Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021
tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Pendidikan Tinggi

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 


MENTERI MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
REPUBLIK INDONESIA



PERATURAN MENTERI MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2021
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang:
  1. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa dengan semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kurang optimalnya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi;
  3. bahwa untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi, perlu pengaturan yang menjamin kepastian hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi;
  1. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi;
Mengingat:
  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
  3. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
  4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
  5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336);
  7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871);
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5500);
  3. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2021 tentang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 156);
  4. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 28 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 963);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
  2. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
  3. Pencegahan adalah tindakan/cara/proses yang dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
  4. Penanganan adalah tindakan/cara/proses untuk menangani Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
  5. Pemeriksaan adalah tindakan/cara/proses yang dilakukan Perguruan Tinggi untuk menindaklanjuti laporan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
  6. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi.
  7. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai dosen, instruktur, dan tutor yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi.
  8. Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan tinggi.
  9. Warga Kampus adalah masyarakat yang beraktivitas dan/atau bekerja di kampus.
  1. Pemimpin Perguruan Tinggi adalah Rektor pada Universitas dan Institut, Ketua pada Sekolah Tinggi, Direktur pada Politeknik, Akademi, dan Akademi Komunitas.
  2. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
  3. Korban adalah Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Warga Kampus, dan masyarakat umum yang mengalami Kekerasan Seksual.
  4. Terlapor adalah Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Warga Kampus, dan masyarakat umum yang diduga melakukan Kekerasan Seksual terhadap Korban.
  5. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
  6. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
  7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan:
  1. sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus; dan
  2. untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.

Pasal 3
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip:
  1. kepentingan terbaik bagi Korban;
  2. keadilan dan kesetaraan gender;
  3. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
  4. akuntabilitas;
  5. independen;
  6. kehati-hatian;
  7. konsisten; dan
  8. jaminan ketidakberulangan.

Pasal 4
Sasaran Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual meliputi:
  1. Mahasiswa;
  2. Pendidik;
  3. Tenaga Kependidikan;
  4. Warga Kampus; dan
  5. masyarakat umum yang berinteraksi dengan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma.

Pasal 5
  1. Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
  2. Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
    2. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
  1. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
  2. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
  3. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
  4. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  5. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  6. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  7. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
  8. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
  9. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
  10. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
  11. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
  12. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
  13. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
  1. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
  2. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
  3. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
  4. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil, membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
  5. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
  1. Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
    1. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
    3. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
    4. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
    5. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
    6. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
    7. mengalami kondisi terguncang.


BAB II
PENCEGAHAN


Bagian Kesatu
Pencegahan oleh Perguruan Tinggi


Pasal 6
  1. Perguruan Tinggi wajib melakukan Pencegahan Kekerasan Seksual melalui:
    1. pembelajaran;
  1. penguatan tata kelola; dan
  2. penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan.
  1. Pencegahan melalui pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dengan mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian.
  2. Pencegahan melalui penguatan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas:
    1. merumuskan kebijakan yang mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi;
    2. membentuk Satuan Tugas;
    3. menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;
    4. membatasi pertemuan antara Mahasiswa dengan Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus;
    5. menyediakan layanan pelaporan Kekerasan Seksual;
    6. melatih Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus terkait upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual,
    7. melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual kepada Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus;
    8. memasang tanda informasi yang berisi:
      1. pencantuman layanan aduan Kekerasan Seksual; dan
      2. peringatan bahwa kampus Perguruan Tinggi tidak menoleransi Kekerasan Seksual;
    9. menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual; dan
  1. melakukan kerja sama dengan instansi terkait untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
  1. Pencegahan melalui penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual paling sedikit pada kegiatan:
    1. pengenalan kehidupan kampus bagi Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan;
    2. organisasi kemahasiswaan; dan/atau
    3. jaringan komunikasi informal Mahasiswa, Pendidik dan Tenaga Kependidikan.


Bagian Kedua
Pencegahan oleh Pendidik dan Tenaga Kependidikan


Pasal 7
  1. Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Pendidik dan Tenaga Kependidikan meliputi:
    1. membatasi pertemuan dengan Mahasiswa secara individu:
      1. di luar area kampus;
      2. di luar jam operasional kampus; dan/atau
      3. untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran,

      tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan; dan

    2. berperan aktif dalam Pencegahan Kekerasan Seksual.
  2. Dalam hal Pendidik yang bersangkutan merupakan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan maka persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh atasan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan yang bersangkutan.
  1. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan:
    1. Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan menyampaikan permohonan izin secara tertulis atau melalui media komunikasi elektronik mengenai rencana pertemuan dengan Mahasiswa; dan
    2. permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan kepada kepala/ketua program studi atau ketua jurusan sebelum pelaksanaan pertemuan.


Bagian Ketiga
Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Mahasiswa


Pasal 8
  1. Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Mahasiswa meliputi:
    1. membatasi pertemuan dengan Pendidik dan Tenaga Kependidikan secara individu:
      1. di luar area kampus,
      2. di luar jam operasional kampus, dan/atau
      3. untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran,

      tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan; dan

    2. berperan aktif dalam Pencegahan Kekerasan Seksual.
  2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan:
    1. Mahasiswa menyampaikan permohonan izin secara tertulis atau media komunikasi elektronik mengenai rencana pertemuan dengan Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan; dan
    2. permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan kepada kepala/ketua program studi atau ketua jurusan sebelum pelaksanaan pertemuan.

Pasal 9
Ketentuan mengenai tata cara pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.


BAB III
PENANGANAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 10
Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui:
  1. pendampingan;
  2. pelindungan;
  3. pengenaan sanksi administratif; dan
  4. pemulihan Korban.


Bagian Kedua
Pendampingan


Pasal 11
  1. Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a diberikan kepada Korban atau saksi yang berstatus sebagai Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.
  2. Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. konseling;
    2. layanan kesehatan;
    3. bantuan hukum;
    4. advokasi; dan/atau
    5. bimbingan sosial dan rohani.
  1. Dalam hal, Korban atau saksi merupakan penyandang disabilitas, pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas.
  2. Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan persetujuan Korban atau saksi.
  3. Dalam hal Korban tidak memungkinkan untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka persetujuan dapat diberikan oleh orang tua atau wali Korban atau pendamping.


Bagian Ketiga
Pelindungan


Pasal 12
  1. Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b diberikan kepada Korban atau saksi yang berstatus sebagai Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.
  2. Pelindungan kepada Korban atau saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi Mahasiswa,
    2. jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan;
    3. jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan Kekerasan Seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak hukum;
    4. pelindungan atas kerahasiaan identitas;
    5. penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;
    6. penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan;
  1. pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap Korban;
  2. pelindungan Korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana;
  3. gugatan perdata atas peristiwa Kekerasan Seksual yang dilaporkan;
  4. penyediaan rumah aman; dan/atau
  5. pelindungan atas keamanan dan bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikan.


Bagian Keempat
Pengenaan Sanksi Administratif


Pasal 13
  1. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c dilakukan dalam hal pelaku terbukti melakukan Kekerasan Seksual.
  2. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi berdasarkan rekomendasi Satuan Tugas.

Pasal 14
  1. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 terdiri atas:
    1. sanksi administratif ringan;
    2. sanksi administratif sedang; atau
    3. sanksi administratif berat.
  2. Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
    1. teguran tertulis; atau
    2. pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
  1. Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
    1. pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan; atau
    2. pengurangan hak sebagai Mahasiswa meliputi:
      1. penundaan mengikuti perkuliahan (skors);
      2. pencabutan beasiswa, atau
      3. pengurangan hak lain.
  2. Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa:
    1. pemberhentian tetap sebagai Mahasiswa; atau
    2. pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
  3. Setelah menyelesaikan sanksi administratif ringan dan sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pelaku wajib mengikuti program konseling pada lembaga yang ditunjuk oleh Satuan Tugas.
  4. Pembiayaan program konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibebankan pada pelaku.
  5. Laporan hasil program konseling sebagai dasar Pemimpin Perguruan Tinggi untuk menerbitkan surat keterangan bahwa pelaku telah melaksanakan sanksi yang dikenakan.

Pasal 15
Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan secara proporsional dan berkeadilan sesuai rekomendasi Satuan Tugas.

Pasal 16
  1. Pemimpin Perguruan Tinggi dapat menjatuhkan sanksi administratif lebih berat dari sanksi administratif yang direkomendasikan oleh Satuan Tugas.
  2. Pengenaan sanksi administratif lebih berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan:
  1. Korban merupakan penyandang disabilitas;
  2. dampak Kekerasan Seksual yang dialami Korban; dan/atau
  3. Terlapor atau pelaku merupakan anggota Satuan Tugas, kepala/ketua program studi, atau ketua jurusan.

Pasal 17
  1. Dalam hal Pemimpin Perguruan Tinggi tidak berwenang mengenakan sanksi administratif, Pemimpin Perguruan Tinggi meneruskan rekomendasi sanksi administratif kepada Menteri melalui direktur jenderal yang membidangi urusan pendidikan tinggi sesuai dengan kewenangan.
  2. Dalam hal Terlapor merupakan Pemimpin Perguruan Tinggi dan telah terbukti melakukan Kekerasan Seksual, Satuan Tugas meneruskan rekomendasi sanksi kepada Menteri melalui direktur jenderal yang membidangi urusan pendidikan tinggi sesuai dengan kewenangan.

Pasal 18
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak menyampingkan pengenaan sanksi administratif lain dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19
Perguruan Tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif berupa:
  1. penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk Perguruan Tinggi; dan/atau
  2. penurunan tingkat akreditasi untuk Perguruan Tinggi.


Bagian Kelima
Pemulihan Korban


Pasal 20
  1. Pemulihan kepada Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d berupa:
    1. tindakan medis;
    2. terapi fisik;
    3. terapi psikologis; dan/atau
    4. bimbingan sosial dan rohani.
  2. Pemulihan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan:
    1. dokter/tenaga kesehatan lain;
    2. konselor;
    3. psikolog;
    4. tokoh masyarakat;
    5. pemuka agama; dan/atau
    6. pendamping lain sesuai kebutuhan termasuk kebutuhan Korban penyandang disabilitas.
  3. Pemulihan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan persetujuan Korban.
  4. Dalam hal saksi pelapor mengalami stres traumatis sekunder (secondary traumatic stress), pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan berdasarkan persetujuan saksi.

Pasal 21
Masa pemulihan Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tidak mengurangi hak Korban dalam proses pembelajaran, hak kepegawaian, atau hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22
  1. Dalam hal Korban atau saksi berstatus sebagai masyarakat umum, Perguruan Tinggi dapat melakukan pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan Korban atau saksi dengan mengikutsertakan dinas yang membidangi Penanganan Kekerasan Seksual atau lembaga penyedia layanan Penanganan Korban Kekerasan Seksual.
  2. Dalam hal Korban atau saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Perguruan Tinggi dapat melakukan pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan Korban atau saksi dengan mengikutsertakan lembaga yang membidangi pelindungan anak.
  3. Pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi.


BAB IV
SATUAN TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL


Pasal 23
  1. Dalam pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Pemimpin Perguruan Tinggi membentuk Satuan Tugas di tingkat Perguruan Tinggi.
  2. Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pertama kali melalui panitia seleksi.

Pasal 24
  1. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) berjumlah gasal paling sedikit 3 (tiga) orang dan paling banyak 7 (tujuh) orang.
  2. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan keterwakilan keanggotaan perempuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota.
  1. Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur:
    1. Pendidik;
    2. Tenaga Kependidikan; dan
    3. Mahasiswa;
  2. Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat:
    1. pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual;
    2. pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas;
    3. pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau
    4. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual.
  3. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri dengan dokumen administrasi sebagai berikut:
    1. daftar riwayat hidup;
    2. surat rekomendasi dari atasan bagi calon anggota dari unsur Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan
    3. surat rekomendasi dari Pendidik bagi calon anggota dari unsur Mahasiswa;
  4. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat ad hoc.

Pasal 25
  1. Tata cara pembentukan dan rekrutmen keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, meliputi:
    1. Pemimpin Perguruan Tinggi merekrut calon anggota panitia seleksi paling sedikit 10 (sepuluh) orang dan mengumumkannya;
    2. calon anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a akan mengikuti pelatihan dan seleksi yang diselenggarakan oleh unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas penguatan karakter;
  1. hasil pelatihan dan seleksi sebagaimana dimaksud dalam huruf b diumumkan melalui laman unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas penguatan karakter; dan
  2. calon anggota panitia seleksi yang telah mengikuti pelatihan dan seleksi sebagaimana dimaksud dalam huruf b akan dilakukan proses uji publik untuk mendapatkan masukan dari masyarakat.
  1. Hasil pembentukan dan rekrutmen keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.

Pasal 26
Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 mempunyai tugas:
  1. menyusun petunjuk teknis seleksi anggota Satuan Tugas;
  2. melaksanakan seleksi anggota Satuan Tugas; dan
  3. merekomendasikan anggota Satuan Tugas kepada Pemimpin Perguruan Tinggi untuk ditetapkan.

Pasal 27
  1. Keanggotaan Satuan Tugas berasal dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan, terdiri atas unsur:
    1. Pendidik;
    2. Tenaga Kependidikan; dan
    3. Mahasiswa.
  2. Susunan keanggotaan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. ketua merangkap anggota;
    2. sekretaris merangkap anggota; dan
    3. anggota.
  3. Anggota Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah gasal paling sedikit 5 (lima) orang.
  4. Anggota Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperhatikan keterwakilan keanggotaan perempuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota.

Pasal 28
  1. Ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a berasal dari unsur Pendidik.
  2. Sekretaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b berasal dari unsur Mahasiswa atau Tenaga Kependidikan.
  3. Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf c paling sedikit 50% (lima puluh persen) berasal dari unsur Mahasiswa.

Pasal 29
  1. Ketua dan sekretaris Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a dan huruf b dipilih dari dan oleh anggota Satuan Tugas secara musyawarah mufakat dengan memperhatikan kesetaraan gender.
  2. Anggota Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual;
    2. pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas;
    3. pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas;
    4. menunjukkan minat dan kemampuan untuk bekerja sama sebagai tim dalam melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tingginya; dan/atau
    5. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual.
  3. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melampirkan dokumen persyaratan administrasi sebagai berikut:
    1. daftar riwayat hidup;
    2. hasil wawancara;
  1. surat rekomendasi dari atasan bagi calon anggota dari unsur Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan
  2. surat rekomendasi dari Pendidik bagi calon anggota dari unsur Mahasiswa.

Pasal 30
  1. Keanggotaan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi paling lambat 1 (satu) bulan sejak menerima rekomendasi dari panitia seleksi.
  2. Anggota Satuan Tugas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas penguatan karakter.

Pasal 31
  1. Masa tugas Satuan Tugas selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) periode berikutnya.
  2. Keanggotaan Satuan Tugas berakhir karena:
    1. berakhirnya masa tugas;
    2. meninggal dunia;
    3. mengundurkan diri;
    4. tidak lagi memenuhi unsur keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27;
    5. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
    6. berhalangan tetap selama lebih dari 6 (enam) bulan; dan/atau
    7. dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 32
  1. Pemimpin Perguruan Tinggi melakukan seleksi paling lama 3 (tiga) bulan sebelum masa keanggotaan Satuan Tugas berakhir.
  1. Mekanisme seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan petunjuk teknis seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a.

Pasal 33
  1. Penggantian keanggotaan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf g dilakukan pemilihan oleh Satuan Tugas.
  2. Keanggotaan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi.

Pasal 34
  1. Satuan Tugas bertugas:
    1. membantu Pemimpin Perguruan Tinggi menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c;
    2. melakukan survei Kekerasan Seksual paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan pada Perguruan Tinggi;
    3. menyampaikan hasil survei sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Pemimpin Perguruan Tinggi;
    4. mensosialisasikan pendidikan kesetaraan gender, kesetaraan disabilitas, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, serta Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual bagi Warga Kampus;
    5. menindaklanjuti Kekerasan Seksual berdasarkan laporan;
    6. melakukan koordinasi dengan unit yang menangani layanan disabilitas, apabila laporan menyangkut Korban, saksi, pelapor, dan/atau Terlapor dengan disabilitas;
    7. melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam pemberian pelindungan kepada Korban dan saksi;
    8. memantau pelaksanaan rekomendasi dari Satuan Tugas oleh Pemimpin Perguruan Tinggi; dan
  1. menyampaikan laporan kegiatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual kepada Pemimpin Perguruan Tinggi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
  1. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan Tugas berwenang:
    1. memanggil dan meminta keterangan Korban, saksi, Terlapor, pendamping, dan/atau ahli;
    2. meminta bantuan Pemimpin Perguruan Tinggi untuk menghadirkan saksi, Terlapor, pendamping, dan/atau ahli dalam Pemeriksaan;
    3. melakukan konsultasi terkait Penanganan Kekerasan Seksual dengan pihak terkait dengan mempertimbangkan kondisi, keamanan, dan kenyamanan Korban; dan
    4. melakukan kerja sama dengan Perguruan Tinggi terkait dengan laporan Kekerasan Seksual yang melibatkan Korban, saksi, pelapor, dan/atau Terlapor dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan.

Pasal 35
  1. Anggota Satuan Tugas wajib menjunjung tinggi Kode Etik yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
  2. Kode Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan norma dan asas yang harus dipatuhi oleh anggota Satuan Tugas dalam pelaksanaan tugas.
  3. Kode Etik merupakan integrasi dari nilai yang meliputi:
    1. menjamin kerahasiaan identitas pihak yang terkait langsung dengan laporan;
    2. menjamin keamanan Korban, saksi, dan/atau pelapor; dan
    3. menjaga independensi dan kredibilitas Satuan Tugas.

Pasal 36
Dugaan penyalahgunaan wewenang dalam:
  1. proses pembentukan dan rekrutmen keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
  1. pelaksanaan tugas panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26;
  2. proses pembentukan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30; dan
  3. pelaksanaan tugas dan wewenang Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34;

dilaporkan kepada Menteri melalui unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas penguatan karakter.


Pasal 37
  1. Pemimpin Perguruan Tinggi memfasilitasi pelaksanaan tugas dan wewenang Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
  2. Fasilitasi pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. penyediaan sarana dan prasarana operasional;
    2. pembiayaan operasional Pencegahan dan Penanganan;
    3. pelindungan keamanan bagi anggota Satuan Tugas; dan
    4. pendampingan hukum bagi anggota Satuan Tugas dalam menghadapi permasalahan hukum terkait pelaksanaan tugas dan wewenang.


BAB V
MEKANISME PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL OLEH SATUAN TUGAS


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 38
Satuan Tugas menangani laporan Kekerasan Seksual melalui mekanisme:
  1. penerimaan laporan;
  2. Pemeriksaan;
  3. penyusunan kesimpulan dan rekomendasi;
  1. pemulihan; dan
  2. tindakan Pencegahan keberulangan.


Bagian Kedua
Penerimaan Laporan


Pasal 39
  1. Pelaporan Kekerasan Seksual dilakukan oleh Korban dan/atau saksi pelapor.
  2. Pelaporan Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui:
    1. telepon;
    2. pesan singkat elektronik;
    3. surat elektronik; dan/atau
    4. laman resmi milik Perguruan Tinggi.
  3. Pelaporan Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mekanisme yang mudah diakses penyandang disabilitas.

Pasal 40
  1. Penerimaan laporan dilakukan pada setiap pengaduan yang berasal dari Korban atau saksi pelapor.
  2. Dalam menerima laporan, Satuan Tugas melakukan:
    1. identifikasi Korban atau saksi pelapor;
    2. penyusunan kronologi peristiwa Kekerasan Seksual;
    3. Pemeriksaan dokumen/bukti yang disampaikan pelapor;
    4. inventarisasi kebutuhan Korban dan/atau saksi pelapor; dan
    5. pemberian informasi mengenai hak Korban atau saksi pelapor, mekanisme Penanganan Kekerasan Seksual, kemungkinan risiko yang akan dihadapi dan rencana mitigasi terhadap risiko tersebut.
  3. Satuan Tugas memberitahukan tindak lanjut Penanganan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemimpin Perguruan Tinggi.


Bagian Ketiga
Pemeriksaan


Pasal 41
  1. Satuan Tugas melakukan Pemeriksaan atas laporan Kekerasan Seksual.
  2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mengumpulkan keterangan dan/atau dokumen yang terkait dengan laporan Kekerasan Seksual.
  3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Korban, saksi, dan/atau Terlapor.
  4. Dalam hal Korban, saksi, dan/atau Terlapor merupakan penyandang disabilitas, Satuan Tugas menyediakan pendamping disabilitas dan pemenuhan akomodasi yang layak.
  5. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertutup.
  6. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
  7. Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan.

Pasal 42
Selama Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pemimpin Perguruan Tinggi dapat memberhentikan sementara hak pendidikan Terlapor yang berstatus sebagai Mahasiswa atau hak pekerjaan Terlapor yang berstatus sebagai Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.


Bagian Keempat
Penyusunan Kesimpulan dan Rekomendasi


Pasal 43
Satuan Tugas menyusun kesimpulan dan rekomendasi Penanganan Kekerasan Seksual

Pasal 44
  1. Kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 memuat pernyataan terbukti atau tidak terbukti adanya Kekerasan Seksual.
  2. Dalam hal terbukti adanya Kekerasan Seksual, kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat uraian:
    1. identitas pelaku;
    2. bentuk Kekerasan Seksual;
    3. pendampingan Korban dan/atau saksi; dan
    4. pelindungan Korban dan/atau saksi.
  3. Dalam hal tidak terbukti adanya Kekerasan Seksual, kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat uraian:
    1. identitas Terlapor;
    2. dugaan Kekerasan Seksual;
    3. ringkasan Pemeriksaan; dan
    4. pernyataan tidak terbukti adanya Kekerasan Seksual.

Pasal 45
  1. Rekomendasi dalam hal terbukti adanya Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) paling sedikit memuat usulan:
    1. pemulihan Korban;
    2. sanksi kepada pelaku; dan
    3. tindakan Pencegahan keberulangan.
  2. Dalam hal tidak terbukti adanya Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3), Satuan Tugas merekomendasi pemulihan nama baik Terlapor.

Pasal 46
Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.


Bagian Kelima
Pemulihan


Pasal 47
  1. Satuan Tugas memfasilitasi Pemulihan terhadap Korban.
  2. Bentuk fasilitasi Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. pelaksanaan jangka waktu Pemulihan Korban selama masa yang sudah ditetapkan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi;
    2. kerja sama dengan pihak terkait untuk pemberian Pemulihan Korban;
    3. pemberitahuan ke pihak terkait di Perguruan Tinggi bahwa:
      1. selama masa Pemulihan bagi Korban yang berstatus sebagai Mahasiswa tidak mengurangi masa studi atau tidak dianggap cuti studi;
      2. selama masa pemulihan, Korban yang berstatus sebagai Pendidik atau Tenaga Kependidikan memperoleh hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
      3. Korban yang berstatus sebagai Mahasiswa yang mengalami ketertinggalan akademik, memperoleh hak untuk mendapatkan bimbingan akademik tambahan dari Pendidik, dan
    4. pemantauan proses Pemulihan Korban dan perkembangan kondisi Korban yang dilakukan melalui koordinasi dengan penyedia layanan Pemulihan Korban.
  3. Pemberian fasilitasi Pemulihan Korban selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan persetujuan Korban.

Pasal 48
  1. Dalam hal Terlapor tidak terbukti melakukan Kekerasan Seksual, Satuan Tugas memberikan rekomendasi kepada Pemimpin Perguruan Tinggi untuk melakukan pemulihan nama baik Terlapor.
  2. Pemulihan nama baik Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.


Bagian Keenam
Tindakan Pencegahan Keberulangan


Pasal 49
  1. Tindakan Pencegahan keberulangan Kekerasan Seksual paling sedikit meliputi perbaikan:
    1. pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
    2. penguatan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); dan
    3. penguatan budaya komunitas sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (4).
  2. Penguatan pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa:
    1. mengembangkan materi modul;
    2. mengembangkan metodologi pembelajaran;
    3. melakukan diseminasi dan sosialisasi materi modul secara intensif;
    4. melakukan evaluasi pemahaman materi modul; dan/atau
    5. kegiatan lain dalam rangka Pencegahan keberulangan Kekerasan Seksual.
  3. Perbaikan penguatan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi perbaikan perumusan dan pelaksanaan kebijakan Perguruan Tinggi dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
  1. Perbaikan penguatan budaya komunitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e paling sedikit meliputi sosialisasi dan edukasi secara intensif kepada Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
  2. Satuan Tugas membantu Pemimpin Perguruan Tinggi melakukan tindakan Pencegahan keberulangan Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4).

Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, serta mekanisme kerja Satuan Tugas diatur oleh Pemimpin Perguruan Tinggi.


BAB VI
PEMERIKSAAN ULANG


Pasal 51
  1. Dalam hal Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dianggap tidak adil, Korban atau Terlapor berhak untuk meminta Pemeriksaan ulang.
  2. Permintaan Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui kanal pelaporan Kementerian.

Pasal 52
  1. Pemeriksaan ulang dilakukan oleh direktur jenderal yang membidangi urusan pendidikan tinggi sesuai dengan kewenangan.
  2. Hasil Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. menguatkan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46; atau
  1. memberikan rekomendasi kepada Pemimpin Perguruan Tinggi untuk:
    1. mengubah Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi, atau
    2. membatalkan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi,
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
  1. Rekomendasi kepada Pemimpin Perguruan Tinggi untuk mengubah Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1 berupa memberatkan atau meringankan sanksi dalam Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.
  2. Rekomendasi kepada Pemimpin Perguruan Tinggi untuk membatalkan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 berupa pencabutan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi disertai tindak lanjut:
    1. pemulihan nama baik Terlapor; atau
    2. pengenaan sanksi administratif bagi Terlapor.
  3. Keputusan Pemeriksaan ulang oleh direktur jenderal yang membidangi urusan pendidikan tinggi sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
  4. Petunjuk teknis Pemeriksaan ulang ditetapkan oleh direktur jenderal yang membidangi urusan pendidikan tinggi sesuai dengan kewenangan.


BAB VII
HAK KORBAN DAN SAKSI


Pasal 53
  1. Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi berhak:
    1. mendapatkan jaminan atas kerahasiaan identitas diri;
    2. meminta pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan dari Perguruan Tinggi melalui Satuan Tugas, dan
  1. meminta informasi perkembangan Penanganan laporan Kekerasan Seksual dari Satuan Tugas.
  1. Saksi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi berhak:
    1. mendapatkan jaminan atas kerahasiaan identitas diri; dan/atau
    2. meminta pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan.


BAB VIII
PEMANTAUAN DAN EVALUASI


Pasal 54
  1. Pemimpin Perguruan Tinggi wajib melakukan pemantauan dan evaluasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dilaksanakan oleh Satuan Tugas.
  2. Laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri melalui unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas penguatan karakter paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan Laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
    1. kegiatan Pencegahan Kekerasan Seksual;
    2. hasil survei yang dilakukan oleh Satuan Tugas;
    3. data pelaporan Kekerasan Seksual;
    4. kegiatan Penanganan Kekerasan Seksual; dan
    5. kegiatan Pencegahan keberulangan Kekerasan Seksual.

Pasal 55
  1. Dalam hal Pemimpin Perguruan Tinggi tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenai sanksi administratif berupa:
    1. teguran tertulis bagi Pemimpin Perguruan Tinggi; atau
  1. pemberhentian dari jabatan bagi Pemimpin Perguruan Tinggi.
  1. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 56
Menteri dapat sewaktu-waktu melakukan pemantauan dan evaluasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi dalam hal terjadi Kekerasan Seksual yang:
  1. skala berat;
  2. kondisi Korban kritis;
  3. Korban berada di wilayah negara berbeda atau lintas yurisdiksi; dan/atau
  4. melibatkan pelaku yang karena tugas dan kedudukannya memiliki kewenangan melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 57
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
  1. Satuan Tugas yang menangani Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang sudah ada di Perguruan Tinggi harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri ini paling lama 1 (satu) tahun; dan
  2. Perguruan Tinggi yang belum memiliki Satuan Tugas harus membentuk Satuan Tugas berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri ini paling lama 1 (satu) tahun,
terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

Pasal 58
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2021

MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN
RISET, DAN TEKNOLOGI
REPUBLIK INDONESIA
,


ttd.

NADIEM ANWAR MAKARIM

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 September 2021

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BENNY RIYANTO


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 1000

Salinan sesuai dengan aslinya,
Kepala Biro Hukum
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi

ttd.

Dian Wahyuni
NIP 196210221988032001