Misteri Rimba Mangkisi
| Disarankan membagi karya ini menjadi beberapa halaman. JIka Anda ingin membantu, silakan lihat pedoman gaya dan halaman bantuan. |
MISTERI
RIMBA MANGKISI
oleh
A. Damhoeri
XX
Untuk Penerbit majuan K.
1993
m i s t e r i
M I S T E R I
R I M B AM A N G K I S I
o I e h
A. D a m h o e r i
U n t u k:P e n e r b i tm a j um e d a n
- 1 9 9 3 -
1. Mencari Urang Gadang1. 2. Sebuah gubuk ditengah hutan7. 3. Yang setinggi satu meter dan yang setinggi 3 meter16. 4. Ditukar dengan babi21. 5. Rakus benar dia!31. 6. Tuo Hutan35. 7. Tamu tengah malam41. 8. Bantuan Urang Gadang49. 9. Misteri Urang Gadang55.
Nama dan alamat pengirim:
A. Damhoeri
Lurah Bukit
Pos: Pakan Rabaa-26262
PAYAKUMBUH.-
LIMA orang anak muda kelihatan berjalan santai pada sebuah ilan desa yang lurus menuju tepat ke sebuah daerah perbukitan. Kiri nan jalan itu terdapat pesawahan dalam berbagai bentuk pengolahannya. la yang sedang disabit, sedang disiang, sedang dibajak, yang menandakan hwa petani didaerah itu tidak kenal dengan tanaman padi serentak,
'lima anak muda itu masing-masing membawa bebannya, ada rangsel yang rsangkut dipunggungnya, ada tas yang dijinjing dengan tangan. Kelima gak muda itu dua orang priya dan tiga orang puteri. Tampaknya usia mere- | sebaya, : 1
Persis didepan mata mereka kelihatan satu barisan daerah perbukitan. antara bukit-bukit itu beberapa buah ada yang menonjol tinggi berben- Ik kerucut sehingga merupakan sebuah gunung kecil. Makin lama daera itu rlihat bertambah dekat,
Jalan desa itu agak sepi tak berapa orang penduduk desa yang ber- pasan sepanjang jalan. Baru kira-kira meeka berjalan sejauh dua kilo ter mereka bertemu dengan seorang laki-laki yang sudah baya, Laki-laki Uu duduk santai diatas rumput sambil mengisap rokok daun enau. Ia ber- piah sebo, pakaian yang sudah kumal, malahan dengan kumis, berewok n janggutnya kurang terpelihara. Tidak berapa jauh dari tempat duduk ki-laki itu ada dua ekor lembu sedang merumput dengan asyik.
Ketika sudah berdekatan dengan laki-laki tadi tampaknya ia ingin nyapa anak-anak muda itu dn salah seorang dari anak muda itu kelihatan- 'a ingin hendak bertanya pula. Akhirnya salah seorang dari anak muda itu- ih yang memulai pembicaraan:
" Maaf pak, jauhkah lagi desa Lurah Bukit?"
Beberapa saat laki-laki itu belum menjawab tetapi menaksir mereka.
" Kalian mau ke Lurah Bukit?" tanya laki-laki itu.
" Ya, pak!"
" Tidak jauh lagi, kira-kira satu kilo lagi. Tuuu, kelapa yang ke- hatan itu Ialah Lurah Bukit."
Dalam pada itu tanpa dikomando keempat kawannya sudah duduk diatas mput dengan seenaknya saja. Agaknya mereka sudah letih berjalan.
" Mau mengapa kalian kesana sebetulnya?" laki-laki tadi melanjut-
n pertanyaannya,
" Kami barmaksud akan mencari 'urang gadang'," jawab anak muda tadi, ng secara spontan sudah menjadi jurubicara dari rombongan kecil itu.
" Urang gadang?" ulang laki-laki tadi, Kalimat itu dalam bahasa zerah yang berarti: orang besar,
." Ya, disana memang ada seorang gadang,"kata laki-laki tadi. " Dia orang pengarang, tetapi kami memanggilnya dengan pak guru saja,"
" Kenapa dipanggilkan begitu, pak," tanya anak muda tadi,
" Dahulunya dia jadi guru jadi sampai sekarang tetap kami panggil
ru juga." " Tetapi yang kami cari bukan urang gadang itu," jawab anak muda itu sejurus kemudian.
" Jadi urang gadang apa?" tanya laki-laki itu pula.
" Ya, memang urang gadang benar, manusia yang setinggi tiga meter. Kabarnya dalam Rimba Mangkisi terdapat urang gadang itu. Dimana Rimba Mangkisi itu pak?"
Laki-laki itu menatap wajah anak muda itu beberapa saat pula dan dimukanya terbayang seperti sebuah senyuman.
" Itulah Rimba Mangkisi," ujar laki-laki itu pula sambil ia menunjuk arah kedaerah perbukitan itu. " Celahan bukit itu ialah pintu untuk masuk kedalam Rimba Mangkisi.
" Besarkah rimba itu, pak?"
" Kalian 'kan masih muda-muda, masih kuat. Dan biasanya orang-orang muda itu suka menjelajak kemana-mana. Nah, kalian cobalah menjelajak rimba Mangkisi itu, tetapi bawa bekal secukupnya. Paling cepat selama lima belas hari baru kalian sampai dibalik rimba itu. Tepatnya kalian akan sampai di daerah Riau, disanalah tepi rimba ini....."
Semua mereka mendeceh-deceh mendengar penuturan laki-laki itu. Dan mereka semakin asyik mendengar obrolannya.
Laki-laki itu mengeluarkan selepah rokoknya lalu menggulung sebatang udut daun enau. Setelah dibakarnya dan mengembuskan asapnya ke udara ia menyambung ceritanya:
" Tetapi tentang urang gadang itu dimana kalian mendapat ceritanya?"
" Ya, dari urang gadang yang bapak katakan tadi. Beliaulah yang menuliskan dalam surat kabar bahwa dalam Rimba Mangkisi itu ada sejenis manusia besar yang tingginya lebih dari tiga meter. Dan itulah sebabnya kami sampai kemari. Kami ingin hendak menemui orang besar itu."
Giliran laki-laki itu kini yang membesarkan matanya mendengar rencana perjalanan mereka.
" Jadi kalian dari mana dan siapa kalian?" tanya laki-laki tadi.
" Kami mahasiswa Unand, pak. Kami mengambil jurusan antropologi. Jadi setelah kami mendengar adanya manusia setinggi tiga meter di dadaerah ini kami ingin hendak menbuktikannya. Dan kalau memang ada kami ingin hendak menjumpainya....."
" Kalau itu maksud kalian banyak sedikitnya saya bisa membantu kalian, hiay,....hiayayay....." teriaknya tiba-tiba. Rupanya lembunya sudah melangkahi parit dan makan padi disawah.
Anak muda-muda itu tambah gembira mendengar perkataan orang itu dan salah seorang sudah mengeluarkan buku notesnya mencatat dialog-dialog mereka.
" Mungkin bapak orang pertama yang kami temui yang dapat memberi informasi kepada kami tentang urang gadang itu," kata anak muda yang mula-mula bicara tadi dan memperkenalkan namanya dengan Imran. Orang itu hanya mesem saja.
" Ya, dan kali inilah baru saya bertemu dengan orang yang membicarakan urang gadang itu."
" Jadi urang gadang itu memang ada, pak?" bertanya pula salah seorang mahasiswa yang puteri bernama Betty.
" Kemungkinan memang ada 'nak, " jawabnya, " malahan saya sudah pernah bertemu dengan dia."
" Bapak sudah pernah bertemu dengan dia, memang besar pak?" ujar anak perempuan itu.
Laki-laki itu tertawa.
" Ya, tetapi berapa tingginya saya kurang tahu sebab saya temui ketika dia tidur....."
" Nama bapak siapa? Dan dimana alamat bapak?" bertanya seorang lagi yang sudah siap dengan buku catatannya. Rupanya pembicaraan itu sudah semakin serius.
" Gelar saya Datuk Mantiko Indo dan rumah saya tuuu, tak jauh dari sini," sambil ia menunjuk ke sebuah rumah kecil tak berapa jauh dari tempat itu.
" Tetapi dari cerita-cerita kawan-kawan saya yang biasa masuk hutan dan pernah menemukannya memang urang gadang itu kelewat tinggi, hampir dua setengah depa. Yang saya temui itu dia sedang ketiduran. Saya pagi buta itu pergi ke Solok Jelatang akan mencari durian. Saya lihat ada makhluk sedang tidur dalam sebuah gua dan kedua kakinya terjulur keluar, kaki itu sangat panjang dan besarnya seperti batang pisang....."
" Oh,...oh,..." kata mereka serempak keheranan.
" Urang gadang itu memang makhluk aneh yang masih ada dalam Rimba Mangkisi itu. Ada yang mengatakan namaya Orang Kubu Tapak Laweh."
" Itu sesuai dengan yang kami baca dalam surat kabar itu," ujar Imrar pula.
" Jadi kalian ingin menemuinya?" Ya, menemuinya, membuat ceritanya dan kalau bisa membuat foto-fotonya....." Pak Datuk tertawa mengikik.
" Tidak segampang itu anak muda, " ujar pak Datuk, " Urang gadang itu sangat sukar ditemui dan rasanya kalian tak mungkin membuat fotonya.
" Untuk menemuinya kalian harus bermalam dalam hutan lebat itu, harus sendrian saja. Dan nanti bila dipanggil dia akan datang dan minta sesuatu kepada kalian."
" Apa itu sesuatu pak Datuk?"
" Tembakau. Dia gemar benar merokok dan perlu tembakau. Tembakau itu dicampurnya dengan daun paku kering digulungnya dengan daun pisang karuk dan itu sangat digemari mereka. Tetapi membuat fotonya rasanya mustahil. Mereka bisa marah dan menelan tustel foto kalian...."
Semua anak-anak muda itu terdiam dan merasa taajub.
" Baiklah pak, kapan-kapan kami akan menemui bapak minta informasi lagi dan kami ingin melanjutkan perjalanan ke Lurah Bukit. Memang tujuan kami kesana untuk menemui bapak pengarang itu dan kebetulan anaknya adalah teman se kuliah kami tetapi berbeda jurusan."
" Oh, ya,...ya, silakan. Kapan saja kalian datang ingin hendak menemui saya akan saya nanti dengan segala senang hati."
Mereka saling bersalaman dan kelimanya bangkit dan meneruskan perjalanannya.
M E R E K A diterima dengan segala senang hati oleh Pak Adamh pengarang yang sudah di sebut-sebut mereka dalam percakapannya dengan Datuk Hantiko Indo. Ia memag sering menerima kedatangan tamu-tamu yang ingin hendak mencari-cari informasi baik berupa tulisan atau data-data untuk membuat paper atau skripsi. Malahan ada orang-orang dari Luar Negeri yang datang menemuinya seperti dari Australia, Inggeris, malah dari Amerika. Demikian pula kelima mahasiswa itu. Kebetulan anaknya yang mahasiswa pula sedang ada dirumah. Langsung anaknya menjadi pemandu dalam misi mencari urang gadang itu. Anaknya itu dipanggilkan dengan Men. Ketika anak perempuan menempati sebuah kamar dan dua anak laki-laki menempati ruangan yang lain pula.
Besok nya sebuah missi kecil berangkat memasuki Rimba Mangkisi, yaitu Imran dengan seorang temannya laki-laki dan Men sebagai pengantarnya. Anak-anak perempuan tidak ikut. Mereka membawa bekal secukupnya : beras, sambal, minyak tanah, rokok, garam dan.... tembakau. Yah, siapa tahu mereka beruntung dapat menemui urang gadang dan mereka minta tembakau.
Sewaktu akan memasuki Rimba Mangkisi kepala rombongan missi itu sempat ber dialog pendek dengan pak Adamh:
" Semoga usaha kalian berhasil," ujarnya. " Tetapi untuk menemuinya langsung sebagai pernah saya katakan dan menurut keterangan pak Mantiko Indo harus berani sendirian dalam hutan itu. Kau berani?"
Imran tersenyum pencong.
" Kalau memang jelas ia ada saya akan mencobanya, pak! Toh dia tidak mau merusakkan kita bukan?"
" Kabarnya tidak, malah lebih berbahaya binatang-binatang lain seperti harimau, ular, beruang dan lain-lainnya. Andaikata kalian bisa menemuinya apalagi bisa membuat fotonya maka kalian akan menjadi penemu terhebat di dunia saat ini. Nama kalian akan di sebut-sebut oleh pers seluruh dunia dan foto kalian akan terpampang dalam surat-surat kabar dan majalah terkemuka di dunia."
" Ah bapak, sebagai menyindir kami......"
" Bukan menyindir," jawab pak Adamh, " itu sewajarnya saja sebab jarang orang yang pernah melihat makhluk itu dalam keadaan utuh. Kalau menginap dalam hutan dan dia datang minta tembakau paling-paling kita hanya akan melihat tangannya yang sebesar tiang, berbulu-bulu dan jari sebesar senter. Namun cobalah, tentukanlah lokasinya, si Men tentu bisa menolong."
Lalu berangkatlah mereka.
Dua malam rombongan kecil itu menginap dalam hutan disebuah solok. Yang dimaksud solok ialah sebuah lembah yang terjadi karena dua lereng bukit yang saling bertemu. Wajah Imran kelihatan agak berseri.
" Bagaimana?" tanya pak Adamh, " ada bertemu yang dicari itu?"
" Ada pak," jawab Imran, " tetapi jejaknya saja,"
" Haaa .... !" kata pak Adamh agak heran.
" Ada bertemu jejaknya? Berapa besar?"
" Panjangnya sekitar 47 senti meter dan lebarnya kira-kira 20 senti meter, tetapi anehnya pak, hanya tumitnya saja yang jelas terlihat...."
" Kata orang memang begitulah tuk ninik kita itu berjalan, jadi ujung telapak kakinya ter angkat sehingga tumitnya saja yang jelas tertinggal. tetapi larinya tak ubahnya dengan sebuah bulldozer...."
" Namun kini saya percaya bahwa orang gadang itu memang ada, seperti Yeti di Pegunungan Himalaya, dan Sasquatch di pegunungan Champian Creek di negara bagian Idaho, Amerika Serikat. Nah, rupanya negara kita tidak kalah dalam soal urang-urang gadang itu dan mereka didapati dalam Rimba Mangkisi. Apakah bapak tak pernah menyusun ceritanya yang lebih panjang dan lebih lengkap?"
" Ya, memang ada, kau boleh membacanya.
" Tidak dibukukan, pak?"
" Memang maksud mau dibukukan tetapi penerbitnya ber tele-tele dan sampai sekarang belum juga terbit. Nah, kamu saja membacanya atau kalau perlu menyalinnya bila diperlukan."
" Baiklah, terima kasih, pak!"
Demikianlah malam itu Imran asyik membaca sebuah naskah yang ketikannya sudah agak kebur. Dan inilah cerita yang dibaca oleh Imran itu:
.///.
***
SATU-SATUNYA pintu masuk ke Rimba Mangkisi itu terdapat di desa Lurah Bukit. Sebuah batang air kecil keluar melintasi lembah-lembah perbukitan yang akhirnya bermuara di batang Sinamar. Nama sungai kecil itu Mangkisi pula. Batang Mangkisi itu kecil saja. Tetapi tak berhenti berair sepanjang tahun. Dalam palung sungai itu banyak batu-batu. Mulai dari yang sebegar tikus sampai yang sebesar kerbau. Bila musim kemarau air sungai itu mengalir dengan tenangnya melewati batu-batu itu. Tetapi bila terjadi banjir airnya akan menggila hebat. Batu-batu yang sebesar-besar kerbau itu di gelinding-gelindingkannya seakan-akan bocah main kelereng. Pada sebuah tempat yang bernama Solok Bakul airnya dibagi-bagi untuk irigasi. Menurut survey para ahli air batang Mangkisi itu dapat dipergunakan untuk membangun sebuah PLTA Mini dengan hasilnya kira-kira 100 MW. Tetapi hal ini tak pernah terjadi. Entah kapan.
Melalui pintu pass itulah penduduk desa masuk kedalam hutan dan mencari sumber nafkahnya. Tidak putus-putusnya setiap hari. Pagi pergi, sore pulang dengan membawa sesuatu. Pekayuankah, rotan kah, buah-buahankah dan sebagainya.
Empat jam perjalanan orang dewasa dari desa itu kita akan sampai disebuah dataran kecil. Nyata bahwa disana dahulu terdapat daerah perkampungan. Masih jelas dilihat bekas tebat ikan, bekas perumahan, kuburan, dan lain-lainnya. Tempat itu bernama: Subayang. Ber abad-abad yang silam disanalah desa penduduk yang ada sekarang. Kemudian pindah ke desa-desa yang ada sekarang. Kampung itu ditinggalkan. Di Subayang itu ada juga sebatang anak air. Namaya Batang Subayang pula. Sungai kecil ini bermuara ke sungai Kampar Kiri, di daerah Gunung Sahilan. Jadi termasuk daerah Riau.
Penduduk desa sering juga datang kesana. Untuk mencari pekayu an a- tau mencari ikan. Ikan di batang Subay ang itu banyak dan jinak-jinak. Maklum jarang ditangkap orang. Jar ang penduduk desa tingg al menetap disana.
Tetapi pada suatu masa da juga seorang penduduk desa yang tinggal menetap disana. Malahan sendirian saja. Memang aneh dan berani benar dia. Dia disitu berladang gambir. Luas juga ladangnya itu. Pada waktu cerita ini terjadi gambir diladang orang itu sudah hampir akan dikempa. Artinya daun gambir itu dipetik, lalu diolah dan diperas getahnya. Getah itulah menjadi salah satu sarana niaga ekspor yang cukup berharga.
Oleh sebab itu pondok yang dibangunnya ditengah ladang gambir itu berbeda bentuknya dari pondok yang lain-lain. Pondok itu tinggi sebab terjadi dari dua tingkat. Kenapa harus dibuat dua tingkat?
Ditingkat bawah itu terdapat'kempa' gambir itu. Kempa itu terbuat dari dua buah papan tebal yang kuat, pangkalnya diapit dalam sebuah lubang yang dipahatkan dalam sebuah balok yang kuat pula. Kesebelah atasnya pengempa ini terbuka dan dapat dirapatkan. Untuk merapatkannya dipasang beberapa buah baji di kiri kanannya. Kedua ujung pengempa itu dirapatkan dengan cara memasukkan baji-baji itu. Memasukkan baji itu dengan cara ditokok kuat-kuat. Penokoknya tidak seberat 10 kilo tetapi barangkali hampir 50 kilo beratnya. Nah, tidak sembarang orang mampu mengayun penokok itu dan menghantamkan ke baji itu. Antara pengapit itulah diletakkan daun gambir yang sudah direbus dan keluar getahnya. Getah itu dtampung disebelah bawahnya. Getah itu dicetak dengan sepotong bambu dan dikeringkan. Maka menjadilah ia komoditi ekspor yang berharga.
Nama peladang gambir yang hidup memencil itu: Tu' Atin. Umurnya agaknya sudah sekitar 40 tahun. Tubuhnya mempunyai postur agak pendek dibandingkan dengan manuaia dewasa. Tetapi tubuhnya kekar dan keras. Hatinya juga keras. Di kapung itu terkenal sebagai seorang dukun. Juga ia terkenal sebagai seorang guru silat. Tetapi mengapa ia sudah sekian tahun diam menyendiri dalam hutan itu? Tentu ada latar belakangnya, bukan semata-mata mengharapkan hasil gambir saja. Sebab kalau hanya sekadar untuk berladang gambir ada tanah ulayat yang dekat dari sana. Dan mengapa harus di buat sejauh itu? Tempat yang sudah ditinggalkan nenek moyang berabad-abad yang silam. Hanya Tu' Atin lah yang dapat menjawab pertanyaan ini. Tetapi tampaknya ia senang dan betah tinggal ditempat yang sepi terpencil itu. Untuk keperluannya sehari-hari seperti: beras, garam, tembakau, bakal lauk pauk isterinya mengantarkan sekali seminggu atau sekali dua minggu yakni bila ia ada kesempatan. Si isteri ini termasuk berani juga. Ia berani berjalan memasuki hutan sendirian saja mengantarkan perbekalan kepada suaminya. Tinah namanya,
Namun keberanian masuk hutan itu sudah lazim di desa. Anak kecil berusia 12 tahun berani sendirian masuk hutan pada tengah malam buta di waktu musim durian. Penduduk desa sudah mengetahui simpang-simpang jalan setapak dalam hutan itu. Dan kenal dengan nama-nama tempatnya.
Penduduk desa sering juga berkomentar tentang kesendirian Tu' Atin itu. Bermacam-macam komentar mereka. komentar itu munculnya di kedai-kedai kopi pada pagi hari. Saat itu kebahagian besar penduduk desa hadir disana untuk minum kopi, dan makan satu dua biji goreng. Semuanya itu menelan tempoh sampai ber jm-jam. Sebab komentarnya yang lama. Secara istilah daerah dinamakan " bergunjing". Temanya macam-macam. Dari soal rumah tangga si Anu sampai situasi Internasional. Mereka bicara lebih pintar dari seorang anggota Parlemen. Atau seorang anggota DPR. tingkat satu. Maka sekali-sekali jadi bahan masalah Tu' Atin. Empat kepala punya empat pasang bibir atau empat buah lidah. Dan hasilnya empat macam pendapat pula.
Kata yang seorang: " Tu' Atin ingin pergi ke Mekah, jadi dia berladang supaya banyak dapat uang..."
Kata yang lain: " Tu' Atin ingin bertarak untuk mendapat ilmu batin yang paling hebat....."
Ditambah atau dibantah pula oleh yang lain:
" Tu' Atin sengaja diam sendirian dalam hutan karena ia banyak utang......".
Yah, macam-macamlah komentar mereka. Padahal Tu' Atin sedikitpun tidak ada merugikan mereka. Sedang mengambil buruh saja dia tidak ada. Semuanya dikerjakannya sendirian.
Kadang-kadang ada juga penduduk desa yang sampai di ladang Tu' Atin. Mereka senang sebab ada poncok tempat singgah dan istirahat. Malah kalau perlu mereka dapat menumpang bermalam disana, Orang-orang yang pergi ke Marayu sering mampir disana. Merayu itu nama sebuah tempat yang banyak rotan dan mansunya. Setelah mengambil rotan atau manau hari sudah sore sehingga lebih baik bermalam di ladang Tu' Atin dan pulang ke desa besoknya. Dalam saat seperti itulah Tu' Atin mendapat teman untuk mengobrol atau menanyakan hal-hal yang terjadi di desa.
Jalan menuju Merayu itu arah ke kiri dan yang terus ke Subayang arah ke kanan. Kalau diteruskan lagi kita akan sampai di daerah Riau. Jika perjalanan diteruskan arah ke kanan itu kita akan melewati sebuah lereng pegunungan yang bernama: gunung Jadi. Disitulah hulu sungai Kampar Kiri sebagai pernah kita sebut-sebut juga terdahulu dari ini.
Dalam pada itu Tu' Atin jalan terus. Semua komentar penduduk desa sebagai angin lalu saja di telinganya. Tak peduli Konon gambirnya sudah hampir dikempa. Nanti setelah getahnya dicetak dan dijemur hasil itu akan menjadi salah satu hasil komoditi penting Indonesia. Gambir itu dalam bahasa Latin dinamakan: Uncaria gambir. Batangnya keras, daunnya hijau muda, tangkainya pendek. Kalau tidak disiang tumbuhnya berbelit-belit sampai panjang. Dalam ketiak daunnya terdapat bunganya berbongkol bulat terdiri atas bunga putih kecil-kecil.
Kegunaan gambir itu untuk makan sirih tetapi tentu hanya sedikit. Yang terpenting gunanya ialah untuk bahan menyamak kulit, membatik, obat, cat dan sebagainya. Sebab itulah gambir jadi komoditi penting. Daunnya yang sudah diambil getahnya tidak dibuang. Dikeringkan dan dijual yang gunanya untuk teman makan sirih dan menghilangkan bau mulut, dsb.nya. Gambir itu dapat hidup lama apalagi kalau tetap disiang. Daerah seberang dalam hutan itu terdapat ladang gambir, setengahnya tidak diambil lagi hasilnya dan lainnya ada yang masih tetap menghasilkan. Sebuah daerah yang bernama Sungai Ipuh terkenal dengan hasil gambirnya. Banyak penduduknya yang menjadi kaya dengan mengusahakan ladang gambir. Sialnya jalan yang baik belum ada kedaerah itu sehingga sangat sukar untuk membawa hasilnya kepasar ramai. Juga hasil yang lain-lain. Padahal hasil daerah itu cukup banyak.
* * *
PADA suatu hari Tu' Atin sedang bersiang dalam ladangnya. Ladangnya itu cukup luas sehingga amat merepotkan menyianginya. Selesai sebelah sini sebelah sana sudah panjang pula siangannya. Siap sebelah sana sebelah sini sudah panjang pula jenggotnya. Sunggub merepotkan. Tapi Tu' Atin tenang-tenang saja, dan memang itulah seninya.
Yang terbayang dalam ingatannya ialah; Pada satu masa nanti gambirnya akan dikempa dan mengeluarkan hasil. Bila sudah banyak terkumpul sudah boleh dibawanya ke kota untuk dijual. Bila sudah banyak terkumpul sudah boleh dibawanya ke kota untuk dijual. Encek Cong Hian, atau Encek akan menimbang gambirnya dan kemudian menghitung dengan sempoanya. Lalu ia menerima sejumlah uang. Itu sangat menggembirakan.
" Wuah Latuk, luitnya sekian laaaa, ..." kata si Cina itu. Dan diserahkanlah sejumlah uang kepada Tu' Atin. Tempat toko itupun disebuah jalan yang bernama Jalan Gambir. Menandakan bahwa Payakumbuh itu banyak menghasilkan gambir. Juga tembakau. Sebab Jalan Tembakau ada pula di kota itu.
Tidak banyan cencong Tu' Atin. Sebanyak yang diberikan Toko Cina itu diterimanya dengan senang hati dan gembira. Ia merasa dirinya orang terkaya pada waktu itu. Biasanya menerima uang penjualan gambir itu bersama-sama dengan isterinya Tina dan seorang anak gadisnya yang masih tanggung. Tina isterinya pada masa itu masih muda dan kelihatan segar. Sekarang ia sudat tambah tua. Dan sudah punya cucu juga. Gadis tanggung anaknya itu sudah besar dan sudah bersuami.
Setelah menerima uang mulailah mereka menjelajahi toko-toko akan membeli-beli barang yang ketuju dihatinya. Kalau ada yang berkenan masuklah mereka kedalam. Menawar mulai terendah sampai mencapai kesanggupan tenaga belinya.
Itu peristiwa beberapa tahun yang silam. Ketika Tu' Atin membuat ladang gambir di Taeh tak berapa jauh dari desanya. Dan kini kisahnya tentu sudah lain lagi. Demikianlah Tu' Atin sering melamun ketika ia menyiangi ladang gambirnya yang luas itu. Sampai tiba-tiba.....
" Tuuuuk,...!" terdengar suara orang menyerunya. Tu' Atin mendongakkan kepalanya. Mencari-cari dari mana suara itu datang. Maka kelihatanlah tiga orang laki-laki sedang berdiri ditepi pagar sebelah bawah ladang. Tu' Atin berhenti bekerja dan pergi menemui orang-orang itu. Tu' Atin kenal dengan mereka karena penduduk desanya. Yang seorang bernama Jakhtar, seorang lagi Sirin dan yang lainnya bernama Nahar. Masing-masing ada pembawaannya, dibawa dipanggung, dijunjung atau di jinjingnya dengan tangannya.
" Kalian mau ke Merayu atau ke Subayang?" tanya Tu' Atin, " singgahlah dahulu!" Tanpa diulang dua kali ketiganya berjalan beriringan dan masuk kedalam ladang. Lalu duduk disebuah bangku bambu yang tersedia disamping pondok, setelah meletakkan pembawaannya
Masing-masing mengeluarkan selepah rokoknya lalu membuat sebatang udut daun enau dan membakarnya,
" Kalian mau mencari apa?" tanya Tu' Atin.
" Mencari manau," jawab Jakhtar, sekarang manau sedang mahal. Banyak orang pergi mencari manau. Demikianlah kebiasaan penduduk desa. Apa yang sedang laku itulah dicari mereka ke hutan. Laku manau, manau dicari, laku rotan, rotan dicari, laku garu, maka garu yang dicari. Maka asyiklah mereka bercakap-cakap. Dan dalam saat-saat seperti itu pulalah Tu' Atin mendapat kabar berita dari desa atau tempat yang lain-lain. Sekarang kita bercerita tentang: manau.
Rotan ialah sejenis tumbuhan yang penting pula tumbuh dalam hutan itu. Dalam bahasa Latinnya dinamakan: palma. Panjangnya ada yang sampai 200 meter. Batangnya berduri. Dari rotan dapat diperbuat berbagai jenis perabot rumah tangga. Cukup mahal juga harganya, apalagi yang halus buatannya.
Manau ialah jenis rotan yang besar. Dalam keadaan sudah tua jari-jarinya ada yang mempunyai radius 10 sampai 15 meter. Manau dalam bahasa Latinnya dinamakan dengan: Calamus manan. Mencari manau lebih gampang. Sebab manau akan tumbuh menjerait dilereng-lereng yang tinggi terjal. Pucuknya terdapat sebelah atas sekali dan selalu bergoyang-goyang walau tidak ada angin sekalipun. Seolah-olah dia berkata: " Hai manusia, inilah aku si manau. Ambillah aku, bawalah, buatlah alat perabot yang kalian sukai!"
" Tak usah kuatir. Tebanglah aku, hilang satu akan datang seribu." Itulah salah satu keanehan manau dalam rimba.
Pada zaman dahulu sebelum ada titisan kawat manau yang dibuat orang menjadi titian melewati batang Sinamar. Lebar sungai itu paling kurang 100 meter. Tetapi karena manau itu cukup panjang satu lembar saja sudah cukup direntangkan dari seberang keseberang sungai. Sebelah sini ditambangkan kuat-kuat dibatang kelapa yang ditanamkan kuat-kuat dalam tanah. Sebelah sana demikian pula. Mengikatkan ujung manau itu disebelah sananya sangatlah sukar. Sebab manau itu jari-jarinya paling kurang sebesar lengan orang dewasa, keras dan liat. Beberapa orang laki-laki yang tegap-tegap dan kuat, membelit-belitkan ujung manau itu dipohon kelapa itu. Ada pawangnya yang memimpin tugas itu. Setelah membaca jampi-jampinya sebagai orang kesurupan mereka memutar-mutar ujung manau yang keras dan liat itu dan mencocokannya kedalam simpulan ikatannya. Tampaknya mudah saja seperti seorang wanita menusukkan ujung benang kedalam lubang jarum. Dan empat kaki harus dilakukan. Dua kali untuk di alas jembatan dan dua kali untuk terentang sebelah atasnya untuk gantungan tali-talinya. Memang menakjubkan. Jika tak pernah melihatnya kita tidak akan percaya. Dan pekerjaan itu disaksikan oleh seluruh penduduk desa yang nanti akan mempergunakan jambatan atau titian itu. Kaum ibu membawa juadah dalam talam dan pihak panitia sudah menyembelih seekor kerbau dan sudah siap dimasak. Jadi membuat jambatan manau itu merupakan pesta rakyat yang jarang terjadi dan luar biasa. Pada zaman dahulu ada empat buah jambatan manau itu yang melintasi batang Sinamar. Satu pada jalan menuju Ampalu di Air Babar namanya, satu di Kampai untuk hubungan ke Coran dan Sungai Ipuh, satu lagi di Ranah untuk hubungan ke Seberang Air. Dan satu lagi di Ngalau sikuran-kuran untuk hubungan antara Batu Payung Balai Panjang ke daerah Seberang Air juga.
Kita kembali ke ladang Tu' Atin.
Ketika itulah Tu' Atin dapat menerima warta berita dari desa, dari soal tetek bengek sampai masalah-masalah penting. Anak gadis yang dilarikan orang, si Anu yang luka kakinya kena sabit, si Polan yang mati mendadak, dan lain-lainnya.
Tiba-tiba sebagai orang bersentak dari mimpi Jakhtar berkata:
" Tak pernahkah datuk selama disini bertemu dengan Urang Gadang?"
" Urang gadang apa?" tanya Tu' Atin.
" Ya, urang gadang. Menurut ceritanya dalam rimba ini masih ada hidup Urang Gadang tingginya hampir tiga depa dan telapaknya saja hampir satu hasta panjangnya....."
Tu' Atin tertawa terkekeh-kekeh.
" Jangan mendongeng disini Tar," ujar Tu' Atin, " dimana ada manusia yang sebesar itu entah ratusan ahun yang lalu. Sudah sekian lama aku disini belum pernah aku bertemu dengan manusia yang kau dongengkan itu."
" Aku pernah bertemu dengan Urang Gadang itu ketika aku kemalaman sendirian di Merayu. Urang Gadang itu datang ke tempatku....."
" Lalu mengapa dia datang?"
" Minta tembakau."
" O, jadi bukan minta tangan, atau minta kepala atau sebagainya?"
" Tidak, sesudah kuberi dia tembakau dia lalu pergi."
" Biarlah," kata Tu' Atin acuh tak acuh. " Kalau dia datang akan kupersilakan dia naik...."
" Mana mungkin tuk, jongkoknya saja jauh lebih tinggi dari pondok datuk ini."
" Nah, kalau dia tidak membahayakan perlu apa kita takut, barangkali mereka ninik moyang kita pada jaman dahulu."
" Mungkin, dan adakah datuk membawa tembakau?"
" Ada, si Tina selalu banyak membawa tembakau...." "Oh, yaa, tadi kami sama-sama dengan si Tina, tetapi dia berhenti diujung bukit sana...."
Tetapi sebentar kemudian berkata Nahar:
"Eh, panjang umurnya isteri datuk, sebentar ini disebut namanya itu dia sudah sampai..." Kelihatan seorang wanita berjalan melenggok-lenggok akan memasuki ladang sedang diatas kepalanya dijunjungnya sesuatu. Itulah Tina isteri Tu' Atin. Namun baru saja isteri datuk sampai Jakhtar dengan teman-temannya minta diri akan meneruskan perjalanannya.
"Eh, kenapa buru-buru?" kata Tu' Atin. "Disini saja malam ini, besok baru terus ke Merayu."
"Tidak Tu'," jawab Nahar, "kami sudah merencanakan akan bermalam di Merayu supaya pagi-pagi benar sudah dapat mengambil manau...."
"Kalau begitu ya apa boleh buat, lain kali saja menginap disini," tukas Tu' Atin, pada wajanya terbayang sesuatu. Seakan-akan ada apa-apa yang dirahasiakannya dilubuk hatinya.
Dalam pada itu Tina sudah sampai dan duduk diatas bangku-bangku. Sejenak Tu' Atin menurutkan dengan matanya ketiga temannya berangkat sampai hilang disebuah lembah.....
.///.
- * *
TU' ATIN menyandarkan dirinya disebuah karung sambil mengembuskan asap rokok daun enau yang baru saja dibakarnya. Dilihatnya dengan sudut matanya asap berwarna kelabu yang bergulung-gulung naik keatas. Pikirannya barangkali sama-sama terbang dengan kepulan asap itu,- ngelamun. Ia baru saja selesai makan kenyang. Dengan sambal yang dibawa isterinya dari desa. Biasanya dalam saat seperti itu ia seakan-akan berpesta. Sebab selama itu sambal pemakan nasinya apa yang ada saja. Sambal lada, panggang ikan kering dan ulam daun "riang" dan apa-apanya lagi. ( daun riang sejenis tanaman menjalar yang biasa dijadikan ulam, rasanya keasam-asaman ).
Tetapi makan dalam rimba seperti itu sangatlah nikmatnya. Tubuh sudah letih karena bekerja keras, perut sudah lapar dan makan nasi sedang hangat-hangat. Tidak ada lawannya direstoran manapun makan seenak itu.
Tina isterinya sedang dipancuran membasuh piring dan mengambil udhuk akan sembahyang lohor. Tina isterinya itu sekali seminggu datang mengantarkan perbekalan keladang. Setia benar si isteri itu. Tidak ada takutnya berjalan sendirian dalam hutan ketempat ladang suaminya itu. Karena sudah terbiasa. Di ladang kadang-kadang ia bermalam semalam dua untuk membantu pekerjaan suaminya. Dan ia tak pernah menggugat kenapa suaminya sampai mau tinggal sendirian dalam hutan jauh dari pergaulan ramai. Padahal tanah ulayatnya ada yang dekat dari desa. Namun kata orang tua-tua tanah perladangannya itu termasuk tanah ulayatnya juga.
Bukan tak ada penduduk desa yang menggantungkan hidupnya dari hasil-hasil hutan. Malahan banyak sekali. Bagi mereka hutan menjadi sahabatnya yang pemurah, ramah, tetapi juge kadang-kadang angker dan memendam misteri yang sulit dipecahkan. Pada umumnya mereka berkongsi tiga atau empat orang dan masuk ketengah hutan. Dicarinya pohon yang baik untuk dijadikan pekayuan rumah. Mereka sudah sangat ahli dalam soal itu. Mana kayu yang baik, dan bagaimana menebang dan mengolahnya sampai menjadi pekayuan. Pada waktu ini daerah pencarian mereka sudah semakin jauh masuk ketengah hutan. Dekat-dekat desa kayunya sudah habis. Mereka tidak peduli apakah penebangannya menjadikan erosi dan membahayakan sumber air. Sebab bagi mereka yang terpenting bukan erosi tetapi perut harus berisi. Karena dari hasil pekerjaan itulah mereka mendapat sumber nafkah untuk anak isterinya.
Pekayuan yang sudah jadi dibawa mereka ke desa dengan cara menjunjung diatas kepalanya saja. Bayangkan: seorang tukang arit yang kuat mampu menjunjung papan yang sudah selesai diarit sampai sepuluh lembar. Papan itu dijualnya kepada toke-toke kayu yang siap menampungnya. Kayu yang lazimnya di arit mereka: banio, meranti, medang, dan lain-lainnya. Setiap jenis kayu ada kegunaannya dan mau dibuat apa: entah papan, balok, panin, kasau, lae atau pekayuan lainnya. Selain mengusahakan pekayuan banyak lagi yang dapat dicari hasil hutan itu: buah-buahan, rebung, akar-akar, gaharu, rotan, manau dan banyak lagi yang lain. Hutan itu benar-benar pemurah.
Ada pula yang membuat ladang dalam hutan itu. Ladang gambir, ladang kopi, tembakau, karet dan sebagainya. Tanah yang dij adikan perladangan itu ialah tanah 'ulayat' mereka sendiri. Sebab walaupun hutan itu bebas sifatnya tetapi setiap tumpak tanahnya ada pemiliknya, pemilik turun temurun. Apalagi yang dekat-dekat desa. Itulah yang dinamakan tanah ulayat.
Dan yang jadi pengawas hutan itu ada pula orangnya. Siapa yang menetapkan, dan dari mana dia mendapat kuasa, atau surat keputusan kurang kita ketahui. Gelaran pengawas hutan itu: ' Tuo Hutan'. Daerahnya dari Rimba Atas sampai ke Rimba Baruh. Artinya ia berkuasa atas hutan sejak dari lereng gunung Sago sampai ke daerah perbukitan di Seberang Air ( Rimba Mangkisi ).
Yang menjadi Tuo Hutan pada masa Tu' Atin lalah seorang manusia yang amat pendek, tingginya tak sampai satu meter, hanya: 95 senti meter. Jadi sebangsa manusia kerdil. Sebaiknya ia menjadi badut dalam sirkus, Tetapi sirkus belum pernah datang ke daerah itu. Nama kecilnya: Mandugo. Nama ini berasal dari nama salah seorang pelaku dalam cerita Anggun nan Tunggal Magek Jabang. Anggun nan Tunggal karena mencari burung nuri kehendak tunangannya Puteri Gondoriah terpaksa mengawini puteri Andomi Sutan di Kuala Koto Tanau karena ialah yang memiliki burung nuri idaman Puteri Gondoriah. Dengan Andomi Sutan Anggun nan Tunggal mendapat seorang anak laki-laki dinamakan: Mandugo Ombak. Dari sanalah asal nama Tuo Hutan kita yang hebat ini: Mandugo.
Sungguh Mahakaya Tuhan dengan berbagai ciptaannya. Antaranya dengan menciptakan Dugo Tuo Hutan setinggi sembilan puluh lima sentimeter itu. Dan sebagai manusia ia juga berkeluarga. Isterinya wanita biasa dan ada juga anak-anaknya. Anehnya anak-anaknya punya postur yang biasa tidak seperti bapaknya, Umur sembilan bulan si anak sudah sama besar dengan ayahnya.
Ada juga dua tiga orang lagi yang sama dangan pak Tuo Hutan ini. Seorang dipanggilkan Mak Atik kerjanya menjadi tukang jahit di Gadut. Pekerjaannya rapi seperti tukang jahit biasa. Ia beristeri juga dari wanita biasa. Anak-anaknya ada pula dan normal. Pernah satu kali , terjadi peristiwa lucu dengan Mak Atik ini.
Waktu pergolakan prri kalau ada patroli masuk desa orang berlarian pergi mengungsi. Satu pagi terjadi kehebohan. Patroli tentara memasuki desa. Semua penduduk mengungsi. Isteri Mak Atik lari pula, buru-buru đigendongnya anaknya yang kecil yang masih tidur. Iapun melarikan diri ke Labuh Silang kira-kira satu kilo meter dari sana. Sesampai disitu barulah diperiksanya anak yang digendongnya. Eh, rupanya bukan anaknya yang digendongnya tetapi lakinya yang sedang tidur dekat anaknya itu.......
Walaupun pak Dugo kecil tetapi keberaniannya luar biasa. Ia berani menjelajah hutan selama beberapa hari. Tidak takut dengan harimau, ular, dan binatang-binatang buas lainnya. Mungkin la merasa bahwa semua penghuni hutan itu adalah anak buahnya dan tak perlu đitakuti. Bila ia pulang dari hutan maka saratlah pembawaannya: rebung, kincung, cendawan, petai dan hasil-hasil hutan lainnya.
Kemudian, sekalipun dia pendek, jangan coba-coba mencari gara-gara dengan dia. Sebab Tuo Hutan yang pendek ini seorang ahli silat.
Kembali pada Tu' Atin.
Tina sudah naik pula keatas pondok dan duduk dekat lakinya. Berkali-kali ia mengerling melihat kepada suaminya. Entah apa yang tersirat dalam pikirannya. Tu' Atinpun dapat merasakan. Ia bertanya kepada isterinya:
" Apa yang teringat olehmu, Tina?" " Ah, tidak apa-apa," jawab isterinya.
" Tak mungkin, " tukas Tu' Atin. " pasti ada, katakan sajalah tak usah malu-malu....."
Baru sebentar kemudian Tina berkata lagi:
" Tanah ulayat kita 'kan masih ada yang tak berapa jauh dari desa misalnya di Solok Jelatang ...."
" Nah, kan saya mengerti juga kemana tujuan perkataanmu. Mengapa saya membuat ladang sejauh ini. Padahal tanah kita yang dekat dengan desa masih ada. Tetapi sebenarnya kalau ada yang masih jauh lagi, misalnya kebalik bukit itu saya lebih senang kesana. Tetapi engkau tentu takkan sanggup mengantarkan bekal sejauh itu. Tapi karena tanah disini cukup subur dan gambirnya sudah hampir dikempa biarlah disini sajalah kita membuat ladang. Tetapi kau agaknya belum tahu apa sebab sebenarnya aku membuat ladang sejauh ini."
" Jadi apa sebab yang sebenarnya?"
" Aku benci kepada Kepala Negeri itu. Jika dia masih hidup aku masih merasa senang diam dalam hutan ini. Aku tak tahan melihat tindak tanduk Kepala Negeri itu. Ia memaksa rakyat membayar rodi dan belasting dan ulahnya ia gemar berbini sekali tiga bulan.
Itulah sebabnya aku menjauhi desa. Aku takut kalau-kalau terjadi bentrokan dengan Kepala Negeri itu. Kaki tangan Belanda!"
Ia mengerling kedinding pondok. Disana tergantung sebilah parang tajam dan sebuah senapang berlangsa,
Tina terdiam. Ia mengerti kini apa sebabnya suaminya betah tinggal dalam hutan itu.
" Dan kalau kau sudah bosan mengantarkan perbekalan kesini kau boleh datang sekali sebulan saja. Tetapi jangan lupa membawa tembakau banyak-banyak. Yang lain-lainnya boleh kucari dalam rimba ini."
" Apakah datuk tidak takut dengan harimau misalnya?"
" Kita tak bermusuhan dengan binatang itu. Dia mencari rezekinya dan kita mencari rezeki kita pula. Selama saya disini belum pernah melihat binatang itu melintas. Kalau kita sudah menjadi rezekinya dalam rumah tembok kita dapat juga ditangkap dan dimakannya.
Tapi tadi aku mendapat berita baru pula."
" Dari siapa?"
" Dari Jakhtar dan kawan-kawannya." " O, perkara si Uning lari kawin ke Pangkalan Kota Baru?"
" Bukan,..bukan itu. Kata Jakhtar dalam hutan ini ada orang yang tingginya tiga meter..."
" Urang Gadang?" ulas isterinya.
" Eh, kau tahu?"
" Masakan orang yang biasa masuk hutan tak pernah mendengar tentang Urang Gadang. Datuk tentu tahu juga..."
" Saya belum pernah mendengar, itulah baru."
Ah, masa! Barangkali itu cerita dongeng."
" Bukan dongeng. Sudah banyak orang yang mendengarnya ataupun menemukan jejaknya. Tetapi heran datuk yang selalu sendirian dalam rimba tak pernah mendengarnya."
" Ya, inilah baru saya mendengarnya."
" Dan datuk tidak takut dengan makhluk itu?"
" Perlu apa takut? Bukankah dia tidak memusuhi kita dan tidak merugikan kita?"
" Jadi datuk tidak takut?"
" Tidak ada apa-apa yang saya takutkan, hanya saya takut kepada Allah....."
Sebentar kemudian Tu' Atin berkata pula:
" Aku idak mendustakan ceritamu, Tina! Aku tahu sebuah cerita pula tentang Urang Gadang itu, tetapi tinggalnya dalam negeri bukan dalam hutan sebagai Urang Gadang-mu."
" Dimana?" tanya isterinya.
" Di sebuah negari didaerah Batu Sangkar ada sebuah desa bernama Tabek. Disitu ada sebuah balai adat yang dinamakan: Balai Saruang, karena terjadi dari satu ruangan Baja. Arsiteknya mengatap balai itu dengan mencangkung, jadi pakai tangga macam kita....."
" Aduh alangkah tingginya tukang balai itu," tukas isterinya.
" Jauh lebih tinggi dari Urang Gadang mu tadi. Tukang ini tingginya hampir empat meter. Masih dapat dilihat kuburannya di Pariangan Padangpanjang. Nama tukang itu Tun Tejo Garhano."
Tina mendeceh-deceh keheranan.
.///.
tidak 4. DITUKAR DENGAN BABI.
T I N A belum kembali ke desa. Ia masih berada di pondok suaminya. Membantu bersiang ladang. Ia istirahat dan duduk didepan tingkap pondok gambir itu. Tetapi sambil duduk ada pula pekerjaanny. Jari-jarinya asyik menyelisik rambutnya. Sekali-sekali jari itu turun kebawah dan meletakkan binatang buruannya diatas tutup sebuah kaleng kosong dan terdengarlah suara: " Tiiiik,...." Dan sebuah nyawa melayanglah,- nyawa seekor kutu.
Tu' Atin dalam istirahat itu lain pula tugasnya. Ia asyik pula dengan pekerjannya menyelesaikan membuat sebuah lukah (=bubu ) ikan limbat.
Tiba-tiba Tu' Atin menyeletuk:
" Kalau bini Urang Gadang-mu itu menyelisik dan menindas kutunya agaknya bunyinya seperti letusan senapang."
" Entah," jawab isterinya, " kalau bini Urang Gadang itu ada berkutu pula mungkin besar juga kutunya....."
" Atau seperti kutu raksasa dalam cerita Puti Chairani," ulas lakinya.
" Siapa itu?" sambung Tina. " Dimana diamnya?"
" Itu hanya memang cerita dongeng. Masa saya kecil dan bersekolah nama sekolahnya Sekolah Gubernemen. Waktu di kelas lima buku bacaan huruf Arab kami namanya Hikayat si Miskin. Tulisannya agak berbeda dengan ejaan pada masa ini dan bentuk hurufnya juga agak lain. Namun kami bisa juga membacanya tetapi saya percaya murid-murid sekolah zaman sekarang takkan pandai lagi membacanya."
" Lalu apanya yang hebat?" tanya isterinya lagi.
" Dalam cerita itu dikisahkan anak raja yang berasal dari orang miskin itu Mara Kermah namanya. Ia diusir oleh orang tuanya karena dianggap anak pembawa sial. Mara Kermah hidup mengembara dan akhirnya terpasah kesebuah pulau. Disana ia bertemu dengan seorang puteri cantik namanya Puteri Chairani. Malangnya puteri ini dipelihara oleh sepasang raksasa laki bini. Raksasa itu angat besar lebih besar dari Urang Gadang, hampir setinggi batang kelapa ......." " Ccckkk,...cckkk,..." seru Tina keheranan.
" Puteri itu dipelihara raksasa yang kalau sudah besar akan dimakannya. Tetapi dengan lihay sang puteri dapat mengibuli raksasa yang keterangannya dia masih sangat kecil dan kurus. Raksasa bila pulang berburu minta dicarikan kutunya. Ia merebahkan tubuhnya yang sepanjang pohon kelapa itu, Puteri Chairani mencari kutunya dari rambut raksasa yang seperti setumpak belukar. Puteri harus sedia dengan alat-alat seperti penokok, kampak, kakak tua untuk mencari kutu raksasa yang dipanggilkannya nenek. Sebab kutu raksasa itu terdiri dari binatang-binatang berbisa seperti: kelabang, kala, sepesan bahkan ada juga ular....."
Tina mendeceh-deceh kembali karena keheranan. Dengan bantuhan Mara Kermah kedua raksasa laki bini itu dapat dibunuhnya dan keduanya lalu pergi mengembara pula.....
" Sesudah itu?"
" Sesudah dicarikan kutunya raksasa itu lalu tidur, dengkurnya seperti bunyi guruh......"
" Itu 'kan dongeng," tukas isterinya. Saya pernah mendengar cerita raksasa lain tetapi bukan dongeng dan suara dengkur tidur yang sama dengan bunyi guruh....."
" Nah, kalau begitu kini kau yang beroerita aku mendengarkan," tukas Tu' Atin. " Dimana terjadinya?"
" Dalam rimba kita ini juga. Disana terselip bagaimana keangkeran dan rahasia rimba kita ini,"
" Baiklah, cobalah bercerita sementara kita berhenti melepaskan lelah." Tu' Atin senang mendengar isterinya bercerita.
" Baiklah!" jawab isterinya.
" Pada suatu hari ada empat penduduk desa kita masuk kedalam hutan akan mencari garu. Pada masa itu garu sangat mahal harganya sehingga banyak orang masuk hutan akan mencari garu. Tak peduli þagaimana sukarnya, jauhnya, bahayanya, yang penting: dapat garu. Coba datuk bayangkan: Jika dapat satu kilo saja dan mereka bertiga maka sudah cukup untuk belanja satu tahun beranak-anak.
" Wah,....wah,..." seru Tu' Atin, kini ia pula yang keheranan. Mungkin Tu' Atin belum pernah mendengar tentang garu itu. Catatan dari penulis:
Sampiran pemeo ini menyatakan bahwa antara gaharu dengan cendana ada hubungannya. Keduanya ialah sejenis kayu yang bila dibakar akan mendapat aroma yang harum. Penggunaannya ialah dalam upacara-upacara keagamaan atau yang lain-lainnya.
Dalam bahasa Latin gaharu atau garu atau gahru itu dikatakan: ' aquilaris ' Gaharu itu sejenis kayu yang bila dibakar akan mengeluarkan bau yang harum. Tetapi gaharu itu terdapat dalam batang kayu yang besar, jadi agak sukar mencarinya.
Sedang cendana dinamakan dalam bahasa Latin dengan: santalum album. Kegunaannya hampir sama. Hanya mencari cendana lebih murah sebab ia merupakan sejenis tanaman yang ditanam orang. Tinggi pohonnya dapat mencapai 12 - 15 meter. Kulit batangnya kasar berwarna coklat tua. Daunnya berbentuk bulat telur, kecil-kecil. Bunganya juga kecil berwarna putih kecoklatan. Buahnya bulat hitam berbiji tunggal.
" Kita kan sama tahu, " kata Tina melanjutkan ceritanya, " Rimba Mangkisi yang ada didaerah kita ini sangat kaya dan banyak menyimpan hal-hal yang rahasia.
Pada masa itu daerah Seberang Air dan desa-desa sekitarnya sedang berjangkit demam gaharu. Banyak orang yang mencoba untungnya dengan berusaha mencari garu kedalam hutan. Mereka berkelompok, tiga, empat atau lima orang dan masuk hutan dengan tujuan untuk mencari garu. Mencari garu itu banyak pula syarat-syaratnya dan banyak pula mentera-manteranya. Sebab garu itu dalam batang kayu yang besar dan punya tanda-tanda yang khusus. Mungkin ada pula penghuninya dan penghuni itu tidak dengan rela saja menyerahkan hartanya kepada manusia.
Maka pada suatu hari ada sebuah kelompok pencari garu yang masuk kedalam hutan. Mereka ialah: Janir, Mansur, Kandar dan Biham. Keempatnya sudah kenal betul dengan keadaan Rimba Mangkisi itu. Mereka kenal betul dengan solok-solok nya, biding-bidingnya, bukit-bukitnya, jalan-jalannya, pendeknya mereka takkan mungkin sesat dalam rimba itu. Sebelum berangkat mereka berembuk:
Kata yang seorang: " Kita harus mencari lokasi yang jarang ditempuh oleh orang lain. Sebab tempat-tempat yang biasa sudah pasar dijelajahi orang,"
" Saran itu sangat kami setujui," jawab teman-temannya, " kami juga berpendapat demikian. "
Seorang mengeluarkan pikiran terperinci tentang rencana mereka itu. " Kita ambil menjadi pedoman puncak Bukit Situka Jaring jadi tempat pertemuan kita. Kemudian dari sana kita berpencar məncari tempat yang rasanya ada mengandung garu, Kita boleh berdua, atau kalau berani boleh sendiri saja asal perjanjian mutlak: Hasil yang didapat dibagi empat sama rata,
" Cocok benar," kata Janir, ia memang sangat pemberani dan daerah Rimba Mangkisi itu sudah dikenalnya betul. Kode kita ialah pekikan yang biasa, tiga kali berturut-turut."
Janir mencobakan suara kode mereka: " Uuuuu,...uuuuuu...uuuuuu!"
" Saya juga begitu," menukas Biham, " saya sendiri satu minggu dalam hutan ini sendirian Insya Allah takkan apa-apa....."
" Asal kalau dapat jangan dimakan sendiri," sela Mansur pula.
Maka mereka lalu meneruskan perjalanan arah ke kanan. Mereka tahu jika jalan itu diteruskan mereka akan sampai đi daerah Sungai Ipuh dan Ampalu. Tetapi jika berat kekiri mereka akan sampai didaerah Riau. Demikianlah satu hari perkalanan mereka, membelok arah kekanan. Jalannya sangat sulit. Kadang-kadang harus dirambah semak belukar untuk membuat jalan. Kadang-kadang menepi tebing yang terjal. Hutannyapun sangat lebat. Agaknya tempat itu jarang ditempuh manusia, Walau kayunya banyak dan baik-baik tetapi sangat sukar untuk membawanya keluar.
Sore harinya sampailah mereka dipuncak sebuah buikit kecil. Dari sana bebas lepas pemandangan kemana-mana. Semuanya biru,....biru semua. Hutan perawan yang belum pernah atau jarang ditempuh manusia. Mereka yakin bahwa didaerah itu apa yang mereka cari akan dapat. Jika mereka dapat menemui garu agak satu kilo saja maka mereka akan menjadi orang kaya. Apalagi kalau sampai dua tigo kilo. Mereka akan jadi jutawan.
Tak peduli untuk itu mereka akan menebang satu, dua, tiga atau sepuluh batang pohon. Soal penebangan liar, erosi dan sebagainya itu tidak menjadi masalah mereka.
Lalu berhentilah mereka ditepi sebatang anak air. Airnya jernih. Mereka dirikan sebuah pondok darurat dengan atapnya daun puar. Kemudian dibuat sebuah unggun yang besar. Unggun itu gunanya selain untuk memanaskan tubuh, juga untuk menghalau serangga yang suka mengganggu. Juga menjaga binatang buas. Sebab harimau misalnya takut dengan api.
Tidur dimana saja. Bagi orang perimba tidur dalam pondok seperti itu sama saja dengan orang berduit yang tidur dalam kamar suite sebuah hotel yang besar. Demikian pula makannya. Bertanak dalam buluh seperti membuat lemang. Sambalnya apa saja dan makan seperti itu sangat nikmat sekali.
Pagi-paginya mereka ama-sama menanyakan apa mimpi mereka semalam. Entah kenapa mimpi mereka hampir sama saja. Menemui sebuah mata air yang jernih adanya. Mereka gembira dan menganggap mimpi itu sebuah alamat baik: bertemu dengan yang dicari. Lalu mereka mupakat bagaimana caranya perjalanan mereka. Mereka sepakat mencari sendiri-sendiri. Tempat pertemuan ialah pondok darurat itu. Disana dipasang sebatang galah yang. panjang, diujungnya diberi selembar bendera berwarna merah. Sebab warna merah mudah tampak dalam rimba dari tempat yang jauh. Bendera itu sangat unik. Sebab bahan dasarnya celana kolor Janir. Kebetulan ia pakai celana kolor kain kesumba merah dan dua lapis.
Penduduk desa yang biasa merimba tidak ada takut gentarnya masuk sendirian kedalam hutan lebat itu. Senjatanya hanya sebilah parang yang đisisipkannya dipinggangnya. Gunanya untuk merambah, memotong kayu-kayuan. Dan jarang sekali dipergunakan untuk membela diri dari serangan binatang buas. Sebab jarang sekali atau belum pernah terjadi seorang perimba yang diserang oleh seekor binatang buas. Walau hutan itu negeri mereka. Antara mereka saling ada tatakrama yang tidak tertulis. Padahal apa yang tak ada dalam rimba raya itu. Berbagai binatang buas, ular, binatang-binatang berbisa dan makhluk-makhluk lainnya yang jarang dikenal orang.
Mereka lalu berpencaran dalam rimba itu keempat penjuru. Usahkan takut malahan kerja itu cukup menarik bagi mereka. Bertemu dengan sebatang pohon yang besar pohon itu lalu diperiksa dengan cermat. Di ketuk-ketuk, diperiksa getahnya, kulitnya, daunnya dan sebagainya. Pohon-pohon dalam hutan itu entah sudah berapa tahun umurnya. Yang jelas jauh lebih tua dari mereka sendiri. Dan ada pula yang sudah rebah dan tergeletak diatas tanah. Bila pohon itu besar diperiksa dengan lebih teliti. Sebab biasanya dalam pohon tumbang seperti itu sering ditemui garu. Apa sebabnya pohon besar itu tumbang tidak diketahui dengan pasti. Apakan sebab urat-uratnya bobrok dan mati, atau ditiup angin kencang, atau karena kulitnya dimamah binatang-binatang, tidak dapat diterangkan dengan jelas. Namun dalam hutan itu mati satu akan tumbuh seribu. Ya, sebagai dalam dunia manusia juga.
Pohon tumbang seperti itu ada yang lama kelamaan hancur menjadi tanah. Tetapi ada pula yang hanya kulitnya saja yang rusak, daging kayunya tetap utuh. Malahan ada pula sudah sekian tahun roboh, keadaannya tetap seperti itu saja tidak rusak sedikitpun oleh gangguan alam. Memang aneh.
Kita turutkan perjalanan Janir.
Janir sampai disebuah alur diantara dua buah bukit kecil. Alur itu kelihatannya pasar dan mungkin merupakan palung sebuah sungai kecil. Bila musim hujan akan berair. Kiri kanan alur itu banyak pohon yang besar dan tinggi-tinggi. Tinggi besar menjulang kelangit. Ada juga yang sudah roboh. Ibarat manusia sudah sampai kepada ajalnya. Namun pobon mati tidak dikuburkan, tetap terhantar disana sampai bertahun-tahun. Sebagai dikatakan diatas macam-macam sebabnya.
Akhirnya Janir melihat lagi sebatang pohon yang roboh membelintang dalam alur itu. Besarnya hampir sebatang kelapa. Mungkin sudah lama robohny sebab diatas pohon tumbang itu sudah tumbuh cendawan, lumut, malahan perdu-perdu kecil, Janit sangat merasa tertarik dengan batang kayu itu. Ciri-ciri mengandung garu ada dilihatnya. Kalau ada waaah, barangkali lebih dari tiga kilo beratnya. Mereka akan jadi orang kaya mendadak. Namun Janir belum akan memberi tahukan kepada teman-temannya. Ia hanya akan memerikan keadaan pohon itu dan memeriksa adakah tersimpan garu dalamnya. Kalau memang ada akan dibiarkannya dan ditandainya. Kemudian baru dia datang kesana sendirian dan mengambil garunya, Persetan dengan kawan-kawannya itu. Sebab penemuan ini olehnya sendirian masakan hasilnya bukan dibagi empat. Bodoh!
Janir mendaki keatas untuk memeriksa pohon itu. Dicabutnya parangnya ditetaknya pohon itu sedikit. Dengan heran Janir melihat bahwa pohon itu masih mengeluarkan getah. Padahal entah sudah berapa tahun pohon itu tergolek disana. Biasanya pohon yang ada garu yang bersifat demikian. Janir menenangkan pikirannya sesaat. Iapun mulai berkhayal. Tepekan uang kertas yang tidak sedikit. Ia akan mengganți rumahnya. Membeli kerbau dan sepeda. Dan sementara penemuannya itu akan dirahasiakannya dulu.
Janir ingin melakukan penyelidikan yang lebih saksama. Ia mau tahu dimana pangkal pohon itu. Wah, cukup panjang juga pohonnya. Pangkal pohon itu terletak sebelah atasnya. Alur tadi disana lebih dalam sebab tebingnya lebih tinggi. Dipangkalnya itu ada semak belukar. Tetapi tepat diujung pangkal pohon itu bersih tidak ditumbuhi apa-apa, rumputpun tak ada. Bagai dijilat saja. Ada kira-kira sepanjang dua depa alur yang tidak berumput dan bersih itu. Heran Janir memperhatikannya. Janir berdiri disalah satu tebing itu memperhatikan.
Janir lebih mempertajam matanya. Ujung pangkal pohon itu berada dekat tumpak semak belukar itu. Ternyata dibawah itu terdapat sebuah gua kecil. Gua apakah itu? Kemungkinan dahulunya pohon itu sudah keropos pada batangnya sehingga ketika ia tumbang merupakan sebuah gua kecil. Dan binatang-binatang menjadikan gua itu sebagai tempat kediamannya seperti landak, tenggiling atau binatang lainnya. Dan karena binatang-binatang itu selalu melewati alur itu maka jadilah alur itu licin dan beraih bagai disapu.
Hutan bernyanyi juga dengan abadinya sebuah symponi yang tak bisa dikarang oleh manusia. Suara-suara binatang hutan, suara burung-burung, ditingkah oleh air yang mengalir dan entah apa lagi.
Dan tiba-tiba Janir mendengar suatu suara. Tak ubahnya suara yang keluar dari tenggorokan seekor binatang. Dan bersamaan dengan itu tercium suatu bau yang aneh. Janir tak pandai memberi nama bau itu. Aneh terasa pada Janir sebab rahasia hutan tak asing lagi baginya. Sebab ratusan entah sudah ribuan kali ia masuk hutan.Hutan itu sudah bersatu dengan dirinya. Lalu terdengar lagi suatu suara yang terasa aneh pula pada pancaindera pendengaran Janir. Lalu muncul lagi suara-suara. Suara ini dikenal oleh Janir. Biasanya suara begini berasal dari derap langkah kelompok babi hutan yang sedang melakukan perjalanan muhibbahnya. Biasanya gerombolan binatang itu terkejut karena manusia atau binatang buas. Mereka berjalan dengan susunan yang lazim dalam đunia babi. Didepan seekor babi yang besar. Dibelakang itu berbaris yang kecil-kecil, Lalu paling belakang seekor yang besar pula biasanya babi jantan sebagai ekor pengawal.
Tetapi kini gerombolan itu terkejut sehingga barisan mereka jadi kucar kacir. Dan sekonyong-konyong tak berapa depa didepan puncak hidung Janir terjun seekor anak babi jatuh di alur yang licin itu. Kemudi an,... seekor lagi. Dan eh, kini seekor yang besarnya ikut terjun jatuh ditempat yang sama. Ketiga babi itu bagai terisap kedalam mulut goa tadi dan lenyap satu persatu. Tetapi bukan dengan langkah-langkahnya tetapi bagai diisap oleh sebuah pompa yang kuat.
Kemudian ia mendengar desau-desau semak belukar dari mana babi-babi tadi terjun. Janir melangkah lebih keatas tebing dan melihat ke tebing disebelahnya tempat gerombolan babi-babi tadi. Ia seakan-akan melihat ada seperti bayangan sebuah sosok manusia, tetapi manusianya menurut penilaian Janir sangat besar, ya jauh lebih besar dari ukuran manusia biasa.
Janir berkejut sebab persis didepannya sudah jatuh pula seekor babi yang besar dan sesampai dibawah, dalam alur itu segera terisap oleh mulut gua itu seperti didalamnya ada sejenis pompa ajaib yang bekerja kuat sekali.
Barulah Janir sadar. Bulu tengkukya kembang dan berdiri. Ia mulai dapat mengerakkan otot-otot kakinya dan larilah ia meninggalkan tempat itu. Tak peduli semak belukar, tak peduli tunggul kayu, atau akar-akar berduri, Ia lari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat yang aneh dan menakutkan itu. Ia mulai mengerti apa yang sudah disaksikannya, Untung saja tak berapa lama dimatanya terbayang kibaran bendera merah yang berasal dari kolornya sendiri. Janir berlari sebagai seorang atlit dalam perlumbaan lari dan kemudian sampailah ia ditempat itu, pondok pernantian mereka, Kebetulan dua orang temannya sudah ada disana.
Janir tersandar disebatang kayu dengan tubuh gemetar dan nafas ngos-ngosan.
" Nir,...Nir,..." tanya kawannya, " ada apa?" Janir belum dapat menjawab, nafasnya masih memburu matanya terbeliak belum bisa berkata.
Maka yang seorang mengipasi tubuh Janir dengan selembar kain dan yang seorang lagi memberinya minum air dingin. Setelah beberapa lamanya barulah aliran darahnya mulai normal kembali dan kelihatannya ia mulai agak tenang.
" Gadang,...gadang,....." ujarnya sebagai orang kesurupan.
" Apanya yang gedang?" tanya kawannya.
" Kayunya?" tanya Kandar.
" Ularnya,...babinya dan.....orangnya......" jawab Janir yang sudah tambah sadar juga.
Kemudian Janir menceritakan pengalamannya mençari garu. Ia menemukan sepohon rebah yang besar. Ia mengira bahwa pohon itu ada memendam garu, sebab ternyata pohon itu masih ada getahnya. Padahal pohon itu entah sudah beberapa tahun membelintang disana, Tetapi kemudian ia tahu bahwa yang disangkanya pohon itu sebenarnya ialah..... ialah:.......seekor ular raksasa. Besar badannýa hampir sebesar batang kelapa. Ketika ia meneliti mulut gua itu padahal yang sebenarnya gua itu ialah mulut ular raksasa itu yang mengisap apa saja yang lewat dimukanya. Jika tidak dengan mendadak berjatuhan anak-anak babi dan babi kemuka mulut gua itu, maka ialah yang akan dihisap oleb moncong ular yang sebesar pohon kelapa itu. Kemudian seakan-akan dengan sengaja dilemparkan seekor babi beser kedepan mulut sang raksasa yang rupanya luar biasa rakusnya. Tapi yang mengherankan Janir ialah makhluk yang melemparkan babi itu ialah sejenis makhluk sebagai manusia tetapi mempunyai tubuh amaat besar, hampir tiga atau empat kali besar manusia biasa. Jadi urang gadang itulah yang menolong Janir kalau tidak maka pada saat itu Janir sudah berada dalam perut ular besar itu.
" Mana Mansur," tanya Janir, " mari kita segera pulang, tempat ini sangat angker dan berbahaya,"
Mereka memanggil-manggi1 Mansur tetapi orang yang dipanggil tidak kunjung datang juga. Mereka lalu menanti kemunculan Mansur. Tetapi tetap ia tidak datang juga. Sampailah dua jam mereka menunggu. Karena Mansur tak datang juga maka ketiganya memutuskan akan berangkat ke desa sore itu juga sekalipun mereka akan tiba malam hari. Sebab malam itu bulan dua belas hari. Dan hari cukup baik. Maka pulanglah mereka tanpa Mansur. Tengah malam baru mereka sampai di kampung. Ketiganya terus saja kerumah Mansur akan melaporkan bahwa Mansur tidak pulang bersama-sama dengan mereka itụ.
Tetapi apa yang ditemui mereka di rumah Mansur?
Lampu stormking terpasang tereng benderang diruang tengah. Mansur terbaring di tepi dinding diatas sebuah kasur kecil. Banyak anggota keluarga ada disana menunggui Mansur yang kelihatannya dalam sakit.
Nah, itu si Mansur," kata Janir dengan heran. " Rupanya dia sudah duluan pulang dari kita. Ketiganya lalu ikut duduk bersama-sama. Dan barulah mereka mendapat berita bahwa Mansur terkejut dalam rimba dan karena takutnya ia lari ke desa tanpa sempat menemui teman-temannya lagi Mansur terkejut karena berjumpa dengan seekor ular yang sangat besar.
" Jadi rupanya Mansur yang lebih dahulu menemukan ular besar itu," pikir Janir. Tetapi ia tidak berpikir panjang dan terus lari ke kampung. Janir malahan ditolong oleh raksasa lagi sehingga belum jadi masuk kedalam perut ular bes,r itu.
Sebentar kemudian Tụ' Atin berkata:
" Jadi antara kedua raksasa itu ada bedanya. Raksasaku ingin makan manusia, sedang raksasamu mau menolong manusia. Dan kemungkinan raksasaku hanya ada dalam dongeng saja, Tetapi kisah si Janir dengan teman-temannya itu sudah kuketahui juga lebih dahulu. Hanya cara menceritakannya berlain. Ceritamu lebih enak didengar, " ujar Tu' Atin membujuk isterinya.
" Dari siapa datuk mendengar ceritanya?"
" Dari dukun yang mengobat si Mansur pada malam itu."
" Siapa dukun yang mengobatnya itu?"
" Saya sendiri," jawab Tu' Atin. Tina kesal dan memukul punggung lakinya dengan sepotong keratan bambu. Tu' Atin hanya tertawa saja. 5. RAKUS BENAR DIA!
S U N G A I itu sangatlah jernih airnya. Sepanjang tepinya ditumbuhi belukar yang rapat. Belukar itu menjerait kiri kanan sungai. Ber jenis-jenis macam ikan kelihatan berenang riang gembira dalam air itu. Kebebasan mereka tak pernah terganggu. Manusia tak pernah datang ke tempat itu akan menangkap ikan-ikan itu.
Dua orang kelihatan datang ketepi anak air itu. Mereka seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan. Yang perempuan membawa tangguk, ember dan entah apa lagi. Yang laki-laki membawa seberkas daun kayu dan entah ka kayu apa pula.
Setiba dipinggir sungai itu keduanya berdiri sambil memperhatikan ikan-ikan yang berenangan dengan jinaknya dalam air itu.
" Air ini harus diempang dulu baru ditahan tubanya," kata yang laki-laki.
" Untuk apa?" tanya yang perempuan.
" Kalau tidak, tentu ikannya nanti hanyut kehilir, kita tak akan dapat apa-apa.
" Waaah, alangkah susah dan berat kerjanya," mengeluh yang perempuan. Lalu keduanya duduk ditepi sungai itu sebagai memikirkan bagaimana cara selanjutnya.
" Kami sanggup membantu," tiba-tiba terdengar suara dari seberang sungai. Kedua orang tadi terkejut dan keheranan. Suara siapa itu? Mereka mencoba melihat keseberang sungai. Lebar sungai itu ada kira-kira lima meter. Maka mereka melihat ada empat batang pohon ajaib berbaris dipinggir sungai seberang sana. Bentuknya tak ubahnya dengan betis manusia lengkap dengan telapak kaki dan bulu betisnya segala. Memang ukuran telapak kaki itu terlalu besar untuk ukuran kaki manusia biasa.
Keduanya mendongakkan kepalanya makin lama makin keatas sejak betis sampai kaki seluruhnya, dan akhirnya pemandangan mereka mendarat di tubuh dua orang makhluk yang berbentuk manusia, tetapi jauh lebih tinggi dan lebih besar dari manusia biasa. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu tak ubahnya dengan monyet. Tetapi itu bukan monyet.
Setelah diperhatikan nyata bahwa makhluk itu seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan. Yang laki-laki pakai jenggot panjang, berewok yang lebat, kumis panjang dan rambut menjejak-jejak bahu. Yang perempuan berambut panjang dan bụah dadanya sebasar bakul embok penjual nasi. Ada semaçam kulit kayu penutup aurat mereka.
Kedua orang tadi gemetar ketakutan melihat makhluk sebesar itu. Mau lari kedua kaki tak mau digerakkan. Tetapi tiba-tiba terdengar suara besar namun ramah:
" Tak usah kalian lari. Kami tidak akan mengganggu kalian. Malahan kami akan membantu kalian mengempang sungai ini. Kita menangkap ikan, yaaa?"
Mereka bercakap tak ubahnya manusia biasa. Oh, inilah agaknya manusia raksasa itu.
" Baiklah Tu'," kata manusia yang laki-laki. Takutnya sudah hilang dan kepercayaannya sudah timbul.
" Tahanlah tuba itu, kami akan membuat bendungan disini," kata raksasa yang laki-laki.
" Balklah Tu',...Inyik, ...." tak tahu dengan apa dipanggilkan orang besar itu. Manusia laki-laki dan perempuan berjalan arah kemudik sungai itu. Dan kedua raksasa itu mulai pula bekerja. Keduanya mencari pohon-pohon kayu yang sudah tumbang dan disusunnya ditepi sungai itu. Gampang saja bagi mereka memikul potongan-potongan kayu yang besar-besar itu. Lalu potongan-potongan kayu itu dibelintangkan seberang menyeberang sungai. Sebelah bawah điberinya lantak dari kayu pula. Lantak itu ditokoknya dengan batu besar. Bahana gemuruh mulai bergema dalam hutan itu. Kedua orang tadi berjalan arah kehulu dan menahankan tubanya.
Ketika mereka kembali ketempat tadi kedua raksasa sedang asyik bekerja. Tiang-tiang sudah dipancangkannya dalam air. Pada tiang-tiang itu diletakkannya potongan-potongan kayu. Lalu ditutupnya dengan berbagai ranting-ranting kayu dan kayu-kayu yang sudah lapuk. Tidak lama air sungai sudah terempang dan air yang melimpah mengalir ke kiri dan kanan sungai itu pada sebuah dataran.
Raksasa yang perempuan berdiri dalam air. Muka air hanya sampai dibawah lututnya. Ia merapikan tutup bendungan itu.
Tak berapa lama kemudian air sebelah bawah bendungan mulai kecil Ikan-ikan kelihatan berhempasan dalam air yang sudah kering itu. Jadi sudah gampang saja menangkapnya. sebetulnya tanpa dituba ikan itu akan mudah saja menangkapnya. Şebab air sebelah hilir sudah mulai kering. Ikan-ikan mulai bergeleparan dalam palung sungai itu. Yang laki-laki turun kedalam air lalu menangkap ikan itu. Mana yang dapat dilemparkannya keluar. Yang perempuan mengumpulkannya. Dilonggokkannya ikan itu. Onggokan yang kecil makin lama semakin besar. Bermacam-macam jenis ikannya.
Air bertambah kecil, menangkep ikan bertambah mudah. Onggokan ikan semakin tinggi. Aduuh, alangkah banyaknya ikan itu! Bisa dikeringkan dan dijual nanti ke kota. Yang perempuan ikut pula masuk kedalam air dan menangkap ikan itu. Onggokan ikan semakin besar dan tinggi.
" Ha,...ha,...ha,.." terdengar suara ketawa. Bunyinya tak ubahnya dengan bahana bukit dalam hutan itu longsor. Tidak enak didengar, malah menakutkan. Yang ketawa ialah kedua manusia besar itu. Dengan seenaknya ia melangkahi sungai itu dan duduk berjongkok menghadapi tumpukan ikan itu. Mengapa mereka? Seekor demi seekor ikan itu dimasukkannya kedalam mulutnya dan dimakannya. Keduanya saling berebutan. Ikan mentah saja.
Dilihat dari jauh tak ubahnya dua bongkah batu besar berbentuk patung. Hidup dan selalu bergerak. Tangannya tak hentinya bergerak memasukkan ikan kedalam mulutnya. Hampir tak dikunyah lagi, hanya ditelan saja. Dan dalam tempoh yang singkat ikan sebesar bukit kecil itu sudah musnah. Masuk kedalam perut kedua manusia raksasa itu. Terdengar suara sendawa ibarat guntur.
Kedua orang itu memandang saja dengan mulut ternganga melongo melihat rakusnya kedua mereka makan. Hampir-hampir saja menangis karena mereka sudah gembira mendapat ikan sebanyak itu. Kini amblas semuanya. Kemudian keduanya bangkit melangkahi sungai itu dan hilang dibalik semak belukar.
" Biar, kita tangkap lagi ikannya, " kata yang laki-laki. Dalam Bungai itu masih bergeleperan banyak sekali ikan-ikan. Maka mulailah membawa sebuah karung. Ikan mereka menangkap ikan lagi. Untung mereka itu dimasukkannya kedalam karung itu. Makin lama karung itu makin penuh
Lalu mereka bersiap-siap akan berangkat. Yang laki-laki mengiket mulut karung itu. Lalu berangkatlan mereka. Tetapi tiba-tiba terdenger suara: "Heeeei.. ..ti...lu,..." ( Hai nanti dulu ). Dan entah dari mana datangnya mendadak sudah muncul saja raksasa tadi kembali. Sekali renggut ditariknya karung ikan tadi lalu dibawanya pergi.....
Yang perempuan terkejut dan berteriak: " Jangan,...jangaaan!" Ia tak ingin ikannya itu dihabiskan lagi oleh kedua raksasa yag rakus itu.
Kemudian Tina merasakan tubuhnya di goyang-goyang. Tetapi bukan oleh tangan raksasa tetapi oleh tangan lakinya: Tu' Atin.
" Kenapa kau berteriak-teriak, Tina?"
" Ikan kita dilarikannya."
" Ikan mana?"
" Ikan yang kita tangkap tadi."
" Mana ikannya? Kau mimpi, yaaa?" Tina yang sudah setengah sadar dan sadar betul-betul.
" Mimpi apa kau Tina?" tanya suaminya. Tina menceritakan mimpinya, Tu' Atin ketawa.
" Untung urang gadang itu datang dalam mimpi saja. Tetapi tak apa-apa tidurlah kembali, hari masih malam."
" Dan kukira mereka tidaklah sejahat dan serakus sebagai dalam mimpimu itu." sambung suaminya.
Pagi-pagi Tina mandi dipancuran dibelakang pondok mengempa itu. Air pancuran itu cukup unik juga. Airnya didatangkan dari sumbernya yang cukup jauh juga. Dialirkan dalam pipa-pipa yang terbuat dari talang ( sebangsa bambu ). Kemudian ditampung dalam sebuah bak. Bak itu terbuat dari batang kayu besar yang ditebuk.
Sesudah selesai dengan semua urusannya Tiba bersiap-siap akan kembali ke desa. Sudah dua malam ia menginap di pondok itu.
Untung ada orang kembali dari Merayu membawa manau. Dengan orang itulah Tine sama-sama pulang kedesa. Walau tidak berteman dia tidak takut. Ia sudah biasa sendirian berjalan dalam hutan itu. 6. TUO HUTAN .
TU' ATIN sedang asyik bersiang dalam ladangnya. Siangannya sudah lebat. Ia bekerja dengan sabit, tajak dan sebuah cangkul. Silih berganti dipergunakannya. Dalam pada itu pikirannya melayang juga kian kemari. Seperti sebuah film yang gambarnya saling bertukar. Tentang bermacam-macam hal. Isterinya Tina. Anaknya. Tetangganya. Urang gadang. Dan entah apa lagi.
Tiba-tiba terdengar suara orang menyapa:
" Sedang bersiang?"
Satu kali Tu' Atin belum mendengar sapaan orang itu saking asyiknya. Tetapi kedua kali baru ia mendengar. Ia berdiri dan melengong ke kiri dan ke kanan. Ia melihat kearah mana suara tadi datang. Tetapi ia tidak melihat seorangpun.
" Ah, barangkali saya dengar-dengaran saja," pikirnya. Lalu ia bersiap-siap akan bekerja kembali. Tetapi terdengar kembali suara sapaan itu. Tu' Atin mempertajam matanya. Di tudungkannya telapak tangannya diatas alis matanya dan memandang sekitar. Maka tampaklah dari mana asal suara itu. Ada makhluk dekat jalan masuk yang menyapanya. Ya, seorang manusia. Tetapi tubuh orang itu angat pendek, barangkali tingginya tak sampai satu meter. Tetapi orang itu bukannya anak-anak. Sebab kulitnya sudah keriput dan ia pakai kumis. Dibahunya tersandang sebuah ' kembut sandangan '. ( kembut sandangan = sebuah kampil terbuat dari rotan pakai tutup yang sesuai dengan kembutnya ). Agaknya kembut itu khusus dibuat untuknya sebab kembut itu kecil pula.
Bentuk manusia itu hampir sama dengan manusia cebol dalam komik atau cerita-cerita dongeng. Karena ia mengenakan sebuah kopiah sebo maka gayanya nyaris seperti tokoh dalam komik bacaan anak-anak itu.
Tu' Atin mulanya mengira bahwa ia sudah salah lihat sebab hari amat panas, cahaya matahari ber galau-galau.
" Kamu yang punya ladang ini?" tanya manusia kerdil itu. Sambil ia memutar-mutar jari telunjuknya yang juga amat kecil menunjuk sekitar ladang itu.
" Kamu siapa?" Tu' Atin balas bertanya. Ia agak jengkel karena manusia kecil itu memanggil dengan kamu saja kepadanya. Dan belum seorangpun yang memanggil kamu kepadanya.
" Aku Mandugo Tuo Nutan," jawabnya, Dulų sudah lama Tu' Atin memang pernah mendengar nama itu dan apa pekerjaannya. Masa itu dia mengira bahwa orang itu tidak ada. Dan ia lebih tak menyangka lagi bahwa orang yang menjabat tugas sepenting itu hanya seorang manusia yang tingginya seperti anak sekolah kelas tiga.
" O, maaf," kata Tu' Atin lagi, " jadi mamak yang bergelar Mandugo dan menjadi Tuo Hutan?
" Ya," jawabnya, suaranya agak sengau.
" Ini tanah ulayatmu?" tanya si kerdil itu lagi.
" Mamak harus tahu," ujar Tu' Atin, " dalam hutan yang sejauh ini mana dikenal tanah ulayat atau tidak. Tetapi sepanjang yang kuketahui tanah ini ulayat nenek moyangku sebelum pindah dari Subayang.
" Tanah ulayat atau tidak tetapi engkau harus tahu: dari rimba di gunung Sago itu,-" sambil ia menunjuk dengan jarinya yang kecil ke arah gunung Sago,-" sampai ke Rimba Mangkisi ini semuanya berada dibawah pengawasanku. Kalau akan membuat ladang harus dengan seizinku, paling tidak dengan setahuku."
Dengan serta erta saja Tu' Atin merasa tersinggung dengan kata-kata manusia cebol itu.
" Peraturan dimana itu?" tanya Tu Atin.
" Ya, peraturan sejak ninik moyang kita. Yang lebih menjengkelkan, manusia setinggi semeter itu berani memanggil ia dengan kamu saja padahal tingginya semeter lima puluh lima. Datuk pula. Dukun pula, Pendekar silat pula. Tetapi mungkin umurnya lebih tua dari Tu' Atin. cara apa itu?"
" Ah, itu dalih saja," balas Tu' Atin, "
" Tetapi ini undang, ini peraturan," kata Mandugo pula dengan suara yang lebih dikeraskan tetapi tak lebih dari suara seekor jangkerik.
" Persetan dengan undang, persetan dengan peraturan," jawab Tu' Atin yang stromnya sudah agak naik pula karena ia menganggap manusia kecil itu tak tahu diri. " Silakan mamak pergi, mau cari rebung kek, cendawan kek, atau mau jadi santapan harimau, namun ia takkan kenyang memakan mamak......"
" Kamu jangan berkata begitu," kata si cebol pula yang darah panasnya sudan naik pula ke kepala, " kalau kamu berkeras kepala gambirmu ini bisa kuperintahkan supaya dihancurkan. Engkau harus tahu, aku sudah đidahulukan selangkah, ditinggikan setingkat dalam masalah ini," kata si kerdil dengan garangnya sambil betelekan pinggang pula.
" Peraturan dimana itu mamak?" tanya Tu' Atin.
" Peraturan daerah hutan dari gunung Sago sampai ke Rimba Mangkisi ini. Mana yang diluar tanah ulayat terkena oleh peraturan itu. Dan tanah ladangmu ini ku anggap tidak termasuk tanah ulayat. Aku tahu semuanya...."
" Rupanya mamak tidak kenal dengan saya yaaa?" tanya Tu' Atin pula.
" Masakan saya tak kenal, engkau bukankah si Atin? Dan gelaran datuk itu bukan hak pusakamu hanya karena engkau seorang dukun dan seorang pesilat...."
" Engkau juga tak kenal dengan kekuasaanku, dan kau boleh coba-coba melanggar kekuasaanku,......" Sebuah ancaman.
" Jadi apa yang harus saya perbuat sehingga saya tidak terganggu berladang disini?"
" Kau harus menating upeti denda... ."
" Apa itu?"
" Kambing seekor, beras tiga gantang, kain putih sekabung, dan uang se-piyak.... (sepiyak = mata uang yang nilainya 10 sen ).
" Enaknya mak! Saya sudah sekian bulan bekerja membuka ladang ini Pemerintah sendiri tidak berani menuntut apa-apa kepada saya. Sedang mamak yang sebesar ini berani berkata begini begitu, dan mengancam pula akan memusnahkan gambir saya yang sudah sekian lama saya kerjakan, Aturan apa pula itu? Berdenging-denging kuping saya mendengar ocehan mamak."
" Memang Pemerintah tak perlu tahu, tétapi ini adat turun temurun. Ini hukum adat. Kita arus tahu meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dan kedudukan saya sudah turun temurun sejak keputusan ninik mamak dalam daerah Tebingtinggi....."
" Persetan semuanya itu, saya tidak mau membayar denda atau upeti itu, usahkan seekor kambing seekor anak ayam saya tak sudi.... Saya silakan mamak menyingkir dari sini. Awak kecil, omong besar..."
" Heee, kau jangan lalu lalang begitu, biar keçil ini cabe rawit kau boleh coba jika ingin tahu rasa pedasnya......" Mandugo menyangkutkan kembutnya dipagar, menyingsingkan lengan baju dan celananya.
Tu' Atin tertawa sumbing. Manusia sebesar anak kecil ini akan melawannya. Mandugo mulai pasang kuda-kuda.
" Baiklah kalau itu yang memak mintak, " sambil Tu' Atin bersiap-siap pula. " Kita çoba agak sejamang sambil membuang-buang peluk buruk. Mamak yang datang atau saya yang mulai...?"
" Terserah padamu,..." jawab Mandugo dengan garang. Tu' Atin lalu mulai membuka serangannya, memukulkan kepalannya ke kepala Mandugo yang kecil itu. Tetapi dengan sigap lawannya mengelak sehingga Tu' Atin hanya memukul angin. Darah Tu' Atin semakin panas, anak kecil yang berani mempermain-mainkannya. Namun memang agak sulit juga menyerang manusia kecil yang sebesar kanak-kanak itu dan rupanya ia sigap pula Tu' Atin mengayun kakinya dengan hebat dan dalam sangkanya tentulah si cebol yang tak tahu untung itu akan terbang keudara sebagai bola yang dipermainkan anak-anak, siap untuk ditembakkan ke gawang. Tetapi yang kena hanyalah serumpun gambir sehingga kakinya yang terasa sakit. Kemudian berkali-kali Tu' Atin menyerang Mandugo tetapi tidak satupun yang mengenai sasarannya. Sehingga Tu' Atin merasa heran juga. Rupanya berisi juga manusia kecil itu. Sedikitpun ia tak menyangka bahwa si cebol itu punya kesigapan dan keahlian yang dapat juga dihandalkan.
Tu' Atin menghentikan serangannya. Mandugo belum membalas.
" Mamak memang hebat," puji Tu' Atin. " Saya tidak mengira sampai demikian. Tetapi maaf mak, saya sebenarnya tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Namun dengan melihat gaya mamak saya takkan berhasil. Mamak memang cabe rawit, saya akui.
Tu' Atin mengunjukkan tangannya, Keduanya bersalaman. Tu' Atin terpaksa membungkuk dalam-dalam agar dapat mencapai tangan Kandugo.
" Sekarang marilah kita ke pondok dulu mak, untung-untung masih ada kopi dingin..." Mandugo mengambil kampilnya dan mengiringkan Tu' Atin naik kepondoknya.
Mandugo lebih senang duduk diatas bangku saja. Dari sana lepas bebas pemandangan ke jalan setapak yang berbelit-belit menuju desa. Dalam berçakap-çakap ke barat dan ke timur entah bagaimana pembicaraan mereka terpasah kepada Urang Gadang.
" Datuk percaya ada Urang Gadang itu?" tanya Mandugo.
" Entahlah mak, sebab saya belum pernah berjumpa dengan mereka."
" Nah, datuk harus percaya kepada saya. Sebagai Tuo Hutan saya mengetahui dan mengawasi semuanya, juga Urang Gadang. Mereka dapat saya perintah. Itulah tadi saya katakan. Bila saya perintahkan mereka bisa menghancurkan ladang datuk ini sama rata dengan tanah dalam tempoh hanya beberapa jam saja. Pondok datuk ini bisa menjadi kapal terbang di terbangkannya keudara.
Tetapi bila saya perintahkan mereka juga bisa membantu datuk menyiangi ladang ini. Dalam tempoh satu malam mereka bisa membersihkan ladang ini tanpa merusakkan batang gambir agak serumpun pun. Juga dengan harimau saya tidak takut. Bila saya baca jampi harimau itu maka salah seekor harimau itu akan datang. Kalau perlu saya bisa merecak punggungnya dan suruh antarkan kemana saya mau......"
Tu' Atin mendeceh-deceh mendengar obrolah Mandugo. Tidak disangkanya manusia sekecil itu tetapi punya wibawa sebesar itu. Pantas dia jadi Tuo Hutan yang mampu menaklukkan hutan dengan segala penghuninya. Tambah kagum dan hormat Tu' Atin kepada Tuo Hutan yang bertubuh kecil itu.
" Bagaimana caranya menemui Urang Gadang itu mak?"
" Gampang saja Tu'. Datuk ada tembakau?"
" Ada banyak."
" Nah, nanti malam boleh kita panggil, dan saya perkenalkan datuk kepadanya. Datuk bisa minta bantuan kepada mereka misalnya menyiangi Iadang, mencari rotan, mencari kayu, mengumpulkan batu dan sebagainya. Atau kalau datuk kepingin makan daging rusa boleh suruh dia menangkapnya. Asal tetap sedia tembakau, lain tak perlu."
Percakapan mereka tambah serius. Kekaguman Tu' Atin pada Mandugo kian memuncak.
" Tetapi dia tak mau mengganggu kita, mak?"
" O, tidak pernah, kecuali pada satu kali di Ampalu. "
" Bagaimana kisahnya, mak?"
" Ada sebuah rumah ditepi hutan yang selalu didatangi Urang Gadang itu, Kedatangannya selalu mința tembakau. Orang rumah itu sudah biasa kedatangan Urang Gadang itu, malah boleh dikatakan bersahabat. Ada sebuah tingkap sebelah dapur, disana ia biasa menjulurkan tangannya minta tembakau. Dan tak pernah hampa.
Tetapi sial pada satu kali orang vang biasa dikunjungi orang gadang itu tidak ada dirumah. Yang ada orang lain. Ketika si Urang Gadang menjulurkan telapak tangannya yang diberi bukan tembakau. Tetapi tangan urang gadang itu disiramnya dengan air panas. Tentu saja ia kesakitan dan menyingkir. Tetepi tak berapa lama ia kembali pula. Kini bukan seorang tetapi ada dua atau tiga orang, malahan mungkin lebih. Mereka mulai menggoyang-goyeng tonggak rumah itu sehingga terjadi gempa besar dalam rumah itu. Untung penghuninya segera dapat melarikan diri. Si urang gadang terus mengobrak abrik rumah itu sehingga habis dipreteli. Rumah itu berubah menjadi kepingan-kepingan kecil dan beterbangan kemana-mana, tidak dapat dipakai lagi. Itulah pembalasan mereka. Sedang orang tak pernah diganggunya.
" Jadi sukar juga menemui mereka mak?"
" Gampang-gampang, susah. Biasanya mereka tak mau menemui manusia yang lebih dari dua orang dan tak pernah siang hari. Selalu pada malam hari yang gelap pula."
" Jadi termasuk golongan apa mereka, mak?"
" Saya pikir termasuk golongan manusia juga, manusia purba. Namun karena perbedaan fisik mereka ia segan bertemu dengan manusia, namun ia bisa dipanggil.
Datuk tahu di daerah kita ini ada sejenis binatang yang mungkin sisa-sisa binatang zaman purba itu pula."
" Yang mamak maksud bobok atau simbung?"
" Tepat benar. Mana daerah lain yang ditemui bobok atau simbung itu sejenis kodok rak8asa yang panjangnya lebih satu hasta dengan kulit berdongkol-dongkol sebagai kulit buaya,"
" Jadi masih berkembang biakkah mereka, mak?"
" Berkembang biak macam kita mungkin tidak. Sebab pernah ditemui orang Urang Gadang itu sepasang. Yang perempuannya buah dadanya sebesar gentong......"
Keduanya tertawa gelak-gelak. .///. 7. TAMU TENGAH MALAM .
- * *
M A L A M itu bulan perbani. Bulan tiga bari. Udara sangat cerah. Angin bertiup sepoi-sepoi. Tetapi langit berawan. Hutan itu tetap melagukan nyanyian hutan malam yang sama setiap malamnya. Suara margasatwa malam, uir-uir dan binatang-binatang malam lainnya. Campur aduk merupakan simponi alam yang tak bisa ditiru manusia dengan alat musiknya. Dibawah tangga pondok gambir itu terdengar desir air pancuran masuk kedalam bak terbuat dari kayu.
Dalam pondok itu pada tingkat atas terlihat kelap kelip cahaya pelita ditiup angin dari celah-celah dinding. Sebagai menari layaknya. Dalam pondok kelihatan Tu' Atin duduk berhadapan dengan tamunya, Mandugo Tuo Hutan yang siang tadi baru kenal. Walau dia kecil tetapi Tu' Atin tambah hormat dan kagum kepada orang tua bertubuh kerdil itu.
Mandugo mengisahkan sedikit tentang rumah tangganya. Ia juga punya isteri dan isterinya perempuan biasa,- perempuan normal. Dan anak-anaknya ada tiga orang semua lebih besar dari ayahnya.
Tadi mereka makan sangat nikmat sekali. Sambalnya apa yang ada dan dapat. dicari dalam hutan itu. Mandugo menyumbangkan sepotong rebung betung sungguh yang masih muda. Rebung itu direbus saja dan dimakan dengan ikan kering. Ikan limbat yang dimersikkan plus sambal lada.
Dalam pada itu malam semakin larut juga.
" Si Tan Pahek, si Saluik, juga sama dengan mamak, maaf bertubuh kecil tetapi punya akal besar."
" Ya, memang Tuhan sudah menciptakan makhluknya aneka jenis dan setiapnya harus pasrah menerima keadaan yang dikaruniakan kepada mereka. Tentu setiapnya ada mempunyai hikmah."
" ya, " tukas Mandugo, " yang jelas keuntungan kami orang kecil membeli pakaian cukup separo orang besar dan kewajiban kami dalam negeri tidak sama dengan orang biasa.2
Tiba-tiba ia bertanya:
" Datuk ada punya tembakau?"
" Ya ada, " jawab Tu' Atin. Ia berdiri dan dambilnya selempeng dari dalam sebuah peti. Tembakau itu diserahkannya kepada Mandugo. Mandugo meresek-resek kampil bertuahnya lalu dikeluarkannya segulung kertas rokok dari dalamnya. Tetapi kertas rokok ini bukannya benar-benar terbuat dari kertas. Kertas rokok ini terbuat dari pucuk daun pisang hutan. Rokok yang digulung dengan daun pisang hutan itu dinamakan " sitaka ", Mandugo mencabut tembakau itu digembur-gemburkannya lalu digulungnya dengan daun pisang tadi, Sebatang rokok ada sebesar pergelangan anak kecil. Tu' Atin dengan heran menyaksikannya. Tetapi ia diam saja; banyak dalam hatinya ia berkata:
" Orangnya kecil, pokoknya besar,"
Rokok sitaka itu setela dibubuh tembakau lalu diikat dengan tepi daun enau sehingga tembakaunya tidak terlepas, Ada beberapa batang dibuatnya. Tetapi rokok itu tidak diisapnya hanya diletakkannya saja dekat lututnya.
Hari bertambah larut juga.
" Sebentar lagi kita panggil mereka," ujar Mandugo.
" Urang gadang?" Mandugo mengangguk. Hati Tu' Atin berdebar-debar. Sesuatu yang belum dialaminya seumur hidup akan dialaminya malam itu.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan dari dalam hutan. Suara itu melengking tinggi, dengan bersuara: Aaaaa....uuuuuuuuuu,....." pada bununyi u suara itu melengking tinggi dan turun mendadak pada ujungnya, Sampai tiga kali berturut-turut. Bagi Tu' Atin suara demikian tidak asing lagi. Memang perimba-perimba biasa menyuarakannya bila akan memanggil temannya atau sok iseng saja. Jika dekat tempat itu ada manusia ia akan menjawab dengan nada yang sama. Tetapi bilamana dekat tempat itu ada tebing bukit yang terjal maka suara itu akan menggema kembali atau bersipongang. Bunyinya tambah menakutkan. Kata orang suara itu dibalas oleh orang bunian. Kata orang dalam Rimba Mangkisi itu terdapat pula orang Bunian. Kadang-kadang perimba yang masuk sendirian kedalam hutan bisa ditipu oleh orang Bunian itu. Tiba-tiba saja kita akan berpapasan dengan seorang gadis cantik. Maka kita dibawanya melewati sebuah jalan yang bagus dan akan sampai disebuah kampung. Bentuk kampungnya tak ubahnya dengan kampung biasa juga. Ada rumah gadangnya ada lumbungnya dan berpenduduk ramai.
Kita bisa dijamu disana, makan minum, malahan menginap disalah satu rumahh dikampung itu. Tetapi bila kita sudah sadar maka ketahuanlah bahwa kita bukan berada dalam rumah cadang dan tidur diatas ranjang dengan kelambu sutera. Kita ternyata berada dipuncak bukit yang terjal, atau diatas pokok kayu yang tingginya 40 meter dari tanah. Heran bagaimana kita mampu mendaki setinggi itu bersama dengan orang Bunian itu. Kadang-kadang orang yag dibawa orang Bunian itu sampai berhari-hari, dan setelah dengan bantuan dukun khusus baru đilepaskan si Bunian kembali. Malahan menurut ceritanya ada orang biasa yang sampai berumah tangga di desa orang Bunian itu, beristeri dan beranak. Kalau ia ingin pulang ke kampung ada semacam daun kayu. Daun itu dihapuskan dikelopak mata, maka kelihatanlah jalan kembali ke desa. Sebaliknya jika ia ingin hendak mengunjungi anak isterinya dihapusnya pula matanya dengan daun itu. Maka akan kelihatan terbentang sebuah jalan bagus dalam semak belukar itu. Itulah jalan ke kampung orang Bunian itu/
Kadang-kadang orang perimba sering mendengar ada suara bunyi-bunyian dari sebuah lembah yang sukar dimasuki manusia. Kata orang orang Bunian itu sedang berpesta. Sering juga kerbau penduduk desa hilang karena dicuri mereka. Kerbau itu tak pernah kembali lagi.
Kita sudah melantur. Kisah orang Bunian ini dapat pula menjadikan sebuah cerita yang unik, misteri dari Rimba Mangkisi.
Mandugo berkisar duduk dekat tingkap. Ditingkap itu Tina sering pula duduk sambil menyelisik kutunya. Tetapi kini fungsinya lain. Rokok dan tembakau tadi diletakkannya disampingnya. Tu' Atin dikodenya supaya duduk pula diam-diam disebelah tingkap yang satu lagi. Mandugo sebelah kiri dan Tu' Atin sebelah kanan. Pintu tingkap dibuka. Malam sangat gelap. Musik hutan abadi terus berlagu-lagu tak berhentinya, hampir-hampir tidak berubah-ubah iramanya. Darah Tu Atin semakin berdebar-debar. Di tingkap itu pula Tu' Atin sering duduk pada setiap hari Sabtu sore. Dari sana masih jauh sudah kelihatan orang yang akan datang ketempat itu. Yang ditunggunya Tina. Ia biasa datang sekali seminggu pada hari Sabtu.
Mandugo membuka pintu tingkap itu lebar-lebar lalu ia menjenguk keluar, ke kegelapan malam. Malam dalam hutan. Mandugo membuat corong dengan kedua telapak tangan yang di lengkungkannya dan terdengarlah suara: " Aaaaa...uuuuu,.... aaaa....uuuu,.... aaaa...uuuuuu...."
Heran pula Tu' Atin, manusia sekecil itu mampu mengeluarkan suara yang selengking itu. Kemudian diam dan sepi. Suara itu rasanya menggema keseluruh hutan dan tertumbuk ke tebing-tebing terjal dalam hutan itu. Walau suara itu biasa didengar Tu' Atin tetapi kali itu timbul takutnya, entah sebab apa. Rasanya suara lengkingan itu menjalar keseluruh hutan rimba belantara itu. Semua makhluk bernyawa dalam hutan itu akan terkejut dibuatnya. Kata orang suara itu berpitunang. Bulu tengkuk Tu' Atin raganya berdiri dan badannya panas-panas dingin.
Penduduk desa yang biasa merimba tak heran: berteriak demikian pada malam hari, Sebab kepercayaan mereka suara itu akan mengundang orang bunian atau lain-lainnya diluar dunia manusia.
Tidak berapa lamanya Tu' Atin sebagai mendengar ada langkah-langkah berat mendekati pondoknya dan kemudian berhenti dihalaman. Ia mencoba melihat keluar tetapi malam terlalu gelap. Ia hanya dapat mendengar suara-suara yang berlain dari yang biasa, Pendengarannya yang sudah peka selama tinggal di hutan itu dapat membedakannya.
Mandugo menjulurkan kepalanya sedikit keluar tingkap dan kemudian membuat corong dengan telapak tangannya yang berfungsi sebagai mikropon.
" Tuuu'.....serunya, Dihalaman terdengar suara mendengus sebagai orang keletihan.
" Tuuu' solok dimano?" tanya Mandugo pula.
" Lok tang,....." terdengar suara yang berat dan sengau, Tu' Atin tahu bahwa Urang Gadang itu sudah datang. Dan ini bukan mimpi atau khayalan tetapi yang sebenarnya. Hanya dia tidak tahu berapa benar tingginya, Kemudian Tu' Atin tahu bahwa yang dikatakan Urang Gadang itu ialah: ' Solok Jelateng'. Mereka berbicara pandainya hanya satu satu patah kata saja. Tetapi dia tahu nama-nama tempat yang đinamakan oleh penduduk kampung.
" Aku ...Mandugo, Tuo Hutan,...." kata Mandugo pula. " Dan ini kawanku Tu' Atin, dia yang punya ladang ini......"
" 'uuuuh,..." terdengar pula suara berat diluar. Rupanya ia mengerti maksudnya.
" Tuuu' 'nak akau?" tanya Mandugo pula. Terdengar pula jawaban mendengus.
" Tuu' baduo atau saurang?"
" Uwo00,..." jawabnya, maksudnya ia berdua.
Mandugo membakar rokok sitaka be8ar yang dibuatnya tadi dengan api pelita lalu diulurkannya keluar. Sekilas Tu' Atin melihat bahwa tangan yang menerima rokok itu luar biasa besarnya, berbulu dengan kuku runcing-runcing, kelingkingnya saja lebih besar dari ibu jari kaki manusia biasa.
Terjadilah dua kontras yang lucu atau aneh. Sebuah tangan dengan jari-jari kecil-kecil memberikan rokok yang hampir sebesar pergelangan tangannya kepada tangan yang berlipat ganda besar jari- manusia biasa. Tangan yang satu ditarik dan muncul satu lagi. Tetapi tangan ini agak lebih halus potongannya. Keatas tangan itu diletakkan beberapa batang rokok pula.
" Tuuu' jang pegi,...tunggu aku disono....." kata Mandugo. Lalu diseretnya tangan Tu' Atin dan dibawanya tembakau selempeng tadi kira-kira separohnya. Lalu keduanya turun kebawah.
" Tamu ini istimewa tidak mungkin kita suruh naik, jadi kita harus menemui mereka."
Disamping pondok dekat lereng tebing dalam cahaya emaram Tu' Atin melihat sebagai ada dua bongkah batu terlonggok. Itulah dia! Tetapi ini bukan mimpi. Keduanya sedang asyik mengisap rokok sitaka yang diberikan Mandugo tadi.
" Tuu', ini akau......." Sebuah tangan tak ubahnya kerek kapal dipelabuhan Teluk Bayur terjulur kearah Mandugo dan lalu diberikan tembakau tadi kepadanya yang digulung dengan daun pisang hutan ( pisang karuk ).
" Tuuu' ini dio Tu' Atin nan baladang disiko, jangan ganggu dia tuu'. Minta tembakau pado dio.
" Uuuuh, ..." jawabnya mendengus.
" Nah datuk mau apa? Mau ditolong bersiang atau apa?" Tu' Atin berpikir sebentar. Ia teringat dengan temannya yang pergi mencari manau ke Merayu.
" Suruh bawakan rotan dan manau, " kate Tu' Atin.
" Tuuu' !"
" Uuuuh...."
" Bisuk baokan rotan, dan manau yaaa, Letak disono....." sambil menunjuk sebuah daerah yang agak lapang dimuka pondok diluar pagarnya.
" Uuuuh,....." Kedua makhluk itu lalu berdiri, yang satu lebih tinggi dari yang 1ainnya. Tu' Atin menduga yang satu jantan dan lainnya betina. Namun gerak geriknya tak bedanya dengan manusia biasa. Tu' Atin menghadapi kenyataan yang sangat berbeda. Disampingnya Mandugo dengan postur tak sampai satu meter. Dan disana manusia dengan postur setinggi tiga meter mungkin lebih.
Keduanya lalu melangkah menjauh, gerak langkahnya seperti hentaman balok-balok kayu yang berdentam-dentam. Tidak ada arti semak belukar bagi mereka.
" Asal mereka tidak diganggu, mereka juga tidak akan menggangu kita," kata Mandugo, " malahan ia bisa membantu kita. Datuk kini sudah tahu bagaimana cara memanggil mereka dan berurusan dengan mereka, bukan?"
Tu' Atin hanya goleng-goleng kepala saja. Malam itu kepadanya sudah dibukakan sebuah lagi misteri Rimba Mangkisi zang jarang atau tak pernah diketahui orang lain.
Keduanya lalu naik kembali keatas pondok. Bau amis tubuh kedua makhluk itu sebagai masih tertinggal disana. Dalam pertemuan yang seronok dan luar biasa.
" Jadi kalau terdengar teriakan seperti tadi, tak usah dijawab. kata Mandugo. " Jika dijawab maka dalam tempoh singkat ia akan datang menemui kita. Tetapi bukan apa-apa hanya minta tembakau, Teapi kalau kita lebih berdua orang mereka tak mau menemui kita.
Orang Gadang yang berdua tadi tinggalnya di Solok Jelatang. Padahal kita biasa pula berhenti disana, malahan musim durian semalaman kita berada disana, Namun tak pernah bertemu dengan mereka. Mungkin ia tinggal dalam gua-gua yang sukar ditempub manusia atau tempat-tempat yang tidak kita ketahui. Nampaknya bagi mereka tidak ada kesulitan menempuh tempat-tempat yang tidak terjangkau oleh manusia, Dan biasanya mereka keluar pada malam hari, tak pernah siang hari......"
Tetapi perlu kita sedia tembakau satu-satu yang digemarinya, Dan awas jangan dibuat seperti di Ampalu itu bila demikian mereka bisa berbahaya. Nah, kalau datuk pandai datuk sudah punya teman yang sangat berguna dalam hutan ini."
Tu' Atin sangat kagum dengan manusia kerdil itu. Banyak keahlian, kebolehannya yang tidak ada dimiliki oleh manusia biasa.
" Kini datuk sudah mendapat teman yang dapat dipercaya atau buruh yang upahnya sangat mudah sekali. Yang perlu tembakau."
" Tetapi jangan-jangan merepotkan," sela Tu' Atin.
" Itu tergantung pada kita. Sebab mereka dapat disuruh membantu kita bersiang, mencari rotan dan manau, mencari ikan, mengumpulkan bat dan pekerjaan-pekerjaan lain yang cocok bagi mereka."
" Sayang dia tak mungkin dapat masuk kedalam pondok...."
" Untuk apa?"
" Boleh disuruh mengempa, baginya mengangkat penokok yang berat itu tentu mudah sekali."
" Kalau datuk pandai mengaturnya barangkali bisa juga, kapan gambi akan dikempa?"
" Kira-kira sebulan lagi...."
" Nah, suruh saja mereka bersiang dahulu,....."
Karena hari sudah tengah malam mereka lalu bersiap-siap akan tidur Mandugo mengeluarken selembar arung ukuran biasa dari dalam kampilnya. Dimasukkannya tubuhnya yang kecil itu kedalam sarung itu lalu ia mencari tempat tidurnya dekat kempahan. Sebelum merebahkan badan ia berkata:
" Tu', nanti jam empat saya akan berangkat...."
" Kok sepagi itu, kenapa buru-buru?"
" Saya ada urusan di Padang Mengatas...."
" Kapan?"
" Pagi ini kira-kira jam tujuh....."
Tu' Atin melongo. Malam sudah lewat tengah malam. Mandugo akan berangkat pukul empat pagi dan sampai di Padang Mengatas pukul tujuh pagi. Bagaimana mungkin! Apakah Mandugo bisa terbang sebagai seekor unggas? Sebab untuk mencapai desa saja oleh manusia dewasa dengan kaki-kaki yang panjang diperlukan empat sampai lima jam perjalanan. Ke Padang Mengatas di lereng gunung Sago paling cepat perlu tempoh sekitar dua jam pula. Konon pula bagi Mandugo dengan kaki pendek? Tu' Atin hanya goleng-goleng kepala saja. Mandugo hanya tertawa dan menggelungkan tubuhnya yang kecil dalam kain sarung, Tanggapan Tu' Atin kepada manusia kecil itu bertambah besar.
Tu' Atin tersentak dari tidurnya ketika didengarnya keresek-keresek dari tempat Mandugo. Ternyata manusia kecil itu sudah bangun dan mengemasi barang-barangnya.
" Saya berangkat Tu'!" katanya, Ia lalu turun kebawah membulka pintu dan keluar. Tetapi ia tidak terus berangkat tetapi duduk dulu diatas bangku diluar pondok. Tu' Atin yang ingin sok tahu masih mengintip dari celah-celah dinding.
Ada sebentar antaranya ia mendengar suara gemersik dalam semak belukar disamping pondoknya. Lalu ia melihat sebagai ada dua buah cahaya lentera memasuki halaman pondok. Bagi seorang yang biasa tinggal dalam hutan mengerti bahwa cahaya seperti sinar senter redup itu tak lain ialah sorot mata binatang hutan, rusa atau....harimau. Dan ini sudah terrang harimau. Tu' Atin semakin mempertajam matanya mengintip dari celah dinding. Waaah, benar-benar ini celaka. Mandugo bisa dimakan harimau itu, biarpun tidak akan mngenyang baginya. Tu' Atin hampir saja memanggil Mandugo supaya lekas-lekas naik kepondok sebab ada harimau datang mendekati pondok. Tetapi dalam cahaya samar-samar ia melihat Mandugo berdiri diatas bangku itu. Dan sang harimau makin mendekat dan bersandar di bangku itu. Dan,...dan,... Tu'Atin hampir tak percaya dengan matanya. Mandugo naik kepunggung harimau itu seperti seorang anak joki naik kepupunggung kuda, Dan sebentar sang macan sudah melangkah keluar dan hilang dalam kegelapan parak siang.......
Tu' Atin hanya mendeceh-deceh saja karena taajubnya. Siapa mengira manusia bertubuh kecil itu punya kemampuan dan kebolehan yang boleh dikatakan sangat luar biasa...... Sebagai anak joki di gelanggang pacuan kuda Kubu Gadang Mandugo dengan kuda pacuannya sudah terbang, dan bukan mustahil sebelum pukul lima ia sudah sampai di Padang Mengatas.........
TU' ATIN belum habis oleh beberapa keajaiban yang muncul semalam itu. Dan baru saja dsaksikannya keberangkatan tamunya dengan mengendarai kuda silumannya. Baru ia meneruskan tidurnya. Tidak heran kalau ia bangun sudah kesiangan. Ketika Tu' Atin membuka tingkap pondoknya sekali lagi ia disodori hal yang ajaib yang biasanya tak mungkin dimakan akal manusia shat. Apa yang dilihatnya?
Ditanah yang terbuka diluar pondoknya kelihatan setimbun rotan dan manau berbelit-belit barangkali ada dua atau tiga batang, Tu' Atin segera turun kebawah, waaah, timbunan rotan hampir setinggi pondoknya dan manau ada tiga lembar dengan panjang takkan kurang dari 200 meter. Tu'atin menggeleng-geleng kepalanya saking keheranan, bercampur gembira juga. Tak sia-sia tembakaunya ludas..... 8. BANTUAN URANG GADANG .
- * *
L I M A hari lama nya Tu' Atin membersihkan rotan dan manau itu. Rupanya rotan dan manau itu dicabut begitu saja dengan akar-akarnya. Memang hebat tenaga Urang Gadang itu! Menjadi teka teki bagi Tu' Atin apakah manau itu dicabut sendirian atau beramai-ramai oleh tu' inyik Rimba Mangkisi itu. Dan bagaimana pula mereka membawanya dari tempat sejauh itu sampai ke pondok Tu' Atin. Namun kini semuanga tidak menjadi masalah. Yang penting rotan dan manau itu harus dibersihkan. Kemudian siap untuk diangkut ke desa.
Rotan itu sesudah dibersihkan lalu digulung-gulung dan diikat kuat-kuat. Satu ikatan itu sebuah beban untuk orang dewasa yang kuat. Semuanya ada lima ikat rotan. Rotannya termasuk kwalitas yang baik pula. Rupanya Urang Gadang itu tahu pula menentukan mana rotan yang baik. Demikian pula manau. Manau itu dipotong-potong sepotong kira-kira satu depa panjangnya. Kemudian diikat-ikat pula, Satu ikatan sebuah beban orang dewasa pula, Semua ada enam ikatan. Jadi rotan dan manau itu harus diangkut oleh sebelas orang dewasa. Berarti sebelas hari pula penduduk desa bertekun dalam rimba mengumpulkan rotan dan manau itu baru dapat dibawa ke desa. Seterusnya dibawa ke kota untuk dijual. Sungguh, mengagumkan. Mereka mencari rotan dan manau itu hanya dalam satu malam saja, Betapa kuat-kuatnya raksasa itu!
Kebetulan sesudah rotan dan manau itu selesai di ikat turunlah tiga orang desa dari Merayu. Mereka juga membawa manau dan rotan. Sebagai biasa penduduk desa yang pulang pergi ke Merayu atau Subayang berhenti di pondok Tu' Atin. Sangatlah herannya mereka melihat tumpukan rotan dan manau yang sudah siap untuk di angkut ke desa. Lumayan banyaknya.
" Rotan siapa ini Tuk?" bertanya seorang dari mereka.
" Saya punya," jawab Tu' Atin.
" Bila pula datuk ke hutan mencari manau padahal kami tahu datuk tak pernah beranjak dari sini."
" Sebenarnya ini titipan orang," Jawab Tu' Atin. " Ada orang datang dari Pangkalan Kapas yang membawanya. Jadi mereka mengantarkan kesini. Saya hanya sebagai perantara saja. Mereka sedikitpun tidak percaya dengan keterangan Tu' Atin itu tetapi mereka diam saja. Otak mereka tentu sudah memperkali-kalikan dalam kepala. Mana pula ada orang Pangkalan Kapas Yang mungkin membawa rotan manau kesana. Sedang jumlahnya lumayan. Beban untuk sebelas orang.
" Kalau sampai di desa nanti tolong pesankan kepada Tina isteriku: suruh datang kemari orang pembawa beban, lima atau enam orang. Untuk membawa beban ini ke desa,"
" Baiklah Tu'," jawab yang seorang. " Kamipun bersedia mengangkutnya ke desa, bila perlu kami tambah dua atau tiga orang lagi...."
" Baiklah," jawab Tu' Atin. " Nanti katakan juga pada Tina agar dia pergi bersama-sama untuk menerimakan uangnya."
Rombongan itu tidak lama berhenti di pondok Tu' Atin. Setelah istirahat sebentar mereka meneruskan perjalanannya menuju desa. Sebab hari belum pukul tiga sore. Kalau mereka agak cepat berjalan sekitar jam enam senja mereka sudah tiba di desa, Dan besok atau lusa setelah dapat kawan kembali lagi ke pondok Tu' Atin untuk menjemput rotan dan manau.
Ibarat kata orang mulut guci yang bisa ditutup tetapi mulut manusia tak bisa ditutup. Kabarnya semalaman itu di kedai-kedai kopi mendapat bahan baru untuk acara parlemen warung kopi, Acaranya tunggal: Tu' Atin. Semua mengeluarkan pendapat dari mana Tu( Atin mendapat rotan dan manau dalam jumlah yang banyak. Padahal setahu orang dia tak beranjak dari ladangnya. Setiap satu kepala mengeluarkan satu pendapat. Yang satu dengan yang lainnya jauh berbeda.
Akhirnya yang dapat diterima ialah pendapat Datuk Sindo Nari. Ia sudah tua dan lebih berpengglaman dari semuanya.
" Dengarlah," ujar Sindo Nari, " kalian masih ingat Tu Ompek? Beberapa tahun yang lalu dia berladang pula dekat Subayang. Lucunya: dia berladang gambir tetapi yang dikirimnya ke kampung manau dan rotan. Dalam jumlah yang tidak sedikit. Ladang gambib itu akhirnya gagal, tak menjadi."
" Apa sebabnya Tu'?" bertanya seorang.
" Dia sudah sibuk mengumpulkan manau dan rotan."
" Dari orang Pangkalan Kapas, Tu'?" tanya yang lain.
" Mana ada pula orang Pangkalan mengambil manau di rimba kita ini. Itu mustahil. Tetapi Tu' Ompek dapat menjinakkan Urang Gadeng.
" Urang Gadang?" seru yang lain. " Memang adakah Urang Gadang dalam rimba kita ini Tuk?"
" Memang ada, hal itu tak dapat dimungkiri lagi. Sudah banyak orang kampung kita yang berjumpa dengan mereka, atau menemukan jejaknya. Dan malahan ada yang mampu menjinakkannya seperti Tu' Ompek itu."
" Bagaimana caranya Tuk?"
" Urang Gadang itu gemar sekali dengan tembakau. Asal mereka diberi tembakau mereka tidak mengganggu kita malaban bisa membantu kita. Misalnya mencarikan rotan itu. Jadi Tu' Ompek memberi tembakau kepada Urang Gadang dan minta dicarikan manau dan rotan......."
Sindo Nari mereguk kopinya sambil menatap sekitar seakan-akan melihat bagaimana reaksi ceritanya. Semuanya melongo, ada yang menganga mulutnya.
" Nah, kupikir begitulah caranya. Tu' Atin yang sudah lama dalam hutan dapat pula menjinakkan Urang Gadang kitu. Seperti Tu' Ompek malamnya dia memesan manau dan rotan besok pagi sudah bertimbun manau dan rotan dimuka pondoknya. Demikian pula Tu' Atin."
" Ya, memang rupanya Tu' Atin sudah sanggup menguasai Urang Ga- dang itu."
" Terserah padanya, " komentar seorang yang lain. " Mau bersahabat kek, mau jadi rajanya kek, kan dia tidak merugikan kita," komentar yang lain pula.
Nyaris Tu' Atin menjadi salah seorang tokoh legendaris di desa itu.
DEMIKIANLAH beberapa malam sesudah kedatangan Mandugo Tu' Atin mendengar kembali suara lengkingan itu. Timbul pikiran Tu' Atin hendak mencoba pula berkomunikasi langsung dengan Urang Gadang itu. Diambilnya tembakau dan daun pisang karuk yang sudah disediakannya lalu dibukanya tingkap bertuah itu. Malam agak terang sebab bulan sudah bertambah terang. Namun cuaca kurang baik, langit berawan.
Pada mulanya datang juga bermacam-macam perasaan pada Tu' Atin tetapi akhirnya maherat juga. Dia tahu kalau Urang Gadang itu datang bila tidak diganggu takkan berbuat apa-apa. Malahan dapat dijadikan teman yang baik. Bisa pula minta bantuan dalam hal-hal yang disanggupinya. Tu' Atin membuat cerobong dengan kedua telapak tangannya lalu berteriak membalas suara lengkingan itu seperti yang dilakukan Mandugo beberapa malam yeng lewat. Hanya satu kali saja sudah kelihatan tanda-tandanya bahwa tamu itu akan datang.
Dari rerimbunnya pohon-pohon dan semak belukar muncul suatu sosok tubuh bentuk manusia tetapi punya postur vang luar biasa. Menurut taksiran Tu' Atin lebih dari dua depa manusia dewasa tingginya. Hitam legam karena diselimuti malam. Tak berapa beda dengan tinggi pondoknya. Kemudian ia bertinggung mukanya tepat menghadap ke tingkap pondok. Bau amis menusuk hidung Tu' Atin tetapi dia diam-diam saja.
" Sanak dari Solok Jelatang?" Tu' Atin mulai bertanya.
" Lok... Tang...." jawabnya. Pembicaraan manusia ia mengerti tetapi ia bercakap hanya sepotong-sepotong saja.
" Tuuu' Lok Tang ....tarimo kasi....yaaaaa...." kata Tu' Atin. Terdengar suara antara mendengus dan tertawa, namun agak menakutkan.
" Tuuu' sendiri atau dua orang?" tanya Tu' Atin.
" Duwoo,....," jawabnya.
" Tuuu' mau tembakau?"
" 'Uuuuh,..." jawabnya pula, Tu' Atin bertambah serius. Ketakutannya tak ada lagi. Malahan ia ingin agak berlama-lama dengan raksasa itu.
Tu' Atin mengunjukkan beberapa batang udut sitaka yang sudah digulungnya dan sejemput tembakau. Sebatang rokok itu dikembalikannya kepada Tu' Atin.
" Mau api?" tanya Tu' Atin.
" 'Uuuuh,...." Tut( Atin membakar rokok itu dan memberikan kembali kepada tamunya. Diam sejenak.
" Nak tan,....nak nau...?" ia bertanya pula pada Tu' Atin. Maksudnya apakah Tu' Atin mau rotan atau manau.
" Cukup sanak," jawab Tu' Atin, " kalau mau tolong siang ladang ini, yaaaa?" Tu' Atin menunjuk kesekitar ladangnya.
" 'Uuuh,..." jawabnya, ia berdiri dan dalam tempoh beberapa detik saja ia sudab bilang dalam kelompok rimba itu, Walau badannya besar tetapi gerakannya amat gesit.
PAGI besoknya Tu' Atin sudah bangun. Ia akan mengambil udhuk ke Pancuran. Lalu dilihatnya ladangnya, Astaga! Apa yang terjadi? Kemarin ladang itu masih penuh dengan siangan. Seakan-akan tak habis-habisnya. Disiang sebelah sini, sebelah sana sudah panjang pula, Disiang sebelah sini sebelah sana sudah rampak pula.
Tetapi sekarang dengan heran Tu' Atin melihat ladangnya itu sudah bersih. Seperti piring dijilat anjing kurus kelaparan. Sebatang siangan tak ada 1agi. Dan batang gambir sebatangpun tak ada yang rusak atau terinjak.
Jika Tu' Atin sendirian bersiang selama sepuluh hari belum tentu akan berhasil semacam itu, Tu' Atin mengira-ngira: Bila ladang itu diupahkan menyianginya baik dengan uang atau dengan beras maka upahnya akan sekiaan...sekian. Tetapi sekarang hanya dengan beberapa batang rokok sitaka saja dan sejemput tembakau ladangnya selesai disiang dengan rapi. Tu' Atin hanya goleng-goleng kepala saja. Sungguh sahabat baik Urang Gadang itu. Bila kita tahu dan pandai memanfaatkannya. Sungguh, Tu' Atin mendapat pembantu yang murah tetapi effisin kerjanya.
Barangkali bilamana mereka dilatih dan diajar mengempa gambir t tentu akan mampu pula. Apalah sulitnya bagi Urang Gadang untuk menekan kampahan untuk mengeluarkan getah gambir. Dan akan dicobanya!
TINA datang.
Sebagai biasa ia membawa perbekalan seperti: beras, garam, minyak, ikan asin, dan...tembakau. Tu' Atin sudah sering berpesan agar dibawa tembakau banyak-banyak. Hari itu sudah sore Tina sampai, Sendirian saja, Walau bawaannya lebih berat dari biasa. Tina duduk dibangku disamping pondok. Setelah lepas letihnya dan berbincang-bincang sebentar dengan suaminya ia lalu kedapur. Bertanak nasi. Sambal sudah dibawanya dari rumah. Sekarang rupanya ada menu istimewa. Sambal rendang.
Minggu yang lewat Tina barak menerima uang. Hasil penjualan rotan dan manau. Sehingga ia dapat membeli daging dibuat rendang.
Tina juga menceritakan bagaimana đesas desus orang kampung. Mereka sibuk mempergunjingkan Tu' Atin yang berhubungan đengan Urang Gadang.
" Peduli apa," jawab lakir. . " Selama kita tidak merugikan mereka dan Pemerintah, peduli amat...."
Tina juga berpendapat demikian. Ia lalu meletakkan pembawaannya. Kemudian pergi kedapur. Akan bertanak nasi dan merebus kahwa.
Malam Tina tidur dengan nyenyak sekali. Ia letih berjalan dan mata sudah amat mengantuk. Sehingga ia tidak tahu dan menyadari bahwa malam itu suaminya sudah kedatangan sahabatnya manusia besar itu. Agak 1ama juga Tu' Atin berpikir-pikir apa yang akan disuruhkan kepada mereka.
" Tuuu'...!" kata Tu' Atip." Sanak bisa mencari ikan?".
" 'Uuuuh,.." jawabnya.
" Baiklah," kata Tu' Atin, " tolong carikan kami ikan. Letakkan dalam goni ini." Tu' Atin memberikan sebuah goni usang kepada Urang Gadang itu. Goni itu đisambutnya dan Tu' Atin memberikan beberapa jemput tembakau lagi, Kemudian barulah ia membaringkan dirinya disamping isterinya.
Pagi-pagi besoknya Tu' Atin sebagai biasa turun kebawah akan pergi ke pancuran. Dengan heran dilihatnya dekat tangga goni semalam sudah tertegak. Goni itu basah dan berisi. Tu' Atin melengong melihat apa isinya sekilas. Astaga! Lagi-lagi Tu' Atin dibuat kaget. Goni itu penuh berisi ikan bermacam-macam jenisnya dan berbagai-bagai pula besarnya.
" Tina,....Tine,..." seru Tu' Atin memanggil isterinya. Tina rupanya sudah bangun pula dn menyanggul rambutnya.
" Ada apa?" tanya Tina sambil turun tangga dan masih terkantuk-kantuk.
" Lihatlah, ini kenyataan mimpimu tempoh hari." Sambil ia menunjukkan goni yang penuh berisi ikan itu kepada Tina. Heran, gembira dan entah perasaan apa 1agi melihat pekirim pang istimewa itu.
Setengah hari Tina membersihkan ikan itu dan dijemur diatas sebuah para-para.
" Rupanya mereka tidak sejahat dan serakus seperti dalam mimpimu itu," ujar lakinya dengan tertawa......
Tina juga tertawa tangannya sibuk membersihkan ikan. Yang sebahagian, yang besar dan jenis garing, akan dimasakmya pengat pedas untuk santapan tengah hari itu. Mereka akan berpesta walau berdua saja.
Beberapa jemput tembakau sudah menjelma menjadi sekarung ikan..... 9. MISTERI URANG GADANG .
I M R A N menyalin naskah Pak Adamh hanya sampai sekian. Alih-alih akan mencari Urang Gadang yang dapat hanya ceritanya. Namun ia yakin cerita itu dapat dipertanggung jawabkan. Sebab sumbernya ialah dari penduduk desa yang dapat dipercayai omongannya dan tak mungkin akan membuat sebuah dongeng. Dan untuk menemui atau mencari Urang Gadang itu punya masalah lain. Juga kesulitan-kegulitan lain yang belum tentu bentuknya.
Apakah ia harus membuat sebuah ladang ditengah huan seperti Tu' Atin pula? Atau bermalam dalam hutan sendirian dan memanggil Urang Gadang itu dengan himbauannya yang khas.
Tetapi kemudian Imran sadar. Kisah yang dibacanya itu sudah lama terjadinya. Sudah dibatas waktu paling kurang setengah abad. Sebab kisah itu terjadi dalam masa Pemerintahan Belanda. Pelaku-pelaku dalam cerita itu sebahagian sudah tak ada lagi dan sebahagian mungkin masih hidup. Dan mereka dapat menjadi saksi mata dalam peristiwa itu. Tetapi yang terpenting: Bisakah ia menemui Urang Gadang itu? Jawaban pertanyaan ini sangat sukar. Dan masih adakah Urang Gadang itu?
Maka tetaplah kisah itu merupakan sebuah misteri yang belum dapat dipecahkan secara logika. Tetapi kalau Imran dapat menyelesaikannya dan misalnya bisa pula membuat foto-foto dokumentasi maka ia akan menjadi salah seorang penemu hebat di Indonesia ini, atau barangkali di dunia ini, Kasus Yetty di Himalaya, Sasquatsch di Amerika sampai sekarang masih diliputi misteri. Misteri dalam misteri. Dan dunia ini memang di penuhi oleh misteri. Misteri yang belum mampu dipecahkan oleh pemikiran manusia, Juga Misteri Rimba Mangkisi ini. Rimba itu tetap diam dan tenang namun memendam misteri yang belum terpecahkan. Dan kapan?
Tidak seorangpun mengetahui. Selain dari Tuhan Yang Mahakuasa
LURAH BUKIT, 10 JANUARI 1993.