Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS


A. Kajian Teoretis

Ungkapan pecunia non olet ("uang itu tidak ada baunya”) adalah kata-kata Kaisar Romawi Vespansianus dalam menanggapi kritik anaknya atas pengenaan pajak urine di toilet-toilet umum Romawi pada masa itu. Vespansianus menunjukkan koin hasil pungutan pajak itu kepada anaknya sambil mengatakan bahwa sekalipun uang itu berasal dari pungutan pajak urine, uang itu tidak bau. Kemudian ungkapan tersebut terkenal dan sering dikaitkan dengan uang-uang hasil kejahatan yang tidak menebarkan “bau kejahatan”. Uang-uang hasil kejahatan itu selalu aman disimpan dan disembunyikan. Dan jika digunakan para pelaku kejahatan tidak seorangpun dapat mencium bau kejahatan dari uang-uang tersebut. Para pelaku kejahatan dengan aman dan nyaman menikmati uang-uang hasil kejahatan itu. Dalam hubungan ini, kita mungkin pernah dengar kisah tentang Gaspare Mutolo, seorang gembong mafia yang bekerja sama dengan komisi anti mafia Italia pada tahun 1992. Mutolo pernah ungkapkan bahwa perasaan yang paling buruk dirasakan para gembong mafia adalah ketika uangnya diambil. Para penjahat itu lebih memilih tinggal di balik jeruji penjara asal tetap memiliki dan menguasai uangnya daripada bebas tetapi tidak punya uang. Bagi para penjahat itu uang adalah hal yang utama.[1]

Uang atau aset hasil tindak pidana yang tidak ada baunya ini merupakan hal yang utama bagi penjahat. Aset inilah yang menjadi sasaran dari upaya pengembalian aset hasil tindak pidana, termasuk aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini merupakan suatu perkembangan dengan perspektif yang baru dalam upaya memerangi dan memberantas kejahatan. Suatu perkembangan dari “suspect-oriented perspective” ke “profit-oriented perspectiwe”, yakni pemberantasan kejahatan yang berorientasi kepada penyitaan hasil-hasil kejahatan (proceeds of crime) yang diperoleh dan dikuasai para pelaku kejahatan. Tekanannya bukan lagi pada pelaku kejahatan atau criminal person (in personam), tetapi pada aset hasil kejahatan atau criminal property (in rem atau fructus sceleris).

Perspektif yang berorientasi pada aset hasil kejahatan ini merupakan perkembangan dari suatu ide fundamental keadilan yang menyatakan “crime does not pay”.[2] Ide fundamental keadilan ini sama dengan doktrin „unjust enrichment“[3] dalam suatu perjanjian atau doktrin dalam adagium ex turpi causa non oritur (suatu sebab yang tidak halal tidak menyebabkan suatu tuntutan) yang dikenal dalam perjanjian. Doktrin ini dapat kita temukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada syarat “suatu sebab yang halal”, sebagai salah satu syarat sahnya suatu perjanjian.

Pengembalian aset (asset recovery) pada saat yang bersamaan akan memberikan dampak preventif untuk perkembangan kejahatan yang bermotif mendapatkan keuntungan berupa hasil-hasil kejahatan. Dampak preventif pertama, terjadi pada tidak adanya aset-aset yang dikuasai para pelaku kejahatan sehingga para pelaku kehilangan sumber daya untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Kedua, dengan menyerang langsung ke motif kejahatan para pelaku, maka tidak lagi ada peluang atau harapan untuk menikmati aset-aset hasil kejahatan itu ditiadakan, setidak-tidaknya dapat diperkecil. Pengembalian aset itu menghilangkan tujuan yang merupakan motif kejahatan dilakukan oleh pelaku kejahatan. Ketiadaan peluang mencapai tujuan itu dapat menghilangkan motif yang mendorong orang melakukan kejahatan. Ketiga, dengan pengembalian aset itu pesan yang kuat dapat diberikan kepada masyarakat luas bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini bagi para pelaku kejahatan untuk menyembunyikan hasil kejahatannya, sekaligus memberikan pesan yang kuat pula bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset-aset hasil kejahatan sebagaimana doktrin “crime does not pay”. Hal-hal ini akan mampu memperlemah keinginan warga masyarakat, khususnya para pelaku potensial, untuk melakukan kejahatan.[4]

Setiap bentuk kejahatan selalu mengesampingkan atau bahkan menghilangkan etika usaha yang menjadi dasar terbentuknya persaingan usaha yang sehat. Padahal persaingan usaha yang sehat adalah salah satu syarat bagi pembentukan iklim investasi yang sehat dan dalam jangka panjang lebih menjamin pertumbuhan ekonomi yang kokoh, stabil dan berkelanjutan.

Selain itu, pelaku tindak pidana juga akan selalu memindahkan harta kekayaan yang diperoleh dari suatu tindak pidana, yang jumlahnya dari hari ke hari semakin besar, dalam rangka menyamarkan atau menyembunyikan hasil kejahatannya. Karena volatilitasnya yang tinggi, perpindahan harta kekayaan yang diperoleh dari suatu tindak pidana dapat menggangu stabilitas keuangan dan perekonomian.

Kejahatan memungkinkan terjadinya eksploitasi sumber daya yang dimiliki negara secara berlebihan. Dalam tindak pidana korupsi, dana anggaran belanja negara, dalam tindak pidana kehutanan atau perikanan menguras kekayaan hutan dan perikanan. Penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana, selain mengurangi atau menghilangkan motif ekonomi pelaku kejahatan juga memungkinkan pengumpulan dana dalam jumlah yang besar yang dapat digunakan untuk mencegah dan memberantas kejahatan. Secara keseluruhan, hal tersebut akan menekan tingkat kejahatan di Indonesia.


A.1. Perampasan Aset Menurut UNCAC

Melihat pada kenyataannya terhadap apa yang telah ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi, maka diperlukan suatu upaya-upaya yang luar biasa dalam hal penanggulangan serta pemberantasannya. Salah satu upaya yang dapat menghindarkan keterpurukan Indonesia akibat praktik korupsi adalah dengan melakukan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Untuk itu pemerintahan Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk melakukan pemulihan agar terbebas dari keterpurukan yang terjadi sebagai akibat dari praktik korupsi. Beberapa upaya tersebut adalah pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption[5] melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) yang kemudian disebut UNCAC, dan membuat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana) yang kemudian disebut UU MLA, di mana salah satu prinsip dasarnya adalah asas resiprokal (timbal-balik).

Pada UNCAC 2003, perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui jalur pidana dan jalur perdata. Proses perampasan aset kekayaan pelaku melalui jalur pidana melalui 4 (empat) tahapan, yaitu: pertama, pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti kepemilikan, lokasi penyimpanan harta yang berhubungan delik yang dilakukan. Kedua, pembekuan atau perampasan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf (f) UNCAC 2003 di mana dilarang sementara menstransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memidahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten. Ketiga, penyitaan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf (g) UNCAC 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten. Keempat, pengembalian dan penyerahan aset kepada negara korban. Selanjutnya, dalam UNCAC 2003 juga diatur bahwa perampasan harta pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”, dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu melalui proses penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 58 s/d Pasal 57 UNCAC).[6]

Tentunya keberadaan instrumen internasional ini sangat penting, sebagai bukti adanya kerjasama internasional dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Ratifikasi atas instrumen internasional tersebut sangat penting mengingat semakin dirasakan keprihatinan di Indonesia maupun pada negara-negara didunia terhadap semakin meningkatnya dan semakin berkembangnya kejahatan baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Perkembangan kejahatan saat ini bahkan telah bersifat transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukan adanya kerjasama kejahatan yang bersifat baik secara regional maupun internasional. Hal ini nampaknya merupakan hasil sampingan dari berkembangnya saranateknologi informasi dan komunikasi modern.[7]

Berdasarkan titik tolak UNCAC sebagai sebuah intrumen internasional dalam upaya pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin bersifat multidimensi dan kompleksitas yang semakin rumit. Pada titik mula UNCAC memberikan dasar acuan pada Pasal 54(1)(c) UNCAC, yang mewajibkan semua Pihak Negara untuk mempertimbangkan perampasan hasil tindak kejahatan tanpa melalui pemidanaan. Dalam hal ini UNCAC tidak terfokus pada satu tradisi hukum yang telah berlaku ataupun memberi usulan bahwa perbedaan mendasar dapat menghambat pelaksanaannya. Dengan ini UNCAC mengusulkan perampasan aset Non-pidana sebagai alat untuk semua yurisdiksi untuk mempertimbangkan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagai sebuah alat yang melampaui perbedaan-perbedaan antar sistem. Tentunya berdasarkan keberlakukannya dalam ratifikasi yang dilakukan oleh negara-negara yang mengikuti dalam konvensi UNCAC tersebut, PBB selaku pihak penyelenggara dengan ini melanjutkan disposisional dalam bentuk pembuatan pedoman-pedoman (guidelines), standar-standar maupun model treaties, yang mencakup substansi yang lebih spesifik dalam upaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan upaya pemulihan terhadap dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi tersebut.

Secara metodologi literature pedoman ini memberikan pendekatan dalam bentuk 36 (tiga puluh enam) konsep utama (Key Concept), yang merupakan rekomendasi dari tim ahli yang telah melakukan penelaahan dan penelitian pada bidangnya masing-masing. Kunci-kunci konsep (Keys Concept) ini lah yang akan menjadi dasar acuan dan petunjuk bagi negara-negara yang telah melakukan rativikasi terhadap hasil konvensi UNCAC dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.[8]


Ke-36 (tiga puluh enam) konsep tersebut disusun dalam 8 (delapan) section tittle sebagai penggolongan ruang lingkup penggunaan konsepnya, yaitu, Prime Imperatives (Acuan Utama) terdiri dari 4 (empat) kunci konsep, Defining Assets and Offenses Subject to NCB Asset Forfeiture (Mendefinisikan Aktiva dan Pelanggaran Berdasarkan Perampasan Aset tanpa putusan Pidana) terdiri dari 5 (lima) kunci konsep, Measures for Investigation and Preservation of Assets Langkah-langkah untuk Penyelidikan dan Pengelolaan Aset) terdiri dari 3 (tiga) kunci konsep: Procedural and Evidentiary Concepts (Konsep Prosedural dan Pembuktian) terdiri dari 5 (lima) kunci konsep; Parties to Proceedings and Notice Reguirements (Para Pihak yang Dapat Turut-serta Dalam Proses dan Pengajuan Persyaratan) terdiri dari S5 (lima) kunci konsep: Judgment Proceedings (Prosedur Putusan) terdiri dari 4 (empat) kunci konsep, Organizational Considerations and Asset Management (Beberapa Pertimbangan terkait Organisasi dan Pengelolaan Aset) terdiri dari 4 (empat) kunci konsep, International Cooperation and Asset Recovery (Kerjasama internasional dan Pemulihan Aset) terdiri dari 6 (enam) kunci konsep.[9]

Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir ini, menurut Theodore S. Greenberg, terdapat beberapa perjanjian multilateral yang telah dilakukan yang bertujuan untuk melakukan kerjasama dan sepakat antara negara dengan negara lainnya dalam hal perampasan (forfeiture), pembagian aset (asset sharing), bantuan hukum (legal assistance), dan kompensasi korban (compensation of victims). Di samping itu terdapat pula beberapa konvensi PBB dan perjanjian multilateral yang mengandung ketentuan yang mengatur tentang perampasan, antara lain[10]:

a) United Nations Convention against the Illicit Trafficin Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Vienna Convention), 1988.

b) United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTCC), 2000.

c) United Nations Convention against Corruption (UNCAC), 2003.

d) Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seisure and Confiscation of the Proceeds from Crime and on the Financing of Terrorism, 2005.

e) Council of Burope, Convention on Laundering, Search, Seisure and Confiscation of the Proceeds from Crime, 1990.

f) Internasional Organisation for Economic Co-operation and Development Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions, 1997.

Dari beberapa ketentuan di atas, UNCAC merupakan peraturan yang hanya memiliki ketentuan yang mengatur tentang perampasan in rem secara khusus, dan memberikan dasar hukum sebagai acuan untuk negara melakukan kerjasama internasional dalam permasalahan kejahatan maupun keuangan serta penggunaan teknologi antara sesama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hal upaya pengembalian aset. Ketentuan tersebut dituangkan pada Article 54 (1) (c) of UNCAC: “Consider taking such measures as may be necessary to allow confiscation of such property without a criminal conwviction in cases in which the offender cannot be prosecuted by reason of death, flight or absence or in other appropriate cases”. Pasal 54 angka 1 huruf (c) UNCAC ini merupakan pasal yang memberikan dasar hukum dalam hal penggunaan tindakan perampasan secara in rem pada tiap negara-negara yang melakukan kerjasama internasional dalam hal upaya melakukan pengembalian aset.[11]

A.2. Konsep Perampasan Aset Secara In Rem

Secara prinsip internasional sebagaimana yang diterangkan di dalam guideline StAR tersebut terhadap tindakan perampasan dikenal dengan 2 (dua) jenis perampasan: perampasan in rem dan perampasan pidana. Mereka berbagi tujuan yang sama, yaitu perampasan oleh negara dari hasil dan sarana kejahatan. Keduanya memiliki kesamaan dalam 2 (dua) hal. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan melanggar hukum seharusnya tidak diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari kejahatan mereka. Hasil kejahatan harus dirampas dan digunakan untuk kompensasi kepada korban, apakah itu negara atau individu. Kedua, merupakan upaya efek jera terhadap siapa saja yang melanggar hukum. Tindakan perampasan dilakukan untuk memastikan bahwa aset tersebut tidak akan digunakan untuk tujuan kriminal lebih lanjut, dan juga berfungsi sebagai upaya pencegahan (preventif).[12] Secara konsepsi dalam penerapannya, perampasan in rem merupakan upaya yang dilakukan untuk menutupi kelemahan dan bahkan kekurangan yang terjadi dalam tindakan perampasan pidana terhadap upaya pemberantasan tindak pidana. Pada beberapa perkara, tindakan perampasan pidana tidak dapat dilakukan dan pada perkara tersebut perampasan in rem dapat dilakukan, yaitu dalam hal[13] :

a. Pelaku kejahatan melakukan pelarian (buronan). Pengadilan pidana tidak dapat dilakukan jika si tersangka adalah buron atau dalam pengejaran.

b. Pelaku kejahatan telah meninggal dunia atau meninggal sebelum dinyatakan bersalah. Kematian menghentikan proses sistem peradilan pidana yang berlangsung.

c. Pelaku kejahatan memiliki kekebalan hukum (Immune).

d. Pelaku kejahatan memiliki kekuatan dan kekuasaan sehingga pengadilan pidana tidak dapat melakukan pengadilan terhadapnya.

e. Pelaku kejahatan tidak diketahui akan tetapi aset hasil kejahatannya diketahui/ditemukan.

f. Aset kejahatan dikuasai oleh pihak ketiga yang dalam kedudukan secara hukum pihak ketiga tersebut tidak bersalah dan bukan pelaku atau terkait dengan kejahatan utamanya.

g. Tidak adanya bukti yang cukup untuk diajukan dalam pengadilan pidana.

Pada beberapa perkara, perampasan in rem dapat dilakukan dikarenakan pada dasarnya merupakan tindakan in rem yang merupakan tindakan yang ditujukan kepada obyek benda, bukan terhadap persona/orang, atau dalam hal ini tidak diperlukannya pelaku kejahatan yang didakwakan sebelumnya dalam peradilan. Dengan perampasan yang ditujukan kepada aset itu sendiri maka tidak adanya subyek pelaku kejahatan yang dilihat pada hal ini membuat kedudukan pihak-pihak yang terkait dengan aset tersebut atau bahkan pemilik aset tersebut berkedudukan sebagai pihak ketiga. Karenanya dalam hal ini sebagai pihak pertama adalah negara melalui aparaturnya, pihak kedua adalah aset tersebut dan pihak ketiga adalah pemilik aset atau yang terkait dengan aset tersebut. Dalam beberapa perkara, perampasan in rem memungkinkan untuk dapat dilakukan karena itu adalah tindakan in rem terhadap properti, bukan orang, dan pembuktian pidana tidak diperlukan, ataupun keduanya. Perampasan aset in rem juga dapat berguna dalam situasi seperti berikut[14]:

a) Pelanggar telah dibebaskan dari tuntutan pidana yang mendasar sebagai akibat dari kurangnya alat bukti yang diajukan atau gagal untuk memenuhi beban pembuktian. Hal ini berlaku dalam yurisdiksi di mana perampasan aset in rem diterapkan pada bukti standar yang lebih rendah dari pada standar pembuktian yang ditentukan dalam pidana. Meskipun mungkin ada cukup bukti untuk tuduhan pidana tidak bisa diragukan lagi, tetapi pelanggar memiliki cukup bukti untuk menunjukkan aset tersebut berasal bukan dari kegiatan ilegal dengan didasarkan asas pembuktian terbalik.

b) Perampasan yang tidak dapat di sanggah. Dalam yurisdiksi di mana perampasan aset secara in rem dilakukan sebagai acara (hukum) perdata, standar prosedur penilaian digunakan untuk penyitaan aset, sehingga dapat dilakukan penghematan waktu dan biaya.

Perampasan aset in rem sangat efektif dalam pemulihan kerugian yang timbul dan pengembalian dana hasil kejahatan baik kepada Negara ataupun kepada pihak yang berhak. Sementara perampasan aset in rem seharusnya tidak pernah menjadi pengganti bagi penuntutan pidana, dalam banyak kasus (terutama dalam konteks korupsi), perampasan aset in rem mungkin satu-satunya alat yang tersedia untuk mengembalikn hasil kejahatan yang tepat dan adanya jaminan keadilan. Pengaruh pejabat korup dan realitas praktis lainnya dapat mencegah penyelidikan pidana sepenuhnya, atau sampai setelah resmi telah dinyatakan meninggal atau melarikan diri. Hal ini tidak biasa bagi pejabat yang korup yang merampas suatu kekayaan negara yang juga berusaha untuk mendapatkan kekebalan dari tuntutan. Karena sebuah konsep perampasan aset in rem tidak tergantung pada tuntutan pidana, itu dapat dilanjutkan tanpa kematian, atau kekebalan yang mungkin dapat dimiliki oleh pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi.[15]


A.3. Acuan Konsep Dalam Tindakan Perampasan Aset In Rem

Dalam membangun sebuah sistem perampasan, sebagai dalam guideline StAR bahwa yurisdiksi perlu mempertimbangkan apakah perampasan aset in rem dapat dimasukkan ke dalam hukum yang berlaku (Lex Generalis) atau dibuat Undang-Undang yang terpisah (Lex Specialis). Selain itu, yurisdiksi juga perlu mempertimbangkan sejauh mana prosedur yang ada dapat dirujuk dan dimasukkan dan sejauh mana pula mereka harus membuat prosedur baru.[16]

Secara konsepsi, guideline StAR memberikan 36 konsep dasar dalam hal negara-negara melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara khusus dan tindak pidana lainnya yang dapat merugikan kekayaan negara maupun perekonomian negara pada umumnya. 36 konsep tersebut adalah:[17]

  1. Perampasan In Rem (berdasar tanpa putusan pidana) seharusnya tidak menjadi pengganti tuntutan pidana (Nonconviction based asset forfeiture should never be a substitute for criminal prosecution);
  2. Hubungan antara perkara perampasan aset in rem dan perampasan pidana apapun, termasuk penyelidikan yang tertunda, harus dijelaskan (The relationship between an NCB asset forfeiture case and any criminal proceedings, including a pending investigation, should be defined);
  3. Perampasan aset in rem harus tersedia bila tuntutan pidana tidak tersedia atau tidak berhasil (NCB asset forfeiture should be available when criminal prosecution is unavailable or unsuccessful);
  4. Peraturan atas bukti dan prosedur yang berlaku harus diberikan secara jelas dan mendetail mungkin (Applicable evidentiary and procedural rules should be as specific as possible);
  5. Aset yang berasal dari pelanggaran kriminal dalam lingkup yang luas harus tunduk pada perampasan aset (In rem Assets derived from the widest range of criminal offenses should be subject to NCB asset forfeiture);
  6. Kategori aset harus bersifat luas dan tunduk kepada hal perampasan (The broadest categories of assets should be subject to forfeiture);

  1. Definisi aset dalam lingkup perampasan harus diartikan luas untuk mencakup bentuk-bentuk nilai-nilai yang baru atau yang akan datang (The definition of assets subject to forfeiture should be broad enough to encompass new forms of value);
  2. Aset yang tercemar yang diperoleh sebelum berlakunya Undang-undang perampasan aset In rem dapat dilakukan perampasan terhadapnya (Tainted assets acquired prior to the enactment of an NCB asset forfeiture law should be subject to forfeiture);
  3. Pemerintah harus memiliki kewenangan untuk menetapkan batas-batas dalam menentukan kebijakan sesuai dengan pedoman dalam tindakan perampasan (The government should have discretion to set appropriate thresholds and policy guidelines for forfeiture)
  4. Langkah-langkah pemerintah harus spesifik dalam tindakannya untuk melakukan penundaan penyelidikan dan pengelolaan aset yang harus ditentukan sebelumnya untuk dirampas (The specific measures the government may employ to investigate and preserve assets pending forfeiture should be designated);
  5. Langkah yang diambil dalam penanggulangan dan investigasi dapat dilakukan tanpa harus melakukan pemberitahuan kepada pemegang aset dan selama proses prajudikasi berjalan tuntutan berjalan untuk mengadili kasus terkait tuntutan perampasan (Preservation investigative measures taken without notice to the asset holder should be authorized when notice could prejudice the ability of the jurisdiction to prosecute the forfeiture case);
  1. Harus adanya suatu mekanisme untuk mengubah perintah untuk pengawasan, pemantauan, dan pencarian bukti dan untuk mendapatkan apa pun yang berkuasa tetap buruk kepada pemerintah atau permohonan peninjauan kembali tertunda dari urutan apapun yang dapat menempatkan tindakan merampas properti di luar jangkauan pengadilan (There should be a mechanism to modify orders for preservation, monitoring, and production of evidence and to obtain a stay of any ruling adverse to the government pending reconsideration or appeal of any order that could place forfeitable property beyond the reach of the court);
  2. Prosedural dan unsur persyaratan pemerintah baik aplikasi dan tanggapan penuntut harus diperjelaskan secara detail (The procedural and content reguirements for both the government 's application and the claimant's response should be specifted);
  3. Konsep dasar seperti standar (beban) dari penggunaan bukti dan pembuktian terbalik harus dijabarkan dengan undang-undang (Fundamental concepts such as the standard (burden) of proof and use of rebuttable presumptions should be delineated by statute);
  4. Apabila pembelaan secara afirmatif digunakan, pembelaan untuk perampasan harus dijelaskan, demikian juga dengan elemen-elemen dari pembelaan tersebut dan beban bukti (Where affirmative defenses are used, defenses to forfeiture should be specified, along with the elements of those defenses and the burden of proof);
  5. Pemerintah harus memberi kewenangan dalam hal pembuktian dengan berdasarkan atas dugaan dan
laporan/aduan (The government should be authorized to offer proof by circumstantial evidence and hear say);
  1. Memberlakukan Undang-undang tentang pembatasan (rekomendasi) yang harus dirancang untuk memungkinkan terlaksananya perampasan aset NCB secara maksimal. (Applicable statutes of limitations (prescription) should be drafted to permit maximum enforceability of NCB asset forfeiture):
  2. Mereka yang dengan memiliki kepentingan hukum sebagai subyeknya adalah properti untuk dirampas berhak untuk mendapat pemberitahuan tentang proses pelaksanaannya (Those with a potential legal interest in the property subject to forfeiture are entitled to notice of the proceedings):
  3. Seorang jaksa atau lembaga pemerintah harus diberi wewenang untuk mengenali kreditur dijamin tanpa meminta mereka untuk mengajukan klaim formal (A prosecutor or government agency should be authorized to recognize secured creditors without reguiring them to file a format claim):
  4. Seorang buronan yang menolak untuk kembali ke yurisdiksi untuk menghadapi tuntutan pidana yang telah ditetapkan seharusnya tidak diijinkan untuk menggunakan proses secara perampasan aset in rem (A fugitive who refuses to retum to the jurisdiction to face outstanding criminal charges should not be permitted to contest NCB asset forfeiture proceedings):
  5. Pemerintah harus diberi wewenang untuk membatalkan transfer jika properti telah ditransfer kepada orang dalam atau kepada siapa pun dengan pengetahuan yang
mendasari tindakan ilegal (The government should be authorized to void transfers if property has been transferred to insiders or to anyone with knowledge of the underlying illegal conduct);
  1. Sejauh mana penuntut untuk melakukan klaim aset yang akan dirampas agar dapat aset tersebut digunakan untuk tujuan tersangka menerima tindakan perampasan atau untuk biaya hidup harus ditetapkan (The extent to which a claimant to forfeitable assets may use those assets for purposes of contesting the forfeiture action or for living expenses should be specified);
  2. Perhatikan pada otorisasi pemberian penilaian yang keliru ketika pernyataan yang benar telah diberikan dan aset tetap tidak dapat diklaim (Consider authorizing default judgment proceedings when proper notice has been given and the assets remain unclaimed);
  3. Pertimbangkan tentang kemungkinan para pihak untuk menyetujui tindakan perampasan tanpa pengadilan dan kewenangan pengadilan untuk memasukkan perampasan ditetapkan dari putusan ketika para pihak setuju untuk menjalani prosedur tersebut (Consider permitting the parties to consent to forfeiture without a trial and authorizing the court to enter a stipulated judgment of forfeiture when the parties agree to such procedure);
  4. Tentukan semua solusi yang tersedia bagi penuntutan apabila pemerintah gagal melakukan dalam menerapkan putusan perampasan (Specify any remedies that are available to the claimant in the event the government fails to secure a judgment of forfeiture);
  1. Putusan akhir dari perampasan aset In rem harus dinyatakan secara tertulis (The final judgment of NCB asset forfeiture should be in writing);
  2. Menetapkan lembaga yang memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki dan menuntut hal perampasan (Specify which agencies have jurisdiction to investigate and prosecute forfeiture matters);
  3. Pertimbangkan tugas hakim dan jaksa dengan keahlian khusus atau pelatihan dalam perampasan untuk menangani kegagalan perampasan aset In rem (Consider the assignment of judges and prosecutors with special expertise or training in forfeiture to handle NCB asset forfeitures);
  4. Harus ada sistem untuk perencanaan pra-penyitaan, pengelolaan, dan mengakusisi aset secara cepat dan efisien (There should be a system for pre-seizure planning, maintaining, and disposing of assets in a prompt and efficient manner);
  5. Menetapkan mekanisme untuk menjamin perkiraan, melanjutkan, dan pendanaan yang memadai untuk pengoperasian program perampasan agar efektif dan adanya batas campur tangan politik dalam kegiatan perampasan aset (Establish mechanisms to ensure predictable, continued, and adequate financing for the operation of an effective forfeiture program and limit political interference in asset forfeiture activities);
  6. Terminologi yang benar harus digunakan, terutama jika kerjasama internasional terlibat (Correct terminology should be used, particularly when international cooperation is involved);
  1. Ekstrateritorial yurisdiksi harus diberikan ke pengadilan (Extraterritorial jurisdiction should be granted to the courts);
  2. Negara-negara harus memiliki kewenangan untuk menegakkan permohonan pihak luar (Countries should have the authority to enforce foreign provisional orders);
  3. Negara-negara harus memiliki kewenangan untuk menegakkan permintaan perampasan dari pihak luar negeri dan harus membuat undang-undang yang memaksimalkan terlaksananya putusan mereka di luar negeri (Countries should have the authority to enforce foreign forfeiture orders and should enact legislation that maximizes the enforceability of their judgments in foreign jurisdictions),
  4. Perampasan aset In rem harus digunakan untuk mengembalikan harta kepada korban (NCB asset forfeiture should be used to restore property to victims);
  5. Pemerintah harus diberi wewenang untuk berbagi aset atau dengan mengembalikan aset untuk bekerja sama dalam yurisdiksi (The government should be authorized to share assets with or return assets to cooperating jurisdictions).

Dari beberapa konsep di atas merupakan kunci acuan dalam tindakan perampasan aset, dikatakan bahwa dilakukannya tuntutan pidana yang mendukung perampasan aset in rem akan menjadikan hukum pidana efektif dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukumnya. Oleh karena itu, perampasan aset in rem dapat menjadi alat yang efektif untuk memulihkan aset yang terkait dengan kejahatan atau tindak pidana lainnya, namun itu tidak boleh digunakan sebagai alternatif tuntutan pidana bila yurisdiksi memiliki kemampuan untuk menuntut para pelanggar tersebut. Dengan kata lain, penjahat seharusnya tidak diberi kesempatan untuk menghindari penuntutan pidana dengan cara menunjuk kepada hal konsep perampasan aset in rem sebagai mekanisme untuk meminta ganti rugi atas kejahatan yang telah dilakukan.

Dalam hal mekanisme pencegahan dan penanggulangan tindak pidana, secara umum, merupakan pilihan terbaik adalah dengan dilakukan secara penuntutan pidana, sanksi pidana (putusan pidana), dan tindakan perampasan. Dengan demikian, penuntutan pidana harus dilakukan bila memungkinkan untuk menghindari risiko bahwa jaksa, pengadilan, dan masyarakat akan memandang pengambilalihan aset sebagai sanksi yang cukup ketika hukum pidana telah dilanggar. Namun, perampasan aset in rem harus melengkapi penuntutan pidana dan putusan pidana. Mungkin mendahului dakwaan tindak pidana atau sanksi pidana secara bersamaan. Selain itu, perampasan aset in rem harus dipertahankan dalam semua kasus sehingga dapat digunakan jika tuntutan pidana menjadi tidak menjangkau atau tidak berhasil, dan prinsip ini harus tegas dinyatakan dalam Undang-Undang. Itu masih akan diperlukan untuk membuktikan bahwa aset tersebut tercemar. Dalam hal ini, aset tersebut adalah salah satu hasil kejahatan atau instrumen yang digunakan untuk melakukan kejahatan.[18]

Perampasan aset in rem dipicu oleh perilaku kriminal. Dalam hal ini, mungkin ada kasus di mana investigasi dan penuntutan tindak pidana bertentangan atau dilanjutkan secara paralel dengan cara perampasan aset in rem. Sebagian besar situasi ini dapat diantisipasi, dan Undang-Undang harus memberikan resolusi setelah yurisdiksi menentukan titik di mana proses in rem akan diijinkan untuk melanjutkan. Yurisdiksi diperlukan untuk memutuskan apakah proses in rem akan diijinkan hanya bila proses penuntutan perampasan pidana tidak mungkin dilakukan, atau apakah perampasan aset in rem dan tuntutan pidana dapat dilanjutkan secara bersamaan (simultan).[19] Memang, pendekatan simultan adalah metode yang disukai. Namun, keduanya tidak perlu dilanjutkan pada waktu yang sama. Sebagai contoh, mungkin Undang-Undang memungkinkan untuk melanjutkan kasus perampasan di samping perkara pidana, akan tetapi informasi yang diperoleh dari pemilik aset dengan terpaksa tidak dapat digunakan untuk melawannya terhadap penuntutan pidananya. Ada beberapa risiko bahwa seorang terdakwa pemilik aset dapat menghalangi dari perampasan aset secara in rem dan menantang tindakan perampasan tersebut karena takut memberatkan dirinya, atau akan menggunakan penemuan (novum) di kasus tersebut untuk memperoleh informasi yang kemudian akan digunakan untuk penuntutan pidana.[20]

Selain tindak pidana korupsi sebagaimana telah dijelaskan di atas, tindak pidana dengan motif ekonomi yang awalnya bersifat konvensional seperti pencurian, penipuan, dan penggelapan, kini berkembang menjadi semakin kompleks karena melibatkan pelaku yang terpelajar dan seringkali bersifat transnasional atau lintas negara. Jenis kejahatan ini selain menghasilkan banyak harta kekayaan sekaligus juga melibatkan banyak dana untuk membiayai peralatan-peralatan, sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan tindak pidana tersebut. Dengan kompleksitas seperti ini maka penanganan tindak pidana menjadi semakin rumit dan sulit untuk ditangani oleh penegak hukum. Perampasan aset secara in rem diharapkan menjangkau tindak pidana dengan motif ekonomi tersebut.

Tabel 1
Perbedaan antara Perampasan Berdasarkan Tuntutan Pidana dengan Perampasan Perdata

Tindakan Perampasan Aset Berdasarkan Tuntutan Pidana Perampasan Secara Perdata
Objek Perampasan Ditujukan kepada individu (in personam), dan merupakan bagian dari sanksi pidana yang dikenakan kepada Terdakwa. Tindakan Ditujukan kepada Benda (in rem); tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintahan yang ditujukan terhadap benda
Pengajuan dakwaan Merupakan bagian dari sanksi pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap Terdakwa. Dilakukan bersamaan dengan pengajuan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dapat diajukan sebelum, selama, atau setelah proses peradilan pidana, atau bahkan dapat pula diajukan dalam hal perkara tidak dapat diperiksa di depan peradilan pidana.
Pembuktian kesalahan Perampasan aset disandarkan pada pembuktian kesalahan Terdakwa atas tindak pidana yang terjadi. Hakim harus menyakini bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana.

Terbuktinya kesalahan Terdakwa dalam perkara pidana bukan faktor penentu hakim dalam memutus gugatan perampasan aset. Pembuktian dalam gugatan ini dimungkinkan untuk menggunakan asas pembuktian terbalik.

A.4. Mekanisme Gugatan Terhadap Aset (in rem)

Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeitures[21] adalah alat penting dalam pengembalian aset (asset recovery). Di beberapa yurisdiksi, Non-Conviction Based Asset Forfeiture ini juga disebut sebagai “civil forfeiture', “in rem forfeiture”, atau “objective forfeiture”, adalah tindakan melawan aset itu sendiri (misalnya, Negara vs. $100.000) dan bukan terhadap individu (in personam). NCB Asset Forfeiture ini adalah tindakan yang terpisah dari setiap proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa suatu properti itu “tercemar” atau “ternodai” oleh tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa secara umum, tindak pidana harus ditetapkan pada keseimbangan probabilitas standar pembuktian. Hal ini memudahkan beban pemerintah (otoritas) bertindak dan itu berarti bahwa dimungkinkan untuk mendapatkan denda apabila ada bukti yang cukup untuk mendukung keyakinan pidana. Karena tindakan tersebut tidak melawan terdakwa individu, tetapi terhadap properti, maka pemilik properti adalah pihak ketiga yang memiliki hak untuk mempertahankan properti[22] yang akan dilakukan tindakan perampasan.[23]

NCB Asset forfeiture adalah penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset. Konsep civil forfeiture didasarkan pada "taint doctrine" di mana sebuah tindak pidana dianggap “taint” (menodai) sebuah aset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut.[24] Walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menyita dan mengambilalih aset hasil kejahatan, NCB berbeda dengan Criminal Forfeiture yang menggunakan gugatan in personam (gugatan terhadap orang) untuk menyita dan mengambilalih suatu aset.[25]

Di negara-negara yang menganut sistem common law, NCB sebagai instrumen untuk menyita dan mengambil aset yang berasal, berkaitan atau merupakan hasil dari kejahatan sudah lazim dipraktikkan. Akar dari prinsip NCB pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap sebagai instrument of a death atau yang sering disebut sebagai Deodand.[26] Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita.[27] Kendati dalam praktiknya NCB seringkali dianggap bersifat opresif dan tidak adil, namun Kongres pertama dari Amerika Serikat tetap mempertahankan penggunaannya di hukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi kewenangan kepada pemerintah federal untuk menyita kapal.[28] Supreme Court kemudian juga mendukung penggunaan NCB di Amerika dalam kasus the Palmyra yang terjadi di tahun 1827 di mana pengadilan menolak argumen pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan dan pengambil alihan kapalnya adalah ilegal karena tanpa adanya sebuah putusan yang menyatakan pemiliknya bersalah.[29] Kasus inilah yang menjadi dasar dari penggunaan NCB di Amerika Serikat.[30]

Seperti diketahui bahwa NCB adalah gugatan terhadap aset (in rem), sedangkan Criminal Forfeiture adalah gugatan terhadap orang (in personam). Hal ini tentunya menimbulkan perbedaan dalam pembuktian di pengadilan. Dalam criminal forfeiture, penuntut umum harus membuktikan terpenuhinya unsur-unsur dalam sebuah tindak pidana seperti kesalahan (personal culpability) dan mens rea dari seorang terdakwa sebelum dapat menyita aset dari terdakwa tersebut.[31] Karena bersifat pidana, Criminal Forfeiture juga mengharuskan penuntut untuk membuktikan hal tersebut dengan standar beyond reasonable doubt. Sebaliknya karena sifatnya perdata, NCB tidak mengharuskan penuntut untuk membuktikan unsur-unsur dan kesalahan dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability).[32] Penuntut cukup membuktikan adanya probable cause atau adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana.[33] Di sini penuntut cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence (pembuktian formil) bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan suatu aset telah dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana tersebut.[34] Pemilik dari aset tersebut kemudian harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa aset yang digugat tidak merupakan hasil, digunakan atau berkaitan dengan tindak pidana yang dituntut.[35]

Kendati proses yang digunakan adalah perdata, NCB menggunakan rezim yang sedikit berbeda di mana pemilik dari aset yang dituntut bukan merupakan para pihak yang berpekara dan hanya merupakan pihak ketiga dari proses persidangannya.[36] Sehingga tidak mengherankan jika nama dari kasus NCB sedikit tidak lazim seperti United States v. $160.000 in US Currency atau United States v. Account Number 12345 at XYZ Bank Held in the Name of Jones.[37] Selain itu, civil forfeiture (NCB) menggunakan sistem pembuktian terbalik di mana si pemilik dari aset yang di tuntut harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau tidak tahu kalau aset yang dituntut adalah hasil, digunakan atau berkaitan dengan sebuah tindak pidana.[38] Hal ini tentunya sedikit berbeda dengan gugatan perdata umumnya yang mengharuskan si penuntut untuk membuktikan adanya sebuah perbuatan melawan hukum dan kerugian yang dialaminya. Namun perlu digarisbawahi bahwa pembuktian si pemilik aset dalam NCB hanya berkaitan dengan hubungan antara sebuah tindak pidana dan aset yang dituntut atau dengan kata lain pemilik hanya perlu membuktikan bahwa "aset tersebut tidak bersalah".[39] Jika si pemilik tidak dapat membuktikan bahwa "aset tersebut tidak bersalah" maka aset tersebut dirampas untuk negara.[40] Sehingga dalam NCB si pemilik aset tidak harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau tidak terlibat dalam sebuah tindak pidana.[41] Hubungan antara tindak pidana yang diduga dan keterlibatan si pemilik dengan tindak pidana tersebu tidak relevan dalam persidangan dan hanya hubungan antara si pemilik dan aset yang dituntutlah yang menjadi fokus dari persidangan. Untuk mempermudah pemahaman tentang cara kerja NCB dapat dilihat dari ilustrasi kasus berikut ini:

"Misalnya seorang pelaku tindak pidana menyewa sebuah mobil dari sebuah perusahaan penyewaan mobil dan melakukan perampokan pada sebuah bank. Pemerintah kemudian melakukan NCB terhadap mobil tersebut untuk disita dan diambilalih kepemilikannya untuk negara. Dalam persidangan, pemerintah cukup membuktikan adanya dugaan terhadap hubungan antara perampokan yang dilakukan dengan mobil tersebut sesuai dengan standar pembuktian perdata".[42]

Jika pemerintah berhasil membuktikan hal ini, maka pemerintah umumnya akan melakukan pengumuman di media massa dalam kurun waktu tertentu. Selanjutnya, apabila dalam kurun waktu tersebut tidak ada pihak ketiga yang berkeberatan atas penyitaan dan pengambilalihan mobil tersebut, maka mobil tersebut secara otomatis dirampas untuk negara. Namun apabila si perusahaan mobil berkeberatan atas NCB yang dilakukan pemerintah, maka si perusahaan mobil kemudian melakukan pembelaan sebagai pihak ketiga.[43] Maka pada dalam persidangan, perusahaan mobil tersebut harus membuktikan bahwa dia adalah pemilik tidak bersalah (innocent owner) dengan menunjukkan bukti bahwa dia tidak tahu atau tidak menduga kalau mobil yang dimilikinya bakal digunakan untuk merampok bank. Di sini si perusahaan mobil tidak perlu membuktikan bahwa dia tidak terlibat atau tidak mempunyai hubungan dengan perampokan tersebut. Apabila si perusahaan mobil tersebut dapat membuktikan bahwa dia adalah innocent owner maka mobil tersebut akan dikembalikan kepadanya.[44]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa NCB dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk menyita dan mengambilalih aset dari para koruptor di Indonesia. Setidaktidaknya ada beberapa kegunaan NCB untuk membantu para aparat hukum dalam proses pengembalian aset para koruptor.[45]

Pertama, NCB tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada pengadilan daripada Criminal Forfeiture. Berbeda dengan penyitaan dalam proses pidana yang mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah, penyitaan NCB dapat dilakukan dengan secepat mungkin begitu pemerintah menduga adanya hubungan antara sebuah aset dengan tindak pidana. Dalam konteks Indonesia, kecepatan melakukan penyitaan adalah suatu hal yang essensial dalam proses stolen asset recovery. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa seringkali para koruptor memindahkan asetnya ke luar negeri untuk mempersulit aparat hukum Indonesia dalam menyita dan mengambailnya begitu ada indikasi bahwa dirinya akan diperiksa dalam keterlibatan sebuah tindak pidana.

Kedua, NCB menggunakan standar pembuktian perdata. Hal ini dapat mempemudah upaya stolen asset recovery di Indonesia karena standar pembuktian perdata relatif lebih ringan untuk dipenuhi daripada standar pembuktian pidana. Selain itu NCB juga mengadopsi sistem pembuktian terbalik sehingga memringankan beban pemerintah untuk melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan.

Ketiga, NCB merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem). Hal ini berarti NCB hanya berurusan dengan aset yang diduga berasal, dipakai atau mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana. Pelaku tindak pidana itu sendiri tidaklah relevan di sini sehingga kaburnya, hilangnya, meninggalnya seorang koruptor atau bahkan adanya putusan bebas untuk koruptor tersebut tidaklah menjadi permasalahan dalam NCB.[46] Persidangan dapat terus berlanjut dan tidak terganggu dengan kondisi atau status dari si koruptor. Melihat seringnya para koruptor melarikan diri atau sakit dalam proses persidangan pidana korupsi di Indonesia, NCB merupakan suatu alternatif yang sangat menguntungkan proses pengembalian aset para koruptor.

Keempat, NCB sangat berguna bagi kasus-kasus di mana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak memungkinkan untuk dilakukan.[47] Dalam upaya pemberantasan korupsi seringkali pemerintah menghadapi koruptor yang politically well-connected sehingga aparat penegak hukum menghadapi kesulitan dalam mengadilinya. Di sini NCB sangat berguna karena aparat penegak hukum menghadapi aset dari si koruptor sehingga political dan social cost dari sebuah tuntutan pidananya dapat diminimalisir. Selain itu, ada kalanya sebuah aset yang berkaitan dengan sebuah tindak pidana tidak diketahui pemiliknya atau pelakunya.[48] NCB sangat berguna dalam kondisi ini, karena yang digugat adalah asetnya bukan pemiliknya. Jika menggunakan rejim pidana aset tidak bertuan tersebut akan sulit untuk diambil, karena pada umumnya penyitaan dalam hukum pidana berkaitan dengan pelaku dari tindak pidana tersebut. Sehingga apabila dalam kurun waktu tertentu setelah dilakukannya penyitaan tidak ada pihak lain yang berkeberatan, negara langsung dapat merampas aset yang tak bertuan tersebut.[49]

Selanjutnya perlu disadari bahwa penerapan NCB dalam perampasan aset hasil tindak pidana merupakan jalan keluar untuk mengatasi stagnasi perampasan aset hasil tindak pidana mengingat ketentuan yang berlaku dalam KUHAP satu aset hanya dapat membuktikan dirampas kesalahan jika penuntut terdakwa dan umum aset dapat dimaksud merupakan hasil atau sarana kejahatan (perampasan sangat tergantung kepada terbukti atau tidaknya seorang terdakwa).

Perampasan terhadap aset hasil tindak pidana yang berdasarkan sistem KUHAP ini tidak dapat dilaksanakan bilamana terdakwanya tidak dapat dihadirkan di persidangan, baik karena meningal dunia, melarikan diri, tidak diketahui keberadaannya atau sakit permanen. Dengan demikian terhadap aset tersebut tentu tidak dapat dilakukan penuntutan hukum, kecuali dengan menggunakan instrument atau ketentuan NCB ini.

Agar penerapan NCB tidak bertentangan dengan asas fundamental dalam hukum pidana yaitu asas praduga tak bersalah sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum KUHAP butir c, maka tuntutan perampasan aset hasil tindak pidana berdasarkan NCB ini hanya akan dilakukan jika prosedur KUHAP tidak dapat dilakukan.

A.5. NCB di negara yang menganut Sistem Common Law atau Civil Law

Upaya pengembalian aset tindak pidana, termasuk hasil tindak pidana korupsi, dapat diterapkan oleh negara yang menganut sistem common law dan civil law dengan pendekatan NCB.[50] Dasarnya adalah Pasal 54 ayat 1 huruf c UNCAC yang mengharuskan semua Negara Pihak untuk mempertimbangkan mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa proses pidana dalam kasus-kasus di mana pelanggar tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan atau dalam kasus-kasus yang lainnya.[51] Dalam hal ini, fokus UNCAC bukan hanya pada satu tradisi hukum saja, sebab perbedaan fundamental yang ada dalam setiap tradisi hukum akan menghambat implementasi Konvensi. Karena itu diusulkan agar setiap Negara Pihak menggunakan NCB sebagai alat atau sarana – yang mampu melampaui perbedaan sistem hukum – untuk merampas aset hasil korupsi di semua yurisdiksi.

Memang ada perbedaan mendasar antara sistem common law dan civil law. Namun dalam beberapa kasus, negara-negara yuridiksi civil law telah memasukkan prinsip-prinsip common law ke dalam sistem hukum mereka, dan begitu pula sebaliknya. Contohnya Propinsi Quebeq dalam yurisdiksi civil law di Kanada, mempraktekkan keseimbangan probabilitas standar pembuktian dalam kasus perdata, bukan standar tunggal yang mencirikan yurisdiksi civil law. Dalam kasus lain, yurisdiksi telah menemukan solusi untuk mengaktifkan kerjasama internasional. Misalnya pengadilan di Swiss mengkonfirmasi bahwa peradilan pidana di Swiss dapat melakukan kerjasama internasional dengan Amerika Serikat dalam kasus perampasan aset, tanpa ada niat untuk menggelar proses pidana.[52]

Untuk lebih jelasnya, kedua tabel berikut ini menggambarkan perbedaan dan persamaan antara perampasan aset secara pidana (Criminal Forfeiture) dengan Civil Forfeiture (NCB), serta penerapan NCB di yurisdiksi common law dan civil law.

Tabel 2

Perbedaan dan Persamaan antara Crimial Forfeiture dengan NCB

Criminal Forfeture NCB Asset Forfeiture (NCB)
Terhadap orangnya (inpersonam): bagian dari tuntutan pidana terhadap seseorang. Tindakan Terhadap barangnya (in rem): tindakan yudisial yang diajukan pemerintah terhadap barang tersebut.
Dikenakan sebagai bagian dari hukuman dalam kasus pidana. Kejadiannya kapan? Diajukan sebelum, selama atau setelah hukuman pidana, atau bahkan tanpa adanya tuntutan pidana terhadap seseorang.
Perlu adanya hukuman pidana. Wajib menetapkan kegiatan kejahatan "tanpa keraguan yang layak" atau dengan "keyakinan yang sungguh-sungguh". Membuktikan perbuatan yang melawan hukum Wajib menerapkan perbuatan yang melawan hukum menurut standar bukti "keseimbangan probabilitas" (standar mungkin berbeda-beda).
Berbasiskan objek atau nilai. Keterkaitan antara hasil dan perbuatan yang melawan hukum Berbasiskan objek.
Menyita kepentingan pihak terdakwa dalam harta benda. Perampasan Menyita objek itu sendiri, dalam hal pemilik yang tidak salah.
Berbeda (pidana atau perdata) Yurisdiksi Berbeda (pidana atau perdata)

Sumber: Buku Panduan Stolen Asset Recovery (2009).[53]

Tabel 3

Penerapan NCB di yurisdiksi Common Law dan Civil Law

Civil Law Common Law
Persamaan
  • Tindakan melawan properti atau aset (in rem)
  • Keyakinan tidak diperlukan
  • Membutuhkan bukti perbuatan yang melanggar hukum
Perbedaan
Menyita kepentingan pihak terdakwa dalam harta benda. Perampasan Menyita objek itu sendiri, dalam hal pemilik yang tidak salah.
Keyakinan tanpa keraguan Standar pembuktian yang diperlukan untuk denda Keseimbangan probabilitas atau dominasi bukti
Kriminal Yurisdiksi pengadilan Sipil
Terbatas Kebijaksanaan penuntutan Luas

Sumber: Buku Panduan Stolen Asset Recovery (2009).[54]

Hukum penyitaan yang ada sekarang ini sebenarnya berakar dari hukum Inggris awal, di mana ketika itu terdapat tiga prosedur penyitaan, yaitu: (1) deodands; (2) forfeiture of estate atau common law, dan (3) statutory atau commercial forfeiture.[55] Pada common law awal, obyek yang menyebabkan kematian seorang manusia misalnya karena seekor sapi menanduknya atau sebuah pisau yang menikamnya disita sebagai deodand.[56] Koroner dan grand jury yang bertugas menentukan penyebab kematian, diwajibkan untuk mengidentifikasi benda dan menilainya.[57] Deodand tidak dikenal di koloni-koloni Amerika,[58] karena tampaknya tidak digunakan di situ, atau telah dihapuskan pada saat Revolusi Amerika atau sesudahnya.[59] Terlepas dari penggunaan mereka yang terbatas di negara ini, deodand dan praktek menjadikan hewan atau objek sebagai terdakwa telah sering dikutip untuk menggambarkan karakteristik penyitaan modern.[60] Penyitaan dalam sistem common law terfokus hanya law terfokus hanya pada pelaku manusia, tidak seperti deodand' yang berfokus pada benda.

Sebagian besar sistem hukum membedakan antara pidana dan perdata, yang menggunakan pengadilan secara terpisah, serta prosedur dan aturan bukti (pembuktian) yang berbeda pula. Pandangan tradisional adalah, bahwa kejahatan merupakan kesalahan publik dan hukum pidana diberikan kepada orang-orang yang merugikan masyarakat melalui tindakan mereka tercela secara moral dan para pelakunya dihukum agar tidak mengulangi kembali kejahatan serupa. Karena itu, proses pidana digelar untuk menunjukkan "rasa bersalah” (kesalahan) dan pemberian label kriminal sebagai stigma sosial, namun hal ini tidak dikenakan kepada pihak yang kalah dalam perkara perdata. Karena potensi hukuman dan stigma ini, yang dapat diterapkan oleh pengadilan kriminal, maka sistem hukum memberikan perlindungan secara prosedural untuk seorang responden dalam kasus perdata. Sebagai contoh, proses pidana membutuhkan standar pembuktian yang lebih tinggi daripada yang biasanya diterapkan dalam proses sipil (perdata). Umumnya adalah negara yang mengajukan tuntutan pidana. Namun, hal ini bukan aturan mutlak karena banyak yurisdiksi juga memungkinkan inividu untuk melakukan tuntutan pidana. Sebagai perbandingan, pengajuan proses sipil sipil terutama digunakan sebagai forum untuk individu swasta yang dirugikan. Namun ini juga bukan posisi absolut, karena negara juga dapat menuntut individu yang bersalah di pengadilan sipil, misalnya sehubungan dengan perselisihan kontrak dengan perusahaan multinasional. Dalam hal ini, hukum perdata tidak bertujuan untuk menghukum, melainkan dirancang untuk dua hal. Pertama, status quo ante yaitu untuk mengembalikan posisi dari pihak yang dirugikan. Kedua, untuk mengkompensasi pihak yang dirugikan akibat kerusakan yang dideritanya.[61] Pelepasan sukarela atas matas uang atau properti tanpa konpensasi adalah merupakan konsekwesi dari pelanggaran atau kinerja yang tidak bagus dari beberapa kewajiban hokum atau tindak pidana. Hilangnya ijin operasi suatu perusahaan atau waralaba sebagai akibat dari tindakan illegal, atau karena adanya penyimpangan. Penyerahan oleh pemilik seluruh propertinya, diamanatkan oleh hukum sebagai hukuman atas perilaku illegal atau kelalaian. Berdasarkan Undang-Undang Inggris kuno, pelepasan tanah oleh penyewa karena beberapa pelanggaran perilaku, atau kehilangan barang atau barang bergerak (pasal-pasal Personal Property) dinilai sebagai hukuman terhadap pelaku kejahatan dan juga sebagai tindakan balasan kepada pihak yang terluka (dirugikan).[62]

Penyitaan (forfeiture) memiliki arti yang luas dan dapat digunakan untuk menggambarkan kerugian harta (kekayaan) tanpa konpensasi. Perampasan secara pribadi mungkin diatur. Misalnya, dalam hubungan kontrak, satu pihak mungkin memerlukannya ketika kehilangan properti tertentu jika pihak lain gagal memenuhi kewajiban kontrak. Tidak jarang pengadilan diminta untuk menyelesaikan sengketa mengenai penyitaan properti berdasarkan kontrak pribadi. Kasus seperti ini diperiksa untuk melihat apakah penyitaan itu adil dan bukan hasil dari paksaan, penipuan atau taktik jahat lainnya. Adapun yang mengilhami para ahli penyitaan untuk berdiskusi di Amerika Serikat adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Negara Bagian (Federal). Dalam hal penegakan hukum, Kongres (legislatif) dan Negara (pemerintah) mempertahankan Undang-Undang yang memungkinkan untuk merebut properti karena diduga terkait kegiatan kriminal tertentu. Dalam banyak kasus, penyitaan yang dilakukan oleh pemerintah terjadi tanpa penuntutan pidana.[63]

6. KONSEP BARANG TEMUAN

Konsep "barang temuan" adalah yang terkait dengan penyitaan yang didasarkan adanya tindak pidana yang melekat pada barang tersebut, disebut dengan "barang/benda sitaan" yang terkait dengan barang bukti. Jadi bukan "barang temuan" yang dimaksudkan dengan Pasal 372 KUHP pada Bab Penggelapan. Dalam praktek pelaksanaan penyitaan terhadap barang temuan tunduk pada ketentuan KUHAP, Pasal 1 angka 16 dan Pasal 39.

Pasal 1 angka 16 KUHAP menyebutkan bahwa Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Sedangkan Pasal 39 menyebutkan bahwa yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

  1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
  2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  1. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
  2. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
  3. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Prinsip hukum dalam penyitaan benda sebagaimana dimaksud Pasal 39 KUHAP ini adalah adanya batasan tentang benda yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu:

1. Barang Sitaan atau Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan (menurut Pasal 10 KUHP)

Jan Remmelink berpendapat bahwa benda sitaan mempunyai lingkup yang terbatas yakni hanya menyangkut pada harta benda atau kekayaan (vermogenstraaf)1. Bahkan dalam Straftrecht (Sr) turut diatur dalam Pasal 33 bahwa benda yang dapat disita diantaranya mencakup:

  1. benda yang dimiliki oleh terpidana secara keseluruhan maupun sebagian yang dipergunakan sendiri atau diperolehnya dari perbuatan kejahatan;
  2. benda yang dipergunakan untuk kejahatan;
  3. benda dengan bantuan untuk perbuatan kejahatan;
  4. benda dengan bantuan untuk menghalangi penyidikan;
  5. benda yang akan digunakan untuk perbuatan kejahatan; dan
  6. hak atas kebendaan.

Maka hal ini bisa terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara.

Penyitaan terhadap benda merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku pidana diantaranya adalah dengan perampasan barang-barang tertentu, hal ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Menurut R. Sugandhi bahwa barang rampasan tersebut termasuk pula binatang, selain itu diantaranya adalah berupa barang:

a. Yang diperoleh dengan kejahatan misalnya uang palsu misalnya uang palsu yang diperoleh dengan melakukan kejahatan memalsukan uang, kejahatan suap dan lain–lain. Apabila diperoleh dengan pelanggaran, barangbarang itu hanya dapat dirampas dalam hal–hal yang ditentukan misalnya perbuatan:

 - Ternak di lahan orang lain (Pasal 549 ayat (2));
 - pembuatan uang palsu (Pasal 519 ayat (2)); dan
 - berburu tanpa izin (Pasal 502 ayat (2)).

b. Yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, misalnya; golok atau senjata api yang dipakai untuk melakukan pembunuhan dengan sengaja, alat–alat yang dipakai untuk menggugurkan kandungan dan sebagainya. Barang-barang ini dapat dirampas juga, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat bahwa barang-barang itu kepunyaan terhukum dan digunakan untuk melakukan kejahatankejahatan dengan sengaja.

Dalam hal kejahatan-kejahatan tidak dengan sengaja dan pelanggaran-pelanggaran, maka barang-barang itu hanya dapat dirampas apabila ditentukan dengan khusus misalnya dalam perbuatan:

 - penggunaan barang-barang yang berbahaya (Pasal 205 ayat (3));
 - berburu tanpa izin (Pasal 502 ayat (2));
 - pembuatan uang palsu (Pasal 519 ayat (2)); dan
 - Ternak di lahan orang lain (Pasal 549 ayat (2)).

R. Sugandhi juga menegaskan bahwa barang-barang yang disita merupakan milik terhukum. Kepemilikan di sini dapat dimaksudkan bahwa masih milik terhukum disaat peristiwa pidana dilakukan atau pada waktu perkara diputus.[64]

2. Benda sitaan untuk keperluan proses peradilan Barang sitaan yang dalam ketentuan acara pidana juga disebut dengan benda sitaan demikian yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP, lingkup dari barang sitaan tersebut adalah:

  1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;
  2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  3. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
  4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; dan
  5. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Selain itu dalam ayat (2) menyebutkan pula bahwa benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda-benda yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan terjadinya suatu tindak pidana. Jadi, apabila ada benda yang sempat diambil oleh penyidik, namun ternyata tidak berhubungan dengan tindak pidana, maka benda tersebut akan segera dikembalikan kepada orang yang berhak.

Sedangkan akibat hukum dari penyitaan terhadap benda tersebut, menurut ketentuan Pasal 44 KUHAP disebutkan:

  1. Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
  2. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan sesuai dengan peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapa pun juga.

Penyimpanan ini hanya bersifat sementara, sampai benda tersebut dianggap sudah tidak diperlukan lagi dalam proses pemeriksaan atau menunggu perkara berkekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 46 KUHAP disebutkan:

  1. Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;

b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;

c. Perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Pada tahap penyidikan barang bukti tersebut dapat dipinjam pakai pihak yang berhak. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2010 Pasal 23, disebutkan bahwa: Barang bukti yang disita dan disimpan di tempat khusus hanya dapat dipinjam pakaikan kepada pemilik atau pihak yang berhak.

Jadi, berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap barang yang disita akan dikembalikan kepada orang yang berhak. Tetapi jika benda tersebut dianggap berbahaya, akan disita oleh negara untuk dimusnahkan ataupun dirusakkan agar tidak lagi dapat dipakai.

Dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan, memberi pengertian benda sitaan dan barang rampasan, yaitu:

  1. Benda Sitaan/Benda Sitaan Negara (disingkat Basan) adalah benda yang disita oleh penyidik, penuntut umum atau pejabat yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk menyita barang guna keperluan barang bukti dalam proses peradilan.
  2. Barang Rampasan/Barang Rampasan Negara (disingkat baran) adalah barang bukti yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dirampas untuk Negara yang selanjutnya dieksekusi dengan cara:
    1. dilelang untuk negara;
    2. diserahkan kepada instansi yang ditetapkan untuk dimanfaatkan; dan
    3. diserahkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN) untuk barang bukti dalam perkara lain.
  3. Sedangkan Barang Temuan adalah barang-barang hasil temuan yang diduga berasal dari tindak pidana dan setelah diumumkan dalam jangka waktu tertentu tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya.

Ketentuan yang mengatur mengenai barang temuan juga ditemukan dalam Lampiran II B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tanggal 7 Juli 1997 Tentang Jenis Dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Padakejaksaan Agung, yaitu terdiri dari:

  1. Penerimaan dari penjualan barang rampasan.
  2. Penerimaan dari penjualan hasil sitaan/rampasan.
c. Penerimaan dari ganti rugi dan tindak pidana korupsi.

d. Penerimaan biaya perkara.
e. Penerimaan lain-lain, berupa uang temuan, hasil lelang barang temuan dan hasil penjualan barang.
f. bukti yang tidak diambil oleh yang berhak.
g. Penerimaan denda.

Ketentuan lain ditemukan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 Angka 6. Pasal ini menyebutkan bahwa: Barang temuan sebagai barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang ditinggalkan atau ditemukan masyarakat atau penyidik karena tersangka belum tertangkap atau melarikan diri dan dilakukan penyitaan oleh penyidik.

A.7. Gugatan Pihak Ketiga (Derden Verzet)

Derden Verzet adalah merupakan perlawanan Pihak Ketiga terhadap Sita, baik sita jaminan (conservatoir beslag), sita Revindikasi (Revindicatoir beslag) atau sita eksekusi (Executorial Beslag). M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa derden verzet (Perlawanan Pihak Ketiga) merupakan upaya hukum atas penyitaan milik pihak ketiga[65], Yahya Harahap menjelaskan, dalam praktik, tergugat sering mengajukan keberatan atas penyitaan yang diletakkan terhadap harta kekayaannya dengan dalih, barang yang disita adalah milik pihak ketiga. pihak ketiga yang bersangkutan dapat mengajukan perlawanan dalam bentuk derden verzet atau perlawanan pihak ketiga terhadap Conservatoir Beslag yang sering disingkat CB (sita jaminan). Demikian penegasan Putusan MA No. 3089 K/Pdt/1991 yang menjelaskan, sita jaminan (CB) yang diletakkan di atas milik pihak ketiga memberi hak kepada pemiliknya untuk mengajukan derden verzet.[66]

Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan ini tidak diatur secara khusus didalam HIR, R.Bg maupun RV, namun dalam praktek menurut yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 31 Oktober Oktober 1962 No. 06K/Sip/1962, perlawanan yang diajukan pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita tersebut dapat diterima.[67]

Untuk dapat dikabulkannya perlawanan pihak ketiga menurut pertimbangan Putusan Mahkamah Agung No. 185/Pdt.Plw/2010/PN.Slmn. Mahkamah Agung (MA) mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 378 RV dan Pasal 379 RV, diperlukan terpenuhinya 2 (dua) unsur, yaitu Adanya kepentingan dari pihak ketiga dan Secara nyata hak pihak ketiga dirugikan.

Menurut Yahya Harahap, derden verzet atas sita jaminan (CB) dapat diajukan pemilik selama perkara yang dilawan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apabila perkara yang dilawan sudah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, upaya hukum yang dapat dilakukan pihak ketiga atas penyitaan itu, bukan derden verzet, tetapi gugatan perdata biasa. Demikian dikemukakan dalam Putusan MA No. 996 K/Pdt/1989, bahwa derden verzet yang diajukan atas CB 104 yang diletakkan PN dalam suatu perkara perdata, dapat dibenarkan selama putusan perkara yang dilawan (perkara pokok) belum mempunyai kekuatan hukum tetap serta CB tersebut belum diangkat.[68]

Kemudian Yahya Harahap juga berpendapat bahwa dalam penyelesaian suatu perkara, tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai (party contract) yang digariskan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menegaskan perjanjian hanya mengikat kepada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara, hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara saja.[69]

Ketentuan hukum acara yang membahas tentang perlawanan pihak ketiga ini masuk pada bagian menjalankan putusan yaitu Pasal 206 R.Bg/HIR 195 ayat 6 dan 7 yang ditegaskan sebagai berikut;

Ayat (6) Perlawanan terhadap putusan juga dari orang lain yang menyatakan barang yang disita itu miliknya serta diadili seperti semua perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan oleh Pengadilan (Negeri/Agama) yang dalam daerah hukumnya terjadi pelaksanaan putusan itu.

Ayat (7) Perselisihan yang timbul dan putusan tentang perselisihan itu harus tiap-tiap kali selekas-lekasnya diberitahukan dengan surat oleh Ketua Pengadilan itu kepada Ketua Pengadilan yang semula memeriksa perkara itu. (R.Bg) Perselisihan yang timbul dan putusan tentang perselisihan itu Ketua Pengadilan memberitahukan dengan surat tiap-tiap kali dalam tempo dua kali dua puluh empat jam kepada Ketua pengadilan yang semula memeriksa perkara itu. (HIR).

Tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan oleh pihak ketiga (Derden Verzet) pada dasarnya sama dengan tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek, hal tersebut diatur dalam pasal 153 R.Bg / 129 HIR sebagai berikut:

Ayat (1) Tergugat yang dikalahkan dengan putusan verstek dan tidak menerima putusan itu, dapat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan itu.

Ayat (2) Jika putusan itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, maka perlawanan (verzet) dapat diterima dalam 14 hari sesudah pemberitahuan.Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada Tergugat sendiri, maka perlawanan (verzet) masih diterima sampai pada hari ke 8 sesudah peneguran seperti yang tersebut dalam pasal 207 R.Bg / 196 HIR, atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut sampai pada hari ke 14 (R.Bg)/ke 8 (HIR).

Bahwa tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan (verzet/derden verzet) adalah Jika pemberitahuan isi putusan tersebut disampaikan langsung kepada Tergugat maka tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan adalah 14 hari setelah pemberitahuan tersebut. Apabila pemberitahuan isi putusan tersebut tidak disampaikan secara langsungkepada Tergugat (meskipun pemebritahuan itu sah menurut pasal 390 HIR), maka tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan bagi Pelawan adalah sampai hari kedelapan setelah Ketua Pengadilan memberikan teguran (aanmaning) kepada Tergugat untuk melaksanakan putusan.

Jika Tergugat pada saat dipanggil untuk diberikan teguran (aanmaning) tidak hadir, maka tenggang waktu untuk melakukan perlawanan menjadi sampai hari kedelapan sesudah sesudah dijalankan surat perintah ketua menurut pasal 208 R.Bg / 197 HIR "Surat penetapan untuk menjalankan eksekusi" atau hari terakhir untuk mengajukan perlawanan adalah pada saat pelaksanaan eksekusi.


A. 8. SITA REVINDIKASI (REVINDIKATOIR)

Sita revindikasi (Revindikatoir) dalam Pasal 260 RBg. Permintaan untuk mengajukan permohonan sita revindikasi dapat diajukan secara lisan maupun tertulis kepada ketua Pengadilan Negeri (PN), dimana tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal. Hal ini agar penyitaan atas barang sitaan jauh lebih mudah dilaksanakan.

Selanjutnya dalam Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal 1751 KUH Perdata disebutkan bahwa hanyalah pemilik benda yang bergerak yang barangnya dikuasai orang lain yang dapat mengajukan sita revindikasi. Hal ini juga berlaku kepada hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang bergerak untuk meminta kembali barangnya apabila harga barang tidak dibayar. Pemilik barang tersebut juga dapat mengajukan sita revindikasi seperti diatur dalam Pasal 1145 KUH Perdata dan Pasal 232 KUH Dagang. Tuntutan revindikasi dapat dikabulkan langsung terhadap orang yang menguasai barang sengketa tanpa meminta pembatalan lebih dahulu tentang jual beli dan barang yang dilakukan oleh orang tersebut dengan pihak lain.[70]

Ciri khas dari bentuk sita revindikasi yaitu benda yang menjadi objek sengketa tersebut telah dikuasai atau berada di tangan tergugat secara tidak sah atau dengan cara melawan hukum, atau dengan mana tergugat tidak berhak atasnya. Kemudian, sita revindikasi hanya terbatas pada benda bergerak saja, sehingga tidak mungkin diajukan dan dikabulkan terhadap benda tidak bergerak, walaupun dalil gugatan berdasarkan hak milik.[71]

Sita revindikasi hanya dapat dimohonkan berdasarkan sengketa hak milik, dan dasar alasan sengketa hak milik itu terbatas pula pada: (1) benda tersebut dikuasai tergugat dengan jalan melawan hukum (dicuri atau digelapkan); (2) benda tersebut dikuasai secara tidak sah seperti dari penadahan atau hasil penipuan.

Dengan demikian, sita revindikasi tidaklah mungkin diajukan berdasarkan sengketa utang-piutang atau gantikerugian. Ia hanya khusus bagi sengketa hak milik saja. Pendek kata, benda yang menjadi objek sengketa sita revindikasi yang didapat oleh tergugat bukan berdasarkan alasan yang sah, bukan karena jual beli, bukan karena tukar-menukar, pinjam-meminjam, disewakan dan lain sebagainya. Seandainya terjadi penguasaan benda sitaan tersebut berdasarkan suatu alas hukum yang sah, tidak dapat dimajukan sita revindikasi. Di dalam sita revindikasi, penjagaan dan penguasaan mbarang sitaan pada saat sita dikabulkan dan dinyatakan sah dan berharga, maka hakim secara langsung memerintahkan penyerahannya secara langsung kepada penggugat, sehingga pada saat itu pula penjagaan dan penguasaan berpindah ketangan penggugat. Biasanya, permohonan sita revindikasi diajukan kepada hakim dengan tujuan agar barang tergugat yang telah disita untuk segera diserahkan kepada penggugat selaku pemilik yang sah atas benda tersebut.


A.9. JAKSA PENGACARA NEGARA

Dalam membahas mengenai Jaksa Pengacara Negara, maka akan dimulai dengan pendekatan secara tata bahasa dimana terdapat 3 (tiga) suku kata yakni, Jaksa, Pengacara dan Negara, yang mana pengertian masing-masing kata tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:

  1. Jaksa adalah pejabat di bidang hukum yg bertugas menyampaikan dakwaan atau tuduhan di dl proses pengadilan terhadap orang yg diduga melanggar hukum.[72]
  2. Pengacara (Advokat) adalah ahli hukum yg berwenang sebagai penasihat atau pembela perkara dl pengadilan.[73]
    1. Negara adalah Pertama, dimaknai organisasi di suatu wilayah yg mempunyai kekuasaan tertinggi yg sah dan ditaati oleh rakyat; atau kedua, dimaknai kelompok sosial yg menduduki wilayah atau daerah tertentu yg diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yg efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.[74]

    Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa dengan kuasa khusus, bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah dalam kasus atau perkara perdata atau tata usaha negara.[75] Sedangkan Jaksa atau Penuntut Umum adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum terhadap pelanggar hukum pidana dimuka pengadilan serta melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.[76]

    Pengacara atau Advokat adalah pembela perkara, penasehat hukum, seseorang yang bertindak di dalam suatu perkara untuk kepentingan yang berperkara, dalam perkara perdata untuk tergugat/penggugat dan dalam perkara pidana untuk terdakwa. Bantuan seorang pengacara itu tidak diharuskan, kecuali dalam perkara pidana dimana terdakwa ada kemungkinan dijatuhi hukuman mati.

    Penggunaan istilah "Penasihat Hukum" pada dasarnya memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar. Pertama, istilah penasehat hukum itu secara denotatif atau pun konotatif bermakna pasif. Padahal peranan profesi itu dapat kedua-keduanya, yaitu pasif ketika hanya memberikan nasihat-nasihat hukum tertentu yang biasa berbentuk lisan atau tertulis (seperti legal opinion/audit), tetapi bisa aktif ketika melakukan pembelaan di depan pengadilan (litigasi) termasuk ketika menjalankan kuasa dalam penyelesaian suatu kasus alternatif (alternative dispute resolution) seperti negosiasi, mediasi, dan arbitrase.[77]

    Kedua, secara normatif sebagaimana telah diatur dalam RO, seorang advocaat en procereur dapat bertindak baik secara pasif maupun aktif dalam mengurus sesuatu hal yang perlu pertimbangan hukum atau mengurus perkara yang dikuasakan kepadanya. Kapan harus aktif dan kapan harus pasif semuanya tergantung tuntutan penanganan masalahnya. Sejauh ini sistem dalam kaitannya dengan profesi ini tidak membedakan yang boleh bertindak dan tidak boleh bertindak di hadapan pengadilan seperti di inggris, antara solicitor dan barrister.[78]

    Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur- unsur tertentu, yaitu harus ada : Pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu dan Rakyat yang hidup dengan teratur sehingga merupakan suatu nation (bangsa).

    Dari penjelasan di atas, dari segi bahasa dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan "Jaksa Pengacara Negara" adalah Jaksa yang bertindak sebagai Pengacara, pembela perkara mewakili Negara Negara dalam mengajukan sesuatu tuntutan.

    Secara yuridis, Jaksa Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan RI), Pasal 1 Ayat (1), Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.[79]

    Sedangkan wewenang lain dari Kejaksaan sebagaimana Pasal 1 Ayat (1) diatas dibidang perdata jika merujuk pada UU Kejaksaan RI, pasal 30 Ayat (2) adalah Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. makna “kuasa khusus" artinya kejaksaan dengan Surat Kuasa Khusus dapat menjadi Pengacara untuk Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD.

    Sebutan Jaksa Pengacara Negara (JPN) secara eksplisit tidak tercantum dalam UU Kejaksaan RI dan Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, serta Keppres Nomor 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Namun, makna "kuasa khusus" dalam bidang keperdataan dengan sendirinya identik dengan "pengacara." Berdasarkan asumsi tersebut, istilah pengacara negara, yang adalah terjemahan dari landsadvocaten versi Staatblad 1922 Nomor 522 Pasal 3, tidak dikenal secara luas oleh masyarakat dan pemerintah.[80]

    Jaksa sebagai penerima surat kuasa khusus mewakili negara berperkara Perdata di pengadilan, Dapat di istilahkan atau disebut sebagai pengacara atau advokat, palagi jika merujuk pada UU Kejaksaan RI pasal 30 Ayat (2) adalah di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama negara ataup emerintah, di mana Undang-Undang ini sama sekali tidak menyebutkan bahwa Jaksa adalah juga sebagai pengacara negara atau Jaksa Pengacara Negara (JPN).

    Tugas kejaksaan di bidang perdata telah ada sejak tahun 1922 yaitu berdasarkan pada ketentuan yang diatur dalam staatsblad Nomor 522 Tahun 1922 dan sampai saat ini eksistensinya tidak pernah dicabut.

    Tugas di bidang perdata dan tata usaha negara tersebut selanjutnya diselenggarakan berdasarkan KEPPRES Nomor 55 Tahun 1991 tentang tugas dan wewenang kejaksaan di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, KEPJA Nomor : KEP-035/J.A/3/1992 tentang struktur organisasi Kejaksaan Aguung Republik Indonesia, KEPJA lainya, INSJA, serta petunjuk JAM DATUN.[81]

    Dikaitkan dengan Perampasan Aset maka peran Jaksa Pegacara Negara dalam mekanisme ini sangat penting karena setiap tahapan Jaksa Pengacara Negara menjadi pemegang utama tanggung jawab perampasan aset baik pra yudisial hingga pasca yudisial.


    A.10. Konsep Asset Sharing (sharing asset forfeited)

    Salah satu aspek yang tidak kalah penting dalam pelaksanaan perampasan asset adalah kerja sama internasional, di mana objek perampasan asset ada di luar wilayah Indonesia. Cara paling mudah dalam melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melakukan proses pengembalian aset. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), di mana negara-negara penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset.

    Bantuan timbal balik merupakan hakikat dari kerja sama internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. UNCAC mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan timbal balik (mutual legal assistance) kepada para negara korban yang membutuhkan. bantuan timbal ini memberikan terobosan bagi para negara korban untuk menembus batasan-batasan konvensional yang selama ini menjadi penghambat dalam proses pengembalian aset. Dengan demikian cara paling mudah dalam melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam UNCAC, maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal.

    Oleh karena itu, sebenarnya UNCAC sudah memberikan jalan keluar yang sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. UNCAC mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan (timbal balik) kepada para negara korban yang membutuhkan. bantuan timbal balik ini memberikan terobosan bagi para negara korban untuk menembus batasan-batasan konvensional yang selama ini menjadi penghambat dalam proses pengembalian aset.

    Dalam konteks perampasan asset, pengaturan dalam UNCAC ini ada kaitannya dengan sharing (forfeited) asset atau pembagian hasil penindakan asset yang dirampas. Konsep ini merupakan masalah baru sebagai pengembangan dari pelaksanaan kerjasama timbale balik tersebut. Maksud dari konsep asset sharing ini adalah bahwa aset yang disita sebagian dibagikan kepada negara yang membantu penyelesaian kasus tersebut, baik untuk biaya operasional atau lainnya. Indonesia memiliki ketentuan mengenai hal ini dalam Pasal 57 UU No 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana. Namun secara teknis pelaksanaannya memang belum dilakukan, karena masih membutuhkan peraturan pelaksanaanya, untuk membuka peluang keberhasilan mengejar barang bukti dan hasil tindak pidana yang berada di luar negeri, menjadi semakin besar.

    Bunyi pasal 57 UU No. 1 tahun 2006: “Menteri dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil harta kekayaan yang dirampas:

    1. di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Menteri; atau
    2. di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan perampasan atas permintaan negara asing”.

    Pasal 57 UU No. 1 tahun 2006 dengan mengubah ‘kata menteri’ dengan ‘pemerintah’ dan ada penambahan ayat yang menguraikan bahwa pelaksanaan bagi hasil (asset sharing) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya peraturan pelaksana bagi pelaksanaan bagi hasil ini perlu segera dibentuk.

    Adapun nilai besaran jatah negara yang membantu ini dapat dirundingkan dengan mempertimbangkan peranan negara tersebut. PBB telah menyediakan model bilateral agreement mengenai sharing forfeited assets ini. Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam perumusan ketentuan mengenai sharing forfeited assets adalah proceeds of crime dari kejahatan asal apa yang dapat dilakukan sharing-nya. Untuk proceeds of crime yang berasal dari korupsi yang notabene uang rakyat, misalnya, maka tidak dapat dilakukan sharing dengan negara lain.

    Prinsip mendasar yang dituangkan dalam UNCAC yaitu terdapat dalam Bab V mengenai pengembalian aset (asset recovery). Mengenai pengembalian aset ini, negara-negara peserta diwajibkan untuk memberikan kerjasama dan bantuan yang seluas-luasnya. Pasal 53 UNCAC menyakan bahwa setiap negara peserta wajib, sesuai dengan hukum nasionalnya:

    • mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan negara peserta yang lain untuk memprakarsai gugatan perdata di pengadilan-pengadilannya untuk menegakkan hak atas atau kepemilikan atas kekayaan yang diperoleh melalui perbuatan kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.
    • mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan pengadilan-pengadilannya memerintahkan orang-orang yang telah melakukan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada negara peserta yang lain yang telah dirugikan oleh kejahatan-kejahatan tersebut.
    • Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan pengadilan-pengadilannya atau otoritas-otoritas yang berkompeten, ketika harus memutus mengenai penyitaan untuk mengakui klaim negara peserta lain sebagai pemilik sah dari kekayaan yang diperoleh melalui perbuatan kejahatan dengan konvensi. UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 (UUTPPU), diatur juga masalah MLA yaitu pada Pasal 44 dan 44A. MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China,

    Korea, dan AS. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Objek MLA, antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti, termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA.

    Dalam pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan seperti kepolisian. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang.

    Dalam konteks MLA yang memuat ketentuan asset sharing, megambil contoh penerapannya di Amerika Serikat, konsep asset sharing ini sudah dilakukan sejak lama (1989). Kasus yang terjadi pada tahun itu adalah adanya dana sebesar USD 188 juta dan dibagikan kepada negara lain yang membantu Amerika dalam mutual legal assistance (MLA). Besarnya bagian ini tergantung dari peranan negara tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan yang esensial maka dapat memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas. Misalnya, negara tersebut mengembalikan aset yang disita dan membela di pengadilan. Kalau bantuan bersifat substansial seperti melaksanakan permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka negara tersebut dapat bagian sebesar 40-50%. Sementara jika peranan negara asing tersebut hanya facilitating assistance ― misalnya memberikan informasi, menyediakan dokumen bank ― akan memperoleh bagian sampai 40%.

    Oleh karena peraturan pelaksanaan pasal 57 UU No. 1 tahun 2006 belum ada, maka perlu kiranya dibentuk, untuk dapat diterapkan oleh RUU Perampasan Aset kelak jika telah ditetapkan menjadi UU. Sebagai tambahan infomrasi, selama ini penegakan hokum terhadap pengejaran asset belum maksimal, karena Indonesia masih menganut prinsip ‘barang bukti’ untuk membuktikan suatu tindak kejahatan. Dalam hal seseorang melakukan tindak pidana penggelapan atau korupsi dengan nilai Rp 1 trilyun, misalnya, kemudian dikelola melalui investment banker dan custody di Hongkong sehingga berkembang menjadi Rp 5 trilyun, sesuai dengan Undang-Undang yang ada, kita hanya menuntut ganti rugi, maka yang dikembalikan hanya yang Rp 1 trilyun, padahal menurut hukum internasional, yang harus dikembalikan nilainya adalah Rp 5 trilyun. Oleh karenany RUU Perampasan asset yang menganut rezim in rem harus dapat mengambil procesed of crime dari seluruh asset yang berkembang tersebut. nilai ini akan sangat berarti jika Indonesia memerlukan bantuan luar negeri dengan perjanjian asset sharing (sharing asset forfetured).


    B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Penyusunan Norma

    Asas merupakan unsur penting di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas ini akan menjadi petunjuk dan arah dalam pembentukan hukum positif. Satjipto Rahardjo menyebutkan asas hukum ini merupakan jantungnya ilmu hukum. Kita menyebutkan demikian karena pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum[82], hal ini dikuatkan dengan pendapat dari Bellefroid yang menyatakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.[83] Sementara van Eikema Hommes mengatakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum kongkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. oleh sebab itu pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut.[84] Dari pemahaman di atas sangat penting untuk menentukan asas-asas atau prinsip-prinsip yang relevan dan menjadi arah politik hukum terhadap RUU Perampasan Aset. Beberapa asas/prinsip yang relevan di dalam RUU Perampasan Aset sebagai berikut:

    1. Asas/Prinsip In Rem Asset Forfeiture

    Asas ini menegaskan suatu tindakan hukum di dalam melaksanakan perampasan aset dilakukan untuk melawan aset (properti) itu sendiri, bukan terhadap individu (in personam), perampasan aset menitikberatkan terhadap "asset" yang diduga berasal/dipakai/punya hubungan dengan tindak pidana, sedang pelaku tindak pidana itu sendiri tidak dianggap relevan. Sehingga kaburnya/hilangnya/meninggalnya pelaku dan putusan bebas terhadap pelaku tidak menghalangi proses perampasan asset itu sendiri. Asas In Rem Asset Forfeiture ini bertujuan untuk remedial yang semata-mata untuk pemulihan aset (asset recovery) dan bukan ditujukan untuk menghukum orang yang menguasai aset tersebut.[85]

    Perampasan in rem dapat dilakukan dikarenakan pada dasarnya merupakan tindakan in rem yang ditujukan kepada objek benda, bukan terhadap persona/orang, atau dalam hal ini tidak diperlukannya pelaku kejahatan yang didakwakan sebelumnya dalam peradilan. Dengan perampasan yang ditujukan kepada aset itu sendiri maka tidak adanya subjek pelaku kejahatan yang dilihat pada hal ini membuat kedudukan pihak-pihak yang terkait dengan aset tersebut atau bahkan pemilik aset tersebut berkedudukan sebagai pihak ketiga. Karenanya dalam hal ini sebagai pihak pertama adalah negara melalui aparaturnya, pihak kedua adalah aset tersebut dan pihak ketiga adalah pemilik aset atau yang terkait dengan aset tersebut.

    Dengan prinsip in rem maka perampasan aset yang akan diatur adalah mekanisme perampasan aset terhadap benda yang terkait atau dijadikan alat atau media dalam melakukan kejahatan.

    2. Asas/Prinsip Non-Conviction BasedAsset Forfeiture (NCB)

    NCB Asset forfeiture (NCB) adalah penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset. Konsep civil forfeiture didasarkan pada ‘taint doctrine’ di mana sebuah tindak pidana dianggap ‘taint’ (menodai) sebuah aset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut,124 sehingga terhadap kondisi demikian, penyusunan Undang-Undang Perampasan Aset menggunakan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture tampaknya menjadi solusi yang paling tepat.125

    Prosedur yang digunakan adalah acara perdata dengan prinsip-prinsip beracara yang dipakai dalam NCB untuk in rem asset forfeiture adalah:

    • Pemilik aset yang dituntut bukan merupakan pihak yang berperkara, melainkan hanya pihak ketiga dari proses persidangan.



    ¹²⁴ David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 (Suffolk University Law Review, 1994), hlm. 390.

    ¹²⁵ Yara Esquitel, Op.Cit., hlm. 121-122.

    • Hubungan antara tindak pidana yang diduga dan keterlibatan si pemilik dengan tindak pidana tersebut tidak relevan dalam persidangan dan hanya hubungan antara si pemilik dan aset yang dituntutlah yang menjadi fokus persidangan.
    • Perampasan aset tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memberlakukan aset sebagai pihak yang berperkara.

    Dalam Pengaturan perampasan aset mekanisme peradilan dengan menggunakan mekanisme perdata, sehingga negara akan berhadapan dengan benda dipengadilan, negara akan membuktikan bahwa benda tersebut merupakan benda yang menjadi kewenagan dalam perampasan aset, dalam hal ada pihak ketiga yang berkeberatan dengan gugatan tersebut maka dapat menjadi pihak terkait dalam kasus tersebut.

    3. Asas/Prinsip Unjust Enrichment/Crime Does Not Pay

    Unjust Enrichment merupakan asas yang mengandung prinsip keadilan umum, bahwa tidak seorangpun diperbolehkan mendapat keuntungan dari biaya yang dikeluarkan orang lain tanpa adanya restitusi dengan nilai wajar yang sebanding dengan kekayaan, jasa, atau keuntungan yang telah diperoleh pihak yang telah mendapatkan keuntungan tersebut. sehingga dalam artian terhadap aset yang diperoleh dari segala sebab keperdataan yang tidak wajar dapat menjadi objek perampasan aset.126

    Dalam perbuatan pidana “crimes does not pay” merupakan asas yang menegaskan bahwa seseorang


    ¹²⁶ lihat: Dagan, Hanoch. (1997). Dalam Hurd, Heidi M, Unjust Enrichment: A Study of Private Law and Public Values. (New York: Cambridge Univ. Press;. 2003) pelanggar hukum tidak mendapatkan keuntugan dari tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang dilakukannya, sehingga setiap keuntungan atau aset yang diperoleh dari pelanggaran hukum dapat dijadikan objek perampasan aset. asas ini berasal dari slogan FBI dan kemudian banyak digunakan dalam rezim hukum pencucian uang.

    Perampasan aset kejahatan juga dapat digunakan untuk menguasai setiap keuntungan yang diperoleh dari suatu tindak pidana sehingga dapat berfungsi sebagai mekanisme yang menimbulkan “deterrence effect” dan demotivasi bagi pelaku kejahatan lainnya.127

    Prinsip ini menjadi dasar dalam menetapkan bahwa Aset yang dirampas merupakan aset yang terkait atau berhubungan dari suatu kejahatan.

    4. Asas/Prinsip Pembuktian Terbalik

    Di dalam perampasan aset yang menerapkan sistem NCB gugatan ditujukan terhadap aset (in rem), hal ini berbeda dengan Criminal Forfeiture yang lebih ditujukan terhadap orang (in personam). Hal ini tentunya menimbulkan perbedaan dalam pembuktian di pengadilan. Dalam criminal forfeiture, penuntut umum harus membuktikan terpenuhinya unsur-unsur dalam sebuah tindak pidana seperti kesalahan (personal culpability) dan mens rea dari seorang terdakwa sebelum dapat menyita aset dari terdakwa tersebut.128 Karena bersifat pidana, Criminal Forfeiture juga mengharuskan penuntut untuk membuktikan hal tersebut dengan standar beyond



    ¹²⁷ Stefan D. Casella, Asset Forfeiture Law in the United States, Juris Net, LLC, 71 New Street, Huntington, New York 11743, (USA, 2007), Page. 2-3. ¹²⁸ Ibid. reasonable doubt. Sebaliknya karena sifatnya perdata, NCB tidak mengharuskan penuntut untuk membuktikan unsurunsur dan kesalahan dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability).¹²⁹ Penuntut cukup membuktikan adanya probable cause atau adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana.¹³⁰ Di sini penuntut cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence (pembuktian formil) bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan suatu aset telah dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana tersebut.¹³¹ Pemilik dari aset tersebut kemudian harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa aset yang digugat tidak merupakan hasil, digunakan atau berkaitan dengan tindak pidana yang dituntut.¹³²

    Dari penjelasan di atas dan dikaitkan dengan penggunaan sistem NCB, maka asas pembuktian terbalik menjadi salah satu prinsip yang digunakan dalam pengaturan perampasan aset khususnya sebagai salah satu prinsip beracara yang diterapkan dalam Pengaturan Perampasan Aset.

    5. Asas/Prinsip Bona Fide/Presumption of Good Faith

    Prinsip bonafide berarti bahwa pilihan hukum tersebut didasarkan pada itikad baik. Tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur kapan suatu tindakan pilihan hukum itu beritikad baik atau buruk. Standar


    ¹²⁹ Romantz, Op.Cit., hlm. 391.
    ¹³⁰ Barnet, Op.Cit., hlm. 94. ¹³¹ Stefan D. Cassella, "Provision of the USA Patriot Act relating to Asset Forfeiture in Transnasional Cases" 10 (4) (Journal of Financial Crime, 2003), hlm. 303.
    ¹³² Ibid.
    yang mungkin digunakan adalah ketertiban umum. Maksudnya adalah, apakah pilihan hukum para pihak itu akan tercermin ke dalam itikad baik atau buruk dapat tampak dari ada tidaknya 'itikad tidak baik' para pihak dengan upaya menghindari berlakunya suatu hukum yang memaksa atau menyiasati adanya ketertiban umum dari suatu hukum nasional dari salah satu pihak. Pilihan hukum yang didasarkan pada prinsip bonafide ini membawa konsekuensi yang mengikat. Karena itu, pilihan hukum harus didasarkan pada itikad baik kedua belah pihak. Apa yang telah karenanya disepakati bersama mengisyaratkan adalah para mengikat pihak untuk menghormatinya.

    Untuk itu penerapan prinsip ini Tercermin dari adanya perlindungan atau jaminan terhadap hak pihak ketiga untuk melakukan keberatan terhadap aset yang dimilikinya yang telah diguatan dipengadilan, dengan mendasarkan bahwa aset tersebut diperoleh dengan itikad baik sampai dibuktikan sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

    6. Asas Hak Atas Kebendaan Hukum

    Hak mengenal adanya suatu dikotomi atau pembagian hak menjadi dua yakni hak perseorangan (jus in personam) dan hak kebendaan (jus in rem).¹³³ Hak perseorangan secara sederhananya adalah suatu hak yang melekat pada seseorang. Hak seseorang sebenarnya merupakan kewajiban bagi pihak yang dan dalam hal ini hukum memainkan perannya agar menjamin bahwa


    ¹³³ Hans Kelsen, The General Theory of Law and State, (Cambridge, Massachussetts, Harvard University Pers. 1949). hlm 54. kepentingan seseorang akan diperhatikan oleh pihak yang lainnya.¹³⁴
    Jus in rem secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu hak atas suatu benda.¹³⁵ Perbedaan yang paling mendasar dari kedua hak tersebut adalah bahwa hak perseorangan adalah hak yang bersifat relatif, yakni hak yang hanya dapat dituntut kepada orang-orang tertentu saja,¹³⁶ sedangkan hak kebendaan adalah hak-hak kekayaan yang mepunyai ciri-ciri: bersifat absolut (bisa ditujukan kepada semua orang pada umumnya) dan yang lahir lebih dulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan melekat terhadap suatu benda tertentu.¹³⁷ Oleh karenanya suatu hak kebendaan adalah suatu hak yang dapat dituntut terhadap setiap orang yang berkaitan dengan benda yang dihaki oleh seseorang, karena hak kebendaan itu sendiri adalah hak yang mengikuti kemanapun benda itu berada (droit de suite). Melalui asas ini terdapat upaya menghormati hak setiap orang atas perlindungan aset yang di bawah kekuasaannya, sampai dengan terdapatnya putusan yang sah terhadap aset yang dimilikinya.

    7. Asas Asas Umum Hukum Acara Perdata

    Merumuskan asas-asas Hukum Acara Perdata, asas tersebut akan dirumuskan dari berbagai sumber, baik bersumber dari asas dalam hukum dan atau asas-asas itu


    ¹³⁴ E.Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Op cit, hlm 2.
    ¹³⁵ Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa "Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu"
    ¹³⁶ J. Satrio, Perikatan Pada Umumnya, (Bandung, Alumni, 1999), hlm 5
    ¹³⁷ Ibid, hlm 6-11
    berasal dari asas hukum umum dan atau asas hukum khusus.¹³⁸
    Berkenaan dengan asas-asas hukum acara perdata Setiawan mengemukakan 7 (tujuh) asas hukum acara perdata, yakni:¹³⁹ kedudukan para asas kesederhanaan, pihak, keaktifan kesamaan hakim memimpin persidangan, persidangan dilakukan dalam bentuk tanya jawab secara lisan, terbuka untuk umum, putusan berdasarkan pertimbangan yang cukup dan penyelesaian perkara dalam jangka waktu yang wajar. Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo,¹⁴⁰ beberapa asas penting dalam hukum acara perdata adalah hakim bersifat menunggu, hakim pasif, sifat terbuka persidangan, mendengar kedua belah pihak, putusan harus disertai alasan-alasan, beracara dikenakan biaya dan tidak ada keharusan mewakilkan.Subekti,¹⁴¹ mengatakan bahwa beberapa sifat hukum acara dalam HIR masih juga bisa dipertahankan, misalnya bentuk pengajuan gugat sebagai suatu kepada hakim, prinsip musyawarah pemeriksaan terhadap langsung permohonan dan para mufakat, pihak yang berperkara atau wakil mereka yang pada prinsipnya dilakukan secara lisan. Sifat hukum acara ini menurut Prof. Supomo,⁵⁴ juga adalah:¹⁴² Acara dengan lisan, acara langsung, tidak diwajibkan bantuan ahli, hakim adalah



    ¹³⁸ Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cet. 1, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 421.
    ¹³⁹ Ibid, hlm. 359
    ¹⁴⁰ Sudikno, Hukum Acara Perdata, edisi ke 7, Cet. 1, (Yogjakarta: Liberty, 2006), hlm. 10-18.
    ¹⁴¹ Subekti, Hukum Acara Perdata, Cet. 2, (Jakarta, Bina Cipta, 1952), hlm. 5.
    ¹⁴² Supomo, Hukum Acara Perdata, Cet. 17, (Jakarta: PT. Pradoyo Paramita, 2005), hlm. 17-21.
    aktif, kewajiban hakim memberi keterangan kepada kedua belah pihak, hakim memimpin proses, kemerdekaan hakim, sidang terbuka dan musyawarah tertutup serta pengucapannya terbuka.
    Prinsip beracara ini digunakan dalam pengadilan perampasan aset yang menggunaka nmekanisme pengadilan perdata tetapi mempunyai ke khususan yaitu tenggang waktu yang berbeda dengan hukum acara perdata, serta status para pihak yaitu dalam hal ini negara versus Aset (bukan Negara versus Pemilik aset), bahwa pihak berkepentingan atas aset apabila keberatan dengan tindakan tersebut makaakan mengajukan disi dipengadilan sebagai pihak ketiga berkeberatan, kemudian pihak ketiga berkeberatan wajib membuktikan bahwa benda tersebut bukan aset tindak pidana. atau didahulukan untuk melakukan pembuktiannya terlebih dahulu kemudian pembuktian oleh negara yang diwakili jaksa pengacara negara.

    8. Asas legalitas

    Tidak ada perampasan aset tanpa aturan undang-undang yang diadakan terlebih dahulu, hal ini didasarkan pada semua tindakan negara harus didasarkan atas hukum yang sudah dibuat secara demokratis sebelumnya, bahwa hukum yang dibuat itu memiliki supremasi atau berada di atas segalanya, dan semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum.¹⁴³ Asas legalitas menurut Paul Johan Anselm von Feurbachterkunci dalam postulat “nullum dellictum nulla poena sine praevia lege poenali” yaitu tidak


    ¹⁴³ Moh. Mahfud M.D, "Politik hukum di Indonesia", (Jakarta,LP3S, 1998). hlm. 121-194. ada perbuatan pidana atau tidak ada pidana tanpa Undang-Undang pidana sebelumnya. Jika principat dalam hukum pidana ini diturunkan lebih lanjut. maka akan menjadi tiga frasa, meliputi:

    • Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut Undang-Undang);
    • Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana);
    • Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut Undang-Undang).

    Eddy O.S. Hiariej, memberikan makna dalam tiga frasa itu, sebagai asas yang memiliki dua fungsi: (i) Fungsi melindungi yang berarti Undang-Undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang; (ii) Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan Undang-Undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan. Fungsi melindungi lebih pada hukum pidana materil (hukum pidana) yang mengacu pada frasa pertama (nulla poena sine lege) dan kedua (nulla poena sine crimine), sementara fungsi instrumentalis lebih pada hukum pidana formil (hukum acara pidana) yang mengacu pada frasa ketiga (nullum crimen sine poena legali). Sebagai prinsip pidana saat ini maka pengaturan perampasan aset ini juga terkait hal tersebut.
    Dalam pembahasna di Naskah Akademik RUU Tentang KUHP terdapat tiga masalah pokok hukum pidana yang berupa tindak pidana (strafbaarfeit/criminal act/actus reus), kesalahan (schuld/guilt/mens rea), dan pidana (straf/punishment/poena)144, sebenarnya hanya merupakan komponen atau sub-sub sistem dari keseluruhan sistem hukum pidana yang pada hakikatnya juga merupakan sistem pemidanaan.145

    Asas ini menunjukkan bahwa Politik hukum pidana (criminal law politics) yang mendasari penyusunan pembaharuan hukum pidana adalah politik hukum pidana dalam arti kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi (criminalization)Teks miring atau dekriminalisasi (decriminalization) terhadap suatu perbuatan.146 Sedangkan perampasan aset tidak mengarahkan pada proses kriminalisasi terhadap person tersebut.


    9. Asas Transparansi atau Keterbukaan

    asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pelaksanaan perampasan aset dengan



    144 Sauer menyebutnya sebagai trias hukum pidana (berupa sifat melawan hukum, kesalahan, dan pidana) sedangkan H.L. Packer (1968:17) menyebutnya sebagai the three concept atau the three basic problems (berupa offence, guilt, dan punishment).

    145 Lihat pengertian sistem pemidanaan dalam Barda Nawawi Arif, Pembaharuan Hukum pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, 2005, Bab X, yang berasal dari Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, Dephumham, di Hotel Sahid Jakarta, 23-24 Maret 2005.

    146 Secara akademis, menurut Prof. Muladi, kriminalisasi dan dekriminalisasi harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut : (i) kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan "overcriminalization" yang masuk kategori "the misuse of criminal sanction"; (ii) kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc; (iii) kriminalisasi harus mengandung unsur korban, baik secara actual maupun potensial; (iv) kriminalisasI harus mempertimbangkan analisa biaya dan hasil (cost benefit principle); (v) kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support); (vi) kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang "enforceable"; (vii) kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitiet (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat meskipun kecil sekali; (viii) kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu. tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.147

    Menurut Mardiasmo,148 transparansi berarti keterbukaan (opennsess) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan seumberdaya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi lainya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak – pihak yang berkepentingan. Transparansi akhirnya akan menciptakan pada horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakat sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.

    Transparansi merupakan prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk mengakses informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang proses pembuatan kebijakan, konsep kebijakan dan pelaksanaanya serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sehingga informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik. Keterbukaan informasi yang dapat diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan preferensi publik.149 Karena itu terbukanya



    147 Penjelasan Pasal 3 angka 4 Undang-undang No. 28 tahun 1999

    148 Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta, ANDI,2004), hlm. 30

    149 Meuthia Ganie Rahman, "Good Governance, Prinsip, Komponen, dan Penerapanya” dalam Hak Asasi Manusia (Penyelenggaraan Negara Yang Baik), (Jakarta,Penerbit Komnas HAM, 2000), hlm. 151 akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap kebijakan baik terkait secara lansung maupun tidak lansung (seperti perundang-undangan dan kebijakan) dengan mudah, haruslah tersedia dan dapat diakses oleh public.

     Jika dihubungkan dengan pengaturan Perampasan aset maka prinsip ini harus diterapkan ketika telah dilakukan pemblokiran atau penyitaan barang yang diduga digunakan, atau terkait dengan kejahatan, prinsip ini mendorng keterbukaan informasi terhadap tindaklan tersebut karena akan membuka ruang bagi masyarakat khususnya terkait kepemilikan individual terhadap suatu benda yang wajib dilindungi oleh negara. Mebuka informasi merupakan pertanggungjawaban negara dalam menjaga hak hak warga negara. Dengan membuka informasi maka negara membuka ruang bagi warga negara untuk melakukan koreksi atau menyetujui tindakan negara khususnya dalam perampasan aset. Pengaturan tentang perlu adanya laporan dan transparansi untuk memungkinkan pengawasan yang lebih baik dari dalam proses penyitaan.150

     Selain itu keterbukaan juga dilakukan ketika gugatan telah diajukan ke pengadilan, sehingga membuka peluang bagi pihak yang berkeberatan melakukan pembelaan dan mempertahankan Aset yang dimilikinya untuk tidak dirampas.

    10. Asas Akuntabilitas

     asas yang menentukan bahwa pelaksanaan perampasan aset harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang

    ——————————————————

    150 http://dailysignal.com/ 2015/04/15/new-mexico-enacts-sweeping-civil-forfeiture-reform/' kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.151

    Menurut Taliziduhu Ndraha,152 konsep akuntabilitas berawal dari konsep pertanggungjawaban, konsep pertanggungjawaban sendiri dapat dijelasakan dari adanya wewenang. Wewenang di sini berarti kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada tiga macam tipe ideal wewenang, pertama wewenang tradisional kedua wewenang karismatik dan ketiga wewenang legal rational. Yang ketigalah ini yang menjadi basis wewenang pemerintah. Dalam perkembanganya, muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan oleh Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaa wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan. Darwin sebagaimana dikutip Joko Widodo,153 berpendapat bahwa Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability) merupakan suatu istilah yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam perkembanganya akuntabilitas digunakan juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi ekonomi program. Usaha – usaha tadi berusaha untuk mencari dan menemukan apakah ada penyimpangan atau tidak, efisien apa tidak, prosedur yang tidak diperlukan. Akuntabilitas



    151 Penjelasan Pasal 3 angka 7 Undang-undang No. 28 tahun 1999
    152 Taliziduhu Ndraha, Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru), (Jakarta,Rineka Cipta,2003), hlm. 85
    153 Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah), (Surabaya,Insan Cendekia,2001), hlm. 148.
    menunjuk pada pada institusi tentang “cheks and balance” dalam sistem administrasi.


    Sehingga lebihlanjut dalam hubungan kenegaraan akuntabilitas menjadi prinsip yang sangat mendasar, dapat dilihat dari pendapat Miriam Budiarjo,154 mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah kepada yang membeeri mereka mandat Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi.


    Lebih lanjut kemudian Mohamad Mahsun,155 membedakan akuntabilitas dan responsibilitas, keduanya merupakan hal yang saling berhubungan tetapi akuntabilitas lebih baik dan berbeda dengan responsibilitas. Akuntabilitas didasarkan pada catatan/laporan tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan. Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi asimetrik misalnya yang diawasai dengan yang mengawasi, agen dengan prinsipal atau antara yang mewakil dengan yang diwakili. Dari segi fokus dan cakupanya, responsibility lebih bersifat internal sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal. Eksternal dalam hal ini bukan hanya pada aspek kelembagaan tetapi juga kepada masyarakat. Untuk itu mekanisme pertanggung jawaban terhadap tindakan


    ——————————————————————

    154 Miriam Budiarjo, Menggapai Kedaulatan Rakyat, (Jakarta, Mizan, 1998), hlm.78

    155 Mohamad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik (Yogyakarta, BPFE, 2006), hlm. 84. perampasan aset haru tetap diatur baik dari segi pertanggungjawaban hukum maupun administrasi.


    11. Asas Resiprokal


    Asas ini menghendaki kerjasama timbal balik antar negara yang dilakukan secara terorganisir, sehingga akan menjadi dasar bagi penegak hukum untuk menerima dan memberikan bantuan hukum yang saling menguntungkan. asas ini ditujukan terhadap perampasan aset yang bersifat lintas batas negara, sehingga penegakan hukum dapat dilakukan secara efektif.156


    Asas ini menuntut timbal balik terhadap negara peminta melakukan hal yang sama terhadap negara yang diminta, asas ini digunakan mana kala belum terdapat perjanjian bilateral antara negara peminta dengan negara yang diminta, sedangkan bila sudah terdapat perjanjian bilateral maka yang berlaku adalah asas pacta sun servanda.


    Dalam pengaturan kerjasama internasional perampasan aset maka, maka asas ini dimasukkan dalam pengaturan tersebut, sehingga memungkinkan indonesia untuk menyita aset yang berada diluar negeri, tetapi juga harus membantu negara lain dalam melakukan perampasan aset.


    C. Praktik Penyelenggaraan Perampasan Aset


     C. 1. Praktik Penyelenggaraan Di Indonesia


    Pada saat ini, terdapat dua mekanisme penyelenggaraan perampasan aset di Indonesia yang ditempuh dalam proses

    ——————————————————————

    156 Nurul Istiqomah, Tinjauan Kriminologi, (Jakarta, Fisip UI, 2009) pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Pertama, dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang sudah berhasil dilacak dan diketahui keberadaannya kemudian dibekukan. Kedua, aset yang telah dibekukan itu lalu disita dan dirampas oleh badan yang berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset itu diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.157 Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan kembali aset hasil tindak pidana korupsi, sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian aset, terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang, didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara korban tersebut, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan yang berkelanjutan.158


    Dalam hal proses pengembalian aset hasil korupsi, di mana pelaku tindak pidana korupsi mampu melintasi dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara, sementara penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi dan melakukan penegakan hukum di dalam yurisdiksi negara-negara lain, maka oleh karena itu diperlukan kerjasama internasional dalam melakukan pengejaran dan pengembalian aset hasil korupsi. Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal-balik di dalam UNCAC, maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal. Cara yang paling mudah dalam melakukan proses pengembalian

    ——————————————————————

    ¹⁵⁷ Ibid.

    ¹⁵⁸ Ibid, dan penjelasan yang lebih lengkap lihat alinea pertama Mukaddimah UNCAC 2003. aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban, adalah melalui bantuan hukum timbal-balik tersebut. Ketika aset-aset hasil korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili oleh penyelidik, penyidik atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan negara penerima (aset hasil korupsi) untuk melakukan proses pengembalian aset. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset.159


    Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia telah memberikan solusi terbatas terhadap pengembalian aset koruptor dalam skala nasional melalui gugatan perdata sebagaimana diatur pada Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ataupun melalui hukum pidana sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tuntutan pidana ini menjadi arah solusi terbatas dalam upaya pengembalian aset koruptor dengan bentuk penyitaan aset pelakunya yang tidak berkendak membayar Uang Pengganti. Kesulitan dan yang juga sudah menjadi bahagian rutinitas kendala penegakan hukum di Indonesia adalah masalah



    ¹⁵⁹ Bantuan hukum timbal-balik merupakan hakikat dari kerjasama internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. Dalam hal ini, UNCAC mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan hukum (timbal-balik) kepada negara korban yang membutuhkan [lihat Pasal 46 ayat (1) UNCAC]. Bantuan hukum timbalbalik ini memberikan terobosan bagi negara korban untuk menembus batasan-batasan konvensional yang selama ini menjadi penghambat dalam proses pengembalian aset. Dalam hal negara-negara dengan sistem perbankan yang sangat tertutup, UNCAC memberikan kemudahan Negara-negara korban untuk dapat menelusuri atau mengakses system perbankan suatu Negara untuk memperoleh informasi atas asset hasil tindak pidana korupsi [lihat Pasal 46 ayat (8) UNCAC]. Lihat: Paku Utama, Ibid. pengembalian aset koruptor yang telah terintegrasi di luar kompetensi penegakan hukum Indonesia. Pengembalian aset dalam yurisdiksi nasional dari pelakunya saja seringkali mengalami kendala sistem hukum nasional, apalagi terhadap pengembalian aset hasil korupsi yang bersifat transnasional atau lintas negara.160


    Menurut Donal Fariz ada empat kelemahan dalam UU Pemberantasan Tipikor.161 Pertama, perampasan kekayaan koruptor hanya dapat dilakukan terhadap barang yang digunakan, atau diperoleh dari korupsi. Ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf (a). Kelemahannya, kata Donal, terletak pada tidak dimungkinkannya dilakukan perampasan kekayaan lain di luar kasus yang diproses. Padahal, bukan tidak mungkin terpidana korupsi memiliki kekayaan yang cukup banyak di luar kewajaran dibanding dengan penghasilan yang sah. Kedua, penggantian kerugian negara sebagaimana dalam Pasal 18 huruf (b) tidak maksimal. Pasalnya, pada sejumlah kasus acapkali asset recovery tidak maksimal lantaran jumlah kerugian besar yang diakibatkan perbuatan pejabat tertentu tidak bisa dikembalikan. Hukuman tambahan berupa penggantian kerugian hanya sebesar maksimal yang dinikmati oleh terpidana korupsi. Ketiga, terdapat celah hukum untuk tidak membayar uang pengganti. Menurutnya, jika tidak ditemukan kekayaan terpidana, kewajiban membayar uang pengganti bisa digantikan dengan pidana kurungan. Ia berpendapat, menjadi kelemahan dalam

    ——————————————————————

    160 Indriyanto Seno Adji, Op.Cit., hlm. 149.

    161 Lihat Donal Fariz, Perlunya Aturan Illicit Enrichment untuk Cegah Korupsi Lantaran terdapat kelemahan dalam UU Pemberantasan Tipikor terkait pengembalian kerugian negara. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5273ab9aace4d/perlunya-aturan-illicitenrichment-untuk-cegah-korupsi dilihat terakhir 3 Agustus 2015. pemberantasan korupsi jika dari awal penyelidikan dan penyidikan tidak dilakukan penelusuran aset dan penyitaan. Pasalnya, jika menunggu vonis besar kemungkinan dilakukan peralihan, penyembunyian atau penjualan aset. Keempat, pembuktian yang sulit. Donal berpendapat perampasan aset maupun pembayaran uang pengganti dari aset terpidana hanya bisa dilakukan setelah korupsinya dinyatakan terbukti di pengadilan. Menurutnya, upaya tersebut sangat menghambat pemberantasan korupsi, terutama jika ditemukan aset lain dari koruptor yang tidak diketahui asal usulnya.


    Pengembalian aset negara sebagai hasil tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional memerlukan perangkat hukum nasional dan internasional, karenanya perangkat melalui Mutual Legal Assistance (MLA) maupun Konvensi Internasional ― seperti UNCAC misalnya yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 ― menjadi amanat yang wajib dilaksanakan oleh Indonesia meskipun ada kendala klausula Hukum Nasional, yang diharapkan sifatnya imperatif. Menurut Purwaning M. Yanuar bahwa perdebatan UNCAC mengenai akseptabelitas maupun resistensi penolakan konsep pengembalian aset tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional terjadi akibat pemahaman pendekatan teoritis yang berbeda di antara Negara peserta. Bagi Negara-negara maju yang pragmatis utilitarian, ketentuan pengembalian aset bersifat wajib, sebaliknya bagi Negara Grup 77, Cina dan Negara-negara Afrika ketentuan pengembalian aset bersifat wajib sebagai latar belakang prinsip keadilan sosial yang menekankan adanya keutamaan nilai-nilai sosial, moral dan hukum dalam mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi. Namun pada akhirnya disepakati bahwa ketentuan mengenai pengembalian pengembalian aset hanya merupakan ketentuan mekanisme pengembalian aset. Dengan kata lain, ketentuan pengembalian aset hanya meletakkan landasan hukum kerjasama internasional, mengingat masih ada negara-negara menjadi legalitas tempat penyembunyian aset hasil tindak pidana korupsi, seperti negara Singapura.162


    Sebenarnya konsep menggugat aset koruptor secara perdata bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pemerintah sudah memulai memperkenalkan upaya ini melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR).163 Menurut UU TIPIKOR, aparat penegak hukum (jaksa pengacara negara) atau instansi yang berwenang dapat menggugat aset koruptor secara perdata apabila telah terbukti adanya “kerugian negara”, dan:

    1. Tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi (putusan bebas tidak menghalangi upaya gugatan perdata);164 dan
    2. Tersangka meninggal dunia (menggugat ke ahli warisnya);165 dan
    3. Terdakwa meninggal dunia (menggugat ke ahli warisnya).166


    ——————————————————————

    162 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009), hlm. 149-151.

    163 Lihat Pasal 32, 33, 34, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 38 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

    164 Lihat Pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

    165 Lihat Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

    166 Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Bandingkan dengan ICAR, yang mengemukakan bahwa penggunaan NCB dalam sejumlah kasus antara lain: (a) terdakwa sudah meninggal. Karena hukum pidana tradisional berfokus pada tanggung jawab seseorang dengan cara yang biasa untuk mengambil hasil-hasil kejahatan telah menjadi tindakan in persona. Ketika seseorang meninggal dan karena itu kemungkinan untuk Selain itu, gugatan perdata juga dimungkinkan apabila setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan. Pada kondisi ini, negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan/atau ahli warisnya apabila dalam proses persidangan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi.167


    Walaupun sekilas gugatan perdata yang ada di UU TIPIKOR agak mirip dengan NCB, namun terdapat perbedaan di antara upaya perdata yang diatur oleh UU TIPIKOR dengan NCB. Upaya perdata dalam UU TIPIKOR masih menggunakan rezim perdata biasa di mana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materil biasa. Sehingga dalam gugatan perdata dalam UU TIPIKOR mengharuskan penuntut untuk membuktikan adanya “kerugian negara”. Selain itu, ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga hanya mengatur gugatan perdata setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan

    ——————————————————————

    mengadili telah dipadamkan, secara tradisional ini berarti bahwa aset yang diperoleh secara ilegal tidak mungkin pulih. Karena dalam aksi rem pergi langsung terhadap aset sendiri, ini adalah obat sempurna dalam kasus tersebut; (b) terdakwa telah dibebaskan dalam sidang pidana dan penyitaan itu tidak mungkin. Sebuah melanjutkan perampasan non-keyakinan berdasarkan akan memungkinkan pemulihan theproceeds kejahatan. Hal ini seharusnya bukan merupakan upaya untuk “re-litigasi” lanjutan, karena sidang ini tidak dimaksudkan untuk menetapkan kesalahan seseorang atau tanggung jawab, tetapi asal aset itu sendiri; (c) ada juga kasus di mana terdakwa tidak dapat ditemukan dalam yurisdiksi karena ia telah melarikan diri, karena ia sudah dipenjara di luar negeri atau untuk alasan lain; (d) pemilik aset tidak pasti. Pencucian uang biasanya mengikuti komisi kejahatan ekonomi untuk menyembunyikan asal-usul aset. Jika uang launderingprocess itu efektif bahkan kepemilikan bisa sulit untuk membuktikan. Dalam kasus ini non-keyakinan berbasis perampasan menjadi penting khusus; dan (e) undang-undang pembatasan mencegah bentuk pelanggaran sedang diselidiki. Di negara-negara dilanda korupsi ini adalah penting khusus, karena pejabat publik yang korup cenderung untuk tinggal di kantor selama beberapa tahun. Lihat: ICAR, http://www.assetrecovery.org/kc/node/c40081eb-7805-11dd-9c9d, diakses tanggal 10 Desember 2011.

    167 Lihat Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. tetap.168 Hal ini tentunya berbeda dengan NCB yang menggunakan rezim perdata yang berbeda seperti pembuktian terbalik. Selain itu NCB juga tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memberlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara.


    Dalam prakteknya, adanya perbedaan ini dapat menghasilkan dampak yang berbeda pula. Gugatan perdata yang ada di UU Tipikor memberikan beban pembuktian adanya “unsur kerugian negara” kepada Jaksa Penuntut Negara (JPN). Hal ini tentunya tidak mudah untuk dilakukan. Bahkan dikhawatirkan beban pembuktian yang harus dilakukan oleh JPN dalam gugatan perdata tersebut sama beratnya dengan pembuktian secara pidana.169 Sebaliknya, NCB mengadopsi prinsip pembuktian terbalik di mana para pihak yang merasa keberatanlah yang membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi. JPN cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi.170 Selain itu, NCB adalah gugatan yang bersifat in rem yang tidak mempunyai kaitan dengan tindak pidananya. Sehingga JPN tidak perlu membuktikan adanya unsur “kerugian negara” yang merupakan suatu unsur yang cukup sulit untuk dibuktikan dalam persidangan.171


    ——————————————————————

    168 Bismar Nasution, Op.Cit., hlm. 162.

    169 Suhadibroto, “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi”, [[1]], diakses tanggal 11 Maret 2009.

    170 Bismar Nasution, Op.Cit., hlm. 163.

    171 Lihat pembahasan mengenai permasalahan ini di Suhadibroto, “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi”, Ibid.  C.2. Penerapan NCB di Beberapa Negara


    Ketentuan mengenai perampasan aset tanpa pemindanaan yang sejalan dengan konvensi atau perjanjian internasional antara lain:


    1. Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nation Convension Against Corruption/UNCAC, 2003) yang telah diratifikasi dengan UU No.7/2006. Pasal 54 angka 1. huruf (c) UNCAC, 2003 dengan tegas meminta negara-negara: “Consider taking such measures as may be necessary to allow confiscation of such property without a criminal conviction in cases in which the offender cannot be prosecuted by reason of death, flight or absence or in other appropriate cases”.
    2. Konvensi PBB Terorganisir Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes/UN-CATOC) yang sedang dalam proses ratifikasi. Pasal 12 UN-CATOC dengan menyatakan, bahwa Negara-negara Anggota harus menerapkan langkah-langkah serupa di dalam sistem hukum dalam negerinya kearah pengembangan yang mungkin lebih luas selama diperlukan guna memungkinkan penyitaan atas: (a) Hasil-hasil kejahatan yang didapat dari pelanggaran-pelanggaran yang dicakup oleh Konvensi ini atau nilai kekayaan yang berhubungan dengan hasi-hasil tersebut; dan (b) Kekayaan, perlengkapan atau peralatan-peralatan lain yang digunakan pada atau ditujukan bagi penggunaan dalam pelanggaran yang dicakup oleh Konvensi ini.
    1. Standar Internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang atau Financial Action Task Force (FATF) Revised 40+9 Recommendations juga menggariskan pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan. Rekomendasi No. 3 menyebutkan “Countries may consider adopting measures that allow such proceeds or instrumentalities to be confiscated without requiring a criminal conviction, or which require an offender to demonstrate the lawful origin of the property alleged to be liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the principles of their domestic law”;

    Sehingga berikutterdapat beberapa negara yang dapat dijadikan model dalam perampasan aset tindak pidanan yaitu:

    1. Amerika Serikat

    Criminal Forfeiture dan NCB di Amerika Serikat telah cukup lama digunakan untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana. Pada awalnya, NCB diterapkan dalam skala domestik, yaitu mengajukan gugatan perdata untuk menyita atau mengambil alih aset-aset hasil kejahatan yang berada dalam negeri. Apabila aset hasil kejahatan berada di luar negeri, beberapa negara yang menggunakan NCB secara domestik mengaplikasikannya secara ekstra territorialitas.¹⁷²

    Sebelumnya telah diemukakan bahwa sebagai negara common law, penggunaan NCB di Amerika Serikat juga



    ¹⁷² Ibid. Dapat ditambahkan bahwa di Amerika Serikat, menurut Stefan D. Cassela, hukum negara bagian di Amerika Serikat secara prosedural memberikan 3 (tiga) opsi, yaitu administrative forfeiture, civil forfeiture, dan criminal forfeiture. Dalam hal ini, civil forfeiture bukan bagian dari suatu kasus kriminal. Dalam kasus civil forfeiture, pemerintah merupakan bagian dari aksi sipil melawan properti itu sendiri (in rem). Lihat: Stefan D. Cassela, Asset Forfeiture Law in the United States, (New York,Huntington, 2006), hlm. 9 dan 15. diawali dari konsep attainder dan deodand.173 Prinsip deodand menjadi fundamen bagi terbentuknya rezim NCB di Amerika Serikat dan bertahannya konsep fiksi hukum guilty object. Di Inggris pada abad 19 deodand sendiri dihapus karena tidak bisa dianggap sebagai punitive measures karena tidak ada orang yang dinyatakan bersalah.174

      Selanjutnya konsep deodand berkembang dalam hukum perkapalan fadmiralty law dan membentuk perkembangan hukum penyitaan di Amerika Serikat. Berdasarkan hukum perkapalan yang berlaku pada saat itu, pengadilan-pengadilan maritim kolonial lebih memilih untuk melakukan gugatan in rem atas kapal dibandingkan gugatan in personam atas pemilik kapal. Kapal yang “tidak bersalah” bisa ditahan dan diambil atas nama pemerintah, dan hukum memberlakukan kapal seolah-olah orang yang bersalah.175Dan dalam kasus-kasus di mana pelanggaran hukum mengenai bea dan cukai, pemilik kapal tidak diketahui atau tidak bisa dijumpai, atau di luar jurisdiksi pengadilan, pengadilan bisa langsung mengajukan NCB terdahap kapal itu sendiri. Selain itu juga berlaku azas pembuktian terbalik bagi pemilik kapal yang ingin mempertahankan kapalnya, dan lebih jauh lagi, kapal bisa diambil alih karena tindakan illegal awak kapal, meskipun tindakan tersebut tidak dengan sepengetahuan si pemilik.176

      Penggunaan NCB kemudian berkembang pesat ke bidang-bidang lainnya setelah keluarnya putusan dalam

    ——————————————————

    173 Barnet, Op.Cz, hlm. 87.

    174 Ibid, hlm. 88.

    175 Ibid.

    176 Ibid. kasus J.W.Goldsmith, JR-Grant v. United States di mana Supreme Court secara eksplisit mengadopsi fiksi personifikasi dan menolak klaim due process dari seorang innocent owner.177 Meningkatnya organized crime di tahun 1970an juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya instrumen ini. NCB sering digunakan oleh pemerintah federal AS untuk menyita aset-aset yang berhubungan dengan organized crime untuk memutus jalur uang dan financial support dari kejahatan seperti drugs trafficking atau illegal gambling.178

    Kemudian rejim NCB berkembang lagi pada tahun 2000 dengan diberlakukannya Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA) yang mengadopsi apa yang disebut dengan “fugitive disentitlement doctrine” atau doktrin pencabutan hak buronan, yaitu dalam 28 USC § 2466.179 Doktrin ini secara garis besar menyatakan bahwa seseorang yang didakwa dalam kasus pidana dapat melakukan perlawanan terhadap penyitaan perdata (NCB) atas harta bendanya hanya apabila ia menyerahkan dirinya untuk menghadapi dakwaan pidana. Sehingga apabila seorang pelaku tindak pidana buron ke luar negeri, ia bisa memilih antara kembali pulang untuk menghadapi NCB atas semua aset yang tersangkut dengan tindak pidana.180

    Dalam hal aset berada di dalam negeri sedangkan tindak pidana terjadi di luar negeri berdasarkan hukum



    ¹⁷⁷ Scott A. Hauert, “An Examination of the nature. Scope and Extent of Statutory Civil Forfeiture”, 20 (University of Dayton Law Review, 1994), hlm. 171.
    ¹⁷⁸Ibid.
    ¹⁷⁹ Stefan D. Casella, “Provisions of the USA Patriot Act Relating to Asset Forfeiture in Transnational Cases”, Op.Cit, hlm. 304.
    ¹⁸⁰ Ibid. pidana negara lain, pada mulanya pengadilan di Amerika Serikat tidak memiliki jurisdiksi untuk melakukan gugatan pidana maupun perdata.181 Hukum federal di Amerika hanya memperbolehkan gugatan perdata hanya untuk kasus-kasus tertentu, seperti obat-obatan terlarang. Dengan kata lain, NCB hanya bisa diterapkan secara domestik.182

    Namun kemudian diberlakukanlah USA Patriot Act pada tahun 2001, di mana 18 USC § 981 (a)(1)(b) dan §1956 (c)(7)(B) menentukan bahwa gugatan perdata setidaknya bisa diajukan untuk menyita aset korupsi publik, tindak pidana kekerasan (violence), penipuan perbankan, dan tindak pidana lain yang serius yang dilakukan di luar negeri dan melangggar hukum negara lain, apabila aset hasil tindak pidana tersebut berada di Amerika Serikat.183

    Patriot Act sendiri diundangkan 45 hari setelah terjadinya serangan terhadap gedung WTC di New York pada tanggal 11 September 2001, sebagai suatu cara untuk memerang terorisme di Amerika Serikat maupun di luar negeri secara global. Patriot Act secara garis besar memberikan kewenangan yang sangat besar bagi para penegak hukum di Amerika Serikat dan salah satunya adalah bisa mengakses segala bentuk data, informasi, catatan, baik medis, finansial, bisnis, dan lain sebagainya. Undang-undang ini juga memperluas kewenangan Secretary of the Treasury untuk mengatur transaksi keuangan, terutama yang menyangkut individu atau entitas asing.



    ¹⁸¹ Ibid.

    ¹⁸² Ibid.

    ¹⁸³ Ibid. Penjelasan lebih rinci mengenai ketentuan 18 USC § 981, lihat: Selected Federal Asset Forfeiture Statutes, (U.S. Department of Justice, Criminal Division, Asset Forfeiture and Money Laundering Section, 2006), hlm. 29-90. Ditambah lagi, Patriot Act juga mengatur ketentuan mengenai pelaksanaan perintah pra penyitaan (pre forfeiture restraining order) yang dikeluarkan oleh pengadilan asing, ketika proses gugatan di pengadilan asing masih berlangsung.184 Sedangkan The Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA) of 2000 dalam 28 USC § 2467 mengatur mengenai prosedur yang membolehkan Jaksa Agung untuk mendaftarkan keputusan pengadilan negara lain, baik pidana maupun perdata, di pengadilan federal dan melaksanakan keputusan tersebut.185

    Dalam hal pengambilalihan aset yang berada di luar negeri dan terdakwa tidak buron, Patriot Act menentukan bahwa pengadilan bisa memerintahkan terdakwa untuk merepatriasi asetnya di luar negeri dan kemudian menyerahkannya kepada negara.186 Namun, apabila aset berada di luar negeri dan terdakwa telah buron 28 USC § 1355 (b) (2) dalam Patriot Act menentukan bahwa pengadilan-pengadilan federal dalam jurisdiksi Amerika dapat mengajukan NCB.187 Selain itu, pengadilan di Amerika juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan perintah penyitaan atas aset yang berada di luar negeri, termasuk pembekuan rekening di bank luar negeri (foreign account),

    ——————————————————————

    184 http://www.wikipedia.org/Asset_forfeiture, diakses tanggal 15 desember 2011.

    185 Bismar Nasution, Op.Cit., hlm. 153. Kasus-kasus yang terkait dengan pelangggaran CAFRA antara lain: United States v. 544 Suffield Terrace 209 F. Supp. 2d 919, 920-22 (N.D. III. 2002; United States v. $122.000 in U.S. Currency, 198 F. Supp. 2d 106, 109 n.2 (D.P.R. 2002 (dicta); United States v. $890,718.00 in U.S. Currency, 433 F. Supp. 2d 635, 645 n.2 (M.D.N.C. 2006; United States v. 475 Cottager Drive, 433 F Supp. 2d 647, 655 n.3 (M.D.N.C. 2006); dan United States v. &72,100 in U.S. Currency, No. 2:03CV0140 DS, slip op. at 4-5 (D. Utah July 3, 2003). Lihat: Civil and Criminal Forfeiture Procedure, Compilation of Recent Frderal Cases, U.S. Department of Justice, Crimminal Division, Asset Forfeiture and Money Laundering Section, April 2009, hlm. 133.

    186 Casella, “Provision of the USA Patriot Act relating to Asset Forfeiture in Transnasional Cases”, Op.Cit, hml. 304.

    187 Ibid, hlm. 305. apabila aset bersangkutan diperoleh dari kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah Amerika Serikat.188

    Meskipun secara teoritis prosedur di atas sudah cukup komprehensif dalam melindungi AS, namun masih banyak kendala dalam pelaksanaannya seperti kurangnya perjanjian bilateral (mutual legal assistance treaty) dengan negara asing menyangkut NCB menyebabkan di undangkannya 18 USC § 981 (k). 18 USC § 981 (k) sebagai bagian dari Patriot Act diadopsi untuk mengatasi kendala kesulitan pengadilan Amerika Serikat untuk menjatuhkan perintah civil forfeiture (NCB) di luar negeri, yang meskipun sampai saat ini masih dinilai kontroversial, namun dinilai cukup efektif untuk mengambil kembali aset-aset hasil kejahatan di Amerika Serikat yang dibawa ke luar negeri.189

    Sebelum berlakunya 18 USC § 981 (k) bank-bank asing dilindungi oleh undang-undang penyitaan di Amerika sebagai “innocent owners” atau pemilik yang tidak bersalah sehingga pemerintah Amerika Serikat tidak dapat melakukan penyitaan terhadap dana dalam rekening koresponden milik bank asing tersebut. Adanya perlindungan ini menjadikan rekening koresponden bank


    ——————————————————————

    188 Stefan D. Cassella, “Recovering the Proceeds of Crime From the Correspondent Account of a Foreign Bank”, 9 (4) (Journal of Money Laundering Control, 2006), hlm. 402

    189 Adapun yang melatarbelakangi diberlakukannya peraturan ini adalah bahwa ada dua kemungkinan lokasi uang hasil kejahatan yang dibawa ke luar negeri dan disimpan di bank asing dalam US Dollar, yaitu dalam rekening asing di bank asing dalam bentuk utang yang dimiliki bank terhadap depositor (pelaku kejahatan), atau uang itu sendiri sebenarnya masih di dalam Amerika Serikat, yaitu dalam rekening dollar koresponden yang memang dimiliki kebanyakan bank asing untuk mempermudah transaksi para nasabahnya. Dengan memiliki rekening koresponden, apabila seorang pelaku kejahatan dari Amerika Serikat menjadi nasabah bank asing yang ada di luar negeri dan ia ingin sejumlah dananya ditransfer ke tempat lain, maka bank asing tersebut bisa mendebit kapan saja rekening korespondennya di Amerika dan mentransfernya. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada uang yang melewati batas negara. Ibid. asing di Amerika Serikat sering disalahgunakan oleh pelaku kejahatan untuk menyimpan uang hasil kejahatannya.190

    Untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah Amerika Serikat memberlakukan 18 USC § 981 (k) di mana dengan menunjukkan bukti-bukti yang akurat dan kuat pemerintah dapat melakukan penyitaan langsung terhadap dana dalam rekening koresponden bank asing terhadap sejumlah yang dituntut. 191 Ketentuan ini juga kemudian menghilangkan hak bank asing untuk untuk mengajukan keberatan atas penyitaan yang dilakukan. 192 Hanya sang pemilik account yang dapat mengajukan keberatan ke pengadilan.193 Bank asing tersebut hanya mempunyai hak untuk mendebit sejumlah uang yang disita dari account depositor sebagai pengganti dana yang telah disita pemerintah Serikat dari rekening korespondennya.194

    Adanya berbagai perubahan pada konsep NCB ini pada gilirannya membawa perubahan positif bagi penyitaan dan pengembalian aset di Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Amerika Serikat berhasil mengambil alih aset-aset yang berasal atau berhubungan dengan sebuah tindak pidana sebesar US$ 1, 2 Milyar.195 Department of Justice Amerika Serikat bahkan memperkirakan jumlah aset yang


    ————

    190 Ibid, hlm. 403
    191 Ibid.
    192 Ibid, hlm. 404-405
    193 Ibid.
    194 Ibid.
    195 Lihat casella, "The Case for Civil Forfeiture: Why In Rem Proceddings are an Essential Tool for Recovering the Proceeds of Crime", Op. Cit, hlm. 6. akan diambil alih di tahun 2007 akan meningkat jumlahnya menjadi US$ 1,6 Milyar.196

    Di Amerika Serikat ada dua opsi dalam penanganan awal kasus asset forfeiture. Opsi pertama ialah mendapatkan surat penyitaan dari hakim, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam 8 USC § 981 (b), atau opsi kedua yaitu menunggu sampai kasus tersebut diajukan dan kemudian mendapat surat penangkapan in rem dari pengadilan.197

    2. Australia

    Australia juga pada awalnya melaksanakan pengambialihan aset atau properti yang kurang lebih sama seperti yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law, yaitu berdasarkan konsep deodand dan attainder.198 Namun instrumen hukum common law kuno tersebut mereka tinggalkan. Pemerintah Australia memberlakukan The customs Act 1901 sebagai confiscation laws, yang memungkinkan dilakukannya in rem forfeitures, namun aplikasinya hanya untuk barang-barang hasil penggelapan terutama di kapal-kapal pengangkutan. The Customs Act 1901 kemudian diamandemen agar bisa diterapkan untuk obat-obatan terlarang yang termasuk sebagai commonwealth offences.199


    ————

    196 Ibid.
    197 Lihat: Department of Justice, Asset Forfeiture Policy Manual, (US,Criminal Division. Asset Forfeiture and Money Laundering Secsion, 2008), hlm. 175.
    198 Ben Clarke, “Confiscation of Proceeds of Crime: Australian Response", disampaikan dalam 2nd World Conference on Investigation on Crime, ICC, Durban, 3-7 Desember 2001, hlm. 2
    199 Ibid. Selanjutnya pada tahun 1980an, sejalan dengan msemakin meningkatnya perhatian dunia internasional atas perkembangan organized crime, praktek pencucian uang, peredaran narkotika dan obat-obat terlarang, serta peredaran uang hasil kejahatan, Australia memberlakukan of Crime Act 1987 (POC).200 Lalu pada tahun yang sama, Mutual Assistance in Criminal Matters Act 1987 turut diundangkan, yang memungkinkan Australia untuk melakukan negosiasi dan membentuk perjanjian bilateral mmenyangkut asset recovery dari tindak pidana. Lebih jauh lagi, pada tahun 1988, Australia mengundangkan Financial Transaction Reports Act 1988 (FTRA) yang mewajibkan pelaporan transaksi tunai dan transaksi mencurigakan.201

    Secara historis di Australia terdapat 2 (dua) rezim asset confiscation, yaitu conviction based confisciation legislation dan non-conviction based confiscation. POC merupakan conviction based confiscation legislation mengharuskan bahwa gugatan pidana (conviction) harus terlebih dahulu dilakukan untuk bisa melakukan asset confiscation. Secara tradisional, rezim ini melindungi hak hukum acara yang dimiliki oleh seorang tersangka atau tertuduh melalui diharuskannya proses gugatan pidana sebelum diambilalihnya aset (conviction before forfeiture) dan otoritas yang berwenang melakukan penuntutanlah yang memiliki beban pembuktian. 202

    Negara bagian Western Australia pertama kali mengadopsi rezim non-conviction based forfeiture melalui


    ————

    200 Ibid, hlm. 4.
    201 Ibid.
    202 Ibid, hlm. 8 Misuse of Drugs Act 1981, namun hanya digunakan untuk tindak pidana psikotropika serius.203 Kemudian Confiscation of Profit Act 1981 diberlakukan pada tahun 1981, yang memberikan ruang gerak yang lebih komprehensif bagi rezim civil forfeiture di Australia Barat. Namun, seperti halnya undang-undang federal seperti POC, peraturan negara bagian ini hanya memungkinkan aset disita atau diambilalih setelah dilakukan gugatan pidana.204 Lalu pada tahun 1990 negara bagian New South Wales memberlakukan Criminal assets Recovery Act yang sifatnya adalah non-conviction based dan terbukti bahwa hasilnya jauh lebih baik dalam mengembalikan aset-aset curian dibandingkan POC.205

    Selama lima tahun sejak tahun 1992, tercatat bahwa dana sebesar AUS$ 4,5 milyar diambil dan dicuci di Australia, dan peraturan federal yang sifatnya adalah conviction-based hanya mampu mengembalikan kurang lebih AUS$ 7,5 juta.206 Dengan semakin besarnya "ill gotten gains", yaitu aset-aset hasil tindak pidana yang tidak berhasil dikembalikan, maka pada tahun 1999 Komisi Reformasi Hukum Nasional Australia mengajukan untuk memberlakukan rezim non-conviction based confiscation pada level nasional.207 Banyak juga para pihak yang mengkritik peraturan-peraturan conviction based menyatakan bahwa peraturan-peraturan non-conviction

    ————

    203 Ibid.
    204 Ibid.
    205 Ibid.
    206 Western Australia Parliament, Parliamentary Debates, (Hansard). Vol. 656. http://www.parliament.wa.gov.au/parliament/home.nsf/(FrameNames)/Hansard, diakses 2 Feruari 2009.
    207 Australian Law Reform Commission, Confiscation that Counts (Report No.87, 1999) based akan membantu untuk mempersulit basis ekonomi untuk terbentuknya suatu organisasi kriminal serta menghambat aktivitas-aktivitas mereka.208

      Kelemahan utama rezim conviction-based adalah keharusan bahwa aset yang akan disita atau diambilalih harus berhubungan secara erat dengan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa tindak pidana. Kegagalan rezim conviction=based untuk mencapai tujuannya dalam melumpuhkan organisasi kriminal mengakibatkan rezim non-conviction based semakin populer di Australia.209

      Peraturan-peraturan non-conviction based memiliki keunggulan antara lain: (1) penyitaan aset tanpa harus terlebih dahulu melakukan gugatan pidana; (2) proses penyitaan pada umumnya dilakukan secara independen terpisah dari proses gugatan pidana; dan (3) pihak berwenang hanya perlu membuktikan dilakukannya kejahatan atau keterlibatan dalam suatu tindakan ilegal sesuai dengan standar perdata. 210 Tetapi negara baguan Western Australia memberlakukan Criminal Property Confiscation Act (CPCA), yang berbeda dalam banyak hal dibandingkan dengan yang lain, dan peraturan ini dianggap sebagai peraturan NCB Asset Forfeiture dengan jangkauan terluas dalam sejarah Australia, antara lain211:

    - Peraturan ini berlaku surut (retrospektif).

    - Penyitaan bisa dilakukan tanpa kehadiran tergugat

    - Pembuktian terbalik



    ————————————

    208 Clarke, Op.Cit, hml.8,

    209 Ibid.

    210 Ibid, hml 8.

    211 Ibid


    ~121~
    • Bisa dijatuhkannya sanksi pidana tanpa keharusan mengajukan gugatan pidana.
    • Penyitaan bisa dilakukan tanpa adanya bukti-bukti dilakukannya tidak pidana oleh pemilik aset.
    • Penyitaan atas "unexplained wealth", di mana aset tidak perlu berhubungan dalam bentuk apapun dengan tindakan kriminal
    • Tidak adanya konsep proporsionalitas antara tindak kejahatan yang diduga dengan sampai sejauh mana penyitaan bisa dilakukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
    • Dimungkinkannya pengecualian terhadap standar profesi hukum atau jasa professional lain yang dibutuhkan untuk memperoleh informasi.
    • Adanya peraturan menyangkut kerahasiaan data-data bank, dll.
    • Tidak ada peraturan menyangkut keharusan untuk menyisihkan sebagian aset sita untuk biaya pengacara.
    • Dan lain-lain.

    CPCA tidak luput dari kritik menyangkut innocent owner. Namun CPCA memiliki ketentuan untuk melindungi pihak ketiga yang tidak bersalah, yang212 (1) memperoleh aset atau property dengan itikad baik dengan pertimbangan yang benar tanpa mengetahui bahwa aset tersebut berasal dari tindak pidana; dan (2) tidak mengetahui bahwa aset tersebut digunakan untuk tujuan tindak pidana.

    CPCA memiliki daya laku ekstra territorial dalam mengejar aset yang dilarikan ke luar negara bagian mapun ke luar negeri. Namun efektif atau tidaknya CPCA dalam


    ————

    212 Ibid, hlm. 12. mengambil kembali aset yang melewati batas negara bagian akan bergantung pada kerjasama antara negara bagian (interstate) maupun kerjasama internasional, sesuai dengan hukum domestik dan hukum internasional yang berlaku.213

    Belakangan ini dikenal pula konsep perampasan aset tanpa pemidanaan atas unexplained wealth atau illicit enrichmen. Konsep illicit enrichment, yang memiliki kesamaan dengan unexplained wealth, dikenal pula misalnya dalam United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). Meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, namun Undang-Undang tersebut masih bersifat umum dan belum ada hukum acara yang jelas untuk mengimplementasikannya. Menurut Kepala PPATK Yunus Husein, di Asutralia secara umum unexplained wealth adalah instrumen hukum yang memungkinkan perampasan aset/harta seseorang yang jumlahnya sangat besar tetapi dipandang tidak wajar karena tidak sesuai dengan sumber pemasukannya, dan yang bersangkutan tidak mampu membuktikan (melalui metode pembuktikan terbalik) bahwa hartanya tersebut diperoleh secara sah atau bukan berasal dari tindak pidana. Dalam hal seseorang memiliki unexplained wealth, maka jumlah harta yang tidak dapat dibuktikan telah diperoleh secara sah tersebut dapat dirampas oleh Negara melalui suatu prosedur hukum tertentu. Sedangkan sisa harta yang dapat dibuktikan


    ————

    213 Clarke, Op. Cit, hlm. 18. diperoleh secara sah dapat dikuasai dan dinikmati kembali oleh pemilikinya.214

    Pengaturan unexplained wealth di Australia awalnya dilandasi pada kondisi dugaan banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Geng Motor serta pihak-pihak lain yang diduga kuat melakukan praktek penjualan narkotika namun sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan tindak pidana tersebut. "Bukti" yang paling mencolok hanyalah anggota kelompok tersebut memiliki kekayaan yang besar mesti tidak jelas sumber pemasukannya. Penerapan perampasan aset bagi mereka yang memiliki unexplained wealth dinilai salah satu cara yang paling mungkin ditempuh untuk men-discourage praktek-praktek tersebut. Hal ini disebabkan proses pembuktian unexplained wealth lebih mudah karena: (1) menggunakan prosedur pembuktian terbalik (meski Jaksa Penuntut Umum tetap harus membuktikan adanya jumlah kekayaan yang dianggap tidak wajar; dan (2) menggunakan standar pembuktian perdata yakni balance of probability, yang ringan/rendah dibanding standar pembuktian pidana (beyond reasonable doubt). Penggunaan standar pembuktian perdata ini disebabkan karena proses perampasan aset unexplained wealth, seperti halnya proses perampasan non pemidanaan lainnya (NCB asset forfeiture) dilakukan melalui proses perdata, bukan pidana karena yang menjadi obyek adalah barang (in rem) yang ingin dirampas, bukan pemidanaan terhadap orangnya (in personam).


    ————

    214 Tim Penyusun, "Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil Studi Komparasi Pengaturan dan Praktek Perampasan atas Aset/Kekayaan yang Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan (Unexplained Wealth) di Australia", Delegasi RI yang dipimpin oleh Kepala PPATK DR. Yunus Husein. Canberra, 26 Juni — 1 Juni 2011. 3. Filipina
     Filipina dalam penggunaan NCB untuk mengejar aset hasil tindak pidana merupakan hal yang baru, namun telah diterima dengan sangat baik dan dianggap sebagai instrumen hukum yang sangat penting dalam memerangi korupsi dan pencucian uang.215 Secara umum, pengadilan di Filipina dapat diminta melalui prosedur perdata in rem untuk menentukan asal-usul dari suatu properti atau aset. Apabila berdasarkan kaidah perdata ditentukan bahwa aset tersebut diperoleh dari hasil kejahatan, maka pengadilan bisa menjatuhkan perintah forfeiture. Filipina juga memberlakukan undang-undang bagi pembelaan para pihak ketiga yang memiliki hak atau kepentingan yang legit atas aset.216

     Di negara ini terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi sebelum dapat mengajukan NCB. Pertama, uang atau dana harus dibekukan oleh Pengadilan Banding (Court of Appeals). Hal ini berbeda dengan gugatan perdata biasa yang membolehkan pembekuan dilakukan pada pengadilan tingkat pertama (trial level). Kedua, harus disampaikan laporan covered transaction, sebesar minimal US$ 9,200. Hal ini mendatangkan beberapa dampak. Apabila institusi keuangan gagal menyampaikan laporan, bahkan dalam kasus pencucian uang yang sudah jelas dan pasti, persyaratan untuk mengajukan civil forfeiture tidak bisa dipenuhi. Ketiga, NCB hanya bisa dilakukan dalam kasus


    ____________________

     215 Jeffrey Simser, "The Significance of Money Laundering: The Example of the Philippines", 9 (3) (Journal of Money Laundering, 2006), hlm. 297.
     216 Ibid. pencucian uang dengan institusi keuangan intermediary.217 Apabila Anti Moneny Laundering Commission (AMLC) Filipina berhasil dalam kasus-kasus NCB, maka mereka akan memotivasi para pencuci uang untuk memilih bentuk-bentuk aset lain seperti emas batangan, perhiasan dan yang lainnya, yang tidak memerlukan financial intermediary. Di Filipina, hanya instrumen uang yang bisa menjadi subjek NCB.218

     Untuk memembekukan aset selama maksimal 20 hari, AMLC bisa mengajukan mosi sepihak, namun harus dapat menunjukkan indikasi bahwa asset tersebut "terkait" dengan kejahatan asal (pridicate crime).219 Aturan mengenai prosedur pelaksanaan civil forfeiture (NCB) ditetapkan pada tahun 2005 melalui Rules of Procedure in Cases of Civil Forfeiture.220 Mengikuti dibekukannya aset, AMLC yang bertindak melalui Jaksa Agung akan melayangkan tuntutan tertulis yang memuat nama tergugat (responden), aset yang terkait, dan dasar dilakukannya forfeiture.221 Responden memiliki tenggat waktu 15 (lima belas) hari untuk mengajukan perlawanan, dan apabila melewat batas waktu tersebut makan akan dijatuhkan keputusan sepihak. Dari awal diajukannya tuntutan, para hakim harus menghasilkan keputusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Pihak ketiga yang ingin klaim dapat


    _____________________
     217 Ibid.
     218 Ibid.
     219 Ibid.
     220 Ibid, hlm. 8.
     221 Ibid.
    mengajukannya dan akan diproses dalam proses peradilan berikutnya.222

    Terhadap aset yang berada di luar negeri, kasus yang paling dikenal adalah pengambilalihan harta kekayaan mantan Presiden Filipina yaitu Ferdinand Marcos di Swiss. Dalam hal ini, pemerintah Filipina mengajukan permohonan kepada bank di Swiss untuk membekukan segala rekening yang berkaitan dengan Marcos. Pemerintah Swiss memberikan respon yang positif dan dana sebesar US$ 658,175,373.60 ditransfer ke rekening pihak ketiga, dan pada akhirnya dikembalikan ke pemerintah Filipina untuk diambil alih.223 Isteri Marcos, Imelda Marcos dan beberapa orang lainnya yang memiliki kepentingan atas aset yang disita sempat mengajukan gugatan untuk membatalkan NCB Asset Forfeiture, namun hal tersebut tidak berhasil. Dalam keputusan atas gugatan tersebut, pengadilan kembali menegaskan peraturan yang telah baku di Filipina, yaitu proses peradilan NCB adalah in rem, perkara perdata, dan bukan pidana.224


    C.3. Praktek Internasional Secara Umum

    Sementara itu, dalam perkembangan terakhir di dunia internasional, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen


    ————

    222 Ibid, hlm. 299.
    223 Ibid.
    224 Ibid. Dalam hubungan ini, Mark V, Vlasic & Gregory Cooper mengemukakan bahwa "kerusakan yang paling berbahaya adalah para pejabat level atas dan para pemimpin politik yang tidak hanya mengumpulkan kekayaan untuk kesenangan pribadi, tetapi juga menggunakan kekayaan mereka untuk mengamankan dominasi politik dan kekuasaan mereka seterusnya". Mark V, Vlasic & Gregory Cooper, "Fast Cash: Recovering Stolen Assets", http://www.americasquar terly,or/1901, Fall 2010, diakses tanggal 15 Desember 2011. tindak pidana menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Hal tersebut terlihat dari uraian berikut ini.

    1. Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, telah menyetujui dan menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan upaya menekan tingkat kejahatan, yaitu United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Phychotropic Substances pada tahun 1988 dan United Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC) pada tahun 2000 serta United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003. Salah satu bagian penting dari konvensi-konvensi PBB tersebut adalah adanya pengaturan yang berkaitan dengan penelusuran, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana termasuk kerjasama internasional dalam rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana antar negara.
    2. Pemerintah Inggris pada tahun 2002 menetapkan suatu undang-undang Proceed of Crime Act (POCA) yang antara lain mengatur mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana. Sejak undang-undang tersebut diberlakukan pada tahun 2003, aparat penegak hukum di Inggris telah berhasil merampas sekitar 234 juta poundsterling atau setara dengan 4,387225 trilyun rupiah hasil dan instrumen tindak pidana.


      ___________________
       225 Dengan kurs 18.749 Rupiah per Poundsterling Inggris pada tanggal 21 September 2007.


      1. Pemerintah Australia pada tahun 2002 juga menetapkan Proceed of Crime Act. Ketentuan baru ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi aparat penegak hukum untuk menyita dan merampas aset hasil tindak pidana.
      2. Pemerintah Selandia Baru pada tahun 2005 juga menetapkan Criminal Proceeds and Instruments Bill setelah melihat keberhasilan Australia dan Inggris menerapkan ketentuan yang serupa.
      3. Pemerintah Nigeria pada tahun 1998-2006 berhasil menyita dan merampas hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jendral Sani Abacha, mantan presiden Nigeria, dalam jumlah 800 juta dollar AS dari dalam negeri dan 505,5 juta dollar AS dari negara Swiss.
      4. Pemerintah Peru selama kurun waktu 2000-2001 melakukan reformasi hukum dan pengadilan yang secara fundamental meningkatkan kemampuan penyidikan, pengungkapan jaringan pelaku tindak pidana korupsi, dan pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Sebagai hasilnya, pada tahun 2001 Peru menerima kembali 33 juta dolar AS dari Kepulauan Cayman dan tahun 2002 menerima 77,5 juta dollar dari Swiss serta tahun 2004 menerima 20 juta dollar dari Amerika Serikat. Dana tersebut berasal dari hasil korupsi Vladimiro Montesinos, kepala intelejen polisi pada pemerintahan Presiden Alberto Fujimori.
      5. Pemerintah Philippina selama 18 tahun antara 1986-2004 berhasil menyita dan merampas 624 juta dollar
      AS dari Swiss. Dana tersebut berasal dari hasil korupsi Ferdinand Marcos, mantan Presiden Philippina.

      C.4. Konsep Perampasan Aset Yang Diharapkan

      Gugatan bersifat in rem awalnya dikenal di negara-negara Common Law sebagai prosedur penyitaan dan pengambilalihan asset dalam rezim Civil Forfeiture. Konsep civil forfeiture didasarkan pada "taint doctrine" dimana sebuah tindak pidana dianggap "taint" (menodai) sebuah asset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut.226

      Perampasan Aset secara in rem dapat diartikan sebagai suatu tindakan hukum untuk melawan aset (properti) itu sendiri, bukan terhadap individu (in personam), misalnya, Negara vs. $100.000.227

      Dalam UNCAC kriminalisasi korupsi tidak harus selalu dikaitkan dengan adanya kerugian negara Walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menyita dan mengambil alih asset hasil kejahatan, civil forfeiture berbeda dengan criminal forfeiture yang menggunakan gugatan in personam (gugatan terhadap orang) untuk menyita dan mengambil alih suatu asset.


      ————
      226 David Scott Romantz, "Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res", 28 Suffolk University Law Review, 1994, Hal 390.
      227 Lihat: World Bank, "Non-Conviction Based Asset Forfeiture as a Tool for Asset http://www1.worldbank.org/finance/starsite/documents/nonconviction/Recovery", part_a_03.pdf  Harta kekayaan yang dapat dirampas disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang terkait yaitu meliputi:

      1. Setiap harta kekayaan hasil tindak pidana atau yang diperoleh dari hasil tindak pidana; dan atau
      2. Harta kekayaan yang digunakan sebagai alat, sarana, atau prasarana untuk melakukan tindak pidana atau mendukung organisasi kejahatan; dan atau
      3. Setiap harta kekayaan yang terkait dengan tindak pidana atau organisasi kejahatan; dan atau
      4. Harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai tindak pidana atau organisasi kejahatan; dan atau
      5. Segala sesuatu yang menjadi hak milik pelaku tindak pidana atau organisasi kejahatan;
      6. Kekayaan yang tidak wajar atau tidak sah (illicit enrichment) yang dimiliki oleh pejabat publik.

      Pengambilalihan aset (confiscation) juga dilakukan, diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain:

      1. Pemilik aset telah meninggal dunia;
      2. Berakhirnya proses pidana karena terdakwa bebas;
      3. Penuntutan pidana terjadi dan berhasil pengambilalihan aset tidak berhasil;
      4. Terdakwa tidak berada dalam batas jurisdiksi, nama pemilik aset tidak diketahui; dan
      5. Tidak ada bukti yang cukup untuk mengawali gugatan pidana.


      Selanjutnya mengenai Proses perampasan aset kekayaan melalui jalur Perdata khusus (NCB) dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1. Tahapan Penelusuran

      Penelusuran aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti kepemilikan, lokasi penyimpanan harta yang harus berhubungan delik yang dilakukan. Mengingat negara kita menganut multi investigator, maka lembaga yang dapat menelusuri aset tidak perlu dibatasi pada satu lembaga. Namun, wewenang untuk mengajukan permohonan perampasan aset perlu berada di bawah satu otoritas tertentu best practice ada pada Jaksa Agung dalam hal ini Jaksa Pengacara Negara agar pengendaliannya dapat dilakukan lebih mudah mengingat Asset Forfeiture sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak masyarakat.

      - Penelusuran dilakukan oleh Penyidik atau penuntut umum bersama Jaksa Pengacara negara.
      - Penyidik melakukan penelusuran terhadap Aset tindak pidana yang belum diajukan ke pengadilan.
      - Penuntut umum melakukan penelusuran terhadap Aset tindak Pidana yang telah diajukan dipengadilan dan telah diputuskan oleh hakim dipengadilan.
      - Jaksa Pengacara Negara, melakukan penelusuran bersama Penyidik atau penuntut umum.

      Awal penulusuran Penelusuran dimulai setelah Penyidik atau penuntut umum menemukan dua alat bukti yang kuat bahwa aset digunakan sebagai Aset tindak pidana. Setelah menemukan dua alat bukti Aset tindak pidana, penyidik atau penuntut umum wajib meminta kepada jaksa agung untuk melakukan mekanisme perampasan aset. Permintaan disampaikan secara tertulis dan elektronik.

      Jaksa Agung memeriksa dua alat bukti dokumen untuk menentukan apakah penelusuran dapat dilanjutkan atau tidak. Dalam hal alat bukti memberikan indikasi kuat terdapat aset tindak pidana, maka jaksa agung menunjuk menunjuk jaksa Pengacara negara yang akan melakukan Penelusuran Aset bersama Penyidik atau Penuntut Umum. Dalam hal jaksa agung menganggap bukti tidak cukup kuat maka akan dikembalikan ke Penyidik atau penuntut umum.

      Jangka waktu Pengajuan permintaan Perampasan aset oleh Penyidik atau Penuntut Umum ke Kejaksaan agung adalah 1 (satu) hari dengan mengirimkan perkembangan sementara mengenai penilaian suatu aset, jangka waktu Jaksa Agung melakukan Telaah maksimal 5 Hari dan segera menunjuk Jaksa Pengacara Negara yang akan menangani pweramasan aset bersama Penyidik atau penuntut umum

      Jaksa Pengacara negara bersama Penyidik atau penuntut umum dan melakukan penelusuran bersama sama, dan wajib melakukan laporan perkembangan penelusuran kepada jaksa agung, dan merahasiakan penelusuran yang dilakukan. Alasan keterlibatan jaksa pengacara negara dari tahapan awal karena jaksa pengacara negaralah yang akan menjadi perwakilan negara dalam menggugat aset dipengadilan, kemudian untuk mempercepat mekanisme dalam melaksanakan penelusuran, sehingga dalam satu waktu jaksa pengacara negara dan penyidik atau penuntut umum akan melakukan tindakan yang sama dan koordinasi yang sama dalam melaksanakan penulusuran tersebut. Pentingnya menghilangkan meknisme bolak balik berkas dari penyidik atau penuntut umum dan rantai kordinasi, dengan cara menyatukan dalam satu aktifitas bersama khususnya dalam penulusuran.

      Dalam melaksanakan Penelusuran informasi Penyidik atau Penuntut Umum bersama jaksa Pengacara negara dapat meminta informasi dan dokumen kepada Setiap Orang atau instansi pemerintah. Setiap Orang atau instansi pemerintah wajib memberikan informasi dan dokumen kepada Penyidik atau Penuntut Umum. Setiap Orang atau instansi pemerintah dilarang memberitahukan kepada pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai permintaan dan pemberian informasi dan dokumen.

      2. Pemblokiran atau Penyitaan Aset

      seperti Bab I Pasal 2 huruf (f) UNCAC 2003 di mana dilarang sementara menstransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memidahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten.

      Jaksa Pengacara Negara sebagai perwakilan jaksa agung, berwenang melakukan meminta Pemblokiran dan penyitaan kepada lembaga yang terkait dengan aset tindak pidana. tindakan tersebut berdasarkan rekomendasi Penyidik atau Penuntut Umum bersama jaksa Pengacara negara atas bukti-bukti kuat terhadap Aset yang diduga aset tindak pidana.

      Pemblokiran dan penyitaan dilakukan dengan penetapan Pengadilan Negeri dimana aset tersebut berada, dan menjadi dasar untuk meminta atau memerintahkan instansi berwenang untuk melakukan Pemblokiran. dalam hal keadaan memaksa maka pemblokiran dan Penyitaan dapat dilakukan tanpa penetapan pengadilan, setelah melakukan pemblokiran dan Penyitaan maka dalam waktu 1 (hari) Jaksa Pengacara Negara mengajukan izin ke ketua pengadilan negeri bersama berita acara pemblokiran dan Penyitaan terhadap pemblokiran dan penyitaan yang dilakukan sebelumnya. Izin ketua pengadilan negeri dilakukan maksimal 1 (satu) hari setelah pemblokiran dan Penyitaan di diajukan,

      Lembaga yang dimintakan melakukan Pemblokiran dan penyitaan wajib melakukan tindakan Pemblokiran dan penyitaan segera setelah perintah Pemblokiran diterima. Permintaan jaksa pengacara negara berdasarkan rekomendasi tertulis penyidik atau penuntut umum. Jaksa pengacara negara membuat Berita acara pemblokiran dan penyitaan dan disampaikan ke Pengadilan dan pihak yang dianggap berkepentingan. Selama masa Pemblokiran, Aset Tindak Pidana tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Permintaan melakukan Pemblokiran dan Penyitaan harus dilakukan secara tertulis dengan membuat pemblokiran dan penyitaan berbentuk surat perintah Penyitaan. Jangka waktu Pelaksanaan Pemblokiran dilakukan paling lama 1 (satu) hari sejak perintah Pemblokiran diterima.

      Dalam melakukan Pemblokiran dan Penyitaan Jaksa Pengacara Negara mengirimkan surat perintah dan berita acara pemblokiran dan penyitaan kepada orang yang memiliki atau menguasai Aset Tindak Pidana tersebut. apabila aset tersebut tidak jelas atau tidak diketahui pemilik nya maka diumukan dimedia massa. Jangka waktu pemblokiran dan penyitaan dilakukan 45 (lima puluh) Hari dan dapat diperpanjang sekali.

      Dalam hal Penyitaan Aset Tindak Pidana berupa tanah, Penyidik atau Penuntut Umum segera memberitahukan, mendaftarkan, atau mencatatkan Penyitaan atas tanah ke kantor pertanahan disertai dengan berita acara Penyitaan. penyitaan atas 'barang yang tidak bergerak lainnya/barang yang secara hukum harus dilakukan pencatatan'. Aset yang di blokir atau disita diserahkan kepada Lembaga Pengelolaan Aset untuk dikelola dalam rangka mencegah penurunan nilai aset. Berikut alur dalam melakukan pemblokiran dan penyitaan:

      Terhadap Aset Tindak Pidana berada di luar negeri, permintaan Pemblokiran atau Penyitaan Aset Tindak Pidana diajukan kepada lembaga yang berwenang di negara tersebut. Apabila permintaan Pemblokiran atau Penyitaan ditolak, Penyidik atau Penuntut Umum dapat memblokir atau menyita Aset lainnya yang terdapat di Indonesia sebagai pengganti yang nilainya setara dengan nilai Aset Tindak Pidana yang akan diblokir atau disita. Perlu penjelasan bahwa aset lainnya yang terdapat di Indonesia itu adalah milik atau dikuasai oleh Orang yang Aset Tindak Pidana berada di luar negeri.


      Setelah aset yang diblokir dan disita diluar negeri dilakukan maka Jaksa Penuntut Umum menyerahkan pengelolaan Aset Tindak Pidana yang telah diblokir dan disita beserta Dokumen pendukungnya kepada Lembaga Pengelola Aset untuk dikelola dalam rangka menjaga nilai aset. Apabila pemeriksaan dipengadilan dibutuhkan data bukti keberadaan Aset yang telah di blokir atau disita, atas permintaan Jaksa Penuntut Umum atau Hakim, Lembaga Pengelola Aset wajib menghadirkan atau menunjukkan bukti Aset Tindak Pidana beserta Dokumennya ke pengadilan.


      Setiap Orang atau Korporasi dapat mengajukan keberatan terhadap pelaksanaan pemblokiran dan Penyitaan aset. Keberatan disampaikan secara tertulis dan dilengkapi dengan alasan keberatan disertai penjelasan mengenai hubungan atau kaitan pihak yang mengajukan keberatan dengan pemblokiran dan Penyitaan yang diblokir dan disita serta bukti, dokumen asli, atau salinan yang telah dilegalisasi yang menerangkan sumber dan latar belakang aset.



      ~137~

      Setiap Orang atau korporasi dapat mengajukan keberatan terhadap pelaksanaan pemblokiran dan Penyitaan aset. Pengajuan keberatan terhadap pelaksanaan pemblokiran dan Penyitaan aset disampaikan kepada penyidik, penuntut umum, Jaksa Pengacara negara atau hakim. Jangka waktu pengajuan keberatan dilakukan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak pemblokiran dan Penyitaan dilakukan. Keberatan disampaikan secara tertulis dan dilengkapi dengan alasan keberatan disertai penjelasan mengenai hubungan atau kaitan pihak yang mengajukan keberatan dengan pemblokiran dan Penyitaan yang diblokir dan disita serta bukti, dokumen asli, atau salinan yang telah dilegalisasi yang menerangkan sumber dan latar belakang aset.

      Jika keberatan diterima, maka harus dilakukan pencabutan pelaksanaan Pemblokiran oleh instansi berwenang yang melakukan Pemblokiran. berdasarkan permintaan atau perintah dari penyidik, penuntut umum, jaksa pengacara negara atau hakim. Dalam hal keberatan ditolak, pihak yang mengajukan keberatan dapat mengajukan gugatan perdata dipengadilan.

      Hakim pengadilan dapat memerintahkan pemblokiran dan penyitaan aset untuk kepentingan pembuktian dipengadilan berdasarkan permintaan jaksa pengacara negara.

      Jaksa Pengacara Negara dan hakim pengadilan yang memerintahkan Pemblokiran, dan penyitaa, dan lembaga yang melaksanakan Pemblokiran Aset Tindak Pidana yang beritikad baik berdasarkan undang-undang tidak dapat dituntut secara perdata maupun secara pidana kecuali terdapat perbuatan penyalah gunaan wewenang. Setelah aset di blokir dan atau disita, Penyidik atau Penuntut Umum dan jaksa pengacara negara segera menyiapkan berkas gugatan perampasan aset, berkas guagatan perampasan aset terdiri dari, jenis Aset yang dimohonkan untuk dirampas, alat bukti yang menjadi dasar gugatan Perampasan Aset.

      Perlu dijelaskan bahwa kekhawatiran yang akan terjadi ketika dilakukan pemblokiran dan penyitaan ternyata masih terdapat keraguan oleh jaksa pengacara negara bahwa aset tersebut adalah aset tindak pidana maka potensi pelanggaran Hak atas pribadi akan terjadi. Untuk menghindari hal tersebut makanisme yang dibuat memang sangat ketat dan cepat, serta harus membuka ruang pihak berkepentingan untuk mendapatkan informasi terhadap aset yang diblokir dan disita.

      Semakin lama aset di blokir dan disita disatusisi sangat mempengaruhi hak pribadi seseorang dan hak menikmati aset tersebut yang merupakan hak asasi. Sehingga mekanisme beracara dalam perampasan aset merupakan mekaniseme yang cepat. Berbeda dengan mekanisme perdata pada umunya.

      3. Penilaian Pengadilan.

      Jaksa pengacara negara dalam mewakili negara, wajib mengajukan berkas gugatan permohonan perampasan aset kepengadilan dalam waktu 10 hari setelah pemblokiran dan penyitaan aset dilakukan. Pengaturan jarak antara pemblokiran dan pengajuan gugatan atau permohonan perampasana aset ditujukan untuk tindakan pemblokiran dan penyitaan aset harus telah secara bukti dan keyakinan yang kuat benar merupakan aset tindak pidana sehingga ketika barang akan di blokir dan disita sudah pasti aset tersebut akan diajukan kepengadilan.
       Gugatan permohonan perampasan aset merupakan kewenangan pengadilan perdata, proses pemeriksaan enggunakan proses acara yang cepat. Maksimal 40 Hari, apabila hingga 40 Hari tidak dapat diputuskan maka harus dihentikan dan dapat dialihkan melalui proses perdata biasa.
       Pengajuan gugatan dilakukan secara tertulis, diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat secara tertulis yang dilengkapi dengan berkas Gugatan. Adapun alur dalam proses ini adalah sebagimana tergambarkan sebagi berikut:

      Gambar 4

       Setelah Pengadilan menerima berkas Gugatan Perampasan Aset dari jaksa pengacara negara, maka Ketua Pengadilan menentukan perkara yang disampaikan tersebut termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya atau tidak.
       Gugatan Diajukan ke Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Perampasan Aset adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya (yuridiksi) meliputi tempat keberadaan Aset Tindak Pidana.  Apabila terdapat beberapa aset yang berada dalam satu provinsi, Pengadilan Negeri meminta Pengadilan Tinggi untuk menunjuk Pengadilan Negeri yang akan memeriksa diwilayah Pengadilan tinggi tersebut. Apabila terdapat beberapa aset yang berada dalam beberapa provinsi, Pengadilan Negeri meminta Mahkamah Agung untuk menunjuk Pengadilan Negeri yang akan memeriksa gugatan tersebut. Aset Tindak Pidana yang dimohonkan untuk dirampas berada di luar negeri maka permohonan Perampasan Aset diajukan kepada Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.

       Gugatan ditolak, Apabila ternyata terdapat beberapa Aset Tindak Pidana diluar yuridiksi, keputusan ketua pengadilan disampaikan ke jaksa pengacara negara beserta berkas gugatan perampasan aset.

       Apabila gugatan diterima, maka Ketua Pengadilan melakukan:

      1. memerintahkan Panitera untuk mengumumkan permohonan Perampasan Aset tersebut pada papan pengumuman dan diinformasikan instansi terkait contohnya: Badan Pertanahan Nasional terhadap aset tanah, atau bank terhadap aset rekening, serta disebar luaskan dimedia.
      2. menunjuk majelis hakim atau hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara tersebut.

       Kemudian Hakim yang ditunjuk segeran menetapkan hari sidang, serta memerintahkan salinan Gugatan Perampasan Aset disampaikan kepada para pihak yang diketahui berkepentingan dengan Aset tersebut. Apabila terdapat pihak yang mengajukan keberatan terhadap Gugatan Perampasan Aset maka akan menjadi Pihak Ketiga berkeberatan, Panitera menyampaikan salinan Gugatan Perampasan Aset tersebut kepada pihak yang mengajukan keberatan. Pihak Ketiga berkeberatan dimasukkan sebagai pihak intervensi dalam gugatan tersebut. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan pemberitahuan Pihak Ketiga berkeberatan sebagai pihak dalam gugatan Aset tersebut, dan memberitahukan kepada jaksa pengacara negara.

      Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik Dalam hal Aset Tindak Pidana yang diajukan permohonan Perampasan Aset terdapat milik pihak ketiga yang beritikad baik, pihak ketiga tersebut dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan Perampasan Aset kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pihak ketiga yang beritikad baik wajib membuktikan hak kepemilikannya atas Aset.

      Hakim dalam menetapkan hari sidang memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk memanggil Jaksa Pengacara Negara dan/atau pihak yang mengajukan keberatan untuk hadir di sidang pengadilan.


       Dalam menetapkan hari persidangan, ketua majelis hakim harus mempertimbangkan jarak antara alamat tempat tinggal pihak yang berperkara dengan pengadilan tempat persidangan dilakukan. Tenggang waktu antara pemanggilan pihak yang berperkara dan waktu sidang tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari kerja, kecuali dalam hal sangat perlu dan mendesak untuk diperiksa dan hal tersebut dinyatakan dalam surat panggilan.

       Surat panggilan melalui alamat tempat tinggal para pihak. Dalam hal alamat tempat tinggal para pihak tidak diketahui, surat panggilan disampaikan melalui tempat kediaman terakhir para pihak.

       Dalam hal para pihak tidak ada di tempat tinggal atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Desa, Lurah, atau nama lainnya dalam daerah hukum tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir para pihak. Dalam hal terdapat pihak yang ditahan dalam rumah tahanan negara, surat panggilan disampaikan melalui pejabat rumah tahanan negara. Dalam hal Korporasi menjadi pihak maka panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat kedudukan Korporasi sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar Korporasi tersebut. Salah seorang pengurus Korporasi wajib menghadap di sidang pengadilan mewakili Korporasi. Penerimaan surat panggilan oleh para pihak, oleh orang lain, atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.  Proses Persidangan Paling lama 30 Hari kerja, Pada hari sidang yang telah ditetapkan, pengadilan wajib membuka persidangan. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia.

       Hakim membuka sidang perkara permohonan Perampasan Aset dengan menyebut objek Perampasan Aset dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. Jaksa pengacara negara menyampaikan Gugatan Perampasan terhadap Aset beserta dalil tentang alasan Aset tersebut harus dirampas. Jaksa pengacara negara menyampaikan alat bukti tentang asal usul dan keberadaan Aset Tindak Pidana yang mendukung alasan Perampasan Aset.

       Dalam hal diperlukan, Jaksa pengacara negara dapat menghadirkan Aset Tindak Pidana yang akan dirampas atau berdasarkan perintah Hakim dilakukan pemeriksaan terhadap Aset Tindak Pidana di tempat Aset tersebut berada.

       Dalam hal terdapat perlawanan dari pihak Berkeberatan, Hakim menerapkan asas pembuktian terbalik dimana pihak ketiga yang keberatan harus mengajukan alat bukti berkenaan dengan keberatan tersebut. Sehingga pihak ketiga yang keberatan harus memembuktikan bahwa harta tersebut diperoleh dari hasil yang sah.

       Setelah mendengarkan pembuktian dari pihak yang keberatan, Jaksa pengacara negara dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari pihak yang keberatan selama persidangan. Begitupun dengan Pihak ketiga yang berkeberatan.

       Hakim mempertimbangkan seluruh dalil yang diajukan oleh Penuntut Umum dan/atau pihak yang keberatan sebelum memutus untuk menerima atau menolak permohonan Perampasan Aset. Dalam hal Hakim menyatakan Gugatan Perampasan Aset diterima maka Hakim mengeluarkan putusan yang menyatakan Aset tersebut dirampas untuk negara. Apabila Perampasan Aset ditolak, Hakim mengeluarkan putusan yang menyatakan Aset tersebut dikembalikan kepada yang berhak.

       Terhadap putusan pengadilan dapat diajukan upaya hukum kasasi. Jangka waktu untuk mengajukan upaya hukum kasasi tersebut adalah 3 (tiga) hari sejak putusan dibacakan. Dalam hal terjadi kasasi maka pengadilan negeri mengajukan perpanjangan pemblokiran dan penyitaan aset.

       Ketua Mahkamah Agung menunjuk Hakim Pemeriksaan Kasasi setelah upaya hukum kasasi diajukan ke mahkamah Agung. Dalam melakukan pemeriksaan hakim memeriksa bukti bukti dan landasan putusan Hakim di PN, dalam waktu maksimal 10 Hari kerja, Hakim kasasi telah memberikan keputusannya. Dalam hal pengajuan kasasi maka Hakim PN mengabulkan perpanjangan Pemblokiran dan Penyitaan terhadap Aset.

      Gambar 6

      4. penyitaan dan Pengelolaan aset

       sesuai Bab I Pasal 2 huruf (g) UNCAC 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten.


       Lembaga Pengelola Aset (LPA) dilaksanakan oleh Menteri Keuangan, LPA bertanggung jawab atas penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan Aset Tindak Pidana yang ada di bawah penguasaannya. Penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan Aset Tindak Pidana dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan nilai Aset tersebut. Dalam melakukan penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan Aset Tindak Pidana, LPA dapat menunjuk pihak lain untuk membantu melakukan pemeliharaan Aset tersebut. Tugas Pengelolaan Aset, meliputi:

       a. penyimpanan Aset Tindak Pidana;
       b. pengamanan Aset Tindak Pidana;
       c. pemeliharaan Aset Tindak Pidana;
       d. penilaian Aset Tindak Pidana;
       e. pemindahtanganan Aset Tindak Pidana;
       f. penggunaan Aset Tindak Pidana;
       g. pemanfaatan Aset Tindak Pidana;
       h. pengawasan Aset Tindak Pidana; dan
       i. pengembalian Aset Tindak Pidana.

       LPA juga bertugas, menerima Aset hasil sitaan atau rampasan yang diserahkan oleh Penyidik atau Penuntut Umum dan jaksa pendukungnya; pengacara membantu negara termasuk Dokumen dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.


       LPA dapat melakukan penjualan Aset Tindak Pidana yang dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Penjualan Aset Tindak Pidana dilakukan melalui kantor lelang. Hasil lelang Aset Tindak Pidana disetor langsung ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Terhadap aset yang dirampas, Pengelolaan Aset dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan barang milik negara.


       Sebelum terdapat putusan Perampasan Aset yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPA dapat memberikan izin sementara kepada pihak ketiga yang telah menggunakan atau memanfaatkan Aset tersebut dengan persyaratan sebagai berikut:

       a. tidak mengubah bentuk fisik Aset;
       b. tidak dialihkan penggunaan atau pemanfaatannya;
       c. dilakukan pemeliharaan dan perawatan; dan
       d. tidak dipergunakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum.

      Segala biaya perawatan, pajak, rekening tagihan, dan pengeluaran lain yang diperlukan selama menggunakan atau memanfaatkan aset, dibebankan kepada pihak ketiga yang menggunakan atau memanfaatkan aset tersebut.


       Terhadap Aset Tindak Pidana yang dirampas untuk negara, dapat dilakukan pengggunaan atau pemanfaatan setelah memperoleh pemanfaatan Aset pertimbangan teknis persetujuan LPA. Penggunaan atau rampasan dilaksanakan berdasarkan dengan memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan umum. Pengembalian Aset Tindak Pidana pihak ketiga atau pihak lain baik sebagian maupun seluruhnya, dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menteri melakukan audit atas pelaksanaan pengembalian Aset Tindak Pidana.


      Perlu juga pengaturan mengatur bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya Perampsan aset diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang atau hasil yang lain. Selain itu jaksa agung wajib melaporkan mengenai setiap tindakan perampasan aset yang dilakukan kepada Presiden, DPR, DPD dan BPK.


      Berikut adalah konsep gambaran tahapan dan waktu perampasan aset. Yaitu:


      Tabel 4
      Konsep perampasan Aset
      NO TAHAPAN PELAKSANA WAKTU KETERANGAN
      1 Penemuan alat bukti Penyidik atau penuntut umum Dalam proses penyidikan atau penuntutan dipengadilan
      2 Permintaan tindakan perampasan aset Penyidik atau penuntut umum 1 hari setelah ditemukan aset tindak pidana Diajukan ke jaksa agung
      3 Penilaian atas permintaan tindakan perampasan aset Jaksa agung 5 hari Setelah surat diterima
      4 Penunjukkan jaksa pengacara negara Jaksa agung Dilakukan apabila hasil penilaian setuju perlu dilakukan tindakan perampasan aset
      5 Penelusuran Jaksa pengacara negara bersama penyidik atau Dapat meinta data dan informasi dari






      ~148~
      NO TAHAPAN PELAKSANA WAKTU KETERANGAN
      penuntut umum orang atau korporasi (instansi)
      6. Pemblokiran dan penyitaan aset Jaksa pengacara Negara 45 Hari dapat diperpanjang 1 (satu) Kali Atas rekomendasi penyidik atau penuntut umum
      7. Instansi pemblokir 1 hari setelah permintaan pemblokiran diterima Berdasarkan surat permintaan jaksa pengacara negara
      8. Menyiapkan berkas gugatan permohonan perampasan aset Jaksa pengacara negara bersama penyidik atau penuntut umum Maksimal 10 hari setelah pemblokiran dilakukan
      9. membuka Komplain terhadap tindakan pemblokiran dan penyitaan aset Jaksa pengacara negara Maksimal 5 hari setelah komplain diterima
      10. Komplain terhadap Tindakn Pemblokiran dan penyitaan aset Jaksa pengacara negara bersama penyidik atau penuntut umum 5 hari setelah aset di blokir dan disita
      11. Pengajuan gugatan permohonan perampasan aset Jaksa pengacara negara 10 hari setelah aset pemblokiran dan penyitaan
      12. Penerimaan gugatan permohonan perampasan aset panitera
      13. Penilaian yuridiksi, dan penentuan hakim, oleh ketua pengadilan negeri Ketua Pengadilan Negeri 5 hari setelah menerima gugatan permohonan
      14. Pengumuman Panitera 5 hari Untuk menginformasikan dan membuka ruang bagi pihak ketiga mengajukan keberatan
      NO TAHAPAN PELAKSANA WAKTU KETERANGAN
      15. pemeriksaan di pengadilan Hakim atau majelis Hakim 30 hari
      • Memanggil para pihak.
      • Pihak ketiga berkeberatan wajib membuktikan secara terbalik.
      16. Hakim memperpanjang pemblokiran dan perampasan apabila pihak ketiga berkeberatan mengajukan kasasi
      17. Kasasi 10 hari setelah diterima Kasasi perampasan aset diprioritaskan dalam pemeriksaan perdata dimahkamah agung.
      18. Tindakan perampasan aset atau pengembalian aset atas keputusan Pengadilan Jaksa Pengacara Negara Maksimal 3 hari setelah putusan hakim Aset yang dirampas diserahkan ke LPA
      19. Pengololaan Aset Lembaga Pengelolaan Aset

      5. Kerjasama Internasional pengembalian aset

      Kerjasama internasional mengenai bantuan untuk Penelusuran, Pemblokiran, Penyitaan, Perampasan, dan Pengelolaan Aset Tindak Pidana dilakukan berdasarkan perjanjian, baik bilateral, regional, maupun multilateral atau  atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

       Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil Aset Tindak Pidana yang dirampas:

      1. Di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan putusan Perampasan Aset atas permintaan pemerintah.
      2. Di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan Perampasan Aset atas permintaan negara asing.

       Adapun nilai besaran jatah negara yang membantu ini dapat dirundingkan dengan mempertimbangkan peranan negara tersebut. PBB telah menyediakan model bilateral agreement mengenai sharing forfeited assets ini. Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam perumusan ketentuan mengenai sharing forfeited assets adalah proceeds of crime dari kejahatan asal apa yang dapat dilakukan sharing-nya. Untuk proceeds of crime yang berasal dari korupsi yang notabene uang rakyat, misalnya, maka tidak dapat dilakukan sharing dengan negara lain.

       Prinsip mendasar yang dituangkan dalam UNCAC yaitu terdapat dalam Bab V mengenai pengembalian aset (asset recovery). Mengenai pengembalian aset ini, negara-negara peserta diwajibkan untuk memberikan kerjasama dan bantuan yang seluas-luasnya. Pasal 53 UNCAC menyakan bahwa setiap negara peserta wajib, sesuai dengan hukum nasionalnya:  - mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan  negara peserta yang lain untuk memprakarsai gugatan perdata di pengadilan-  pengadilannya untuk menegakkan hak atas atau kepemilikan atas kekayaan  yang diperoleh melalui perbuatan kejahatan yang ditetapkan berdasarkan  konvensi ini.

       - Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan  pengadilan-pengadilannya memerintahkan orang-orang yang telah melakukan  kejahatan-kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini untuk  membayar kompensasi atau ganti rugi kepada negara peserta yang lain yang  telah dirugikan oleh kejahatan-kejahatan tersebut.

       - Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan  pengadilan-pengadilannya atau otoritas-otoritas yang berkompeten, ketika  harus memutus mengenai penyitaan untuk mengakui klaim negara peserta lain  sebagai pemilik sah dari kekayaan yang diperoleh melalui perbuatan  kejahatan yang ditetapkan sesuai dengan konvensi.

       Pengembalian dan penyerahan aset kepada negara korban. Selanjutnya, dalam UNCAC 20083 juga diatur bahwa perampasan harta pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”, dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu melalui proses penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 53 s/d Pasal 57 UNCAC).228 Apabila disita akan dinilai apakah akan dilelang atau dimanfaatkan oleh negara. Penilaian dilakukan oleh Lembaga Pengelola Aset.

      D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Perampasan Aset

      Secara umum, rejim NCB bisa lebih effektif dalam mengambil aset yang dicuri oleh para koruptor dibandingkan melalui rejim pidana. Hal ini dikarenakan rejim NCB mempunyai kelebihan yang mempermudah pengambilan aset dalam proses pembuktian di persidangan. NCB menggunakan rejim hukum perdata yang menggunakan standar pembuktian yang lebih rendah daripada standar yang dipakai oleh proses hukum pidana.229 Selain itu, dalam implementasinya, NCB menggunakan sistem pembuktian terbalik di mana pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, berhubungan atau digunakan untuk kejahatan.230 Contohnya, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan dari si koruptor dan membandingkan dengan aset yang dimilikinya. Jika aset tersebut melebihi dari jumlah pendapatan si koruptor, maka tugas si koruptorlah untuk membuktikan bahwa aset tersebut dia dapat melalui jalur yang sah.231

      Gugatan NCB yang bersifat in rem ini juga menguntungkan JPN dalam hal kecepatan menyita suatu aset agar tidak dilarikan. Gugatan perdata dalam UU TIPIKOR hanya dapat dilakukan setelah adanya status tersangka,

      ————
      228 Ibid.
      229 Ibid, hlm. 39.
      230 Anthony Kennedy, “Designing a Civil Forfeiture System: An Issues List for Policymakers and Legislators”, 13 (2) (Journal of Financial Crime, 2006), hlm. 140.
      231 Anthony Kennedy, “An Evaluation of the Recovery of Criminal Proceeds in the United Kingdom”, Op. Cit, hlm. 38.
      terdakwa atau terpidana. Mengingat cepatnya aset berpindah tangan, NCB mempunyai kelebihan untuk melakukan penyitaan karena gugatan yang diajukan dapat dimasukan ke pengadilan sebelum adanya status tersangka atau bahkan sebelum pelaku tindak pidananya diketahui identitasnya.232 Kelemahan gugatan perdata dalam UU TIPIKOR inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa perlunya Indonesia mengadopsi instrumen NCB. Namun perlu diakui bahwa pengadopsian instrumen ini di kerangka hukum Indonesia tidaklah mudah mengingat prinsipnya yang berbeda dengan prinsip hukum perdata Indonesia pada umumnya.

      Hal-hal tersebut di ataslah yang menyebabkan NCB menjadi suatu alternatif yang sangat baik apabila jalur pidana tidak berhasil. Bahkan dalam prakteknya, ditemukan bahwa prosedur NCB dinilai lebih efektif dalam mengambil kembali aset-aset yang dicuri, meskipun prosedur ini tidak luput pula dari berbagai kelemahan seperti proses yang lambat dan biaya tinggi.233

      Keberhasilan penggunaan NCB di negara-negara maju ini mungkin bisa dijadikan wacana bagi Indonesia. Indonesia mungkin bisa turut menerapkan prosedur (NCB) ini karena akan memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali Jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana.234 Selain itu, sering pula dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka

      ————
      232 Bismar Nasution, Op.Cit., hlm. 163.
      233 Ibid, hlm. 38.
      234 Bismar Nasution, Op.Cit., hlm. 160.
      menjadi sakit, hilang atau meninggal sehingga mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan NCB karena objek dari NCB adalah asetnya, bukan koruptornya. Dengan demikian, meskipun si koruptor itu sakit, hilang atau meninggal dalam proses persidangan, bukanlah menjadi suatu halangan235 dalam rezim NCB.

      Seiring dengan era globalisasi seperti sekarang ini, yang mana tindak kejahatan sudah pula melintasi batas negara (cross border), maka untuk kepentingan mengejar uang hasil tindak kejahatan yang telah dibawa ke luar negeri dapat dilakukan dalam kerangka asset recovery. Dalam hal ini, proses persidangan perdata menggunakan seperti sekarang ini yang dibantu oleh MLA dan rejim anti pencucian uang dapat mempermudah Indonesia untuk mengambil aset-aset koruptor yang ada di luar negeri.236 Namun tentu saja sebelum mengadopsi NCB harus lebih dahulu dipertimbangkan berbagai macam aspek, serta dampak yang akan mengikutinya. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengimplementasian sistem NCB di Indonesia.237 Alternatif Sehubungan dengan itu, maka untuk mengimplementasikan NCB di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.238

      Pertama, perlu adanya suatu re-structuring dalam legal framework di Indonesia baik hukum materil maupun formil, yaitu hukum acara perdata. Saat ini, pemerintah Indonesia


      ————

      235 Ibid.
      236 Ibid.
      237 Ibid, hlm. 161.
      238 Ibid. masih menggunakan hukum formil perdata yang hanya berlaku untuk kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Oleh karena itu pengimplementasian sistem ini harus diikuti dengan reformasi di bidang hukum acara perdata agar permasalahan yang selama ini dihadapi oleh rejim anti pencucian uang seperti permasalahan penerapan pembuktian terbalik dan predicate crime dapat diminimalisir.239


      Kedua, NCB, terutama yang sifatnya ekstra territorial menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan bahwa Indonesia masih kurang memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Dalam hal ini, Indonesia dapat melihat langkah yang dilakukan oleh United Kingdom dengan menggunakan tenaga ahli dari luar (oursourcing) untuk membantu proses pengambilan aset.240 Selain itu, Indonesia mungkin bisa meniru langkah yang diambil negara-negara lain dengan mendirikan suatu lembaga independen yang secara khusus menangani asset recovery (assets recovery agencies). Dengan didirikannya lembaga tersebut, maka proses asset recovery bisa menjadi lebih terarah dan terorganisir.


      Ketiga, perlu dipertimbangkan untuk memperluas jurisdiction scope dari NCB ke wilayah di luar jurisdiksi Indonesia seperti yang dilakukan oleh Selandia Baru dan Fiji.241 Hal ini dikarenakan banyaknya aset-aset koruptor Indonesia yang dilarikan ke luar negeri. Selain itu, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, keberhasilan proses NCB terutama


      ————————

      239 Ibid.
      240 Anthony Kennedy, "An Evaluation of the Recovery of Criminal Proceeds in the United Kingdom", Op. Cit., hlm. 39.
      241 Anthony Kennedy, "Designing a Civil Forfeiture System: An Issues List for Policymakers and Legislators", Op. Cit, hlm. 144. untuk pengambilan aset di luar negeri sangat membutuhkan MLA. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk memperluas scope UU MLA ke gugatan perdata agar aset koruptor dapat diambil karena selama ini UU MLA hanya menfasilitasi bantuan hukum khusus di bidang pidana.242

      Keempat, perlu adanya amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (UU MLA). Saat ini UU MLA hanya mengatur tentang bantuan hukum dalam masalah pidana saja.243 Hal ini tentu dapat menjadi hambatan terhadap efektivitas dari NCB terutama apabila instrumen ini dipakai untuk menyita dan mengambilalih aset di luar negeri. Oleh karena itu, perlu perlu dipertimbangkan untuk memperluas jurisdiction scope dari UU MLA dengan ditambahnya NCB sebagai salah satu objek yang dapat diminta bantuannya kepada negara asing.244

      Di samping itu, pemerintah juga harus memberdayakan MLA dengan secara progresif membuat perjanjian-perjanjian MLA dengan negara lain. Saat ini Indonesia masih sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti AS, Filipina atau Thailand yang telah membuat kurang lebih 50 perjanjian MLA.245 Selain itu, perjanjian bilateral maupun multilateral yang sudah di tandatangani pun masih ada yang belum diratifikasi seperti perjanjian bilateral dengan


      ————————

      242 Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 UU MLA.
      243 Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 UU MLA.
      244 Anthony Kennedy, “Designing a Civil Forfeiture System: An Issues List for Policymakers and Legislators", Op. Cit , hlm. 144.
      245 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Jakarta Book Terrace & Library, 2007), hlm. 358. Korea atau perjanjian multilateral di tingkat ASEAN.246 Tanpa adanya ratifikasi tersebut, Indonesia tidak dapat meminta bantuan kepada Negara-negara di ASEAN seperti Singapura yang selama ini diduga sebagai tempat penyimpanan aset-aset para koruptor. Oleh karena itu, pengembangan penggunaan MLA harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan mengintensifkan kerjasama dengan negara-negara lain.247


      Kelima, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat pada umumnya dan aparat penegak hukum pada khususnya mengenai konsep dan kerangka hukum dari NCB. Seperti yang telah selama ini menjadi isu di Amerika Serikat, NCB adalah instrumen yang penuh dengan kontroversial. Dikhawatirkan tanpa adanya suatu pemahaman yang baik kepada masyarakat dan aparat penegak hukum, instrumen ini akan mengalami berbagai hambatan dalam pelaksanaaanya seperti yang selama ini dialami oleh rejim anti anti pencucian uang.248 Terlebih lagi seperti halnya money laundering, instrumen ini banyak. mengadopsi berbagai prinsip hukum baru yang selama ini tidak dikenal di Indonesia, misalnya sistem pembalikan beban pembuktian. Sehingga perlu ada suatu kesamaan dalam pemahaman konsep dan kerangka hukum NCB di kalangan aparat penegak hukum.249


      Keenam, agar perampasan aset berdasarkan NCB ini dapat diterapakan secara efektif dan efisien, maka tidak dibentuk lembaga atau institusi baru, melainkan memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum bersama

      ————————

      246 Ibid.
      247 Bsmar Nasution, Op. Cit., 164 165.
      248 Tim Penyusun, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta: PPATK, 2006), hlm. 16-18.
      249 Bismar Nasution, Op. Cit., 165. jaksa pengacara negara yang sudah mempunyai sarana dan prasarana serta pengalaman dalam melakukan tugas penyidikan, prapenuntutan, Gugatan atau permohonan perdata, dan eksekusi untuk melakukan penyidikan, tindakan terhadap perampasan aset hasil tindak pidana tersebut berdasarkan NCB ini. Namun untuk menjaga nilai ekonomis dan tujuan pemulihan kerugian keuangan negara atau pihak ke tiga, perlu dibentuk lembaga khusus yang menangani pengelolaan aset-aset hasil tindak pidana yang disita dan/atau dirampas berdasarkan ketentuan NCB ini.

      Ketujuh, potensi terjadinya Moral Hazard oleh oknum penegak hukum, bahwa potensi penyelewengan itu akan ada dalam setia mekanisme apapun, tetapi mengupayakan mekanisme yang terbuka, check n balance, serta akuntabel maka potensi penyalah gunaan kewenangan seperti melakukan pemblokian dan penyitaan suatu aset tidak dilaksanakan dengan semena mena, dengan mengatur sistem yang tegas seperti adanya bataswaktu dalam melaksanakan hukum acara, diharapkan potensi penyalahgunaan dapat di antisipasi.

      Terakhir, perlu dipertimbangkan aspek check and balance sebelum dan sesudah dilakukan proses NCB. Hal ini penting mengingat proses perampasan aset hasil kejahatan cenderung rawan akan disalahgunakan oleh para aparat penegak hukum. Sebagai perbandingan, Indonesia dapat menggunakan cara seperti yang dilakukan oleh Thailand dengan memberikan komisi kepada lembaga khusus yang menangani proses asset recovery sesuai dengan kinerja lembaga tersebut untuk meningkatkan insentif dalam pengejaran aset serta untuk menjaga para aparat yang ditunjuk dari praktik suap oleh para koruptor yang ingin menyelamatkan asetnya. Hal ini juga harus dibarengi pula dengan prinsip keterbukaan, dengan landasan asas akuntabilitas dan transparansi yang tinggi, agar proses penggunaan NCB dan pemberian komisi tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.250


      Dari penjelasan mengenai berbagai aspek pelaksanaan NCB sebelumnya, walaupun secara prinsipil mereka mengadopsi konsep NCB yang sama, dapat terlihat bahwa tiap-tiap negara mempunyai karakter pelaksanaan yang sedikit berbeda satu dengan lainnya.251 Australia misalnya mengaodopsi asas retroaktif dan memberlakukan Unexplained wealth atau kekayaan yang tidak jelas asal-usulnya menjadi subjek NCB tanpa harus terbukti terkait dengan tindak


      ——————

      150 Secara umum ada 4 (empat) fungsi dari keterbukaan dalam mengawasi kinerja pemerintah dan politik. Pertama, kemampuan untuk dapat mendeteksi jalur uang. Kemampuan untuk mendeteksi jalur uang atau membangun suatu jejak audit (audit trail) adalah pertahanan pertama dalam melawan terhadap ketidakteraturan sistem dan dapat mempunyai suatu dampak pada demokrasi dan pemerintahan. Kedua, keterbukaan sebagai tindakan pencegahan. Keterbukaan dapat berfungsi untuk memonitor dan mengungkapkan informasi yang dapat membantu menutup celah antara bisnis dan politik. Dengan adanya keterbukaan maka akan terbentuk sebuah komunitas pengawas dan media yang memberikan analisa tentang keuangan politis dan menciptakan masyarakat yang lebih terdidik. Ketiga, keterbukaan merupakan tindakan yang tidak terlalu menimbulkan polemik. Adanya prinsip Keterbukaan bukanlah serta merta menjadikannya efektif sebagai mekanisme control untuk batasan atau larangan politik uang, tetapi hal ini merupakan suatu perubahan yang relatif lebih mudah diterima dan didukung oleh para pejabat publik dan partai politik. Hal ini terbukti dari pengalaman di beberapa negara yang telah meloloskan hukum mengenai keterbukaan aset sebagai suatu metoda tidak langsung untuk memerangi penyalahgunaan uang dalam politik. Keempat, keterbukaan membangun kepercayaan terhadap proses demokrasi. Di dalam prinsip demokrasi, yang mendasari prinsip keterbukaan adalah bahwa semakin transparan dan terbuka pembiayaan kegiatan publik dan politik dalam suatu negara maka masyarakat dari negara tersebut akan semakin percaya pada pemerintah. Metoda pembiayaan proses pemilihan yang dirahasiakan atau disembunyikan akan menimbulkan sikap skeptis dan sifat sinis dari masyarakat terhadap politik demokratis. Lihat Gene Ward, “The role of disclosure in combating corruption in political finance”, Global Corruption Report 2004, Transparency International, Jerman, 2004, hlm. 39-41.

      251 Secara umum pelaksanaan NCB di Amerika Serikat, Australia dan Filipina mempunyai kesamaan yaitu: Pertama, penyitaan aset tanpa harus terlebih dahulu melakukan gugatan pidana. Kedua, proses penyitaan pada umumnya dilakukan secara independen terpisah dari proses gugatan pidana. Ketiga, pihak berwenang hanya perlu membuktikan dilakukannya kejahatan atau keterlibatan dalam suatu tindakan illegal sesuai dengan standar perdata. Keempat, adanya peraturan mengenai perlindungan terhadap innocent owners. kejahatan.252 Dengan demikian berbeda pula dengan Filipina yang hanya memperbolehkan upaya NCB untuk menyita dan mengambil aset berupa uang. Sedangkan NCB di Amerika Serikat memiliki cakupan dan jangkauan yang sangat luas, termasuk dalam hal mendebit rekening responden bank asing di bank Amerika. Namun, regulasi di Amerika Serikat hanya membatasi upaya NCB untuk aset-aset yang berhubungan langsung dengan tindak pidana.253


      Pendekatan untuk menekan tingkat kejahatan melalui penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Pendekatan seperti ini, akan memperbesar kemungkinan untuk mengambil kembali hasil dan instrumen tindak pidana tanpa dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan dalam penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.


      Berkurangnya tingkat kejahatan akan memberikan kepastian hukum serta jaminan perlindungan hukum di Indonesia. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan investor untuk melakukan investasi dan mengembangkan kegiatan usaha di Indonesia. Berkurangnya tingkat kejahatan juga akan meningkatkan keamanan dana-dana dan hasil-hasil pembangunan dalam kerangka “sustainable development”.254


      Penyitaan dan perampasan mengoreksi alokasi sumber daya ekonomi dari pelaku tindak pidana dan penggunaan kegiatan tindak pidana kepada kepentingan masyarakat secara

      ——————————————————————

      252 Bismar Nasution, Op.Cit., 165.

      253 Ibid, 165-166.

      254 Sustainable Development adalah suatu konsep pembangunan yang menekankan kepada kelestarian sumber-sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lain yang digunakan dalam pembangunan untuk kepentingan jangka panjang. keseluruhan, sehingga akan mempersempit ruanggerak khususnya para pelaku kejahatan yang terorganisisr dan transnasional, perkembangan kejahatan yang non konvensional tersebut menuntut peran negara dalam melakukan pencegahan dan kerjasama dengan negara lain. Sehingga perampasan aset tindak pidana sebenarnya menjadi salah satu metode negara dalam menjalankan tujuan negara sesuai dengan pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.


      -oOo-


    1. Bandingkan dengan pandangan rezim anti pencucian uang bahwa uang atau dana hasil kejahatan (proceeds of crime) adalah “aliran darah yang menghidupi kejahatan itu sendiri” (lifeblood of crime).
    2. Menurut Purwaning M. Yanuar, doktrin “Crimes does not pay” ini bukanlah hal yang baru. Ungkapan ini sudah muncul antara tahun 1942 — 1955 sebagai judul serial buku komik di Amerika yang ditulis Charles Biro yang diterbitkan oleh Ley Gleason Publications pada tahun tersebut. Doktrin ini aslinya berasal dari slogan FBI dan kemudian banyak digunakan dalam rezim hukum pencucian uang. Secara sederhana “crimes does not pay” berarti pelanggar hukum tidak mendapatkan keuntugan dari tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang dilakukannya. Lihat Purwaning M. Yanuar, Op.Cit., hlm. 10.
    3. Suatu doktrin yang mengandung prinsip keadilan umum, bahwa tidak seorangpun diperbolehkan mendapat keuntungan dari biaya yang dikeluarkan orang lain tanpa adanya restitusi dengan nilai wajar yang sebanding dengan kekayaan, jasa, atau keuntungan yang telah diperoleh pihak yang telah mendapatkan keuntungan tersebut. Walaupun doktrin ini kadangkala dilihat sebagai “guasi contractual remedy”. Doktrin ini mempunyai tiga elemen: pertama, penggugat harus telah memberikan kepada tergugat sesuatu yang bernilai dengan mengharapkan adanya kompensasi; kedua, tergugat harus telah mengakui, menerima, dan mendapatkan keuntungan dari apapun yang telah diberikan tergugat, ketiga, penggugat harus menunjukkan bahwa hal itu tidak adil atau tidak sewajarnya tergugat menikmati keuntungan dari tindakan tergugat tampa ada bayaran untuk itu (lihat: Dagan,. Unjust Enrichment: A Study of Private Law and Public Value. New York: (Cambridge Univ. Press Hanoch. 1997): Hurd, Heidi M. "Nonreciprocal Risk Imposition, Unjust Enrichment, and the Foundations of Tort Law: A Critical Celebration of George Fletchers Theory of Tort Law" page 78 (Notre Dame Law Review, 2003), Restatement of the Law, Restitution and Unjust Enrichment: Tentattve Draft. (Philadelphia, Pa 2001): Executive Office, American Law Institute, Smith, Stephen A. "The Structure of Unjust Enrichment Law: Is Restitution a Right or a Remedy”, Loyola of Los Angeles Law Review (winter, 2003) page 36. Lihat Purwaning M. Yanuar, Ibid, him. 10-11.
    4. Ibid, hlm. 13-14.
    5. Philippa Webb, dalam Wahyudi Hafiludin Sadeli, “Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Program Pasca Sarjana Magister Hukum (Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2010), hlm. 32.
    6. Ibid.
    7. Ibid, hlm. 33.
    8. Ibid.
    9. Ibid, hlm. 34.
    10. Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grand, and Larissa Gray, Op. Cit., hlm. 18.
    11. Wahyudi Hafiludin Sadeli, Op.Cit., hlm. 35.
    12. Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grand, and Larissa Gray, Op.Cit., hlm.18.
    13. Wahyudi Hafiludin Sadeli, Op.Cit., hlm. 35.
    14. Ibid.
    15. Ibid.
    16. Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grand, and Larissa Gray, Op.Cit., hml. 22.
    17. Ibid, hlm. 29-107.
    18. Wahyudi Hafiludin Sadeli, Op.Cit., hlm. 37.
    19. Ibid.
    20. Ibid, hlm. 39.
    21. Asset Forfeiture (“perampasan aset”) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyitaan aset, oleh Negara, baik yang (1) hasil kejahatan atau (2) instrumen kejahatan. Instrumen kejahatan adalah “properti” yang digunakan untuk memfasilitasi kejahatan, untuk mobil misalnya digunakan mengangkut narkotika ilegal. Terminologi asset forfeture yang digunakan bervariasi dalam yurisdiksi yang berbeda. Lihat: “Asset Forfeiture”, http://www.absoluteasttonomy.com/topics/Asset forfeiture, diakses tanggal 12 Desember 2011. Lihat juga Brenda Grantland yang mengemukakan bahwa asset Serfeture adalah suatu proses di mana pemerintah secara permanen mengambil properti dari pemilik, tanpa membayar kompensasi yang adil, sebagai hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilik, adalah salah satu senjata paling kontroversial dalam hal penegakan hukum semasa “Perang Melawan Narkotik”. Meskipun telah datang menjadi trend dalam beberapa tahun terakhir, tetapi asset forfeture sebenarnya sudah ada sejak zaman Biblical (Alkitab). Lihat: Brenda Grantland, “Asset Forfeiture: Rules and Procedures”, http://www.drugtext.org/library/articles/grantland01.htm, diakses tanggal 12 Desember 2011.
    22. World Bank, "Non-Conviction Based Asset Forfeiture as a Tool for Asset Recovery", http://www1.worldbank.org/finance/star_site/documents/non-conviction/part_a_03.pdf, diakses tanggal 12 Desember 2011. Pengertian "properti" menurut Pasal 2 huruf d UNCAC: adalah "Kekayaan" berarti aset bentuk apa pun, baik korporasi atau nonkorporasi, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, dan dokumen atau instrumen hukum yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset tersebut (“Property” shall mean assets of every kind, whether corporeal or incorporeal, movable or immovable, tangible or intangible, and legal documents or instruments evidencing title to or interest in such assets). Sedangkan di Pasal 2 angka 13 UU No. 8 Tahun 2010 (UU TPPU), istilah "properti" diterjemahkan sebagai "harta kekayaan", adalah "semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung".
    23. Menurut Pasal 2 huruf g UNCAC, "Perampasan" yang meliputi pengenaan denda bilamana dapat diberlakukan, berarti perampasan permanen atas kekayaan dengan perintah pengadilan atau badan berwenang lainnya (“Confiscation”, which includes forfeiture where applicable, shall mean the permanent deprivation of property by order of a court or other competent authority).
    24. David Scott Romantz, "Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res", 28 (Suffolk University Law Review, 1994) hlm. 390.
    25. Ibid, hlm. 389. Dalam Pasal 2 huruf f UNCAC ditetapkan, bahwa "Pembekuan" atau "penyitaan" berarti pelarangan sementara transfer, konversi, pelepasan atau pemindahan kekayaan, atau pengawasan sementara atau pengendalian kekayaan berdasarkan suatu perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan atau badan berwenang lainnya (“Freezing” or “seizure” shall mean temporarily prohibiting the transfer, conversion, disposition or movement of property or temporarily assuming custody or control of property on the basis of an order issued by a court or other competent authority).
    26. Tood Barnet, "Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act", 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hlm. 89. Lihat juga Cecil Greek, "Drug Control and Asset Seizures: A Review of the History of Forfeiture in England and Colonial America", http://www.fsu.edu/~crimdo/forfeiture.html
    27. Ibid. hal 90. Namun demikian, walaupun Deodand telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari NCB Asset Forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat terutama dalam bidang hukum perkapalan (Admiralty Law). Lihat: Leonard W. Levy, A license to Steal: The forfeiture of Property, (1996), hlm 19. Colonial Admiralty Courts sering sekali mengadili persidangan terhadap sebuah kapal daripada pemilik kapalnya. Ibid, hlm, 39.
    28. Ibid, hlm. 46.
    29. Barnet, Op.Cit, hlm. 91.
    30. Ibid, hlm. 92.
    31. Ibid.
    32. Romantz, Op.Cit., hlm. 391.
    33. Barnet, Op.Cit., hlm. 94.
    34. Stefan D. Cassella, "Provision of the USA Patriot Act relating to Asset Forfeiture in Transnasional Cases" 10 (4) (Journal of Financial Crime, 2003) hlm. 303.
    35. Ibid.
    36. Barnet, Op.Cit., hlm. 94.
    37. Stefan D. Cassela, The Case for Civil Forfeiture: Why In Rem Proceddings are an Essential Tool for Recovering the Proceeds of Crime, di sampaikan di 25th Cambrige International Symposium on Economic Crime 7 September 2007, hal. 2. Umumnya kasus-kasus perdata menggunakan nama para pihak yang dalam hal ini perseorangan atau badan hukum yang berfungsi sebagai penuntut dan yang dituntut seperti United States v. Jones atau International Airlines co. V Wahlberg.
    38. Barnet, Op.Cit., hlm. 94.
    39. Ibid.
    40. Ibid.
    41. Ibid.
    42. Bismar Nasution, Anti Pencucian Uang: Teori dan Praktek, (Bandung: Books Terrace & Libray, 2009), hlm. 149.
    43. Ibid.
    44. Ibid.
    45. 'Ibid, hlm. 149-150.
    46. Lihat casella, The Case for Civil Forfeiture: Why In Rem Proceddings are an Essential Tool for Recovering the Proceeds of Crime, Op.Cit, hlm 2-5.
    47. Ibid.
    48. Ibid.
    49. Bismar Nasution, Op.Cit., hlm. 150-151.
    50. World Bank, "Non-Conviction Based Forfeiture as a Tool for Asset Recovery", http://www1.worldbank.org/finance/star_site/documents/non-conviction/part_a_03.pdf, diakses tanggal 12 Desember 2012.
    51. Lihat juga: International Centre for Asset Recovery, ―"Non-Canviction Based (NCB) Forfeiture", http://www.assetrecovery.org/kc/node/c40081ed-785, diakses tanggal 12 Desember 2012.
    52. Ibid.
    53. Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grand, and Larissa Gray, Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, (Washington D.C.: The World Bank & UNODC, 2009), hlm. 14.
    54. Ibid, hlm. 17.
    55. Lihat kasus Austin v. United States, 509 U.S. 602, 611-13 (1993); Calero-Toledo v. Pearson Yacht Leasing Co., 416 U.S. 663, 680-82 (1974); "Bane of American Forfeiture Law — Banished at Last?", 62 Cornell Law Review, (1977), hlm. 768-770.
    56. Lihat kasus Goldsmith-Grant Co. v. United States, 254 U.S. 505 (1921), dan juga Finklestein, "The Goring Ox: Some Historical Perspective on Deodands, Forfeiture, Wrongful Death and the Western Notion of Sovereignty", 46 Temple Law Quarterly (1973), hlm. 169.
    57. Hale, History of the Pleas of the Crown, (1778), hlm. 418.
    58. Ibid, hlm. 354-367.
    59. Bishop, Commentaries on the Criminal Law, (7th ed. 1882), §827.
    60. Lihat kasus United States v. United States Coin & Currency, 401 U.S. 715, 720-21 (1971); Calero Toledo v. Pearson Yacht Leasing Co., 416 U.S. at 680-81; Goldsmith-Grant Co. v. United States, 254 U.S. at 510-11.
    61. Mantan Presiden Amerika Serikat George HW Bush pernah mengatakan, bahwa "hukum penyitaan aset mengizinkan (pemerintah) untuk mengambil keuntungan haram dari gembong mafia narkotika dan menggunakannya untuk menempatkan polisi lebih banyak lagi di jalanan". Lihat: "Asset Forfeiture", http://www.absoluteastronomy.com/topics/Asset forfeiture, diakses tanggal 15 Desember 2011.
    62. Lihat: "Forfeiture", http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/Asset+ forfeiture, diakses tanggal 15 Desember 2011.
    63. Ibid.
    64. R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Jakarta: Usaha Nasional, 1980) hlm. 43.
    65. Yahya Harahap, Hukum, Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). hlm. 299
    66. Ibid hlm. 299-300.
    67. Rangkuman Yurisprudensi II, Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Jakarta, 1977), hlm 270
    68. Ibid, hlm. 300
    69. ibid, hlm. 299
    70. Subekti, Kumpulan Putusan MA, (Bandung: Alumni, 1978), hlm. 243
    71. P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009), hlm. 206. Menurut Pasal 505 KUH Perdata, bahwa “barang bergerak" ini dapat dibagi atas benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.
    72. Lihat, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. terakhir dilihat tanggal 30 September 2015. Bandingkan dengan UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang
    73. Lihat, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. terakhir dilihat tanggal 30 September 2015. Bandingkan dengan Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
    74. Lihat, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. terakhir dilihat tanggal 30 September 2015. Istilah “Negara" yang berasal dikenal sekarang mulai timbul pada zaman renaissance di eropa dalam abad ke-15,pada masa itu telah mulai dipergunakan oleh orang istilah "Lo Stato" yang berasal dari bahasa italia yang kemudian menjelma menjadi perkataan "L'Etat" dalam bahasa Perancis, "the state" dalam bahasa inggris, atau "Der State" dalam bahasa jerman, "De staat” dalam bahasa Belanda. 112Kansil, C.S.T, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta:Rineka Cipta, 2008). hlm 2, Negara adalah suatu persekutuan bangsa dalam satu wilayah yang jelas batas-batasnya, dan mempunyai pemerintahan sendiri, yang mempunyai unsur negara terdapat didalamnya wilayah, penduduk, pemerintahan dan memiliki kedaulatan kedalam dan keluar. Pemerintahan adalah sebagai penyelenggara negara.
    75. Himpunan petunjuk Jaksa Agung Muda Perdata Dan Tata Usaha Negara (JAM DATUN), XXII, Penerbit:Kejaksaan Agung R.I. hlm. 2
    76. Marbun BN, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 88.
    77. Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006). hlm.57.
    78. Ibid. hlm.58
    79. Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
    80. (http://datunkejaritakengon. blogspot.com/p/artikel-hukum.html. pada tanggal 07 November 2013 pukul 20;30.)
    81. Profil Jaksa Agung Muda Perdata Dan Tata Usaha Negara Pada Tahun Ke-11, Op. cit., hlm. 1.
    82. Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2007), hlm. 75
    83. Op.Cit
    84. Op.Cit
    85. Lihat: World Bank, "Non-Conviction Based Asset Forfeiture as a Tool for Asset Recovery", http://www1.worldbank.org/finance/___star___site/documents/nonconviction/part_a_03.pdf, diakses tanggal 12 Desember 2011