tetapi hanja untuk mendidik tjalon² pegawai. Kemudian lahir „Reglement voor het Inlands onderwijs”; lalu didirikan sekolah guru di Solo, jang kemudian pindah ke Magelang, lalu ke Bandung (1866). Dengan berangsur-angsur dapat didirikan „sekolah-sekolah bumiputera”, jang hanja mempunjai 3 kelas, sedang gurunja seorang dari Kweekschool, dan lain²-nja (pembantu) berasal dari „sekolah - bumiputera” itu djuga, sesudah mendapat didikan tambahan.
Maksud dan tudjuan dari segala usaha itu, tetap untuk mendidik tjalon² pegawai negeri dan pembantu² perusahaan² kepunjaan Belanda. Maksud dan tudjuan tersebut tidak berubah, ketika pemerintah memberi kelonggaran kepada anak² Indonesia, untuk memasuki „Eropeesche Lagere School”, karena jang dibolehkan ialah hanja tjalon² murid „Dokter Djawa”, murid „Hoofdenschool” dan „Kweekschool”. Suatu bukti, bahwa pemerintah Belanda semata-mata mementingkan pendidikan tjalon² pegawai negeri, jalah adanja udjian, jang sangat digemari oleh anak² bumi-putera, jang disebut „Kleinambtenaarsexamen”.
DJAMAN ETHIK DAN KEBANGUNAN NASIONAL.
Haluan dari pada sistim pendidikan, jang diadakan oleh fihak Belanda seperti tergambar diatas semua itu, tetap terus mempengaruhi segala usaha pendidikan. Djuga jang dilakukan sesudah aliran „Ethische politiek” atau „Ethische koers”" timbul, pada permulaan abad ke-XX (dan sebenarnja sebagai akibat,,kebangunan nasional" pada permulaan abad ke-XX). Haluan tadi boleh digambarkan sebagai haluan „kolonial lunak”, jang dalam sistim pendidikannja tetap menundjukkan sifah „intellectualistis”, pula „individualistis” dan „materialistis”. Sekali-kali tidak mengandung tjita² kebudajaan. Pada hal pendidikan dan pengadjaran itu sebenarnja harus bersifat pemeliharaan tumbuhnja benih² kebudajaan. Djuga sekolah² jang didirikan oleh bangsa kita sendiri (sesudah kita mengindjak kedalam djaman „Kebangunan nasional”) tidak dapat melepaskan diri dari belenggu intellectualisme, individualisme, materialisme dan kolonialisme tadi. Sungguhpun tjita² Raden Adjeng Kartini (1900) sudah mulai mengandung djiwa nasional dan tjita² Dokter Wahidin Sudirohusodo (1908) sudah membajangkan aliran kulturil, namun organisasi tehnik pendidikan dan pengadjaran tetap tak berubah. Masuknja anasir kebudajaan kedalam sekolah² jang bermaksud mewudjudkan perguruan kebangsaan, pula masuknja anasir² agama kedalam sekolah² Islam, tidak dapat menghapuskan tjorak-warna djiwa kolonial dengan sekaligus.
DJAMAN BANGKITNJA DJIWA MERDEKA.
Baru pada tahun 1920 timbullah tjita² baru, jang menghendaki perubahan radikal dalam lapangan pendidikan dan pengadjaran. Tjita² baru tadi se-akan² merupakan gabungan kesedaran kulturil dan kebangkitan politik. Idam - idaman kemerdekaan nusa dan bangsa, sebagai djaminan kemerdekaan dan kebebasan kebudajaan bangsa, itulah pokoknja sistim pendidikan dan pengadjaran, jang pada tahun 1922 dapat tertjipta oleh „Taman Siswa” di Jogjakarta. Bahwa aliran Taman Siswa itu sebenarnja sudah terkandung dalam djiwa rakjat diseluruh tanah-air kita, adalah terbukti dengan berdirinja perguruan² Taman - Siswa diseluruh kepulauan Indonesia, di Djawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Sunda-ketjil dan Maluku. Djuga sekolah2 jang berdasarkan „keagamaan” (Islam, Kristen, Katolik), asalkan berani berdiri sebagai sekolah partikelir jang tidak mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, disamping dasar² keagamaannja masing², memasukkan djuga dasar² kebudajaan bangsa, bahkan dengan sendiri berdjiwa politik nasional dan bersemangat revolusioner. Dengan begitu maka gerakan pendidikan berlaku sedjalan dengan gerakan politik, dan inilah jang menjebabkan amat banjaknja orang² bekas murid nasional tadi (tidak hanja jang terdidik dalam perguruan Taman-Siswa sadja) kini setjara bermanfaat dan efficiënt dapat ikut serta dalam segala usaha kenegaraan, baik dalam gerakan revolusi maupun dalam usaha pembangunan bangsa dan negara. TENTANG PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN NASIONAL.
Pendidikan umumnja berarti daja-upaja untuk memadjukan perkembangan budipekerti (kekuatan batin), fikiran (intellect) dan djasmani anak², Maksudnja ialah supaja kita dapat memadjukan kesempurnaan hidup, ja'ni kehidupan dan penghidupan anak², selaras dengan alamnja dan masjarakatnja. Karena itulah fasal-fasal dibawah ini harus kita pentingkan :
- Segala sjarat, usaha dan tjara pendidikan harus sesuai dengan kodratnja keadaan.
- Kodratnja keadaan tadi ada tersimpan dalam adat-istiadat masing² rakjat, jang karenanja ber-golong² mendjadi „bangsa-bangsa” dengan sifat perikehidupan sendiri², sifat² mana terdjadi dari tjampurnja semua daja-upaja untuk mendapat hidup tertib-damai.,
- Adat-istiadat, sebagai sifat daja-upaja akan tertib-damai itu, tiada terluput dari pengaruh „djaman” dan „alam”; karena itu tidak tetap, tetapi senantiasa berubah, bentuk, isi dan iramanja.
- Akan mengetahui garis hidup jang tetap dari sesuatu bangsa, perlulah kita mengetahui djaman jang telah lalu, mengetahui mendjelmanja djaman itu kedalam djaman sekarang, mengetahui djaman jang berlaku ini, lalu dapat insjaflah kita akan djaman jang akan datang.
- Pengaruh baru adalah terdjadi dari bergaulnja bangsa jang satu dengan jang lain, pergaulan mana pada sekarang mudah sekali, terbawa dari adanja perhubungan modern. Haruslah kita awas, akan dapat memilih mana jang baik untuk menambah kemuliaan hidup kita, mana jang akan merugikan pada kita, dengan selalu mengingati bahwa semua kemadjuan ilmu dan pengetahuan dan segala perikehidupan itu adalah kemurahan Tuhan untuk segenap ummat manusia diseluruh dunia, meskipun hidupnja masing² menurut garis sendiri jang tetap. Djika kita tidak boleh menolaknja.
Pendidikan budipekerti harus menggunakan sjarat² sesuai dengan roch kebangsaan, menudju kearah keluhuran dan kesutjian hidup batin, serta ketertiban dan kedamaian hidup lahir; baik sjarat² jang sudah ada dan baik, maupun sjarat² baru jang berfaedah untuk maksud dan tudjuan kita.
Teristimewa haruslah kita mementingkan pangkal kehidupan kita jang terus hidup dalam kesenian, peradaban dan keagamaan kita; atau terdapat dalam kitab² tjeritera (dongèng², mythen, legenden, babad dll.). Semua itu adalah „archief nasional”, dalam mana ada tersimpan pelbagai „kekajaan batin” dari bangsa kita. Dengan mengetahui segalanja itu, nistjajalah langkah kita menudju kearah djaman baru akan berhasil tetap dan kekal, karena djaman baru kita „djodohkan” sebagai „mempelai” dengan djaman jang lalu.
Berhubung dengan apa jang tersebut diatas itu perlulah anak² kita dekatkan hidupnja dengan perikehidupan rakjat, agar mereka tidak hanja dapat „pengetahuan” sadja tentang hidup rakjatnja, namun djuga dapat „mengalami” sendiri dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakjatnja.
Karena itu sejogyanjalah kita mengutamakan tjara „pondok-systeem”, berdasarkan hidup kekeluargaan, untuk mempersatukan pengadjaran - pengetahuan dengan pengadjaran budipekerti, sistim mana dalam sedjarah kebudajaan bangsa kita bukan barang asing. Dahulu bernama „asrama”, kemudian didjaman Islam mendjelma djadi „pondok - pesantrèn”.
Pengadjaran pengetahuan, adalah sebagian dari pendidikan, jang terutama dipergunakan untuk mendidik fikiran; dan ini perlu sekali, tidak sadja untuk memadjukan ketjerdasan batin, namun pula untuk melantjarkan hidup pada umumnja. Sejogyanjalah pendidikan fikiran ini dibangun se -tinggi²-nja, se - dalam²-nja dan selebar²-nja, agar anak² kelak dapat membangun perikehidupannja lahir dan batin dengan se - baik²-nja.
Pendidikan djasmani jang pada djaman dahulu kala djuga tidak asing, harus dipentingkan untuk kesehatan diri sendiri dan untuk mendapatkan turunan jang kuat.
TENTANG KEBUDAJAAN.
Kebudajaan, jang berarti buah budi - manusia adalah hasil perdjuangan manusia terhadap dua pengaruh jang kuat, ja'ni alam dan djaman (kodrat dan masjarakat), dalam perdjuangan mana terbukti kedjajaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai-bagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannja, guna mentjapai keselamatan dan kebahagiaan jang pada lahirnja bersifat tertib dan damai. - Sebagai buah perdjuangan manusia jang berada didalam satu alam dan satu djaman, maka kebudajaan itu selalu bersifat kebangsaan (nasional) dan mewudjudkan s i f a t atau w a t a k, ja’ni kepribadian bangsa. Dan inilah sifat kemerdekaan kebangsaan dalam arti kulturil.
- Tiap² kebudajaan menundjukkan indah dan tingginja adab-kemanusiaan pada hidupnja masing² bangsa jang memilikinja; dalam hal ini keluhuran dan kehalusan hidup manusia selalu dipakainja sebagai ukuran.
- Tiap² kebudajaan sebagai buah kemenangan manusia terhadap segala kekuatan alam dan djaman, selalu memudahkan dan melantjarkan hidup serta memberi alat baru untuk meneruskan kemadjuan hidup; sedang memudahkan serta memadjukan berarti pula memfaedahkan dan mempertinggi hidup.
Hidup tumbuhnja kebudajaan, 'sebagai buah-budi manusia kebudajaan tidak terluput dari segala kedjadian dan tabiat jang ada pada hidup manusia:
- Lahir, bertumbuh, madju, berkembang, berbuah, sakit, mendjadi tua, mundur dan mati.
- Kawin dan berketurunan:
- Setjara ,,asosiasi’, ja'ni berkumpul tetapi tidak bersatu, kerapkali menurunkan ,,bastaard”’, ja’ni bersifat tjampuran dan kadang² menundjukkan kemunduran atau dekadensi.
- Setjara ,,asimilasi”’, ja’ni bersatu-padu atau ,,manunggil” dan biasanja menurunkan ,,angkatan baru jang murni’.
- Mengalami seleksi: apa jang kuat terus hidup, jang lemah mati. Seterusnja hukum-evolusi lain²nja tak dapat dihindari didalam hidup kebudajaan.
Maksud kebudajaan (cultura, cultivare, colere) ialah memelihara serta memadjukan hidup manusia kearah keadaban. Dalam pada itu termasuk pula pengertian ,memudja-mudja” (cultus, vereering) dan inilah jang kerapkali menjebabkan hidup-bekunja (verstarring) kebudajaan. Karena itu haruslah selalu diingati:
- Pemeliharaan kebudajaan harus bermaksud memadjukan dan menjesuaikan kebudajaan dengan tiap² pergantian alam dan djaman.
- Karena pengasingan (isolasi) kebudajaan menjebabkan kemunduran dan matinja, maka harus selalu ada hubungan antara kebudajaan dengan kodrat dan masjarakat.
- Pembaruan kebudajaan mengharuskan pula adanja hubungan dengan kebudajaan lain jang dapat mengembangkan (memadjukan, menjempurnakan) atau memperkaja (jani menambah) kebudajaan sendiri.
- Kemadjuan kebudajaan harus berupa landjutan langsung dari kebudajan sendiri (continuiteit), menudju kearah kesatuan kebudajaan dunia (convergentie) dan tetap terus mempunjai sifat kepribadian didalam lingkungan kemanusiaan sedunia (concentriciteit).
Kebudajaan Indonesia jang sekarang masih berupa kumpulnja segala kebudajaan daerah, harus mulai sekarang kita galang mendjadi kesatuan kebudajaan untuk seluruh rakjat.
- Berhubung dengan tetap adanja kesatuan alam dan djaman, kesatuan sedjarah (dulu dan sekarang), kesatuan masjarakatdan lain2nja, maka Kesatuan Kebudajaan Indonesia hanja soal waktu.
- Sebagai bahan untuk membangun kebudajaan kebangsaan Indonesia perlulah segala sari-sari serta puntjak-puntjak kebudajaan jang terdapat diseluruh daerah Indonesia dipergunakan untuk mendjadi modal isinja.
- Dari luar lingkungan kebangsaan perlu pula diambil bahan2jang dapat memperkembangkan. dan/ atau memperkaja kebudajaan kita sendiri.
- Dalam memasukkan bahan2, baik dari kebudajaan daerah2 maupun dari kebudajaan asing, perlu senantiasa diingati sjarat-sjarat continuiteit, convergentie dan concentriciteit, tersebut dimuka.
- Djangan dilupakan, bahwa kemerdekaan bangsa tidak tjukup hanja berupa kemerdekaan politik, tetapi harus berarti pula kesanggupan dan kemampuan mewudjudkan kemerdekaan kebudajaan bangsa, ja'ni kechususan dan kepribadian dalam segala sifat hidup dan penghidupannja, diatas dasar adab-kemanusiaan jang luas, luhur dan dalam.
Sekianlah Saudara Ketua, kata sambutan kami atas uraian Presiden Universitas Sdr. Prof. Dr. Sardjito. Pidato kami tadi tidak semata-mata berudjud „dank-rede” tetapi kami maksudkan sebagai pendjelasan dan sementara tambahan jang perlu2, supaja para anggauta Senat, Dewan Kurator, para Guru-besar dan Dwidjawara lainnja, pula para Sardjana dan Siswa2 Universitas dapat mengetahuinja: Djika ada perkataan2 jang djanggal, kami minta maaf sebanjak-banjaknja. Saja tutup kata penjambutan kami ini dengan sekali lagi mengutjapkan banjak² terima kasih, atas kemurahan hati Senat Universitas Gadjah-Mada jang telah memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada kami. Kepada Saudara Prof. Dr. Sardjito pula saja menjatakan rasa penghargaan jang se-dalam²nja untuk pidatonja jang telah beliau utjapkan setjara tulus ichlas tadi.
Semoga Tuhan membalas segala budi baik itu.
——o0o——

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena penciptanya telah meninggal dunia lebih dari 70 tahun yang lalu atau dipublikasikan pertama kali lebih dari 50 tahun yang lalu. Masa berlaku hak cipta atas karya ini telah berakhir. (Bab IX UU No. 28 Tahun 2014)
