Kalimantan/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB I

PERKEMBANGAN POLITIK.

REVOLUSI Nasional jang petjah ditanah-air kita ini, sesudah Djepang bertekuk-lutut telah menghantarkan bangsa dan rakjat Indonesia kepada tjita-tjita nasionalnja, jaitu untuk memiliki kemerdekaannja, lepas dari pendjadjahan asing. Kemerdekaan jang diproklamirkan itu, tidak sadja harus dipelihara dan disempurnakan, melainkan djuga meminta sjarat-sjarat tertentu, jakni harus dipertahankan sampai tetesan darah jang penghabisan. Revolusi Indonesia jang telah mengalirkan darah, tidak sadja terdjadi di Djawa, Sumatera, Sulawesi, Sunda Ketjil dan Maluku, melainkan djuga didaerah Kalimantan.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia menggemparkan seluruh djagad dunia, dan bagaikan besi berani jang mempunjai kekuatan daja menarik, seluruh rakjat Indonesia berdiri dibelakang proklamasi itu . Rakjat Kalimantan jang tidak segera dapat menerima berita proklamasi karena kekangan dari pemerintah Djepang, sekalipun agak terkebelakang mengetahuinja ― dengan serta-merta menjatakan berdiri dibelakang Pemerintah Republik. Ratusan mosi dan resolusi jang disampaikan kepada Pemerinath Republik oleh segenap rakjat, oleh para pemuda, para pemimpin dan oleh segenap kaum radja-radja jang menjatakan kebulatan tekadnja untuk memperdjuangkan daerah Kalimantan dalam tuntutan perdjuangan kemerdekaan.
Walaupun nilai daripada perdjuangan rakjat Kalimantan belum dapat disetarafkan dengan perdjuangan revolusi didaerah Indonesia lainnja, namun pergolakan politik di Kalimantan dapat didjadikan bahan untuk memperlengkapi sedjarah revolusi Indonesia. Dalam hal ini rakjat Kalimantan telah dapat menjumbangkan hasil perdjuangannja keharibaan Ibu Pertiwi dalam memperdjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa dan Nusa.
Hasil besar jang telah disumbangkannja itu, ialah membentuk satu pemerintahan Republik Indonesia Daerah Kalimantan pada bulan Nopember 1945, djustru pada saat tentera Belanda telah ada di Kalimantan. Akan tetapi Pemerintah jang telah didirikan sebagai hasil daripada revolusi, umurnja dapat dibatasi oleh tentera Belanda dengan kekuatan sendjata, dan diatas puing keruntuhan Pemerintah Republik itulah Belanda mendirikan pemerintahannja pula. Sedjak dihapuskannja Pemerintah Republik daerah Kalimantan, maka sedjak itu pulalah perkembangan politik tidak mempunjai arah tudjuan jang tertentu, karena selain mendapat tekanan dari musuh-musuh Republik, akan tetapi djuga mendapat antjaman bajonet sendjata Belanda. Dalam keadaan seperti itu, pentjinta-pentjinta Republik tidak dapat berbuat suatu apa, lain daripada menjerah untuk sementara waktu kepada kekuasaan jang mengongkongnja, dengan perasaan bentji dan dendam chasunat.
Politik pemerintahan Belanda jang dirumuskan menurut konsepsi-konsepsi kolonial menitik-beratkan segala usahanja untuk menarik kepertjajaan rakjat supaja membantunja. Sedjak itulah nampak pertarungan batin antara pemimpin-pemimpin di Kalimantan, apakah turut Belanda ataukah Republik Indonesia. Keadaan demikian berdjalan hampir mendjelang tahun 1946, dimana situasi politik dalam negeri semakin katjau, sedangkan bagi pemimpin-pemimpin Kalimantan jang lemah djiwanja segera mengambil langkah untuk menjelamatkan dirinja.
Politik ,,devide et impera" Belanda amat tadjam didjalankan, sehingga mereka dapat membikin garis pemisah jang amat djauh antara rakjat jang pro Republik dengan para pemimpin jang lunglai semangatnja jang dapat didjadikan alat untuk memperkokoh pemerintahannja. Kepada "pemipmin-pemimpin" jang lemah semangatnja , Belanda menawarkan kerdjasama dan mengadjak mereka untuk memberi isi pada pemerintahan Belanda-Nica, dalam mana didjandjikan kedudukan-kedudukan jang lajak bagi "pemimpin-pemimpin " jang telah djatuh dalam pengaruh kekuasaannja.
Pemerintah Belanda jang amat litjin mendjalankan politik di Kalimantan telah berhasil membentuk satu Panitia Pembantu Perobahan Pemerintahan Kalimantan Selatan pada bulan Djuli 1946. Demikian djuga ditiap-tiap kota dan desa telah dibentuk tjabang-tjabang Panitia tersebut. Sedang didaerah Kalimantan Barat dan Timur, Belanda telah menanam kekuasaannja kembali, jaitu dengan djalan memaksakan kehendaknja pada rakjat, disamping usahanja mengangkat kembali para kaum kerabat Sultan, jaitu sisa daripada keluarga Sultan dan radja-radja jang tidak sempat disembelih Djepang.
Untuk menggambarkan suasana politik di Kalimantan jang seluruhnja sudah dikuasai Belanda, maka mau tidak mau gambaran ini seolah-olah berbau Belanda, menilik suasananja, melihat objectifite:tnja dan kenjataannja, jang tidak dapat dilepaskan dari hubungan sedjarah pergolakan politik dan ketata-negaraan di Kalimantan menurut sepandjang konsepsi Belanda. Djabatan-djabatan dan kedudukan radja-radja jang sedjak zaman Djepang telah dihantjur-luluhkan, sekarang ini dibangunkan kembali. Hamid Alkadri telah dinobatkan sebagai Sultan Keradjaan Pontianak dan mendjadi Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Kalimantan Barat.
Dalam mendjalankan politiknja itu, Belanda selalu berpedoman kepada djandji Ratu Belanda tahun 1942, dimana didjandjikan untuk berangsur-angsur mengadakan perobahan susunan pemerintahan jang sesuai dengan kehendak zaman, jaitu melaksanakan suatu susunan pemerintahan jang demokratis dan menghilangkan anggapan rakjat, bahwa kembalinja Belanda di Indonesia djangan hendaknja dianggap sebagai pembaharuan daripada pemerintahan kolonial. Dalam bulan Djanuari 1946 Belanda-Nica telah dapat mengadakan perobahan pemerintahan di Kalimantan Selatan dengan mengangkat seorang Kiaji Besar (Ass. Residen) sebagai Kepala Daerah Hulu-Sungai, sedang semua Kepala Distrik dalam daerah tersebut diberikan kekuasaan sebagai Kepala Onderafdeeling. Buat diluar daerah Hulu-Sungai djabatan seperti itu belum diadakan, tetapi kekuasaan sebagai Kepala Onderafdeeling sudah diberikan berangsur-angsur kepada Kepala-kepala Distrik, terutama dibagian Martapura dan Pleihari. Hampir diseluruh daerah Kalimantan Selatan Belanda telah membentuk alat-alat kekuasaannja, dengan bantuan sebagian ketjil dari bangsa Indonesia jang melakukan kerdjasama dengan Belanda, sekalipun perbuatan mereka ini sebenarnja bertentangan dengan kehendak rakjat banjak dan kaum Republikein, akan tetapi karena keadaan memaksa, mereka seakan-akan meninggalkan pokok daripada perdjuangan, jaitu menegakkan Negara Republik Indonesia.

Perobahan susunan pemerintahan di Kalimantan diterima rakjat sebagai suatu kenjataan jang pahit, tetapi tidak sampai mengetjilkan hati sanubarinja, karena rakjat tetap jakin dan pertjaja, bahwa Pemerintah Republik Indonesia akan tidak tinggal diam sadja. Dengan ada perobahan susunan pemerintahan itu, Belanda telah dapat mendekati kehendak dari sebagian ketjil pemimpin-pemimpin di Kalimantan, sekalipun seluruh tjita-tjitanja jang hendak mengembalikan pemerintahan kolonial masih ditantang oleh rakjat.

Nampaknja Belanda seakan-akan dengan murah hati memberikan kekuasaan jang besar kepada tenaga-tenaga Indonesia, terutama kepada mereka jang dianggapnja dapat mendjalankan politik Belanda. Perobahan demikian itu hanja dapat memberikan kesenangan kepada segolongan orang, tetapi rakjat belum lagi mengambil keputusan, karena kejakinan mereka amat tipis terhadap Belanda, malahan dianggapnja hanja sebagai suatu tipu-muslihat sadja.

Pihak Belanda senantiasa beranggapan, bahwa pihak manapun djuga tidak dapat menjangkal akan kenjataan jang berlaku di Kalimantan, dan dengan demikian hendak menundjukkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, bahwa daerah ini seluruhnja telah luput dari pengaruh- pengaruh Republik. Selalu sadja terdjadi, djika Belanda akan mengadakan perobahan jang dianggapnja penting, terutama dalam lapangan ketata-negaraan mengemukakan tentang kesalahan-kesalahan jang telah diperbuat oleh Republik.

Tuduhan Belanda terhadap Pemerintah Republik Indonesia, menundjukkan, bahwa Belanda dalam mendjalankan politiknja berlaku tidak djudjur, dan masih sadja menganggap Indonesia tanah djadjahannja. Belanda ingin memperlihatkan, bahwa politik jang didjalankannja di Kalimantan adalah sebagai imbangan terhadap Pemerintah Republik, dan dengan satu matjam tudjuan pula menundjukkan kepada dunia internasional, bahwa jang berdaulat di Indonesia adalah Belanda.

Dari daerah Kalimantan Belanda berusaha untuk merumuskan politiknja kearah terbentuknja ,,negara-negara” bagian umumnja di Tanah Seberang, dalam mana Belanda telah djuga berhasil dapat membentuk pemerintahan kolonial dalam bagian-bagian Indonesia jang kedudukan politis dan pertahanannja agak lemah. Sementara itu didaerah Kalimantan diadakan pula pembagian daerah, jaitu daerah Kalimantan Barat, Dajak Besar, Daerah Bandjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. Dalam daerah-daerah ini dibentuk pula federasi dengan maksud untuk menghidupkan kembali perasaan propinsialisme dikalangan rakjat. Sekalipun demikian, Belanda belum boleh dikatakan 100 % dapat berhasil dalam pekerdjaannja untuk membangunkan dan menegakkan pemerintahan kolonial, karena bagian terbesar dari rakjat Kalimantan tetap berdiri dibelakang Pemerintah Republik Indonesia, dengan disertai perlawanan hebat dengan berbagai tjara dan perbuatan. Walaupun Belanda nampaknja telah berhasil menjusun kembali pemerintahan diseluruh daerah Kalimantan, akan tetapi mereka belum berhasil melaksanakan tudjuannja, terutama untuk mengurangi pengaruh Republik jang tertanam dalam hati rakjat.

Rakjat Kalimantan tidak dapat dipengaruhi oleh segenap matjam propaganda dan provokasi Belanda. Mereka tetap jakin akan perdjuangan revolusi Indonesia jang pada ketika itu berpusat diibu-kota Jogjakarta. Sementara itu Pemerintah Republik Indonesia telah dapat membentuk satu Badan Pemerintahan Republik Daerah Kalimantan jang berkedudukan di Jogja, jang didalam tugasnja memberikan dorongan moreel dan materieel terhadap rakjat Kalimantan untuk melandjutkan perdjuangannja. Pemerintah inilah jang menjelenggarakan infiltrasi politik ke Kalimantan, tidak sekedar untuk memberi semangat kekuatan pada rakjat, melainkan djuga untuk mengimbangi kedudukan Belanda.

Kejakinan rakjat bertambah besar, bahwa dalam perdjuangan mentjapai dan mempertahankan kemerdekaan itu, rakjat Kalimantan tidak berdjuang sendiri, malahan mendapat bantuan sebesar-besarnja dari rakjat Kalimantan jang ada di Djawa dan Sumatera. Pada saat jang hampir bersamaan telah terdjadi perlawanan bersendjata terhadap kekuasaan kolonial, terutama di Sambas, Bengkajang, Singkawang, Pontianak, Ketapang, Pangkalan Bun, Bandjarmasin, Sanga-Sanga, Balikpapan dan Tarakan dan seluruh kota di Kalimantan Barat, Selatan dan Timur.

Bahkan sebagai akibat daripada perlawanan itu di Pangkalan Bun dan Kota Waringin telah dibentuk pemerintahan daerah Republik Indonesia lengkap dengan alat-alat kekuasaannja. Tetapi Pemerintah Republik ini tumbang pula karena keganasan regiem pemerintah kolonial Belanda.

Sedjak itu perkembangan politik umumnja di Kalimantan tidak mendapat saluran sebagaimana lajaknja, karena hampir sebagian besar orang jang mengakui dirinja pemimpin telah mengchianati rakjat dengan djalan melakukan kerdjasama dengan pihak Belanda. Penghidupan politik jang telah dikekang Belanda itu, tidak dapat memberi djaminan kepada alat-alat kekuasaan lainnja jang umumnja terdiri atas „pemimpin-pemimpin" untuk dengan leluasa dan bebas bergerak dalam masjarakat, karena antjaman rakjat.

Melihat keadaan jang demikian itu, baik Belanda maupun kawan sekerdjanja hidup dalam ketjemasan, tersingkir dari masjarakat, dan karena itu mempengaruhi djalannja pemerintahan. Federasi-federasi jang dibentuk, tidak dengan segera dapat diperlengkapi, karena kurangnja perhatian rakjat terhadap pemerintahan kolonial itu. Dalam pada itu Belanda melangkah sudah terlampau djauh, ialah untuk membentuk suatu negara jang bernama Kalimantan, dengan perantaraan Konperensi Malino jang diadakannja pada tanggal 16 – 22 Djuli 1946. Dalam koperensi Malino ini turut serta semua „wakil-wakil" dari daerah bagian di Kalimantan dan Indonesia Timur umumnja.

Konperensi Malino jang dipimpin oleh tokoh-tokoh kolonial Van Mook, jang bertudjuan memetjah-belah Indonesia dalam „negara-negara" untuk mengepung Republik hanja berhasil membentuk „Negara" Indonesia Timur jang merupakan alat bagi Belanda untuk menjaingi Negara Republik Indonesia.

Konperensi Malino jang diadakan di Sulawesi Selatan itu, jaitu setelah mengadakan pembersihan terhadap aliran-aliran Republikein jang menentang politik Belanda. Orang-orang Indonesia jang turut dalam konperensi Malino itu, adalah orang-orang jang bukan dari golongan pemimpin rakjat. Kebanjakan dari mereka itu adalah orang-orang dari kalangan feodal, pegawai-pegawai B.B. dimasa sebelum perang. Mereka membantu Belanda dengan tudjuan untuk mendapat keuntungan bagi golongan atau keluarga dan diri sendiri, sekalipun bertentangan dengan keinginan rakjat.

Konperensi Malino jang pada hakekatnja tidak membawa hasil konkrit terhadap Kalimantan, dilandjutkan dalam Konperensi Denpasar dimana faham federasi mendjadi tudjuan utama bagi Belanda. Konperensi Denpasar jang dilangsungkan pada tanggal 18 – 24 Desember 1946, telah mengharuskan bagi Belanda untuk lebih dahulu mengadakan pembersihan dikalangan rakjat, agar pelaksanaannja berdjalan lantjar. Orang-orang jang dibawanja kekonperensi itu bukanlah orang jang dipilih rakjat, dengan lain perkataan, bahwa orang-orang itu adalah boneka Belanda sadja.

Wartawan-wartawan Republik dilarang untuk mengundjunginja.

Hasil Denpasar ialah pembentukan „Negara Indonesia Timur" dengan Sukawati sebagai Presiden dan Mr. Tadjuddin Noor sebagai Ketua Parlemen.

Dalam konperensi ini telah dirundingkan pula tentang keinginan-keinginan Belanda untuk membentuk „Negara" Kalimantan, tetapi tidak berhasil sama sekali, tidak sadja karena kebetulan tenaga-tenaga jang diperlukan Belanda untuk membangunkan negara itu tidak tjukup, melainkan djuga karena hebatnja tantangan rakjat Kalimantan jang tidak menjetudjui berdirinja negara boneka itu.

Kemudian oleh Belanda konperensi seperti itu dilangsungkan di Pontianak, akan tetapi djuga maksud untuk membangunkan „Negara" Kalimantan tidak berhasil, ketjuali memfederasikannja sadja, jang satu dan lainnja mempunjai undang-undang dan peraturan sendiri-sendiri.

Pada tanggal 28 Oktober 1946 oleh Belanda dibentuk Dewan Kalimantan Barat sebagai Dewan Perwakilan Sementara daripada „Daerah" Kalimantan Barat.

Sementara melakukan siasat federasi itu, maka perundingan Djakarta antara Belanda dan Indonesia belum membawa sesuatu hasil, sekalipun kedua-belah pihak ingin menjelesaikan pertarungan bersendjata dengan djalan mengadakan perundingan politik.

Dalam perkembangan sedjarah pemerintahan daerah jang tak dapat dilepaskan daripada adanja kekuasaan Belanda di Kalimantan, maka hasil jang ditjapai Belanda selama tahun 1946, ialah membentuk satu peraturan dasar bagi pemerintahan daerah Dajak Besar bersama Dewannja jang disahkan oleh pemerintah kolonial pada tanggal 7 Desember 1946. Belanda ingin mewudjudkan daerah jang diperintah dengan langsung termasuk dalam bagian daerah Kapuas-Barito bersama-sama dengan bagian daerah Dusun Timur dalam Kabupaten Kalimantan Selatan, dengan ketentuan, bahwa suatu madjelis Dajak Besar akan bertindak sebagai satu badan pemerintah, jang menurut peraturan tersebut memegang pemerintahan atas daerah jang bersangkutan dan hal ini dilakukan dengan segala kekuasaan pemerintahan. Dalam penetapan itu disebutkan djuga, bahwa „Madjelis" Dajak Besar, sambil menunggu aturan-aturan jang akan diadakan lebih landjut jang mengenai hal itu, akan terdiri atas seorang Ketua dan delapan belas anggauta, untuk sementara waktu diangkat oleh Residen Kalimantan Selatan, jang dalam hal ini sedapat-dapatnja akan berembuk dengan penduduk-penduduk jang lajak dibawa serta.

Sekalipun Belanda kolonial tidak memberi kelonggaran sama sekali pada rakjat untuk melakukan pergerakan, baik dalam gerakan jang semata-mata bersifat sosial dan kebudajaan, namun sudah ada tanda-tanda bagi rakjat Kalimantan untuk mentjoba menjusun organisasi dan memberanikan diri untuk menggalang persatuan nasional diantara penduduk. Keberanian rakjat ini terdorong oleh rasa kepentingan dan kegetiran hidup dalam penindasan kolonialisme Belanda, tetapi jang pada hakekatnja menggerakkan dan menghidupkan sentimen nasional jang berkobar-kobar, dan achirnja memadjukan tuntutan kepada Belanda supaja rakjat diberi kesempatan untuk mengadakan organisasi.

Belanda tetap pada pendiriannja tidak dapat membenarkan anak negeri bergerak dalam sesuatu organisasi, karena jang demikian ini dianggapnja membahajakan bagi kedudukannja. Akan tetapi rakjat jang tidak lagi mengindahkan segala matjam peraturan-peraturan Belanda dengan diam-diam telah mendirikan organisasi jang bertudjuan untuk menjokong Pemerintah Republik Indonesia. Demikianlah di Kalimantan Barat oleh pemuka-pemuka telah didirikan satu Partai Gapi, jaitu singkatan dari Gabungan Politik Indonesia. Di Kalimantan Selatan didirikan S.K.I. (Sarikat Kerakjatan Indonesia) dan di Kalimantan Timur I.N.I. (Ikatan Nasional Indonesia) jang didirikan dalam tahun 1946. Dalam ketiga partai nasional ini bergabung seluruh anasir-anasir Republikein jang didalam perdjuangannja menentang kembalinja pemerintahan kolonial Belanda.

Melihat kenjataan tindakan-tindakan partai-partai politik itu, maka Belanda mau-tidak-mau terpaksa mengakuinja, sekalipun dalam pengakuannja itu terbentang garis mati untuk kemudian menghantjurkannja. Siasat Belanda jang demikian ini, tidak sadja untuk menggambarkan keinginannja untuk mendjundjung tinggi nilai-nilai „Demokrasi", akan tetapi djuga hendak menundjukkan kepada Republik Indonesia, bahwa Belanda dapat memelihara dan menjalurkan segala keinginan-keinginan partai-partai jang didukung oleh rakjat itu.

Pada mulanja Belanda beranggapan, bahwa dengan berdirinja ketiga partai Republikein itu dapat didjadikan alas dasar untuk mempergunakan sebagai alat dalam perundingan-perundingan jang akan dilakukan Belanda dengan Pemerintah Republik. Akan tetapi Belanda ketjewa, karena baik Gapi, maupun SKI dan INI jang dipelopori oleh kaum Republikeinen tidak dapat melakukan kerdjasama dengan Belanda, namun apapun jang akan terdjadi, ketika partai itu tetap konsekwen untuk melandjutkan perdjuangan nasional mempertahankan Republik Indonesia. Keketjewaan Belanda ini makin djelas setelah mereka mengadakan perundingan dengan pemuka-pemuka partai-partai itu dan menawarkan kedudukan-kedudukan ataupun delegasi-delegasi untuk duduk sebagai wakil Kalimantan dalam segenap perundingan, baik jang dilakukan Belanda sendiri, maupun perundingan jang dilakukan dengan Republik.

Dalam hal ini ketiga partai itu sependirian, ingin turut duduk dalam delegasi Kalimantan, asal sadja pemerintah Belanda dapat menerima usul-usul jang telah dikemukakannja, jaitu untuk mengadakan perundingan Belanda-Indonesia. Sudah barang tentu pihak Belanda tidak dapat menerima tuntutan jang demikian itu, karena tidak sadja akan menguntungkan pihak lawannja, melainkan djuga melemahkan kedudukan Belanda di Kalimantan.

Karena Belanda tidak dapat menerima usul-usul jang dimadjukan oleh wakilwakil rakjat sedjati itu, maka Belanda dengan djalan lain dan dengan tuduhan jang dibikin-bikin telah melakukan penangkapan kepada semua pemimpin-pemimpin rakjat, baik jang ada di Kalimantan Barat, maupun Timur dan Selatan. Semua pemimpin-pemimpin jang tidak mau tunduk kepada politik Belanda itu didjatuhi hukuman dari 2 sampai 10 tahun.

Tahun 1946 ditutup oleh Belanda dengan kekerasan sendjata, dengan meninggalkan korban jang tidak sedikit, karena sedjak achir tahun itulah Belanda melakukan pembersihan umum dikalangan rakjat Kalimantan, terutama jang republikein. Tetapi patah tumbuh hilang berganti, pergi-datang silih berganti, perlawanan berketjamuk, revolusi mulai memberi bentuk jang njata, kemana tudjuannja, ialah mengusir pendjadjahan dari bumi Kalimantan. Dalam perdjuangan ini rakjat Kalimantan tidak berdiri sendiri, karena mereka mendapat bantuan sepenuhnja dari putera Kalimantan jang tinggal di Djawa dan dari Pemerintah Agung Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia mentjurahkan perhatiannja jang sungguh-sungguh terhadap Kalimantan.

* * *

Zaman Linggardjati.

Pemerintah Belanda mengakui kenjataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Djawa, Sumatera dan Madura. Adapun daerah-daerah jang diduduki oleh tentera Serikat atau oleh tentera Belanda dengan berangsurangsur dan dengan kerdjasama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula kedalam daerah Republik. Untuk menjelenggarakan jang demikian itu, maka dengan segera akan dimulai melakukan tindakan jang perlu-perlu supaja selambat-lambatnja pada waktu jang disebutkan dalam pasal 12 termasuk daerah jang tersebut itu telah selesai. Adapun negara-negara jang kelak merupakan Negara Indonesia Serikat itu, ialah Republik Indonesia, Kalimantan dan Indonesia Timur, jaitu dengan tidak mengurangi hak kaum penduduk daripada sesuatu bagian daerah, untuk menjatakan kehendaknja, menurut aturan demokratis, supaja kedudukannja dalam Negara Indonesia Serikat diatur dengan tjara lain.

Demikian antara lain bunji mukaddimah dari pada Persetudjuan Linggardjati jang terdapat dalam pasal satu dan empat, jang telah diparaf oleh Komisi Djenderal Belanda dan delegasi Pemerintah Republik pada tanggal 15 Nopember 1946. Adapun wasit daripada perundingan Linggardjati adalah pihak Inggeris sendiri jang terdiri atas Lord Killearn. Persetudjuan Naskah Linggardjati diparaf setelah lebih dahulu dapat ditjapai „cease fire" (perletakan sendjata) antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 14 Oktober 1946.

Sekarang bagaimana akibat daripada persetudjuan Linggardjati itu, dalam mana Pemerintah Republik Indonesia seakan-akan melupakan dan membiarkan rakjat Kalimantan berdjuang sendiri, dan mengakui Kalimantan sebagai salah satu „Negara" bagian jang akan ikut serta mendjelmakan Negara Indonesia Serikat. Akan tetapi karena persetudjuan itu penuh diliputi oleh politik dan diplomatik dan untuk menghindarkan lebih djauh pertumpahan darah, maka usaha jang dapat ditjapai oleh Pemerintah Republik Indonesia ketika itu adalah sudah merupakan satu ukuran kekuatan dan kemampuan jang bisa ditjapai pada saat itu.

Reaksi dari rakjat Kalimantan terhadap Naskah tersebut agaknja mendorong lebih kuat untuk mentjari djalan keluar daripada kesulitan-kesulitan jang dihadapinja. Rakjat Kalimantan tidak pernah mengakui adanja persetudjuan Linggardjati, sekalipun persetudjuan politik itu dilakukan sendiri oleh Pemerintah, namun menganggap, bahwa perdjuangan mentjapai kemerdekaan tidak bisa dibatasi dengan Linggardjati. Sekalipun Pemerintah Republik Indonesia telah menjatakan sedia untuk mengakui kedaulatan Belanda atas daerah diluar Djawa, Madura dan Sumatera berdasar atas kepentingan rakjat Indonesia umumnja, namun politik jang didjalankan Republik itu tidak pernah mengetjilkan hati rakjat Kalimantan.

Karena rakjat Kalimantan insjaf dan sedar, bahwa Linggardjati hanja dipergunakan sebagai batu lontjatan untuk melaksanakan satu tjita-tjita politik jang lebih tinggi. Akan tetapi Belanda sendiri, sekalipun mereka pada hakekatnja amat menjesal dengan penanda-tanganan Linggardjati, namun Linggardjati itu mendjadi bahan propaganda mereka, terutama dalam daerah-daerah jang belum dikuasai Republik Indonesia, Kekalahan politik Belanda makin hari makin nampak, jaitu setelah mereka mendjalankan propaganda jang mengatakan, bahwa Republik Indonesia hanja mementingkan Djawa- Sumatera dan Madura sadja sedang daerah Kalimantan chususnja dan Indonesia Timur umumnja ditinggalkan dalam keadaan jang amat menjedihkan.

Dilain bagian usahanja ialah mengadjak kepada para pengikutnja supaja melaksanakan persetudjuan politik Linggardjati karena katanja Pemerintah Republik telah menjetudjui untuk berdirinja satu „Negara" Kalimantan, jang lepas dari hubungan ketata-negaraan dengan Republik. Sekalipun bukan maksud Pemerintah untuk misah-misahkan antara daerah-daerah Indonesia dengan Republik, akan tetapi karena persetudjuan Linggardjati adalah satu persetudjuan politik jang mengikat, maka Belanda dengan leluasa mendjalankan politiknja untuk dengan semau-maunja membangunkan daerah-daerah atau „Negara".

Bagi rakjat Kalimantan sendiri persetudjuan Linggardjati tidak dapat diterimanja, sekalipun dengan demikian bukan dimaksudkan untuk menghalang halangi Pemerintah Republik untuk melaksanakannja. Tetapi dalam daerah Republik Linggardjati telah menimbulkan pertentangan jang amat hebat antara jang pro dan kontra, dan pihak jang kontra dengan segala matjam usahanja berusaha untuk membatalkannja. Perimbangan suara-suara antara bermatjam-matjam aliran dan partai dalam daerah Republik sama kuatnja, dan karena itu persatuan nasional hampir mengalami perpetjahan jang amat hebat.

Demikianlah tahun 1946 diachiri dengan saat-saat jang amat kritis sekali, terutama apa jang telah dialami oleh Pemerintah Republik sendiri, jaitu setelah dapat mentjapai satu perundingan Gentjatan Sendjata dan tertjapainja persetudjuan Linggardjati. Mendjelang tahun 1947, perkembangan politik di Kalimantan menundjukkan taraf meningkat dan dengan lain perkataan, bahwa rakjat jang pro Republik Indonesia mentjari kekuatannja dalam organisasi politik, sambil menunggu hasil ketentuan daripada perundingan Indonesia-Belanda . Dalam permulaan tahun ini Belanda mendjalankan politik jang amat tadjam terhadap Republik Indonesia, apabila diketahui, bahwa naskah Linggardjati akan mengalami nasib jang demikian djeleknja. Hanja diluar Djawa, terutama di Kalimantan Belanda dengan giat mendekati rakjat untuk diadjak serta dalam pembentukan „Negara" Kalimantan jang diidam-idamkannja itu. Di Kalimantan Barat Belanda berhasil membentuk satu Dewan Daerah Istimewa, dengan Sultan Hamid sebagai Kepala Daerahnja. Pada tanggal 20 Maret 1947, DIKB telah mengambil suatu mosi supaja pemerintah Belanda dapat mengesahkan berdirinja „Dewan" dan „Daerah Istimewa" dalam satu Undang-undang Darurat.

Bagi Belanda sendiri kehendak jang demikian ini dengan mudah dapat diterimanja, dan demikianlah pada tanggal 12 Mei 1947, Belanda dengan resmi telah mengesahkan berdirinja Statuut Kalimantan Barat bersama dewannja. Baik djuga diterangkan tentang isi daripada Statuut itu.

„Bahwa Komisi Djenderal Belanda bersedia untuk mengakui Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dengan pemerintahan sendiri, serta berunding dengan dewan Kalimantan Barat tentang tempat jang dapat diduduki oleh daerah tersebut dalam susunan ketata-negaraan Indonesia Baru. Bahwa Komisi Djenderal Belanda telah menanda-tangani sebuah dokumen tentang azas jang mengenai soal tersebut jang djuga telah ditanda-tangani oleh segenap anggauta dewan Kalimantan Barat. Dalam pasal-pasal selandjutnja dalam statuut itu, disebutkan, bahwa Kalimantan Barat bersedia untuk turut membantu membangunkan satu susunan Ketata-negaraan Indoensia Baru sebagai tertjantum dalam persetudjuan Linggardjati tanggal 25 Maret 1947 antara Indonesia - Belanda asal menurut dan dengan sjarat-sjarat sebagai jang diuraikan dalam pasal-pasal jang telah ditetapkan.
Kalimantan Barat hanja bersedia untuk membantu akan pembentukan satu „Negara" Kalimantan dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat, djika tertjapai persetudjuan tentang penjusunan dan pembagian kekuasaan antara negara dan daerah federasi, dan djika diterima azas jang telah ditentukan.
Pemerintah Kalimantan Barat djuga sebagai bagian dari Kalimantan, akan tetap memegang peraturan Pemerintah tentang urusan-urusan diri sendiri dalam luasnja jang djatuh kepada dewan Kalimantan Barat menurut undang-undang organik jang berlaku sekarang untuk dewan tersebut, sepandjang tidak diadakan perobahan-perobahan dalam hal ini dengan persetudjuannja.
Untuk mengurus kewadjiban jang akan disediakan guna badan-badan pusat Kalimantan Barat dan perhubungan-perhubungan antara daerah ini dan Pemerintah Pusat, maka di Kalimantan Barat dapat didirikan satu perwakilan istimewa dari Pemerintah Pusat. Djika dimulai dengan pembentukan negara Indonesia Serikat dan penjusunan Unie Indonesia Belanda sebelumnja diadakan satu negara Kalimantan, maka Kalimantan Barat akan turut serta dalam pembentukan dan penjusunan itu atas dasar jang sama dan dengan hak-hak jang sama sebagai satu negara.

Kalimantan Barat berpendirian, bahwa dalam menunggu penjusunan ketata-negaraan baru, maka kedudukan jang sekarang dari Keradjaan Belanda dalam hukum negara dan hukum bangsa-bangsa dan oleh karena itu kedaulatan Belanda terhadap seluruh Indonesia serta urusan luar negeri oleh Belanda tetap berlaku, terketjuali tindakan-tindakan jang sah jang akan didjalankan menurut persetudjuan jang telah dibuat.

Dalam kedudukan jang istimewa dari Swapradja-swapradja jang memerintah sendiri di Kalimantan Barat, jang berakibatkan kontrak politik dengan Swapradja-swapradja itu, sebagaimana kedudukan ini disesuaikan dengan organisasi baru dari daerah tersebut, termasuk kemungkinan mendirikan dewan-dewan Swapradja tidak akan berobah djika tidak dengan persetudjuannja.

Kalimantan Barat akan menghormati hak-hak dasar rakjat dalam arti demokrasi termasuk kemerdekaan agama, akan mendjamin perlakuan adil terhadap golongan ketjil, dan akan menerima peraturan kewarganegaraan jang akan ditetapkan atas dasar antjar-antjar dikemudian hari dari Unie Indonesia Belanda.

Kalimantan Barat tidak akan mendjalankan pembatasan-pembatasan jang lain terhadap kediaman dan pekerdjaan orang-orang Asing dalam daerahnja, selain daripada pembatasan-pembatasan jang akan berlaku untuk seluruh Indonesia.

Kalimantan Barat menggantungkan bantuannja jang dimaksud dalam pasal-pasal jang tertentu kepada susunan ketata-negaraan jang baru kepada penentuan-penentuan sjarat-sjarat jang berikut:

  1. pendapatan-pendapatan dari sumber-sumber kemakmuran dan kekajaan bumi dari Kalimantan Barat tidak akan dipergunakan untuk keuntungan Unie Indonesia Belanda, negara Indonesia Serikat atau untuk satu negara Kalimantan jang akan dibentuk, selain daripada menurut satu peraturan jang ditetapkan dengan bantuannja dalam mana disediakan untuk Kalimantan Barat sebagian, jang memadai perbandingan dengan kebutuhan sendiri dari daerah ini; dalam mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan itu harus diperhatikan kepaksaan akan mengedjar keadaan terkebelakang dalam lapangan tehnik, sosial dan kebudajaan setjepat-tjepatnja.
  2. Kalimantan Barat akan memberi bantuan dalam peraturan mengambil hutang-hutang dan kewadjiban-kewadjiban Hindia Belanda oleh susunan ketata-negaraan Indonesia jang baru dan penetapan bagian jang harus dipikul dalam hal itu oleh Kalimantan Barat.
  3. untuk luas dan bentuknja bantuan jang akan diberikan oleh Belanda guna pembangunan dan kemadjuan selandjutnja dari Kalimantan Barat serta rakjatnja dalam lapangan tehnik, sosial dan kebudajaan. maka kebutuhan dan kehendak-kehendak istimewa dari Kalimantan Barat akan mendjadi pokok jang menetapkan.
Dalam pembangunan susunan ketata-negaraan Indonesia baru menurut persetudjuan jang telah ditetapkan dan jang ditetapkan dalam dokumen ini, maka Kalimantan Barat senantiasa dipastikan akan mempunjai perwakilan jang lajak. Sekiranja perdjandjian-perdjandjian dan kehendak-kehendak jang disebut diatas tidak digenapi, maka Kalimantan Barat tetap memegang haknja untuk mengadakan hubungan istimewa terhadap Negara Indonesia Serikat dan Keradjaan Belanda".

Maka sebagai akibat daripada penerimaan perdjandjian Linggardjati, Belanda telah melakukan tindakan-tindakan jang bersipat politis dengan mengesahkan berdirinja daerah bagian Kalimantan. Dajak Besar, Kalimantan Timur, Tenggara dan daerah Bandjar serta dewan-dewannja dengan surat penetapan pemerintah Belanda tanggal 8 Djanuari 1947.

Demikian djuga terhadap daerah Kalimantan Timur jang ditetapkan berdirinja pada tanggal 18 Februari 1947. Dalam permulaan tahun itu. Belanda telah dapat membentuk dan mengesahkan berdirinja tiga daerah federasi di Kalimantan, jang isi peraturan dan penetapannja sedjalan dengan pendirian dan sikap pemerintah Belanda jang berusaha untuk mengisoleer daerah tersebut dari pertjampuran tangan pihak Republik Indonesia.

Dalam pada itu perdjandjian Linggardjati jang telah ditanda-tangani oleh masing-masing pihak Belanda dan Indonesia tanggal 25 Maret sudah merupakan suatu kenjataan, sekalipun perdjandjian tersebut tidak sadja ditentang oleh partai-partai politik didaerah Republik sendiri, melainkan djuga oleh seluruh rakjat Seberang, dan bahkan oleh sebagian kaum reaksioner Belanda sendiri.

Dalam keadaan jang amat kritis, dimana banjak faktor-faktor jang akan menentukan, apakah pihak Belanda dengan segala tulus ichlas untuk melaksanakan Linggardjati, karena melihat activiteitnja setelah penanda-tanganan tersebut, kelihatanlah tjorak jang sebenarnja dari Belanda, jaitu setelah mereka mengirimkan ultimatum kepada Republik Indonesia jang mendesak supaja segera dibentuk suatu pemerintahan peralihan.

Ultimatum Belanda itu tidak diindahkan oleh Republik Indonesia, karena Republik tidak dapat menjetudjui gendarmerie bersama. Pada hakekatnja penghentian permusuhan jang dikehendaki Belanda itu, tidak sadja karena adanja serangan-serangan dari pihak Republik, akan tetapi djuga didaerah diluar daerah Linggardjati, umumnja di Kalimantan, Belanda senantiasa mendapat serangan dari rakjat.

Karena Pemerintah Republik Indonesia tidak dapat mempertanggung-djawabkan apa jang terdjadi dalam daerah pendudukan Belanda di Kalimantan, sedang segala kekatjauan dan huru-hara jang demikian itu tidak lajaknja dimintakan bantuannja kepada Pemerintah Republik. Agaknja Belanda dengan tipu muslihatnja memadjukan penghentian permusuhan diseluruh Indonesia, ialah dengan maksud untuk mempergunakan pengaruh Republik buat mententramkan daerah dimana pihak Belanda mengaku berkuasa.

Nampaknja Belanda tidak dapat mengendalikan daerah Kalimantan, karena apa jang diharapkan dari daerah-daerah jang telah dibentuknja itu sama sekali tidak mendapat perhatian rakjat, sedang pemuka-pemuka partai-partai politik di Kalimantan jang ditawari Belanda untuk menjambut segala usaha dengan dingin sadja.

Pertentangan politik jang terdapat di Kalimantan amat hebatnja antara golongan Republik dan fihak pengikut Belanda. Jang tersebut pertama itu, pendukung tjita-tjita Republik Indonesia, adalah golongan terbesar. Mereka itu selaku diburu-buru oleh alat kekuasaan kolonial. Sedang golongan kedua melakukan kerdja sama dengan Belanda untuk mendirikan satu negara Kalimantan. Menurut pendapat demikian itu tidak bertentangan dengan naskah perdjandjian Linggardjati, karena telah disetudjui oleh pihak Republik Indonesia.

Sementara itu Belanda dengan giat mendjalankan politik separatisme, dengan mengadakan beberapa konperensi jang bersifat kedaerahan, membentuk beberapa federasi. Sedang di Kalimantan Barat 13 daerah Kesultanan jang didalam zaman Djepang telah hilang lenjap dihidupkannja kembali dengan nama Swapradja.

Kemudian ditambah pula dengan dua buah Swapradja baru. Daerah-daerah Swapradja ini ialah: Pontianak, Kubu, Ngabang, Sanggau, Sekadau, Sintang, Tajan, Nangapinoh, Singkawang, Sambas, Bengkajang, Kota Baru dan Ketapang, Sedang dua neo Swapradja ini ialah Putus Sibau dan Kapuas Hulu. Dalam masing-masing daerah Swapradja ini dibentuk satu Bestuurscollege dan mereka ini umumnja mendjadi anggauta Dewan Daerah Istimewa Kalimantan Barat.

Ketjuali di Kalimantan Selatan jang hanja mempunjai sebuah Daerah Swapradja di Kota Waringin, maka di Kalimantan Timur Swapradja memegang peranan jang penting. Seluruh Daerah Swapradja ini jang terdiri dari Swapradja Kutai, Bulongan. Berau, Sambaliung dan Gunung Tabur berhimpun dalam satu federasi jang dinamakan Federasi Kalimantan Timur dalam mana djuga tergabung Daerah Pasir. Pemerintah Kalimantan Timur dikendalikan oleh suatu Dewan, jang bernama Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur, dimana Radja-radja (Sultan-sultan) Kutai, Bulongan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Ketua Dewan Pasir mendjadi Kepala Daerahnja.

Disamping Dewan Gabungan Kesultanan ini, dibentuk suatu Bestuurcollege jang mendjalankan pekerdjaan pemerintahan sehari-hari. Dan sebagai usaha untuk menundjukkan, bahwa Pemerintah Kalimantan Timur ini diatur setjara „Demokrasi", maka untuk Daerah ini dibentuk pula sematjam „Dewan Perwakilan Rakjat" Kalimantan Timur. Dari semua Dewan-dewan ini sebenarnja hanja mempunjai kekuasaan „Badan Penasihat" sadja, seperti halnja semua Dewan jang ada didaerah Kalimantan, karena mendapat kontrole jang keras dari pihak madjikan Belanda.

Pada umumnja usaha-usaha Belanda di Kalimantan hanja berhasil dalam batas-batas jang tertentu, karena dipertahankan oleh suatu bendungan aliran kuat jang pada hakekatnja berdiri dibelakang Pemerintah Republik Indonesia. Pertengahan tahun 1947 adalah saat-saat jang menentukan bagi Belanda, jaitu setelah usahanja gagal dalam melaksanakan persetudjuan Linggardjati maka satu-satunja djalan keluar jang dapat ditempuh ialah mendjalankan tindakan-tindakan dilapangan militer. Pada tanggal 20 Djuli 1947 perhubungan antara Indonesia dan Belanda dinjatakan telah putus, sedang pemerintah Belanda telah mendapat mandaat penuh dari pemerintahnja di Nederland untuk mengambil tindakan-tindakan. Tanggal 21 esok harinja petjahlah perang kolonial jang pertama di Indonesia, jang didahului dengan penangkapan-penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin Republik jang tinggal di Djakarta.

Perang kolonial itu ternjata djuga tidak membawa hasil kepada Belanda, karena dengan demikian merea memperkosa perdjandjian Linggardjati, dan bagi rakjat Tanah Seberang chususnja di Kalimantan batas daerah jang lazim disebut Linggardjati sudah hapus. Kesempatan ini dipergunakan oleh anasir-anasir Republikein untuk melemahkan kedudukan Belanda. Perkosaan terhadap Linggadjati ini pada hakekatnja amat merugikan Belanda, karena soal Indonesia sedjak waktu itu sudah merupakan soal internasional, dalam mana Dewan Keamanan turut serta membitjarakannja.

Perang kolonial jang dilakukan dengan tidak semena-menanja itu mendapat tantangan dari rakjat Kalimantan, ketjuali Kepala Daerah Kalimantan Barat. Sultan Hamid jang dengan gagah perkasa menjertai tindakan militer Belanda dengan andjuran „Bahwa djika tentera Belanda tidak sanggup menghantjur-luluhkan Republik Indonesia, maka tentera Kalimantan Barat akan menghantjurkan Republik".

Sebagai akibat langsung jang diderita Belanda dari tindakan militernja itu, ialah adanja perpetjahan dikalangan „Pemimpin-pemimpin" jang pro Belanda dalam Dewan-dewan di Kalimantan, karena perkosaan Linggardjati menimbulkan pro dan kontra diantara mereka sendiri. Sementara itu Partai-partai Politik jang mewakili aliran Republik umumnja mentjela tindakan Belanda jang tidak senonoh itu. Partai-partai seperti Gapi di Kalimantan Barat, S.K.I. di Kalimantan Selatan, dan I.N.I di Kalimantan Timur sudah merupakan suatu front nasional jang memperdjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi mereka tetap tidak rela kerdjasama dengan Belanda, sekalipun Belanda senantiasa berusaha untuk mendekatinja.

Sementara itu di Kalimantan Timur telah terdjadi perdjandjian politik, atau lebih tegas „Politik kontrak" antara „Dewan Kutai" dengan pemerintah Hindia-Belanda. „Politik kontrak" ini dirumuskan dalam satu peraturan jang sangat mengikat, jang hampir tidak ada perbedaannja dengan apa jang telah dilakukan oleh Sutan Hamid dengan pemerintah Belanda. Dengan demikian maka sudah terang, bahwa otonomi jang ingin diberikan Belanda dengan seluas-luasnja tidak dapat berkembang sebagaimana mestinja, karena telah dibatasi dengan „Politik kontrak".

Selama „Politik kontrak" itu masih tetap didjalankan dasar dari „Dewan Kutai", maka bagaimanapun djuga untuk meletakkan dasar dan warna demokrasi kedalam „Dewan" itu, akan sia-sia sadja. „Politik kontrak" adalah sebenarnja satu „Product kolonial" jang didalam pengertian „Het kolonialisme is dood", tidak lagi pada tempatnja, malah harus diharamkan. Oleh karena itu „Politik kontrak" itu jang pada hakekatnja tidak lain daripada penghambatan dan pembendungan atas kemurnian demokrasi, sebenarnja sudah harus disimpan dalam museum.

Dalam suatu sidang „Dewan Kutai" mereka telah menerima sebuah most, jang menghendaki agar tjara dan perhubungan antara „Pemerintah Keradjaan Kutai" dengan Pemerintah Indonesia, disesuaikan dengan mana peralihan sekarang. Sikap tegas dari sebagian anggauta „Dewan Kutai" tersebut dapatlah diartikan, bahwa mereka tidak ingin melihat kelandjutan daripada Politik kontrak itu.

Djika mosi tersebut dapat diterima dan segera dilaksanakan, maka terbukalah djalan jang luas untuk membentuk suatu Dewan dan pemerintahan jang lebih demokratis daripada jang ada jang pada lazimnja dikendalikan oleh tenaga-tenaga Belanda. Apabila „Politik kontrak" itu masih tetap merupakan dasar daripada tjorak pemerintahan, maka pihak Belanda tetap mempunjai kedudukan jang utama dalam pemerintahan dan dewan djuga dari Kepala Daerah Sultan sendiri. Dan sebaliknja Sultan dengan Bestuurscollegenja tetap mendjalankan pemerintahan jang feodalaristocratis. Hal ini amat bertentangan dengan demokrasi dan kehendak zaman sekarang.

Rakjat Kalimantan telah djemu dan bosan dengan pemerintahan kolonial, rakjat menuntut pemerintahan rakjat dimana kekuasaan penuh diberikan kepadanja, tidak oleh segolongan ketjil, seperti halnja dewasa ini. Mosi itu achirnja diterima oleh „Dewan Kutai". Tinggal lagi terserah bagaimana sikap Kesultanan terhadap mosi tersebut, dan untuk selandjutnja bagaimana pula sikap dari pihak Belanda sendiri. Belum mendjadi kejakinan, apakah Sultan dapat membatalkan „Politik kontrak" jang telah diperbuatnja bersama Belanda itu. Dengan adanja mosi itu jang mempertundjukkan tanda-tanda jang agak baik bagi sementara anggauta „Dewan Kutai" adalah semata-mata dorongan dari rakjat Kalimantan Timur sendiri.

* * *

Zaman Renville.

Achir tahun 1947 jang ditutup dengan agressi milter jang gagal, dan dalam mendjelang tahun 1948, dimana perundingan Indonesia-Belanda dimulai lagi, maka situasi dalam negeri, terutama didaerah Kalimantan nampak kesibukan Belanda untuk membentuk satu „Negara" Kalimantan. Pada umumnja rakjat Kalimantan, baik jang terlepas dari ikatan organisasi dan partai, namun jang terikat dengan partai-partai tidak menghendaki berdirinja Kalimantan sebagai satu „Negara". Rakjat tetap berdiri dibelakang Pemerintah Republik Indonesia.

Maksud untuk mendirikan „Negara" Kalimantan itu hanja terbatas kepada mereka jang menjebut dirinja „Pemimpin" jang selama zaman revolusi senantiasa emperlihatkan sikap kerdjasama dengan Belanda. Dalam pada itu Belanda telah berhasil membentuk „Daerah Bandjar" sebagai satu bagian dari Negara" Kalimantan jang akan didirikan.

Pada tanggal 14 Djanuari 1948 oleh pemerintah Belanda telah ditetapkan berdirinja „Daerah Bandjar" jang didalam mukaddimahnja dinjatakan, bahwa Daerah jang meliputi Bandjarmasin dan Hulu Sungai sekarang, dari Keresidenan Kalimantan Selatan ditundjuk dengan nama „Daerah Bandjar" menurut apa jang telah ditetapkan, sebagai badan hukum jang sama sifatnja dengan daerah jang berpemerintahan sendiri".

Berhubung dengan terbentuknja „Daerah Bandjar" itu, maka pemerintah Belanda dengan resmi menjatakan dalam satu komunike, „bahwa Belanda bermaksud mendjelaskan pandjang lebar beslit pemerintah Belanda mengenai daerah otonom Bandjar". Guna sesuatu pengertian jang benar tentang maksud tudjuan beslit ini, maka sangat dihadjatkan pengetahuan tentang peraturan-peraturan jang lebih tua, jaitu tentang peraturan pemerintahan sendiri 1938 dan tahun 1946 tentang penglaksanaan pemerintahan di Kalimantan. Sebagaimana diketahui, bahwa peraturan dan kewadjiban-kewadjiban dari Gouvernement Hindia-Belanda disatu fihak dan daerah Kesultanan diluar pulau Djawa jang telah menandatangani. Tudjuan dasar peraturan ini, jaitu segala hak-hak pemerintah, kekuasaan-kekuasaan pemerintah terletak pada pemerintah Kesultanan, selain dari apa jang telah diketjualikan dengan pasti didalam aturan-aturan itu.

Ketentuan-ketentuan jang mengetjualikan kekuasaan pemerintah Kesultanan atas orang-orang jang tertentu, dan ketentuan-ketentuan jang mengetjualikan kekuasaan pemerintah Kesultanan atas urusan-urusan jang tertentu. Didalam pengetjualian tersebut, sebagaimana telah diketahui, termasuk orang-orang Eropah, Tionghoa dan Timur Asing dan pegawai-pegawai pemerintah bangsa Indonesia. Urusan-urusan jang dimaksud itu, jaitu urusan jang terletak pada kedaulatan pemerintah Belanda seperti perhubungan luar negeri, pertahanan dan lain-lain. Selandjunja pembanterasan perbuatan-perbuatan jang berbahaja bagi negara dan sedjedjer dengan urusan-urusan lainnja jang karena alasan praktis lebih baik diselenggarakan oleh pemerintah.

Achirnja kekuasaan pemerintah Kesultanan itu dibatasi oleh ketentuan, bahwa aturan-aturan jang bersifat undang-undang dan anggaran-anggaran Belandja jang ditetapkan oleh pemerintah Kesultanan harus lebih dahulu memperoleh persetudjuan Residen, sebelum mempunjai kekuatan,

Kini telah ditjiptakan dalam Peraturan Pemerintah tahun 1946 kemungkinan untuk membentuk daerah-daerah otonom, jang bersamaan sifatnja seperti sebuah daerah Kesultanan, jang tidak langsung diperintah oleh seorang Sultan, baik dalam pekerdjaan bersama dengan Menteri-menteri Kesultanan ataupun tidak, tetapi oleh sebuah Dewan Perwakilan Rakjat jang disusun atas tjara demokratis. Hak-hak kekuasaan dan kewadjiban seorang Sultan. Suatu daerah otonom Bandjar, Dajak Besar, dan Kalimantan Tenggara jang telah dibentuk dalam tahun jang lampau.

Dalam penetapan pembentukan daerah Bandjar, kini telah dimuat pula beberapa ketentuan jang mentjiptakan perubahan-perubahan tentang deradjat otonomi jang akan diberikan kepada daerah ini, dan bahwa dalam hal ini harus dilakukan lebih banjak pertjampuran tangan oleh Badan jang lebih tinggi, pertama untuk mendjamin kepentingan dan hak jang telah ada pada orang-orang Eropah dan Timur Asing, akan tetapi djuga karena alasan-alasan jang praktis. Bahwa Pemerintah bermaksud untuk memperlakukan djuga setjepat mungkin atas daerah Dajak Besar dan Kalimantan Tenggara, baik pertambahan jang telah diberikan, maupun perbatasan-perbatasan kekuasaan daerah. Otonomi dari ketiga buah daerah di Kalimantan Selatan karena itu akan mempunjai tingkatan jang sungguh- sungguh bersamaan.

Segala peraturan jang diberikan kepada otonomi daerah Bandjar ini dalam garis-garis ketjîlnja harus segera dilaksanakan sendiri oleh Dewan Daerah, dengan lain perkataan, peraturan-peraturan lebih djauh perlu guna susunan daerah jang lengkap jang harus ditetapkan sendiri oleh Dewan Daerah. Kewadjiban jang utama bagi Dewan Daerah ialah mentjiptakan sebuah peraturan dasar, jang didalamnja diatur lebih djauh tentang susunan pemerintahan daerah.

Kehakiman, dalam mana didalamnja djuga termasuk kewadjiban dan kekuasaan-kekuasaan Kedjaksaan umum terletak pada pemerintahan umum. Ketentuan ini karena itu menetapkan peraturan jang telah ada, sebab sebelumnja pembentukan daerah, kehakiman dan kedjaksaan umum terletak didalam tangannja pemerintahan umum. Tetapi atas pengetjualian kewadjiban-kewadjiban pemerintah bagi daerah itu hendaklah orang memberikan artian hanja sebagai suatu keputusan sementara. Bukankah sekarang masih belum pasti, kepada masjarakat hukum jang mana (Daerah, Negara atau Serikat) kehakiman itu akan diserahkan, sekalipun menurut pandangan beralasan untuk mendjadikan kehakiman itu sebagai kewadjiban negara.

Didalam pemerintahan-pemerintahan sendiri (daerah-daerah, Kesultanan) sedjak dulu sudah ada madjelis-madjelis pengadilan Kesultanan, tetapi jang hanja mendjalankan pengadilan atas rakjat adalah pemerintahan Kesultanan sadja, djadi tidak atas nama rakjat. Tetapi dalam daerah Bandjar sedjak dulu telah ada pengadilan pemerintah umum jang semendjak pembebasan tidak mengadakan lagi perbedaan antara orang-orang Indonesia dan bukan orang-orang Indonesia. Sekarang akan bertentangan sangat dengan djiwa zaman, djikalau orang menggantikan keadaan jang dimaksud terachir ini dengan keadaan jang telah ada didalam daerah-daerah Kesultanan, meskipun oleh penghapusan hak istimewanja ini adalah keadaan jang terketjuali bagi rakjat. Mengetjualikan kewadjiban kehakiman bagi masjarakat hukum jang lebih rendah adalah suatu tjara jang pada umumnja telah diterima baik dalam hukum ketata-negaraan Barat jang modern.

Demikian djuga di Indonesia Timur hampir pada umumnja telah mendjelma kehakiman harus tidak dipergantungkan pada pemerintah. Mengingat hal ini, maka pengetjualian kehakiman seluruhnja bagi daerah serta penjerahannja kepada pemerintah jang lebih tinggi, akan dirasakan djauh kurang kuat sebagai suatu pengurangan kekuasaan. Pada pembentukan Daerah Dajak Besar dan Kalimantan Tenggara hal tersebut belum diinsjafkan dengan seksama, sehingga orang mentjiptakan tentang kehakiman didalam Daerah-daerah itu suatu keadaan, seperti didalam Daerah-daerah Kesultanan. Sebenarnja hal ini belum pernah mulai berlaku, serta dikandung maksud untuk mempersamakan pula keadaannja dalam daerah Bandjar.

Dengan pembentukan Daerah-daerah lainnja di Kalimantan, maka kedudukan kehakiman itu telah ditetapkan pada kekuasaan pemerintahan umum, sampai akan ditentukan, pada pertalian negara jang mana Daerah-daerah ini akan menggabungkan dirinja. Dalam daerah Kalimantan Barat, meskipun atas tjara jang lain telah ternjata keadaannja jang hampir bersamaan dengan itu. Karena kewadjiban kehakiman sekarang seluruhnja telah diketjualikan bagi Daerah, sedang disampingnja kewadjiban kepolisian dalam lapangan jang tertentu akan diserahkan pada kekuasaan daerah. Bahwa tentang hal ini perlu suatu peraturan, adalah terang, bahwa urusan ini seharusnja dimasukkan dalam pengertian polisi pengadilan. Semendjak pimpinan penuntutan didaerah jang diperintah langsung, terhadap segala pelanggaran jang dilakukan oleh semua golongan penduduk, telah diserahkan dalam tangan sebuah badan hukum jang bernama Kedjaksaan umum jang langsung bertanggung-djawab kepada Pemerintah agung. Oleh karena itu dianggap perlu untuk mengetjualikan bagi daerah, disamping kehakiman, djuga penuntutan pengadilan agar dengan demikian mendjadi suatu negara jang kuat serta merdeka, dan untuk mendjaga, agar supaja Indonesia dikemudian hari tidak akan menghadapi lagi serangan dari luar dengan tenaga jang lemah. Pada waktu Belanda telah mengurus dengan sebaik-baiknja pasukan negeri ini, jang masih dapat dibawa ketempat jang aman, untuk dapat dipergunakan dengan sekuat-kuatnja dalam memerdekakan" dan mempersiapkan pembangunan daerah ini. Disamping itu terus-menerus dikerdjakan rentjana pembangunan untuk mana bahan-bahan jang ada pada kepulauan ini dipergunakan dengan sebaik-baiknja. Keadaan demikian adalah berlainan sekali dengan penerangan-penerangan Djepang, bahkan jang bertindak sebaliknja menjembelih anak negeri. Pada waktu itu teļah ada persatuan dalam pekerdjaan dan kalau dengan segera dapat dilandjutkan, telah membawa Indonesia kearah kemerdekaannja jang sedjati.

Orang mengetahui, bahwa kekalahan Djepang telah membawa kesukaran jang amat besar kepada pulau ini, Penerangan-penerangan Djepang jang bertahun-tahun itu telah memberikan ratjun kedalam djiwa, pendidikan jang didjalankan Djepang mempergunakan kekerasan, telah menimbulkan aliran-aliran jang tidak dapat dipadamkan dengan segera serta tidak dapat dialirkan dalam saluran-saluran jang tertentu. Akan tetapi njata sekarang, bahwa biarpun kekedjaman jang terdjadi dalam bulan Oktober, Nopember dan Desember 1945. serta biarpun banjaknja orang jang tidak bersalah mendjadi korban, karena itu dari pihak Belanda telah dibuka kemungkinan untuk berunding dengan wakil-wakil dari nasionalisme Indonesia jang sehat dan djudjur serta bersama mendatangkan kemerdekaan jang njata untuk pembangunan kepulauan ini.

Belanda selandjutnja berkata, bahwa sjak wasangka terhadap keinginan Belanda jang selalu digembar-gemborkan serta tidak teraturnja gerombolan-gerombolan jang bersendjata, jang terus bertambah banjak, telah menghalang-halangi, selama dua tahun berdirinja persatuan kita dalam kerdjasama. Selagi kepulauan ini mengharap-harap keamanan dan ketenteraman serta pekerdjaan jang berguna, kekerasan dan kekedjaman tetap mendjadi usaha-usaha beberapa gerombolan untuk menetapkan, memperluas dan mempertahankan kekuasaannja. Terus-menerus diberi penerangan, bahwa Nederland hendak mendjadikan lagi negeri ini suatu negeri djadjahan, bahwa hanja Republiklah jang dapat memberikan kemerdekaan. Daerah pedalaman dengan setjara tjermat benar ditutup dengan segala matjam kepalsuan dan kebohongan tentang keadaan-keadaan jang sesungguhnja.

Hanja dengan tjara lambat sekali telah masuk dalam alam pikiran sebagian besar bangsa Indonesia, bahwa Nederland djauh daripada kehendak untuk mendjadjah Indonesia kembali, dan bahkan dengan bangsa Indonesia sendiri akan mendirikan kemerdekaan jang sedjati. Tjerita-tjerita tentang keadaan negeri Belanda disiarkan demikian luas, jang menjebutkan bahwa Nederland telah hantjur-luluh sehingga tidak berdaja lagi. pula dikatakan, bahwa Nederland berusaha akan memegang dan mempergunakan kekajaan alam Indonesia untuk memperbaiki negeri Belanda kembali. Dalam propaganda Republik djuga dilain-lain tempat dikatakan, bahwa kalau perlu semuanja jang ada ditanah Indonesia ini jang asalnja dari Belanda harus dihantjur-leburkan untuk mentjapai kemerdekaan, dan bahwa kehidupan dalam kemiskinan, penderitaan lebih baik, daripada melakukan kerdjasama dengan Belanda. Republik jang mengatakan demikian, membuktikan betapa keadaan mereka jang tertutup dari dunia luar, dan apabila mereka insjaf, bagaimana djahat djalannja pikiran mereka. Tidak sadja mereka menolak dengan sengadja segala kerdjasama dengan pihak Belanda untuk menegakkan kemerdekaan, akan tetapi malahan pula apabila Indonesia memang akan merusakkan miliknja perkakas produksi jang modern, maka kemerdekaan tadi akan segera lenjap".

Dalam pada itu perundingan Indonesia-Belanda jang dilakukan diatas kapal „Renville" telah ditandatangani pada tanggal 17 Djanuari 1948. Pada ketika itu keadaan di Kalimantan berdjalan seperti biasa, artinja hidup dalam kekangan militer Belanda, sekalipun kelonggaran-kelonggaran diberikan djuga kepada rakjat jang sekiranja dapat mendjalankan kerdjasama dengan Belanda.

Sementara itu „wakil-wakil" Kalimantan jang terdiri dari Kalimantan Barat, Tenggara, Bandjar, Dajak Besar, Kalimantan Timur berunding dengan Perdana Menteri Dr. Beel tentang usaha-usaha mereka untuk melaksanakan terbentuknja „Negara" Kalimantan dan „Negara Indonesia Serikat".

„Dewan Bandjar" jang telah dibentuk, tapi belum mempunjai anggauta itu, akan dirumuskan dalam satu rentjana pemilihan „Dewan Bandjar" jang demokratis. Berhubung dengan itu, Serikat Kerakjatan Indonesia dan Serikat Muslimin Indonesia telah timbul conflict jang sengadja hendak dipetjah-belahkan oleh Belanda supaja dalam pemilihan anggauta-anggauta „Dewan", S.K.I. djangan sampai menduduki tempat jang penting. Maka berdasar atas bahan jang didapat ketika itu mengenai „Dewan Bandjar" itu dinjatakan, bahwa ada dua tjara berkenaan dengan peraturan pemilihan. Tjara jang dimadjukan oleh S.K.I. ialah supaja hasil-hasil dari pemilihan-pemilihan dalam 35 lingkungan-lingkungan pemilihan itu didjumlahkan dan ke-35 tjalon-tjalon anggauta jang akan mendapat suara terbanjak, dinjatakan terpilih. Sedang tjara jang disetudjui oleh SERMI (Serikat Muslimin Indonesia), ialah atas azas dari perwakilan lingkungan. artinja tiap-tiap lingkungan pemilihan dari sedjumlah 35 lingkungan-lingkungan pemilihan sepenuhnja lepas dari 34 lingkungan, sedang jang lain memilih seorang anggauta „Dewan" sebagai wakil dari lingkungan pemilihan itu. Dari kedua matjam tjara ini sebenarnja sama berdasar demokrasi. Akan tetapi karena djumlah jang terbesar ialah SERMI, maka Residen Kalimantan dengan bersendikan hukum-hukum demokrasi, lalu mengambil suara jang terbanjak.

Hanja jang mendjadi pertanjaan sekarang, apakah tjara jang demikian itu dapat diterima oleh Partai S.K.I.? Dipandang dari beberapa sudut, sebenarnja tidak ada alasan bagi S.K.I. untuk mengundurkan diri dari pentjalonan. Tjara jang dikemukakan oleh SERMI itu adalah suatu tjara jang menguntungkan rakjat. Sebab wakil jang dipilihnja dari lingkungannja sendiri, para pemilih dapat mengetahui betapa wataknja, kedjudjuran dan sebagainja, sementara mereka jang terpilih sudah tentu pula dapat mengetahui kepentingan rakjat jang diwakilinja.

Tapi djustru karena inilah menjebabkan timbulnja perasaan jang tidak puas terhadap „Dewan", dalam mana penduduk jang djauh merasa kepentingannja tidak diindahkan oleh Dewan". Sebagaimana halnja dengan segala matjam Dewan, maka „Dewan Bandjar" inipun tidak mentjerminkan kehendak jang sebenarnja hidup dalam masjarakat, karena mereka jang duduk didalamnja kebanjakan dari mereka jang pro Belanda. Demikianlah kerugian rakjat djika pemilihan dilakukan dengan tjara jang diandjurkan oleh S.K.I. Akan tetapi meskipun demikian, rakjat Kalimantan Selatan boleh bangga dengan adanja tjara melakukan pemilihan jang penuh diliputi oleh dasar-dasar jang demokratis. Tjara jang tidak pernah dilakukan oleh daerah Republik Indonesia, dan bahwa dasar jang dilakukan oleh daerah Republik berdasar atas hukum-hukum demokrasi. Kalau dilakukan tjara jang sungguh untuk mendjalankan pemilihan, mungkin S.K.I. akan tidak turut dalam Dewan, karena terang mereka akan mendapat kekalahan. Dan djustru karena sikap S.K.I. inilah jang tidak berani berterus-terang terhadap pembentukan daerah otonom, menimbulkan sjakwasangka terhadap aliran Republikein didaerah Kalimantan Selatan.

Soal pemilihan anggauta „Dewan Bandjar" telah menarik perhatian kalangan partai-partai didaerah ini, baik jang beraliran Republik, maupun jang federalistis untuk merebut kursi sebanjak mungkin bagi partainja masing-masing. Berbagai pendirian mengenai pembentukan ini telah dikemukakan, tetapi masih djauh pertentangannja, karena dengan adanja „Dewan" jang sengadja didesakkan oleh Belanda itu, terang akan mengadu-dombakan segenap aliran-aliran itu. Ternjata siasat Belanda ini dapat mempengaruhi sikap jang selama ini dipegang oleh partai-partai jang beraliran Republik untuk masuk duduk dalam „Dewan Bandjar".

Dalam keadaan jang serba sulit, maka mau tidak mau S.K.I. dan SERMI turut ambil bagian dalam „Dewan Bandjar" serta tunduk kepada azas peraturan pemilihan jang akan ditetapkan. Tetapi mereka telah memutuskan djuga tidak akan turut dalam konperensi untuk membentuk „Negara Kalimantan”. Dari kedua faktor ini terletak untung-rugi bagi rakjat Kalimantan Selatan, karena sikap kedua partai tersebut, baik terhadap „Dewan Bandjar" maupun terhadap „negara" Kalimantan amat berlainan, dan karenanja menimbulkan kesangsian pada masjarakat. Dengan turutnja kedua partai tersebut kedalam „Dewan Bandjar", maka mereka telah melepaskan sikap non-cooperatiefnja, dan seterusnja akan melandjutkan kerdjasama dengan Belanda dalam membina masjarakat Kalimantan.

Sekarang faktor lain jang amat penting berhubung dengan sikap mereka terhadap „negara" Kalimantan jang akan dibentuk, tidak kurang menimbulkan ketjurigaan terhadap Belanda. Jang dimaksudkan ialah, apakah „negara" Kalimantan akan dibentuk merupakan satu kesatuan, ataukah hanja merupakan federasi sadja. Sedang suara-suara jang dikeluarkan oleh „wakil-wakil" Kalimantan Barat, ialah djika Kalimantan tidak dapat dibentuk sebagai satu „negara", maka Kalimantan Barat akan melandjutkan usaha-usahanja untuk membentuk Kalimantan Barat sebagai satu „Negara" jang akan turut ambil bagian dalam Negara Indonesia Serikat.

Berhubung dengan penolakan partai-partai S.K.I. dan SERMI terhadap konperensi pembentukan „Negara" Kalimantan itu, maka Residen Belanda telah mengambil keputusan untuk mentjari wakil-wakil dari kalangan rakjat untuk turut menjertai konperensi itu. Karena soal ini termasuk soal jang penting, maka sebenarnja sikap S.K.I. dan SERMI masih bersifat negatief, djadi tidak mungkin akan mendatangkan hasil jang positief. Sikap ini merugikan bangsa dan tanah-air. Istimewa untuk masa jang akan datang, djika sikap jang demikian terus-menerus mendjadi pegangan mereka.

Oleh karena itu bagi pengurus tjabang dan seksi dari kedua partai ini, agar djangan sampai merugikan perdjuangan menurut keadaan masa dan menginsjafi kenjataan, supaja menjatakan dengan setegas-tegasnja. Sebab satu soal jang harus djangan dilupakan, bahwa dalam konperensi itu, dimana segenap para „wakil" rakjat duduk berkumpul dimedja bundar, nasib Kalimantan akan ditentukan. Kalau Kalimantan akan terpetjah dalam „negara-negara” jang berdiri sendiri, dimana keadaan „negara" itu ada jang kaja ekonominja da sebaliknja, maka pertjajalah perekonomian Kalimantan seluruhnja tidak akan sempurna.

Djadi sekalipun ada perubahan dalam susunan ketata-negaraan, maka Kalimantan akan tetap merupakan daerah jang terkebelakang. Kemadjuan sesuatu daerah menghendaki adanja perubahan tata-negaranja jang tak dapat disangkal lagi, tetapi kemadjuan dalam lapangan ekonomi tidak akan diperoleh, djika tidak diadakan rentjana jang tertentu dengan setjara besar-besaran.

Demikian keterangan Residen Belanda mengenai konperensi pembentukan „negara" Kalimantan itu. Dari keadaan jang diuraikan seperti diatas djelaslah sudah, bahwa sikap jang ditundjukkan oleh golongan-golongan Republik mempergunakan dua matjam sikap semata-mata karena keadaan memaksa dan sulitnja keadaan pada waktu itu, dimana pihak Belanda senantiasa mendesakkan sesuatu politik dengan gertak dan intimidasi.

Betapa sulitnja perdjuangan rakjat Kalimantan pada masa revolusi itu Keadaan jang serba salah, sikap mana jang harus didahulukan, apakah turut langsung berdjuang bersama Republik atau turut membentuk „negara" Kalimantan jang umumnja dikutuki oleh rakjat Kalimantan itu.

Sikap kedua partai Republikein itu nampak djelas, tidak ingin menjertai konperensi pembentukan „negara" Borneo dan bahkan tidak menjetudjui berdirinja Negara Indonesia Serikat, melainkan hanja dapat menjetudjui terbentuknja Negara Kesatuan. Bagi Belanda sikap mereka ini menjakitkan hati, karena Belanda beranggapan mestinja rakjat Kalimantan harus sudah datang kepada kepastian untuk membentuk „negara", jaitu jang dikatakan Belanda sedjalan dengan politik Pemerintah Republik Indonesia.

* * *

„Negara" Kalimantan.

Sebagai akibat daripada perundingan dan penandatanganan persetudjuan „Renville", jaitu didalam kelandjutannja masing-masing pihak untuk melaksanakan perdjandjian Linggardjati, maka situasi dalam negeri sudah sedemikian runtjingnja, dimana daerah Renville Republik bertambah tjiut, namun perdjuangan pendukung segenap tjita-tjita Republik Indonesia, baik di Djawa, Sumatera dan maupun di Kalimantan tetap dilandjutkan. Sementara itu „negara-negara" boneka jang dibentuk Belanda tambah hari tambah banjak, sehingga dalam keadaan serupa itu Negara Republik Indonesia berada dalam kepungan Belanda.

Komisi Tiga Negara jang mendjadi perantara dalam pertikaian Indonesia-Belanda dalam mendjalankan tugas kewadjibannja senantiasa bersandar kepada realiteit, bahwa Republik Indonesia adalah pihak jang utama dalam memperdjuangkan nasib bangsa dan tanah air Indonesia. Walaupun Belanda nja telah berhasil dengan usahanja mendirikan „negara-negara" boneka jang akan disederadjatkannja dengan Negara Republik Indonesia, didalam Negara Indonesia Serikat hanja diletakkan sebagai negara bagian sadja, namun didaerah-didaerah jang telah dikuasai Belanda itu masih terdapat aliran-aliran Republik jang dengan segala kesanggupannja melawan politik Belanda.

Demikianlah di Kalimantan Belanda hingga saat itu belum lagi berhasil membentuk „negara" Kalimantan, sekalipun pemerintah Republik Indonesia dalam bulan Djanuari 1948 dengan resmi telah mengakui Kalimantan jang akan berdiri sebagai „negara". Mendjelang „konperensi" Samarinda dalam mana akan ditentukan, apakah „negara" Kalimantan akan dapat dibentuk, maka pemerintah Belanda dengan alatnja jang terkenal R.V.D. mendahului memberikan keterangan, bahwa pada azasnja tidak ada seorangpun jang keberatan akan adanja bentuk „negara” bagi Kalimantan seluruhnja, meskipun „wakil-wakil" Kalimantan Barat mengemukakan dengan tegas, bahwa mereka terikat pada mandaat dalam mana „dewan" Kalimantan Barat menetapkan, bahwa tidak mempunjai hak untuk mengikat daerah tersebut dengan beberapa perdjandjian. Jang demikian ini sama sekali tidak berarti, bahwa dalam pokoknja Kalimantan Barat menolak pembentukan „negara" Kalimantan, tetapi dalam pada itu „dewan" Kalimantan Barat sendiri akan memutuskan tentang soal tersebut.

Walaupun para pengikut konperensi dari daerah Bandjar setudju tentang bentuk negara bagi Kalimantan seluruhnja, akan tetapi mereka tidak akan menjatakan pendapatnja dalam sidang nanti. Untuk meneguhkan pendapat mereka tentang kemungkinan-kemungkinan itu, maka dinjatakan, bahwa Kalimantan amat kekurangan tenaga, dan kebutuhannja amat besar, maka dari sebab itu hanjalah akan tertjapai sesuatu dalam lapangan ketata-negaraan, kebudajaan dan perekonomian, djika segala tenaga-tenaga itu dipersatukan dan segala kekajaan alam dari daerah ini dipergunakan bagi perkembangan nusa dan bangsa. Tetapi apabila terbaginja Kalimantan dalam beberapa „negara" ketjil dengan djumlah penduduknja jang amat tipis, maka Kalimantan tidak akan mempunjai arti sedikitpun djuga antara „negara-negara" jang nanti akan merupakan alat pendukung bagi terlaksananja Negara Indonesia Serikat.

„Wakil" dari Dajak Besar menjatakan, bahwa Kalimantan berdiri sebagai satu negara adalah amat penting, karena suku Dajak dari Barat, Selatan. Tenggara dan Timur merupakan suatu golongan, berhubung dengan kepentingan mereka sendiri, terutama dalam lapang ekonomi dan kebudajaan. Dalam „konperensi" pendahuluan itu telah diterima suatu mosi, dalam mana diminta kepada pemerintah (Belanda) penglaksanaan kedudukan Kalimantan Barat jang menjebabkan agak seretnja pembentukan negara" Kalimantan. Djika „dewan" Kalimantan Barat bersedia untuk menggabungkan daerahnja dalam „negara” Kalimantan jang akan dibentuk ini, pergabungannja tetap terikat pada penglaksanaan dari pasal-pasal jang termuat dalam statuut Kalimantan Barat, jang melindungi akan kepentingan daerah tersebut.

Selandjutnja sebuah resolusi jang ditjapai dalam „konperensi" Samarinda itu telah dimintakan untuk membentuk suatu Panitia jang anggautanja terdiri dari „wakil-wakil" dari pelbagai daerah, dengan tugas kewadjiban untuk merentjanakan atujran „tata-negara" bagi Kalimantan, dan dalam pada itu kedudukan Kalimantan sebagai suatu „negara", sedang kedudukan radja-radja dari semua daerah ini dimana hak-hak dan kewadjibannja harus dipindahkan kepada „negara" Kalimantan.

Tidak ada dari suatu perutusan jang menghendaki lebih dari satu „negara" untuk Kalimantan. Hanja Kalimantan Barat jang masih beranggapan, bahwa daerahnja akan didjadikan „negara" sesuai dengan perkembangan didaerah, jaitu setelah Statuut Kalimantan Barat diakui dan disjahkan oleh pemerintah Nederland. Demikian djuga dengan sikap jang diperlihatkan oleh „wakil-wakil" dari Daerah Bandjar jang ingin sadja terhadap kemungkinan dibentuknja „negara" Kalimantan.

Dalam pada itu partai-partai Republik jaitu Gapi di Kalimantan Barat, S.K.I. di Kalimantan dan I.N.I. di Kalimantan Timur, sekalipun daerahnja berdjauhan, namun dalam perdjuangan mereka seakan-akan sedjalan dan sesuai, jaitu tetap tidak menghendaki Kalimantan berdiri sebagai „negara", melainkan adalah daerah Republik Indonesia. Gapi nampaknja agak sedikit mendekati pada „dewan" Kalimantan Barat berhubung dengan sikapnja dalam „konperensi" Samarinda, dan sikap pendirian „dewan" ini dipergunakan Gapi sebagai bahan propaganda dan penerangan kepada rakjat, bahwa „pemerintah" Kalimantan tidak berhasil untuk membentuk „negara", malahan sebaliknja telah terdjadi perpetjahan. Demikian djuga pendirian jang dianut S.K.I. dan „Dewan" Bandjar jang mendjadi perintang bagi langsungnja pembentukan „negara" Kalimantan itu.

Pada achirnja „konperensi” Samarinda, sebagai kelandjutan daripada „konperensi" ditahun-tahun jang lalu jang pernah diadakan Belanda di Malino. Den Pasar dan Pontianak untuk mendirikan negara" Kalimantan telah menemui kegagalannja. Sedang Panitia Kerdja jang berdiri dí Djakarta jang diketahui oleh Pangeran Kartanegara, disamping djabatannja selaku sekretaris negara urusan Kalimantan pada pemerintah federal, djuga tidak membawa hasil jang njata. karena adjakannja jang pernah dimadjukannja kepada putera-putera Kalimantan jang berada di Djakarta ditolak dengan mentah-mentah.

Bertepatan dengan terbentuknja „pemerintah" peralihan, maka „pembesar-pembesar" Kalimantan jang sedang mengadakan sidangnja di Djakarta telah mengumumkan, bahwa mereka jang duduk dalam Panitia Perantjang Ketatanegaraan Kalimantan bukanlah putera-putera Kalimantan, melainkan bertindak sebagai putera Indonesia jang mempunjai kewadjiban mutlak terhadap rakjat dan daerah Kalimantan. „Negara" Kalimantan akan segera pula berdiri. Ia tidak akan ketinggalan dan bahwa apa jang ia dapat lakukan sekarang ini, tidak akan ditunda sampai esok atau lusa, karena mereka beranggapan djika hal ini ditunda-ditunda, maka tidak sedikit kerugian jang akan diderita oleh rakjat Kalimantan. Lebih-lebih sekarang, karena pintu pemerintah peralihan telah terbuka lebar, jang mengadjak supaja Kalimantan turut didalamnja sebagai salah satu usaha untuk melaksanakan segala tjita-tjita jang terpendam dalam hati pemerintah peralihan.

Sesudah „Dewan" Bandjar terbentuk segera akan dirundingkan dengan tjara bagaimana supaja perwudjudan daripada „negara" Kalimantan dapat mendjadi kenjataan. Jang mendjadi soal sekarang ini, adalah supaja lekasnja diperoleh persatuan seluruh bagian Indonesia untuk memasuki gelanggang baru dalam Negara Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat. Terbentuknja pemerintah peralihan, bukanlah berarti tertutupnja bagi pemasukan pemerintah Republik Indonesia, malahan dikehendaki dengan lekas supaja Republik segera masuk mendjadi anggauta bagian daripada Negara Indonesia Serikat.

Terbentuknja pemerintah peralihan adalah karena ia tidak dapat bertangguh lagi untuk menunda lebih lama. Persetudjuan politik antara Republik Indonesia dan Belanda adalah pengakuan jang resmi dari pihak Republik sendiri betapa besar manfaatnja Negara Indonesia Serikat, baik kedalam maupun keluar. Pihak Republik Indonesia menghendaki perwakilan jang adil didalamnja, mengutamakan kehendak kemerdekaannja daripada bentuk negaranja, hal inipun dapat dipenuhi didalam „Renville agreement".

Dasar kerdjasama, federasi dan demokrasi telah pula diperoleh antara pemerintah Republik dan pemerintah Belanda, tetapi sekarang hendaklah dapat dinjatakan dengan bukti-bukti dari perhubungan ini, sebagaimana jang telah dilakukan oleh bagian-bagian lainnja di Indonesia dengan terbentuknja pemerintah peralihan itu. Itulah jang masih merupakan kekurangan dari hubungan kerdjasama antara Republik dan Belanda, lalu mengakibatkan kedjadian-kedjadian jang tidak dikehendaki. Karena itulah keadaan-keadaan jang demikian runtjing telah mendorong bagi daerah lain untuk bertindak lekas-lekas mengedjar pembangunan kembali.

„Pembesar-pembesar" Kalimantan itu selandjutnja mengatakan, bahwa salah satu dari putusan jang telah diambil dalam konperensi Samarinda ialah mereka jang duduk dalam Panitia Perantjang Ketatanegaraan" Kalimantan, sama sekali tidak mewakili daerah, golongan atau partai, melainkan sebagai putera Indonesia jang berasal dari Kalimantan, jang mempunjai hasrat besar untuk membangunkan satu „negara".

Tanah dimana „negara" itu akan didirikan, ialah tanah „negara" terdiri atas daerah Kalimantan Barat, Daerah Bandjar, Dajak Besar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur dan daerah-daerah takluknja. Anak negeri ialah mereka jang berdiam di Kalimantan setelah setahun lamanja. Ketentuan ini adalah dimaksud sebagai suatu ketentuan peralihan. Sebuah undang-undang dari „negara" selandjutnja akan harus menentukan hal itu. Anggauta-anggauta „parlemen", jakni mereka jang mendjadi wakil-wakil dalam perwakilan itu, adalah dipilih oleh djumlah wakil-wakil dari tiap-tiap daerah adalah ditetapkan oleh banjaknja djumlah. Djumlah wakil-wakil ini adalah sekurang-kurangnja dua orang tiap-tiap daerah.

Berkenaan dengan perimbangan banjaknja djumlah penduduk itu pembitjara dapat menjatakan bahwa untuk Kalimantan Barat 7 orang wakilnja, Dajak Besar 3 orang, wakil Bandjar 8 orang, Kalimantan Tenggara 2 orang, dan untuk Kalimantan Timur 4 orang. Djadi semuanja untuk „negara" Kalimantan wakilwakil jang akan dipilih itu berdjumlah 24 orang banjaknja.

Selain dari itu bagi golongan-golongan ketjil dan bagi mereka jang ketika pemilihan tidak tjukup diwakili atau kurang diperhatikan padahal perlu sekali, akan disediakan sedjumlah 6 kursi, sehingga balai „perwakilan rakjat" akan mempunjai wakil 30 orang anggauta.

Anggauta-anggauta dari „Senaat" adalah dipilih masing-masing 2 orang oleh „dewan-dewan" daerah, sehingga „Senaat" itu achirnja mempunjai 10 orang anggauta. Diatas sepuluh orang anggauta ini, akan disediakan lagi 2 buah kursi untuk kesultanan dan sebagainja. Kedua orang anggota „Senaat" jang tersebut belakangan ini ħanjalah mempunjai hak bersuara pada ketika membitjarakan kepentingan-kepentingan jang tertentu mengenai pemerintah kesultanan-kesultanan dan sebagainja. Untuk soal-soal jang lainnja mereka adalah merupakan anggauta-anggauta istimewa jang tidak dapat mempergunakan hak suaranja.

„Wali Negara" haruslah bangsa Indonesia jang berasal dari Kalimantan. Bahwa di Kalimantan ini oleh „Negara" Kalimantan jang akan dibentuk itu, akan diadakan undang-undang beladjar terhadap para putera dan puterinja. kemerdekaan memeluk agama apapun djuga serta bahasa jang akan dipergunakannja dengan resmi ialah bahasa Indonesia.

Diharapkan sadja moga-moga „Negara" Kalimantan jang ditunggu-tunggukan itu akan segera memberi wudjud jang sebenarnja, jaitu dalam achir tahun itu „Negara" sudah harus dibentuk jang nanti akan mendjadi „Negara" bahagian didalam Negara Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat.

Demikianlah djalannja peristiwa di Kalimantan dalam usaha Belanda untuk membentuk Kalimantan sebagai „satu negara" tetapi hingga mentjapai pertengahan tahun 1948 belum djuga membawa hasil sebagaimana mestinja. Dalam tiga konperensi jang pernah diadakan Belanda untuk maksud tersebut, jang umumnja dibantu oleh „daerah" dan dewan-dewan" jang ada di Kalimantan, namun Belanda harus menerima kenjataan jang pahit, bahwa segala usahanja senantiasa gagal, karena tidak mendapat bantuan dari rakjat Kalimantan.

Gagalnja usaha Belanda ini tidak sadja karena tidak mendapat bantuan dari rakjat, akan tetapi malahan djuga karena didalam „dewan-dewan" terdapat tiga aliran jang satu dan lainnja amat bertentangan, Aliran pertama jang menghendaki gabungan „negara-negara" ketjíl, hanja terdiri dari beberapa golongan ketjil jang mempunjai hasrat untuk kepentingan daerah, suku dan kaum keluarganja sendiri, daerah jang berdiri sendiri sebagai satu „negara” tidak sadja akan lemah kedudukannja, melainkan djuga tidak akan dapat membentuk sebuah apparaat pemerintahan jang harus dipelihara sebagaimana mestinja. Karena itu aliran pertama ini tidak mendapat bantuan dari kalangan lain jang djuga menghendaki terbentuknja „negara" Kalimantan.

Aliran kedua jang sebagian ketjil diwakili dalam „dewan-dewan" dan „daerah-daerah" jang menghendaki satu „negara" jang akan mendjadi „modal dalam Negara Indonesia Serikat jang sedjalan dengan persetudjuan politik Linggardjati - Renville, jang umumnja terdiri dari golongan federalisten mempunjai tjita-tjita untuk mendirikan negara" jang bersifat federal, jang mendapat sokongan kuat dari kaum pendjadjah Belanda.

Mereka berpendapat, bahwa Kalimantan sebagai satu „negara" bagian mempunjai hak-hak jang luas untuk mengatur rumah-tangga sendiri, sesuai dengan „kebutuhan dan kepentingan" rakjat. Sebagai „negara" bagian ia hanja melaksanakan kewadjiban bersama-sama jang dibebankan oleh NIS kepadanja. Walaupun dalam Perwakilan NIS nanti mereka hanja merupakan minderheid sadja, tetapi perwakilannja dalam senaat" akan dapat mendjamin kepentingan-kepentingannja. Dimana perlu ia akan dapat minta bantuan pemerintah „pusat" baik merupakan sokongan materieel, maupun technis jang dibutuhkan. Faham ini katanja telah mendapat bantuan dari Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Hatta, jang menjetudjut terbentuknja Negara Indonesia Serikat jang akan terdiri dari Republik Indonesia, Indonesia Timur dan Kalimantan.

Aliran ini berpendapat, bahwa „negara" Kalimantan tidak akan mendjamin kepentingan setiap daerah, karena pemerintahan „pusat" tidak akan mengetahui segala keadaan dalam daerah itu. Dalam pada itu daerah jang hanja sedikit mempunjai wakil dalam „parlemen", dalam membuat dan menetapkan undang- undang untuk kepentingan daerahnja, mungkin akan menderita kekalahan suara. Dengan demikian daerah jang besar dan banjak djumlah penduduknja senantiasa akan mempunjai tuntutan dalam segala-galanja, sehingga lambat-laun akan timbul suasana tegang jang akan mengakibatkan perpetjahan. Meskipun Negara Kesatuan dalam banjak ha! akan memberikan keuntungan, namun kepentingan-kepentingan daerah harus dapat didjamin, hal mana hanja dapat dilaksanakan dalam „negara" bagian jang mempunjai kekuasaan penuh untuk menjelenggarakan kepentingannja sendiri.

Sedang aliran ketiga, jaítu aliran jang besar dan kuat jang terdiri dari rakjat senantiasa memperdjuangkan dan ingin melihat Kalimantan sebagai satu daerah propinsi dari Republik Indonesia. Tjita-tjita ini jang tertanam sedjak permulaan revolusi tidak dapat dipadamkan oleh pihak Belanda, sekalipun mereka pernah diantjam dan disiksa Belanda, namun api perdjuangan kemerdekaan untuk Republik Indonesia tak kundjung padam. Rakjat jang berdiri diluar „dewan-dewan" jang mendukung tjita-tjita Republik mentjari djalannja sendiri, sekalipun kadang- kadang djalan jang harus ditempuhnja penuh onak dan duri.

Dasar dari tjita-tjita ini adalah untuk mentjapai negara kesatuan jang kokoh dan sanggup mempertahankan kemerdekaan, sanggup menolak segala matjam serangan dari dalam dan dari luar. Sedang „negara" Kalimantan jang diinginkan untuk mendjadi „negara” bagian dari NIS tidak diperkenankan untuk mempunjai tentara sendiri.

Kesibukan „pembesar-pembesar" Kalimantan nampak dengan djelas ketika mereka ini berkumpul di Djakarta dalam usahanja untuk mempertjepat pembentukan „negara" Kalimantan beberapa waktu sebelum konperenesi Medja Bundar dilangsungkan. Dengan pihak BFO mereka telah mengadakan pembitjaraan, dalam mana diminta perhatian sebesar-besarnja supaja „pemuka-pemuka" BFO turut memperhatikan dan memberikan bantuan moreel terhadap usaha untuk mendirikan „negara" jang akan mendjadi bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.

Dalam satu sidang jang diadakan di Djakarta, jang dihadiri oleh „pembesar-pembesar" dari Kalimantan Barat, Dajak Besar, Daerah Bandjar, Kalimantan Tenggara, Pulau Laut dan Pasir, serta Kalimantan Timur jang mewakili Swapradja Kutai, Bulongan dan Berau, dengan Pangeran Kartanegara, Sekertaris Negara Urusan Zelfbestuur bertindak selaku ketua Panitia Pembentukan „negara" Kalimantan. Ditindjau dari sudut penglaksanaan satu negara" Kalimantan umumnja tidak menjulitkan, karena diketahul pada masa jang lalu, baik Kalimantan Selatan, maupun Kalimantan Timur dan Barat adalah dibawah seorang Gubernur. Daerah Kalimantan, dimana rakjatnja pernah memperdjuangkan kemerdekaan Republik Indoneseia belum djuga menjatakan pendapatnja tentang pembentukan „negara" Kalimantan, karena jang mengambil initiatief hanja terbatas kepada golongan-golongan jang bukan dari pemimpin-pemimpin rakjat.

Bagi kaum federalis jang kehanjakan pengikut aliran faham Belanda, pada hakekatnja menjetudjui terbentuknja „negara" itu, tetapi betapa pendapat kaum Republikein Kalimantan jang berada di Djawa? Mereka ini, betapapun djuga masih memandang tidak ada faedahnja mendirikan „negara", apalagi sebagai daerah Kalimantan jang kekurangan tenaga ahli namun politis ekonomis dan financieel tidak dapat dipertanggung-djawabkan, dan karena itu lebih banjak faedahnja djika Kalimantan mendjadi daerah propinsi dari Republik Indonesia.

Pembitjaraan di Djakarta itu sudah sangat mendalam sampai kepada soal detailnja, misalnja siapa jang akan mendjadi Kepala „Negara" para „Menteri" dan sebagainja. Dalam pada itu jang disebut-sebut sebagai „presidennja" ialah Sultan Hamid dari Kalimantan Barat dan Sultan Parikesit dari Kalimantan Timur, tetapi agaknja agaknja Sultan Hamid akan dapat menguasai suara lebih banjak dari Sultan dari Kalimantan Timur itu. Soal siapa jang akan mendjadi „wali negara", agaknja soal inilah jang tidak dapat dipetjahkan, karena dalam hal ini timbul beberapa pertentangan dan perselisihan pendapat. Mereka tidak dapat mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, dan andaikata Sultan Hamid jang akan mendjadi „wali negaranja", maka kedudukan Kalimantan sebagai daerah bagian akan lemah, karena selama hidupnja „negara" itu akan terus terdjadi perasaan tenggang-menenggang. Sebaliknja apabila Sultan Parikesit atau orang lain jang akan mendjadi „wali negara", maka daerah Istimewa Kalimantan Barat tidak akan turut dalam „negara" Kalimantan, melainkan akan mendirikan „Negara" sendiri dengan Sultan Hamid sebagai kepala „negaranja".

Dengan keadaan demikian, maka sudah tidak dapat dielakkan nafsu dan sentimen jang kemudian menimbulkan pro dan kontra dalam kalangan federalisten sendiri, sekalipun tidak mengakibatkan retak jang besar pada pendukung- pendukung „Negara" Kalimantan itu. Bagi mereka masalah ini adalah satu masalah pokok jang tidak ringan, sehingga penting sekali dipetjahkan dengan djalan jang sebaik-baiknja, agar tidak sampai memalukan, baik terhadap diri sendiri, terhadap rakjat Kalimantan, dan bahkan terhadap kaum Republikein umumnja.

Pembentukan „Negara" Kalimantan ini djika djusteru dapat disetudjui oleh suara jang terbanjak setjara demokratis, tidak sadja mengenai bentuknja, melainkan djuga mengenai personalia, djangan kiranja dianggap oleh pihak jang kontra sebagai suatu usaha separatis, akan tetapi adalah suatu usaha untuk mentjapai dan mempertjepat terlaksananja persatuan dan tata hukum jang bulat di Kalimantan ini.

Dengan demikian djangan pula dianggap, bahwa berdirinja „Negara" Kalimantan sebagai suatu saingan terhadap Republik Indonesia, akan tetapi malah akan memperkuat perdjuangan nasional dan untuk memperkuat barisan negara Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat, dan disanalah nanti „Negara" Kalimantan akan berhadap-hadapan dengan negara Republik Indonesia, Indonesia Timur. Pasundan dan sebagainja dalam paduan tata hukum jang satu.

Dengan tidak mengurangi hak-hak bagian bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnja sendiri jang diakui oleh persetudjuan Linggardjati-Renville, pada mana pemerintah Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui „negara-negara" atau „daerah-daerah" diatas daerah jang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sebelum tanggal 19 Desember 1948. dan tidak akan melebarkan „negara" atau „daerah" dengan merugikan pada Republik Indonesia. Oleh karena pembentukan „negara" Kalimantan sama sekali tidak melanggar hukum, andaikata sadja „negara" ini dapat dibentuk. Dalam situasi politik dewasa ini, adalah satu hal jang sudah terang, ialah diterimanja dasar Serikat oleh sebagian besar golongan BFO jang akan dipergunakan untuk membangun dan membina Negara Serikat.

Jang demikian ini harus didjaga bersama-sama, djangan sampai dapat dipergunakan oleh siapapun djuga sebagai alat pemisah untuk melemahkan persatuan perdjuangan nasional, serta didjadikan benih persengkataan antara sesama bangsa Indonesia, baik antara Republik Indonesia dengan golongan BFO, maupun antara mereka sendiri jang berada dalam BFO. Setiap orang federalis harus bertjita-tjita untuk tidak mempergunakan perselisihan ketjil untuk melanggar pokok-pokok persoalan dalam usaha pembentukan „negara" Kalimantan. Untuk mengambil over kekuasaan jang lebih tinggi jang akan diserahkan kepada „negara" Kalimantan, maka pembentukan „negara" ini adalah sjarat mutlak jang tidak dapat diulur-ulur lagi pada dewasa ini. Maka dengan djalan ini terbukalah kesempatan seluas-luasnja bagi daerah ini untuk memperkuat NIS, dan didalam usahanja untuk mempertemukan „negara" dengan „negara" tertjapailah apa jang dikehendaki oleh BFO satu „stable Governement". Untuk solidariteit dan konsolidasi, maka diharapkan supaja tenaga-tenaga diseluruh Kalimuatan, terutama daerah-daerah otonom Kalimantan Barat, Kotawaringin, Dajak Besar, Bandjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur, segera dikoordineer dalam satu „negara" Kalimantan.

Untuk mendjamin pemerintahan negara" jang berdasar demokrasi dan nasional, maka sebagai sjarat dibutuhkan „wali-negara, perdana menteri, menteri kemakmuran, dalam negeri dan keuangan". Tetapi tiba pada saat pembitjaraan mengenai personalia inî, terpaksa sentimen mulai meluap-meluap, karena dichawatirkan diantara mereka ada jang mempergunakan kesempatan untuk memuaskan kepentingan diri sendiri, golongan sendiri, keluarga ataupun partai buat merebut kedudukan tinggi.

Kalau dengan adanja „negara" Kalimantan ini masih kekurangan tenaga technis jang tjakap oleh pemerintah kesempatan ini akan dipergunakan buat menduduki tempat-tempat jang penting oleh bangsa Indonesia atau Belanda jang pribadinja masih amat disangsikan, maka pembentukan „negara" Kalimantan hanja akan sia-sia sadja.

Demikianlah achirnja perundingan di Djakarta itu boleh dikatakan tidak membawa hasil sedikitpun djuga, ketjuali banja hasil dari adanja keinginan-keinginan dari orang-orang federalis sadja, sedang rakjat Kalimantan jang umumnja menentang pembentukan itu tidak memperlihatkan sikap jang menjenangkan bagi pelopor-pelopor „negara" Kalimantan. Siapa jang dapat pertjaja. bahwa segala usaha dan perundingan dari Panitia Pembentukan Negara „Kalimantan" jang telah berkali-kali dilangsungkan tidak memperoleh perhatian sebagaimana mestinja dari rakjat Kalimantan.

Sifat dan sikap rakjat tinggal dingin, tidak memperhatikan apalagi untuk turut memikirkan dan merundingkannja, tidak akan menguntungkan. karena akan menimbulkan penjesalan dikemudian hari, terutama bagi mereka jang bertjita-tjita untuk mendirikan „negara" itu. Dalam hal ini dengan gampang rakjat mendjatuhkan segenap tuduhannja terhadap mereka sebagai „pemimpin" jang tidak bertanggung-djawab, karena mereka lupa, bahwa segala kesalahan itu adalah terletak semata-mata kepada orang-orang jang mendjadi boneka dalam permainan sandiwara pembentukan „negara" Kalimantan. Masalah pembentukan „negara" Kalimantan pada umumnja memang dapat diakui mendapat perhatian dari mereka kaum federalis, sedang dari pihak partai-partai perhatian itu ada djuga, akan tetapi belum lagi menentukan sikapnja. Dalam hal menentukan sikap dan memberikan buah pikiran terhadap pembentukan „negara" Kalimantan, kalau memang tidak ada tekanan dari pihak tertentu, maka djangan diharapkan tjita-tjita itu akan terlaksana, sekalipun tjita-tjia dimiliki oleh „pembesar-pembesar" federal.

Setjara demokratis, diakui, bahwa rakjat Kalimantan bebas untuk mengeluarkan pendapatnja, dan karena inilah sebagian besar rakjat Kalimantan baik jang berada di Kalimantan, apalagi jang berada di Djawa pada umumnja menolak pembentukan „negara" boneka itu. Sebagai akibat dari pada usaha-usaha untuk memisahkan Kalimantan dari Republik Indonesia, maka perkembangan politik nampak bergolak, baik didalam dan diluar „dewan-dewan" boneka, karena rakjat tidak dapat mempertaruhkan kepertjajaan jang demikian besar kepada orang-orang jang selama ini memperlihatkan kwaliteitnja jang lebih tjondong kepada Belanda.

Dan sebagai wakil rakjat jang duduk dalam „dewan-dewan" berani mengambil tindakan jang tidak disukai rakjat, maka akan membawa bentjana terhadap hari kemudian Kalimantan. Tetapi orang-orang jang kemaruk „negara" jang ingin menempati kedudukan-kedudukan jang tinggi-tinggi tidak memperdulikan kehendaknja rakjat jang sebenarnja, melainkan sikap mereka adalah: melintang patah, membudjur lalu. Dengan lain perkataan persetan sama rakjat asal mereka puas dengan kehendaknja membentuk „negara" Kalimantan.

„Negara" jang bakal lahir dalam impian itu hanja etiketnja sadja „negara", sedang isinja lain sekali daripada jang diingini. Memang keinginan mereka itu, „negara" Kalimantan haruslah bertjorak nasional dan demokratis, jang kiranja dapat mendjadi saingan bagi Negara Republik Indonesia, karena „negara” ini kelak akan mempunjai kepentingan jang besar dalam NIS, sedjadjar dan sederadjat dengan negara-negara bagian lainnja.

Salah satu alasan jang amat menjulitkan tentang pembentukannja itu, terutama sekali ialah kekurangan tenaga tjakap, kekurangan backing dari rakjat sendiri, dan perasaan tjemas jang meliputi alam pikiran kaum federalis, kalau-kalau „negara" jang diinginkannja itu hanja berada dalam chajal dan mimpin sadja. Oleh karena itu mereka mendapat malu dan kehilangan muka untuk diperlihatkan kepada para dalangnja jang terdiri dari Belanda, sedang mereka hanja sebagai pemain-pemain sandiwara dalam tjerita pembentukan negara" Kalimantan. Tjerita ini sebetulnja belum lagi tamat, akan dilandjutkan dalam babakan terachir, akan tetapi karena sesuatu halangan jang besar, maka tjeritanja diputuskan dan terpaksa digagalkan karena dilamun ombak pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

* * *

Plebisciet.

Menurut persetudjuan Renville, bahwa dalam waktu jang selekas-lekasnja 6 bulan dan selambat-lambatnja 1 tahun akan dilakukan plebisciet didaerah pendudukan di Djawa, Madura dan Sumatera. Tetapi menurut tafsiran jang terdapat dalam masjarakat Kalimantan maka plebisciet itu akan dilakukan djuga didaerah ini, dengan demikian akan dapat diketahui sampai dimana keinginan-keinginan rakjat Kalimantan untuk menentukan nasib daerahnja sendiri.

Pasal 2 persetudjuan Renville menjebutkan, bahwa kedua-belah pihak antara Belanda dan Indonesia tidak mempunjai hak untuk melarang segala gerakan-gerakan rakjat untuk menjatakan setjara merdeka keinginan-keinginannja tentang organisasi politik jang sesuai dengan pokok-pokok daripada persetudjuan Linggadjati, bahwa tiap-tiap pihak akan mendjamin setiap waktu kemerdekaan untuk mengadakan sidang-sidang ataupun rapat-rapat buat menentukan sikapnja. Didalam pasal ini diandjurkan kepada rakjat dan diberikan kelonggaran jang seluas-luasnja, asal sadja djaminan ini tidak dipergunakan untuk membela kekasaran ataupun pembalasan-pembalasan, maka teranglah bahwa kemerdekaan tadi tidaklah seperti apa jang menurut tafsiran Belanda kemungkinan-kemungkinan itu hanja boleh diadakan didaerah Djawa, Sumatera, dan Madura.

Rakjat Kalimantan jang mempunjai tafsiran sendiri terhadap persetudjuan Renville itu telah mempergunakan kesempatan jang sebaik-baiknja untuk mengakan plebisciet. Oleh karena itu organisasi rakjat, baik jang tergabung didalam partai-partai politik maupun jang bersifat kebudajaan telah menggiatkan usahanja menjertai andjuran persetudjuan Renville itu dan sudah barang tentu keadaan jang demikian ini akan menimbulkan pertentangan-pertentagan, baik langsung atau tidak. Rakjat Kalimantan dengan djalan plebisciet berusaha dengan sekeras-kerasnja untuk mendjadikan Kalimantan sebagai Daerah Propinsi Republik. Sudah terang maksudnja, bahwa apabila nanti diadakan pemungutan suara, maka jang demikian hendaklah dilakukan dibawah pemilihan suatu Panitia Perantara, djika salah satu pihak sesuai dengan tjara jang ditetapkan dalam pasal 3, jaitu minta bantuan panitia dalam soal ini.

Kedua-belah pihak dapat berdamai untuk menentukan kehendak rakjat dengan tjara lain daripada pemungutan. Bahwa pemungutan suara itu jang akan dilakukan dalam masjarakat Kalimantan tidak banjak harapan akan berlangsung dengan sempurna dan tidak nanti sutji daripada perbuatan-perbuatan, antjaman-antjaman jang langsung atau tidak, maka djalan damai tadilah jang paling banjak harapan akan dapat dilangsungkan. Dengan djalan perundingan antara masing-masing pihak jang bersangkutan, maka suasana akan tetap aman dan damai, dan rakjat tidak usah pusing didalam mendjalankan kewadjibannja. Rakjat Kalimantan jang mempunjai pimpinan tidak langsung dengan Republik Indonesia, karena mereka menganggap bahwa dalam memperdjuangkan kehendak rakjat Kalimantan dapat sedjalan dengan suasana jang terdjadi di Kalimantan. Untuk itu plebisciet adalah suatu kenjataan dalam mana rakjat dengan djalan pemungutan suara merdeka berhak mengeluarkan suaranja dengan tidak memakai badan perwakilan atau badan-badan lainnja, tetapi ia dapat memberikan suaranja sendiri dengan langsung. Untuk soal-soal hangat jang sedemikian itu adalah amat penting bagi pertumbuhan demokrasi karena plebisciet adalah merupakan djalan jang terachir, djika hendak dipertahankan deradjatnja, banjak hal djuga jang tersangkut pada suatu kenjataan dari berdjuta-djuta orang dengan djalan pemungutan suara setjara langsung.

Dan bilamana pernjataan dapat dikemukakan atas tjara jang lebih mudah, maka ini akan diutamakan, selain dari itu rakjat djuga mempunjai kewadjiban lain daripada setjara perseorangan memperhatikan kepentingan-kepentingan Negara untuk menentukan pendiriannja. Pemungutan suara rakjat jang sedemikian djuga dipikirkan mendjelang terbentuknja apa jang dinamakan Negara Indonesia Serikat. Pada waktu diadakan konperensi Malino dan Denpasar pemerintah Belanda selalu memperhatikan „penghargaan" akan hak menentukan nasib sendiri bukan sadja untuk daerah-daerah Republik Indonesia seperti Djawa, Sumatera dan Madura, akan tetapi djuga didaerah Kalimantan sendiri. Dapat dipikirkan bahwa suatu daerah setelah diadakan plebisciet tidak bersedia untuk bergabung dalam Negara Indonesia Serikat dan menghendaki perhubungan istimewa dengan Negara Republik Indonesia atau, bahwa suatu „Negara" jang kini bergabung didalam suatu federasi, kemudian menghendaki perubahan atau hendak melihat terbukanja kesempatan untuk itu.

Dalam konperensi Denpasar dinjatakan, bahwa dalam hal jang sedemikian itu harus diberi kesempatan untuk menentukan nasib sendiri atas djalan demokrasi. Perdjandjian, baik Linggadjati, maupun Renville mengandung Kalimat serupa jakni, itu menjatakan atas demokrasi dari menentukan nasib sendiri menurut suatu golongan rakjat harus mengemukakan pernjataannja, bahwa untuk pernjataan jang sedemikian harus diadakan plebisciet, ini djuga dapat dilakukan atas tjara lain.

Mungkin bahwa tjara lain ini lebih menegaskan pendirian bangsa Timur tentang paham-paham demokrasi, misalnja plebisciet didalam bentuknja jang modern adalah suatu tjara demokrasi bangsa Barat jang asli.

Didalam pertikaian antara Republik Indonesia disatu pihak, dan Belanda dilain pihak maka tjara demokrasi tjara Barat akan dipergunakan untuk melakukan plebisciet ditanah-air kita ini. Dengan pengertian bahwa plebisciet itu tidak selajaknja harus dilakukan didaerah Djawa, Sumatera, dan Madura, akan tetapi djuga harus meliputi seluruh daerah Indonesia dalam mana Kalimantan turut serta. Penetapan-penetapan Kalimantan didalam plebisciet adalah djuga akan menetapkan kepihak mana Kalimantan akan ikut, apakah menggabungkan diri kepada Republik Indonesia atau kepada Negara Indonesia Serikat.

Kepada plebisciet jang dibatasi ini djuga diberikan pembatasan-pembatasan lainnja. Salah satu dari pembatasan itu ialah sjarat, bahwa terlebih dahulu harus terdapat persetudjuan jang pasti. Karena plebisciet ini bukan sadja mengambil persangkaan pendahuluan tentang penghentian tembak-menembak baik dengan peluru, maupun dengan kata-kata, tentang penghentian perkelahian dengan sendjata, dan hasutan serta antjaman, melainkan djuga suatu pemetjahan daripada pertikaian politik. Mendjelang waktu plebisciet akan terdapat kerdjasama antara kaum Republikein didalam semua daerah jang sementara ini diduduki oleh Belanda. Hanja jang mendjadi sjarat ialah mengembalikan keamanan didaerah-daerah dan perbaikan perhubungan terhadap rakjat diluar Renville. Dengan sjarat-sjarat itu, dalam mana diharapkan peringatan bebas dari rakjat dapat ditentukan tentang kedudukannja dimasa jang akan datang, terutama kedudukan bagi rakjat Kalimantan sendiri. Perdjuangan sendjata akan diachirî dengan perdjuangan melalui saluran-saluran demokrasi jang mendjadi idam-idaman bagi rakjat didaerah pendudukan.

Bilamana persetudjuan jang demikian itu telah ditjapai, maka aturan plebisciet akan menentukan suatu pembatasan baru jakni soal waktu. Karena pernjataan-pernjataan rakjat Kalimantan dalam pemungutan suara menuntut persiapan-persiapan jang baik, terlebih lagi setelah petjahnja revolusi Nasional misalnja, djika persetudjuan dapat ditjapai pada pertengahan tahun ini, aturan plebiscit menjatakan bahwa suatu pernjataan rakjat dapat diadakan selekas-lekasnja pada permulaan tahun depan. Adalah pada tempatnja, bilamana pihak-pihak jang bersangkutan jang menganggap plebisciet amat penting untuk dilakukan demikian sadja, sebelumnja rakjat mengatakan pendiriannja sudah tentu harus diketahui untuk siapa dan terhadap siapa mereka mengeluarkan suaranja. Untuk memahamkan rakjat tentang maksud jang sebenarnja dari plebisciet ini akan mengambil banjak waktu dan karena itu akan menimbulkan suasana jang agak tegang.

Dan jang demikian ini adalah suatu pembatasan dalam sjarat terachir jang diberikan pada plebisciet dalam pasal jang bersangkutan, jaitu apa jang mendjadi taruhan dari plebisciet. Oleh karena itu kepada seluruh rakjat diberikan kesempatan seluas-luasnja untuk menjatakan perasaannja, kedudukan mana dari daerah Kalimantan ini jang mereka kehendaki, apakah akan mendirikan Negara sendiri atau bergabung dengan Republik dan lain-lain sebagainja. Dengan demikian maka nilai daripada plebisciet ini akan mempunjai mutu jang tinggi didalam usaha menjelenggarakan demokrasi. Atas sjarat-sjarat inilah akan dapat disaring suara-suara dari rakjat berdasarkan suatu perdjandjian politik dan telah ditanda-tangani oleh masing-masing pihak jang bersangkutan. Menurut tafsiran rakjat Kalimantan jang dimaksudkan oleh Panitia Djasa-djasa Baik didaerah kedudukan Belanda, untuk memberikan kesempatan kepada rakjat untuk mengemukakan pendapatnja masing-masing. Rakjat Kalimantan telah memilih djalan jang sebaik-baiknja menurut saluran-saluran demokrasi, sekalipun menurut tafsiran Belanda plebisciet itu hanja dapat dilakukan didaerah jang mendjadi pertikaian selama ini. Walaupun demikian didalam praktiknja untuk melaksanakan plebisciet itu, didalam keadaan jang segenting ini perlu mendapat petundjuk-petundjuk daripada pihak-pihak jang menjelenggarakannja. Didalam bentuknja jang paling mudah adalah apakah ada kehendak jang dapat diperdengarkannja? Dalam pada itu nistjaja adanja kehendak rakjat akan dapat didjamin, bilamana ada pengawasan jang teliti. Soal-soal jang demikian itu termasuk dalam kalangan rakjat jang memegang peranan utama dalam kewadjibannja melaksanakan pemungutan suara. Keadaan-keadaan akan berubah terutama mengenai asas dan kenjataannja, djika soal politik ketatanegaraan harus dipetjahkan dengan djalan plebisciet. Soal-soal jang dalam pada harus dipetjahkan rakjat hampir seluruhnja terletak diatas pengertian rakjat jang umumnja buta-huruf itu. Karena soal plebisciet itu semata-mata soal politik jang didalam hubungannja amat rapat sekali dengan kepentingan rakjat. maka masih mendjadi pertanjaan, apakah plebisciet jang sedemikian itu dapat dilaksanakan menurut ukuran politis. Tetapi bagaimanapun djuga plebisciet itu harus didjalankan mengingat kepentingan rakjat untuk menentukan nasib sendiri. Oleh karena itu waktu jang diberikan 1 tahun sadja tidak tjukup sempurna untuk melaksanakan plebisciet dengan sebaik-baiknja. Pertanjaan jang datang sekali ini jang harus segera diberi djawaban ialah bagaimana Negara-negara bahagian lainaja jang telah dibentuk Belanda akan mempertahankan susunan ketatanegaraannja. Apakah akan meleburkan dirinja kepada Negara Republik Indonesia. Kemungkinan tetap ada untuk mendjelaskan setjukup-tjukupnja kepada golongan-golongan jang tertentu mendjelang diadakannja lebih dari satu perundingan. Tetapi tentang organisasinja dalam mana akan diputuskan oleh rakjat sendiri menurut suara jang terbanjak dapatlah diatur dengan segera.

Dengan djalan ini haruslah plebisciet Itu disesuaikan dengan maksud demokrasi jang tinggi itu, pada mana Panitia Djasa-djasa Baik menghendakinja. Djika ternjata nanti sa'at pertentangan politik dan sa'at pertaruhan sendjata tentera Republik Indonesia dan tentera Belanda telah berachir, maka segenap tenaga ditudjukan kepada pembangunan tanah-air kita. Bahkan dalam pada itu mungkin sekali plebiscict didaerah pendudukan Belanda tidak akan diperlukan lagi.

Djika perkembangan ini dilandjutkan menurut pihak-pihak jang bertudjuan baik, jakni kearah tertjapainja satu Negara nasional jang merdeka dan berdaulat nistjajalah Bangsa dan Rakjat Indonesia akan menduduki tempat jang lajak didalam gelanggang Dunia Internasional. Tetapi dalam situasi dalam dan luar negeri pada waktu itu kemungkinan-kemungkinan jang demikian tingginja tidak akan tertjapai, karena melihat activiteit Belanda didaerah-daerah, maka timbul ketjurigaan terhadap niat Belanda jang diselimuti itu. Pengalaman-pengalaman pada minggu pertama setelah penandatanganan Renville, dalam hubungan kegiatan-kegiatan militer Belanda tidak menggembirakan pada rakjat Indonesia.

Beberapa gerakan militer disekitar plebisciet itu telah dilakukan oleh pihak Belanda, baik setjara perseorangan, maupun oleh kaki-tangannja. Jang menjedihkan tentang gerakannja itu adalah sifat kolonialnja. Sudah selajaknja, bahwa kebanjakan rakjat di Kalimantan ini menanjakan apakah artinja suatu persetudjuan politik, djika dipertundjukkan sikap jang tadjam serta gerakan jang runtjing, apakah nanti jang dapat ditjapai daripada suasana jang katjau-balau itu. Reaksi sedemikian itu dapatlah difahami dan pada pihak lain tidaklah diharapkan, bahwa pada satu ketika akan terdjadi pula suatu pertarungan sendjata jang hebat jang melanggar sendi-sendi perikemanusiaan. Dalam pada itu djika ketjakapan itu dilebih-lebihkan sudah barang tentu adanja sebab-sebab untuk mempertimbangkan soal plebisciet lebih landjut. Bagi rakjat Kalimantan jang telah mengalami siksaan-siksaan dari pendjadjah Belanda tertanamlah satu kebentjian jang besar untuk sewaktu-waktu dapat membalas dendam. Berhubung dengan kekurangan pengertian harap plebisciet itu jang mengandung politik dan organisasi mereka ingin supaja diperlindungi dari kekedjaman-kekedjaman Belanda, dan bagaimanakah plebisciet itu dapat diadakan, djika rakjat dapat antjaman sendjata?

Pelanggaran dengan sendjata disekitar persetudjuan Renville dan pembentukan pemerintah federal interim adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap persetudjuan Renville. Dalam pada itu pemungutan suara adalah djalan satu-satunja kearah bentuk ketatanegaraan untuk melaksanakan kerdjasama antara berbagai daerah di Indonesia ini. Pelbagai aksi dari pihak Belanda tidak sadja bertentangan dengan tjita-tjita semula, melainkan djuga perkosaan terhadap tjita-tjita demokrasi.

Pelanggaran-pelanggaran jang dilakukan dengan sengadja oleh pihak Belanda terhadap persetudjuan itu akibatnja akan menambah keruhnja suasana. Pemungutan suara hanja akan dilakukan setelah tertjapai persetudjuan politik. Karena jang demikian itu seakan-akan tidak mungkin dapat dilaksanakan, bilamana tjita-tjita bekerdjasama tidak dapat didjalankan oleh masing-masing pihak jang bersangkutan. Kesulitan-kesulitan sebagai akibat daripada perbuatan-perbuatan Belanda didaerah dimana akan diadakan plebisciet, jaitu dengan djalan menghalang-halangi adanja persetudjuan jang pasti, tambah pula pemungutan suara itu dianggap untuk mendapatkan suatu kemenangan. Pelanggaran peraturan plebisciet membawa akibat tidak lantjarnja usaha-usaha dari Komisi Tiga Negara jang mendjadi badan perantara untuk merumuskan djalannja pemungutan suara itu.

Pokoknja, ialah untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri bagi rakjat jang tidak sadja terdapat di Djawa, Sumatera, dan Madura akan tetapi djuga didaerah Kalimantan sendiri. Sudah barang tentu akibat daripada penglaksanaan pemungutan suara itu akan dapat diketahui bagaimanakah kedudukan Kalimantan, apakah akan berdiri sendiri sebagai Negara atau untuk menggabungkan dirinja kedalam Negara Republik Indonesia. Dengan mempermudahkan pokoknja pemungutan suara itu adalah suatu tjontoh memalsukan kedjernihan jang dikehendaki oleh pihak Belanda dengan djalan tersembunji. Oleh karena itu pengawasan internasional adalah perlu sekali untuk mendjamin terpeliharanja pemungutan suara dengan setjara bebas dan merdeka, lepas daripada perasaan takut dan chawatir. Djika diantara kaum federalis ada jang menganggap telah tjukup untuk menundjukkan tentang perbuatan-perbuatan jang salah dari pihak Belanda, maka nilai daripada plebisciet itu tidak ada artinja sama sekali, karena plebiscict adalah mendjalankan demokrasi untuk mengukur keinginan-keinginan rakjat.

Dunia internasional meminta untuk memetjahkan perselisihan jang terdapat di Indonesia dalam usahanja untuk melaksanakan tjita-tjita demokrasi tentang hak rakjat didaerah ini. Djika tjita-tjita kaum federalis dan kaum Republikein dan bekerdjasama jang kekal adalah merupakan tjita-tjita menudju kearah pembangunan Negara jang njata, haruslah dibuktikan didepan dunia internasional. Oleh karena itu untuk mentjapai hasil jang sebaik-baiknja dalam hal ini, maka adalah amat penting untuk memberikan penerangan-penerangan dan pendidikan-pendidikan kepada rakjat jang bersangkutan supaja mereka mengerti betapa besar kewadjibannja terhadap daerah ini.

* * *

Penjerahan Kedaulatan.

Awal tahun 1949 adalah permulaan sedjarah Republik Indonesia jang amat mengchawatirkan sekali, karena sedjak itu Belanda telah tidak mengakui adanja Negara atau Pemerintah Republik Indonesia lagi, sedang jang „berdaulat” seluruh Indonesia adalah Belanda sendiri. Perkembangan keadaan selandjutnja diluar dugaan Belanda, karena walaupun Ibu-kota Republik Indonesia telah diserang dan diduduki oleh tentera Belanda, sedang para pemimpin Republik ditangkap dan ditawan, dipisah-pisah diantara kepulauan Indonesia, tetapi tidak demikianlah keadaan jang sebenarnja, karena pemerintahan Republik sekalipun bersifat darurat ada dimana-mana, misalnja di Atjeh, di Philipina dan bahkan di Lake Succes, dan mereka inilah jang merupakan modal jang paling besar untuk melandjutkan perdjuangan mentjapai kemenangan achir.
Reaksi luar negeri terhadap agressi militer jang kedua itu amat tadjam, sehingga Konperensi New Delhi dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa mengetjam perbuatan Belanda sebagai satu perbuatan agressor. Dan dari dalam negeri sendiri timbul kebentjian terhadap Belanda, bahkan membawa akibat perlawanan dimana-mana, sedang dalam BFO jang beraliran kiri dengan terangterangan mentjela tindakan Belanda itu. Dalam "dewan" dan "negara-negara" bagian timbul pertentangan dan perpetjahan antara pro dan kontra Republik Indonesia. Ketjuali daerah Kalimantan Barat, maka daerah Kalimantan lainnja agak tjondong kepihak Republik. Sementara itu perhubungan antara Republik dan Belanda, sudah putus sama sekali; biarpun begitu formeelnja Komisi Tiga Negara masih mempunjai kompetensi untuk menemukan kedua belah pihak itu dalam satu perundingan.
Tetapi karena soal Indonesia sudah langsung mendjadi soal internasional, maka timbul ketjemasan dalam pihak pemerintah Belanda sendiri, sedang usahanja untuk menjerahkan kedaulatan kepada bangsa Indonesia, jang mestinja harus sudah dilakukan pada tanggal 1 Djanuari 1949 harus ditunda sampai keadaan pulih kembali. Memang ada usaha Belanda untuk menjerahkan kedaulatan itu hanja kepada satu pihak sadja, misalnja kepada pemerintahan peralihan, akan tetapi apakah jang demikian itu akan dapat dilangsungkan, padahal Republik Indonesia jang mendjadi faktor terpenting dalam soal penjerahan kedaulatan itu tidak ikut serta.
Apakah BFO akan begitu berani untuk menerima kedaulatan itu zonder Republik Indonesia, sekalipun jang demikian ini pernah dinjatakannja, bahwa perdjuangan BFO berdjalan terus, met of zonder Republik Indonesia. Dan kesempatan sekarang ini memang terbuka seluasnja, baik bagi Belanda sendiri, maupun bagi kaum federalis umumnja untuk menerima penjerahan kedaulatan, djustru pada saat Pemerintah Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, menurut anggapan pihak Belanda sendiri. Keadaan jang demikian inilah jang menjebabkan perpetjahan dalam kalangan BFO dan dalam kalangan pemerintah Belanda sendiri, baik jang di Indonesia, maupun jang di Nederland. Ini diketahui karena soal Republik Indonesia sudah mendjadi atjara dunia internasional jang tidak mungkin ditarik kembali.
Sebagai bukti daripada perpetjahan ini, ialah berhentinja Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. Beel dan adanja perpetjahan antara golongan Shermerhorn disatu fihak dan golongan Stikker dilain fihak. Oleh karena itu dalam BFO, karena dorongan jang kuat dari golongan kiri jang masih memandang Republik Indonesia sebagai faktor jang terpenting dalam mentjapainja kemerdekaan, berusaha untuk mendekati pemerintah Republik, baik mereka jang ada di Bangka, maupun di Prapat.
Ketua BFO Sultan Hamid dari Kalimantan Barat telah mengadakan perhubungan surat-menjurat dengan Wakil Presiden Hatta, dalam mana dinjatakan kehendak BFO untuk merundingkan soal-soal jang tumbuh sekarang ini. Sikap pernjataan kompromi dari pihak BFO dan Republik, baru dalam tingkat informeel dan sampai kemana usahanja untuk melaksanakan suatu perundingan dalam tingkat formeel masih merupakan tanda-tanja, karena tidak sadja sikap dari pihak Belanda jang tidak menjetudjui resolusi Dewan Keamanan, akan tetapi djuga karena sikap Republik Indonesia jang patuh kepada keputusannja, jaitu kembali ke Jogja, baru dapat diadakan perundingan lagi.
Sikap Pemerintah Republik ini ternjata menimbulkan kesulitan jang amat besar bagi pemerintah Belanda, djuga timbul dalam kalangan BFO sendiri. Belanda belum dapat melepaskan interpretasinja mengenai Republik Indonesia jang dikatakannja hanja pemerintah perseorangan dari Republik, dan karena ini status dari Pemerintah dan daerah Republik Indonesia harus ditentukan lebih dahulu oleh rakjat didaerah Republik sendiri.
Bagi pihak Republik segala matjam tindakan Belanda, baik mengakui atau tidak terhadap pemerintah Republik Indonesia, tetapi jang penting baginja ialah menerima resolusi Dewan Keamanan dan bersedia untuk melaksanakannja. Rakjat Indonesia melihat suatu kenjataan bertindak dan keberanian dari pihak Pemerintah Republik Indonesia, sekalipun mereka hanja bersuara dalam satu tempat tawanan di Bangka dan Prapat jang didjaga keras oleh tentara Belanda.
Sikap inilah jang menarik sympathie seluruh Indonesia, tetapi jang ternjata menimbulkan perpetjahan dikalangan Belanda dan dalam BFO sendiri. BFO jang tadinja amat aktip, agaknja sekarang seperti thermometer jang turun deradjatnja, sedemikian lamanja bersidang masih belum dapat menemui djalan mana jang harus dilaluinja . Ketua BFO Sultan Hamid dari Kalimantan Barat nampaknja kehilangan kepertjajaan dari kawan-kawannja se federalis . BFO harus berani mengambil tindakan, kepihak mana mereka harus menjebelah. Adalah amat mengetjewakan bagi golongan kanan BFO, karena Parlemen Pasundan mendesak kepada pemerintah Belanda supaja menerima baik resolusi Dewan Keamanan sebagai dasar usaha untuk mempertemukan perundingan kembali antara Republik Indonesia dan Belanda.
Tindakan Pasundan ini difahami oleh lain daerah, antaranja beberapa golongan dalam daerah-daerah di Kalimantan, ketjuali Kalimantan Barat timbul kasedaran untuk menjatakan sikapnja untuk memperkuat sekalipun belum terlambat mosi Pasundan itu. Bahkan ada aliran jang ingin mendorong supaja BFO-lah jang seharusnja mendukung dan menjokong resolusi Pasundan, dan dengan lain perkataan supaja resolusi Pasundan itu diambil over oleh BFO. Sudah barang tentu keadaan jang demikian ini menambah tegangnja keadaan, karena golongan dari Kalimantan Barat, Dajak Besar, Sumatera Selatan, Tapanuli, dan Sumatera Timur tidak menjetudjui sikap demikian. Mereka dari golongan kanan ini jang djumlahnja ditaksir hanja 40%, sedang lainnja adalah aliran Republikein masih berpegang pada pendirian pemerintah Nederland jang tidak mengakui adanja Pemerintah Republik lagi, jaitu setelah "politioneel-actie".
Sementara itu pemerintah Belanda dengan resmi menjatakan, bahwa tanggal 1 Djuli 1950 akan dilangsungkan penjerahan kedaulatan, sedang konperensi Medja Bundar akan dimulai dalam bulan Maret 1949. Anggapan umum di Indonesia, bahwa baik konperensi KMB maupun penjerahan kedaulatan tidak akan dapat dilangsungkan apabila Pemerintah Republik Indonesia tidak ikut serta. Berhubung dengan itu, baik pihak Belanda maupun BFO telah menjampaikan undangan kepada Republik Indonesia untuk menghadiri KMB, akan tetapi oleh Republik Indonesia tidak dapat diterima begitu sadja, jaitu sebelum Pemerintah dan daerah Republik dikembalikan ke Jogjakarta. Agaknja Belanda akan berdjalan sendiri dengan kaum federalis untuk melangsungkan KMB, karena baginja hal jang sedemikian ini amat penting, sedang pemerintah federal jang dianggap resmi mewakili hanja tiga bagian Indonesia akan dapat menerima penjerahan kedaulatan itu. Orang hanja ingin melihat sampai kemana kesanggupan Belanda dan BFO untuk menjerahkan kedaulatan. Tetapi kadaan dan perkembangan politik di Indonesia berdjalan amat tjepatnja, apa jang dirasakan baik untuk hari kemarin, maka sudah tidak dapat dipergunakan untuk hari ini. BFO berubah sikap mau mengadakan kontak resmi dengan Pemerintah Republik, sedang Republikpun bersedia untuk mengadakan perundingan BFO atas sjarat-sjarat jang tertentu. Siasat Republik ialah akan mempergunakan BFO untuk mendesakkan kepada Belanda supaja menerima sjarat-sjarat Republik kembali ke Jogja dan kemudian KMB dan selandjutnja. Pada mulanja BFO tidak dapat menerima sjarat-sjarat itu, karena chawatir dengan Belanda, akan tetapi pihak jang ingin melihat Republik Indonesia kembali ke Jogja, jang terdiri dari golongan progressip dalam BFO menjetudjui sjarat-sjarat Republik itu.

Utusan-utusan dari „Dewan Bandjar" jang turut dalam mentjari kontak dengan pihak Republik, tidak ingin meninggalkan Republik dalam perdjuangan KMB, karena Republiklah jang sebenarnja mendjadi titik berat perhatian dunia internasional sekarang ini, dan bagaimana mungkin BFO dapat diterima penjerahan kedaulatan, sedang sebagian besar rakjat Indonesia berdiri dibelakang Republik? Siapakah jang akan bertanggung-djawab terhadap djalannja sedjarah nanti, apabila jang demikian ini akan terdjadi djuga?

Pertanjaan-pertanjaan inilah jang menimbulkan kesangsian terhadap BFO, lebih-lebih bagi golongan jang pro Republik. Dan karena bagian terbesar dalam BFO menghendaki supaja Republik kembali ke Jogja, dan akan menjampaikan saran dan usul-usul itu kepada pemerintah Belanda, maka dalam perkisaran keadaan dan perkembangan politik dalam negeri jang demikian tegang dan runtjing, maka achirnja Belanda bersedia sjarat-sjarat jang diadjukan Republik itu, dengan tjatatan, bahwa Republik harus djuga bersedia untuk mendjadi negara bagian dalam NIS jang akan dibentuk.

Dalam pertengahan Djuni 1949, Republik Indonesia kembali keibu-kota semula. pemerintah Belanda mendjilat ludahnja kembali mengakui adanja Pemerintah dan Negara Republik. Sementara itu kesibukan nampak dalam Republik, sedang dalam BFO djuga ada kesibukan, karena datangnja usul mosi dari delegasi Indonesia Timur dan bagian lainnja supaja mendahului mengadakan perundingan antara Indonesia, sebelumnja berangkat mengundjungi KMB. Aktiviteit dari Republik-BFO ini tidak diinsjafi oleh Belanda, karena Belanda repot dengan penarikan mundur tentaranja dari seluruh daerah Republik (Renville).

Demikianlah perundingan dilangsungkan di Jogja dan Djakarta antara Bangsa Indonesia sendiri, dan dalam perundingan itu Republik telah dapat menginsjafkan pihak BFO, bahwa jang berunding di Medja Bundar hanjalah dua partai sadja, jaitu antara Indonesia dan Belanda. Djadi tidak tiga partai seperti jang dikehendaki Belanda, Republik-Belanda-BFQ. Pendirian Republik ini diterima oleh BFO, dan sedjak itu ketegangan politik agak kendur.

Bagi rakjat Indonesia jang ada didaerah-daerah jang memperhatikan djalannja proses sedjarah, sudah dapat mengerti tentang langkah-langkah jang diambil Republik, dan langkah-langkah jang kelihatan didalam BFO, bahwa dengan adanja konperensi Inter Indonesian itu, jang melahirkan adanja PPN (Panitia Persiapan Nasional), dengan sendirinja organisasi BFO jang dibentuk atas andjuran Belanda dibubarkan pada tanggal 7 Djanuari 1950 dibekas Gedung „Volksraad" Pedjambon telah diadakan sidang terachir dari BFO jang dihadiri oleh para anggautanja, ketjuali Riau dan Kalimantan Tenggara jang tidak dapat hadir karena berhalangan.

Dalam sidang terachir ini telah dinjatakan dengan resmi akan bubarnja badan federalis itu, setelah setahun lamanja „berdjuang". Anak Agung dari Indonesia Timur dalam pidatonja, menjatakan, meskipun pada permulaan pembentukan BFO ada tuduhan-tuduhan, bahwa badan ini akan merupakan pihak ketiga jang akan merugikan penjelesaian masalah Indonesia, tetapi BFO telah dapat membuktikan, tidak pernah bertindak bertentangan dengan perdjuangan kemerdekaan Indonesia".

Demikian djuga Sultan Hamid dari Kalimantan Barat jang menutup sidang itu, menjatakan, „bahwa tugas BFO sekarang telah selesai dengan berdirinja RIS jang merdeka dan berdaulat, tjita-tjita satu Negara Hukum Sedjati berdasar federal jang didalamnja ada tempat bagi setiap orang jang berkemauan baik, sedang perdamaian dan kemakmuran akan menetapkan kelak tudjuan kebidjak- sanaan pemerintah".

Sebagai akibat berdirinja RIS, maka didaerah-daerah, terutama didaerah Kalimantan berlomba-lomba untuk menggabungkan diri dengan pemerintah Republik Indonesia. Sebelum usaha-usaha penggabungan mempunjai wudjud jang njata, maka diusahakan lebih dahulu pembubaran „dewan" daerah. Mosi dan resolusi jang datangnja dari segenap partai amat membingungkan bagi pemerintah daerah, apakah jang dapat mereka perbuat dalam keadaan seperti itu, karena untuk mempertahankan „dewan" berarti mereka menentang kehendak gelombang massa jang menginginkan supaja lembaga-lembaga kolonial itu disapu bersih.

Sementara itu pada tanggal 13 Maret 1950 Perdana Menteri Republik Indonesia Dr. Halim telah menetapkan, bahwa segala peraturan dan undang-undang Republik Indonesia dengan sendirinja berlaku didaerah-daerah Kalimantan jang digabungkan, ketjuali peraturan-peraturan dan undang-undang menurut keadaan belum dapat didjalankan. Selandjutnja ditetapkan, bahwa sebagai akibat penggabungan ini Republik Indonesia mengoper segala hak, kekuasaan, milik kewadjiban dan hutang-piutang daerah-daerah jang telah tergabung dengan Republik. Bahwa Perwakilan Rakjat Daerah, kabupaten dan kota-kota semuanja harus dibubarkan, menunggu disusunnja Dewan Perwakilan Rakjat Propinsi. Kabupaten, dan Kota menurut peraturan jang segera akan ditetapkan. Pegawai jang ada didaerah bagian ialah:

  1. Pegawai Republik Indonesia. Pegawai-pegawai ini dipertahankan.
  2. Pegawai bekas daerah bagian. Pegawai ini pada umumnja diover.
  3. Pegawai RIS jang diperbantukan kepada daerah-daerah bagian termasuk pegawai bangsa Belanda jang akan diperbantukan. Pegawai-pegawai ini akan diperlakukan sebagai pegawai-pegawai bekas daerah bagian, tetapi
    1. selandjutnja harus dipetjahkan, apakah mereka itu dibutuhkan atau tidak, djika tidak maka mereka akan dikembalikan dan mereka tetap mendjadi tanggungan RIS.
  1. Pegawai-pegawal RIS jang mendjalankan federaaldiensten akan tetap ada selama diensten tersebut dipertahankan.

Dalam instruksi itu disinggung-singgung djuga tentang pegawai-pegawai jang noncooperator jang dinjatakan harus dikerdjakan lebih dahulu. Pengumuman pemerintah Republik Indonesia ini pada umumnja menggelisahkan dan menimbulkan paniek, terutama bagi golongan cooperator. sedang dari golongan non-cooperator disambut dengan segala kegirangan, Pertentangan pegawai antara Non dan Co boleh dikatakan tidak begitu meruntjing bagi daerah Kalimantan, karena golongan pegawai jang mendjalankan Non ada sedikit sekali, djika dibandingkan dengan golongan Co jang pada umumnja melakukan kerdjasama dengan Belanda. Dan dalam daerah Kalimantan Barat hampir dapat dikatakan tidak ada golongan Non, karena maklumlah djumlah pegawai di Kalimantan Barat umumnja didatangkan Belanda dari luar daerah. Tetapi walaupun demikian hal ini minta perhatian dari pemerintah, karena apabila hal ini tidak dapat penjelesaian sebagaimana mestinja, maka dichawatirkan akan terdapat pula ketegangan antara sesama pegawai.

Instruksi Perdana Menteri Republik menimbulkan bermatjam-matjam interpretasi dikalangan masjarakat, tetapi jang lebih njata ialah segera setelah instruksi itu datang, maka dengan spontaan rakjat Kalimantan mengadakan tuntutan penggabungan selekas-lekasnja dengan Republik Indonesia. Dalam daerah Dajak Besar hal ini lebih djelas lagi, karena partai-partai politik telah memadjukan mosi mendesak pembubaran „dewan" dan lekas bergabung. Dipandang sepintas lalu, maka semangat rakjat Dajak Besar jang demikian itu, sebenarnja berlawanan dengan tradisi dan kebiasaan mereka jang tenang dalam menghadapi soal-soal, tetapi tekad untuk madju terus bergelora.

Rakjat Dajak Besar sudah terlalu kerandjingan terhadap Republik Indonesia. dan karena itu dewan boneka segera bubarkan. Tetapi bagi pihak federalis jang djuga tidak hendak mempertahankan dewan anugerah Belanda itu, dengan perlahan-lahan dapat menginsjafi kehendak rakjat, tetapi tidak bersedia mengakui, kalau „dewan" itu dikatakan sebagai dewan kolonial, karena mereka berpendapat, bahwa dalam perdjuangan mentjapai kemerdekaan Indonesia, hanja itulah jang dapat mereka tjapai, lebih-lebih dalam suasana dan keadaan jang amat labiel.

Tetapi apa sadja jang berbau Belanda, maka ia akan dihantjurkan oleh kekuatan massa, dan siapa sadja jang berani menghalangi arus kemauan jang demikian hebatnja, maka ia akan turut hanjut. Dan karena alasan-alasan inilah maka „dewan" Dajak Besar, Bandjar. Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur sedjak lama politik beleidnja dirumuskan kearah mendekati keinginan rakjat, mendahului meleburnja kedalam Republik Indonesia, dengan kemauan sendiri, sebelum rakjat dan partai-partai mengambil sesuatu tindakan.

Pada tanggal 17 Oktober 1949. „dewan" Dajak Besar sudah mengambil satu keputusan untuk penggabungan itu, dengan pengertian harus dilakukan melalui djalan undang-undang. Dalam pada itu „dewan" tersebut berpendapat tegas tentang penjerahan mandaat dan penggabungan daerah Dajak Besar, jaitu sesudah sidang umum jang akan dilangsungkan beberapa hari kemudian setelah instruksi pemerintah R.I. díterima. Tetapi sementara itu rintisan telah dibuat dengan seterang-terangnja dalam arah jang ditudĵu jaitu menghendaki penggabungan dengan R.I. dalam waktu jang sesingkat-singkatnja. Kapada partai politik telah ditawarkan supaja memberi bantuan dalam hal ini, jakni memberi isi kepada penggabungan itu nanti.

Tetapi ada jang harus disesalkan terhadap beberapa partai jang telah kerandjingan, sehingga kurang faham terhadap pelaksanaan penggabungan itu, seperti jang dimaksud oleh „dewan" jang hanja bersedia patuh bila dilakukan dengan undang-undang atau peraturan. Untuk ini perlu dikemukakan, bahwa daerah Kalimantan, sedjak dahulunja bukan daerah Republik Indonesia, jaitu menurut sepandjang perdjandjian Linggardjati, althans tidak dapat disamakan dengan daerah Pasundan jang memang daerah Republik, misalnja ketika zaman Linggardjati adalah daerah de facto Republik Indonesia.

Sebenarnja soal penggabungan daerah Kalimantan sudah tidak mendjadi soal lagi, melainkan soalnja ialah dengan tjara bagaimana untuk melaksanakan penggabungan itu. Karena apabila dilakukan penggabungan, tentunja wakil pemerintah harus ada, sekedar untuk mendjaga djangan sampai terdapat „gezags-vacuum", karena sudah barang tentu seluruh pegawai dan anggauta „dewan" akan meletakkan djabatannja. Dalam keadaan demikian itu siapa jang harus bertanggung-djawab? Sedang untuk mentjarikan penggantinja sudah tentu akan menelan waktu jang amat pandjang. Andaikata sementara itu akan ditempatkan Komisaris Pemerintah RIS, tetapi oleh RIS sendiri tidak dapat langsung diserahkan pada RI, karena berlawanan dengan prinsip dari RI, pun djuga mungkin akan ditentang oleh rakjat, maka rumusan mana jang akan dipergunakan untuk mententeram suasana?

Dari keadaan-keadaan jang timbul itu sedikit banjak menginsjafkan pada kaum federalis Kalimantan untuk menuruti kehendak rakjat daerahnja, dimana mereka dengan perasaan tertekan dalam DPR-RIS telah mengadjukan mosi pada tanggal 2 Maret 1950 jang ditundjang oleh beberapa Ketua-ketua fraksi dan lain-lain untuk mendesak pemerintah mengeluarkan Undang-undang Darurat untuk menggabungkan daerah Kalimantan, – ketjuali Kalimantan Barat – kepada Republik Indonesia.

Mosi itu diterima oleh Parlemen RIS dengan 82 suara setudju dan 5 suara menentang, antaranja suara-suara dari wakil-wakil Kalimantan Barat dan Sumatera Timur. Mosi itu kemudian lalu digabungkan dengan mosi wakil-wakil daerah lainnja jang djuga diterima oleh Parlemen. Berhubung dengan besarnja harapan Undang-undang Darurat itu akan lekas dikeluarkan, maka anggauta-anggauta „Dewan" Dajak Besar mengadjukan pertanjaan kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia:

  1. Bagaimanakah tjara penggabungan itu, karena mungkin pelaksanaan penggabungan akan telalu lambat bilamana menurut undang-undang darurat.
  2. Bahwa bila diadakan segera pemilihan baru untuk keanggautaan „dewan" Dajak Besar, maka hal itu akan menjulitkan, karena peraturan pemilihan sekarang ditambah atau dirubah, besar kemungkinan tidak sesuai dengan peraturan jang akan diadakan RI, sehingga harus diadakan pemilihan baru.
Pertanjaan ini tetah didjawab oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtoprodjo, bahwa Pemerintah akan membitjarakan hal itu dengan Menteri Dalam Negeri RIS agar dibuat perentjanaan penggabungan jang tjepat. Bahwa kurang perlu segera diadakan pemilihan untuk sementara Dewan jang sekarang tjukup representatief, karena kalau delegasinja dahulu turut menghadiri KMB dan menandatangani Undang-undang Dasar Sementara, dan dewan dapat mewakili suara Rakjat, untuk bergabung dengan RI.


Sedjalan dengan keterangan dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia itu, maka pada tanggal 4 April 1950 Presiden Sukarno telah menandatangani surat keputusan masuknja daerah-daerah Kalimantan Timur, Tenggara, Selatan dan Dajak Besar kepada Republik Indonesia. Untuk melakukan timbang terima pemerintahan daerah-daerah tersebut Pemerintah Pusat Republik Indonesia telah mengirimkan Mr. Susanto Tirtoprodjo, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Bagi Pemerintah Republik Indonesia masuknja Kalimantan, bukanlah berarti pengluasan daerah Republik Indonesia. Karena sedjak Proklamasi 17 Agustus 1945, rakjat Kalimantan sudah mendjadi satu keluarga Indonesia, tetapi oleh sebab keadaan dipaksa meninggalkan keluarga jang hanja buat sementara.


Pemerintah Republik Indnesia menjambut dengan segala senang hati bergabungnja seluruh daerah Kalimantan dan daerah-daerah lainnja kedalam Republik Indonesia, karena Pemerintah Republik tidak pernah mengakui berdirinja negara-negaraan jang ditelurkan oleh Van Mook dan jang tidak dikehendaki oleh rakjat. Belanda telah berhasil mendirikan daerah-daerahan dengan kekuatan sendjata. Rakjat Kalimantan sendiri dengan gerilja dan perdjuangan lainnja telah membuktikan, bahwa rakjat tidak mengakui segala matjam dewan-dewanan. Betapa hebatnja perdjuangan rakjat sudah diketahui oleh pemerintah Republik Indonesia. Diseluruh Kalimantan perdjuangan menentang kekuasaan Belanda dan alat-alatnja telah terdjadi. Ini semua menundjukkan, bahwa djiwa proklamasi tetap ada disebagian besar rakjat Kalimantan. Oleh karena itu pemerintah Republik Indonesia beranggapan, bahwa sedjak tanggal 17-8-1945 seluruh Indonesia umumnja dan Kalimantan chususnja adalah satu negara kesatuan jang merdeka dibawah satu Pemerintah Pusat. Oleh karena itu pula Pemerintah Republik Indonesia tetap mempertahankan djiwa 17 Agustus, sekalipun telah ada kali menghadapi agressi militer Belanda.


Keinginan rakjat Kalimantan untuk menggabungkan daerahnja kedalam Republik Indonesia sekarang telah mendjadi kenjataan. Pemerintah Republik menerima Kalimantan dengan segala kegembiraan dan penuh tanggung-djawab. Pemerintah jakin, bahwa keinginan rakjat Kalimantan tidaklah sampai disitu sadja. Masih ada tudjuan jang lebih penting dan lebih besar. Tudjuan itu ialah kemakmuran seluruh rakjat, sesuai dengan isi Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Kejakinan setiap orang, bahwa dengan hanja negara kesatuan kemakmuran seluruh rakjat akan lebih sempurna terlaksana. Daerah Kalimantan jang kaja raya, tapi hidup rakjatnja karena akibat politik pendjadjahan sampai sekarang masih tetap sengsara.


Beberapa waktu jang lalu perhatian dan perdjuangan rakjat Kalimantan sebagian besar masih tertudju kepada usaha penggabungan Kalimantan kepada Republik Indonesia dan pembubaran dewan- dewanan. Phase perdjuangan jang demikian itu kini telah selesai. Sekarang tibalah saatnja buat membanting -tulang melaksanakan tjita-tjita negara mengusahakan perbaikan nasib seluruh rakjat. Dengan tergabungnja daerah Kalimantan dan sambil menanti susunan jang diinginkan rakjat, maka salurkanlah segala keinginan itu tidak sadja untuk mengisi kemerdekaan dan kekurangan-kekurangan di Kalimantan ini, melainkan djuga membantu Pemerintah Republik daerah ini untuk mengembalikan keadaan sebagaimana mestinja.


Beberapa hari setelah penggabungan itu ditanda-tangani oleh Presiden Sukarno, maka pada tanggal 14 April 1950 pemerintah Republik telah menempatkan Dr. Murdjani selaku Wakil Pemerintah Pusat RI untuk mendjalankan pemerintahan daerah Kalimantan. Sedjak hari itu semua dewan perwakilan daerah serta madjelis pemerintah daerah Bandjarmasin, Dajak Besar dibubarkan. Untuk melaksanakan segala pekerdjaan pemerintah, sebelum ada ketetapan dari pemerintah pusat, maka oleh Wakil Pemerintah telah ditundjuk Winarno selaku Residen Kalimantan Selatan.


Sambil menunggu tersusunnja kembali dewan-dewan perwakilan baru menurut Undang-undang RI, dibentuk dewan perwakilan darurat jang selandjutnja akan menjusun dewan pemerintah darurat. Tetapi apa jang telah mendjadi keinginan pemerintah untuk menstabiliseer pemerintahan daerah menurut sjarat-sjarat demokratis, maka pemerintah terbentur kepada beberapa kenjataan jang amat pahit, jang harus dihadapinja dengan perasaan dan tanggung-djawab jang besar. Pemerintah harus dapat mengatasi segala matjam kesulitan. Kesulitan sebagai akibat daripada penggabungan dan pembubaran dewan daerah, dan peristiwa-peristiwa lainnja. Kalau dalam masa jang lalu rakjat Kalimantan senantiasa mendesak untuk minta mendjadi daerah bagian RI, mempertahankan dasar negara kesatuan, menta'ati proklamasi, adalah karena kemerdekaan jang telah ditjapai sekarang ini bagi daerah Kalimantan belum dapat memberikan djaminan dan kepuasan bagi rakjat, jang selama pendjadjahan Belanda hidup tertekan dan haus kemerdekaan.


Salah satu faham jang mempengaruhi masjarakat setelah adanja penggabungan itu, adalah tidak mengakui segala alat-alat, instansi dari bekas daerah federal. Lebih-lebih kepada perseorangan jang dengan sengadja menekan perdjuangan merebut kemerdekaan, dimana setelah kemerdekaan dan kedaulatan berada dalam tangannja bangsa Indonesia, maka alat-alat dan instansi dari zaman kolonial itu ternjata kini dipelihara dan dibutuhkan. Faham jang demikian ini masih berurat berakar mempengaruhi alam pikiran sebagian besar pedjuang dan pemimpin, sebagai landjutan tafsiran dari proklamasi kemerdekaan. Dengan faham inilah, maka segala matjam tjorak jang berbau RIS tidak mendapat penghargaan sebagaimana mestinja, djika dibandingkan dengan penghargaan jang besar terhadap Republik Indonesia jang dasar-dasarnja sedjak semula mempengaruhi djiwanja.


Djustru karena itulah rakjat Kalimantan sebagiannja lalu mentjari dan menempuh djalan sendiri jang dirasanja baik, asal sadja hasrat jang bergelora itu pulih kembali dan merasa puas. Dari pihak pemerintah daerah dan dewannja, meski dibentuk dalam zaman kolonial Belanda, akan tetapi sebagian orang menganggap representatief menurut tata-hukum jang sah dan merasa bertanggung-djawab untuk menjelenggarakan daerahnja, selalu berusaha untuk memenuhi hasrat dan memberikan kepuasan pada rakjat Kalimantan. Pemerintah Republik Indonesia jang tidak ingin melihat adanja pertentangan dari golongan-golongan jang satu sama lainnja selalu berselisih, mentjari djalannja sendiri-sendiri, menambah keruwetan dalam masjarakat jang harus segera dapat diatasi. Akan tetapi karena penggabungan daerah adalah jang mendjadi pokok pangkalnja dari semua kesulitan, terutama bagi pihak jang harus menjerahkannja, maka dalam soal penggabungan itu, sebenarnja adalah kehendak dari sebagian besar rakjat Kalimantan.


★ ★ ★


Federalisme-Unitarisme.

Faham federalisme tumbuh dalam masjarakat Indonesia diluar daerah Republik Indonesia sedjak adanja Konperensi Malino jang diusahkan Belanda, kemudian berkembang setelah persetudjuan Linggardjati-Renville. Tumbuhnja adalah karena paksaan Belanda sendiri, jang tidak ingin melihat kesatuan dan persatuan nasional Indonesia jang pada hakekatnja akan merugikan kepentingan-kepentingan Belanda di Tanah-air ini. Federasi Indonesia buat Belanda tidak sadja akanmengurangi kekuatan nasional, akan tetapi djuga akan mengadu-dombakan antara bangsa dan rakjat Indonesia sendiri.


Tetapi faham federasi jang diusahakan Belanda ini hanja tumbuh dalam daerah-daerah, dimana Belanda dapat berkuasa, dan jang hanja terbatas dalam lingkungan ketjil sadja, sedang rakjat Indonesia umumnja tidak turut merasakan faedah jang sebenar-benarnja dari faham federasi ini. Politik separatisme Belanda amat tadjam sekali, terutama didaerah Kalimantan, dalam mana Belanda menghidupkan kembali sentimen-sentimen kedaerahan dengan didirikannja daerah demi daerah. Kemudian daerah-daerah ini dihimpun dalam satu BFO (Bijzondere Federale Overleg), jang mempunjai kewadjiban untuk melaksanakan berdirinja Negara Indonesia Serikat.


Pembagian-pembagian sematjam ini sebenarnja tidak menguntungkan bagi politik Belanda, melainkan sebaliknja merugikan, karena Belanda tidak tjukup teliti untuk mengawasi setiap aliran jang menggabungkan diri dalam BFO. Karena ternjata didaerah-daerah, baik di Indonesia Timur, Djawa Barat, Tengah, Sumatera dan Kalimantan jang telah terbagi atas beberapa bagian daerah tidak semuanja berdiri diatas kepentingan Belanda. Dengan lain perkataan tidak semua aliran jang berpendirian federalisme, tetapi ada diantaranja jang menganut faham Republikein unitarisme, sekalipun jang tersebut belakangan ini tidak dengan terang-terangan menjatakan sikapnja. Aliran inilah jang memusingkan Belanda. Buat di Kalimantan, ketjuali jang mempunjai turunan darah-darah feodal dan atas kepentingan perseorangan, memaksakan diri untuk menganut federalisme, agar dengan demikian keturunan dan kebutuhan hidup mereka terdjamin karena perlindungan sendjata Belanda. Daerah Kalimantan sedjak dulu, merupakan daerah penampungan aliran nasionalisme jang senantiasa berkembang. Permainan politik Belanda di Kalimantan berkisar-kisar diatas permainan politik menghidupkan suku-suku bangsa, misalnja suku Dajak, suku Bandjar, bahkan suku bangsa asingpun mendapat perlakuan agak baik, djustru karena kepentingan mereka atas suku-suku ini besar sekali, bila dibanding dengan suku-suku lainnja jang hidup-matinja bersandar atas djalan nasionalisme. Kedudukan istimewa jang diberikan terhadap daerah Kalimantan Barat, berdasar atas statuut daerah tersebut, pada hakekatnja adalah penggadaian daerah bagian Indonesia kepada Belanda imperialis. Walaupun demikian Belanda kurang berhasil dalam usahanja untuk memetjah-belah dan kemudian mendjadjah Indonesia kembali, sebagai dalam abad-abad jang lalu, karena perimbangan kekuatan dan kesedaran antara aliran unitarisme dan federalisme ternjata berat sebelah. Padahal daerah jang telah dikuasai Belanda itu, mereka tidak melihat adanja perubahan sikap dari umumnja sebagian kaum federalis, jang pendiriannja kadangkali berkisar-kisar atas pasang-surutnja perdjuangan Republik Indonesia.


Segenap aliran jang tergabung dalam apa jang dinamakan pemerintah federal sementara jang didukung oleh semua aliran jang tergabung dalam BFO kelihatannja tidak begitu kompak, jaitu setelah Belanda mengadakan tindakan agressie militer dan menawan pemimpin-pemimpin Republik. Keketjewaan itu, makin bertambah besar jaitu setelah mengetahui tentang konsepsi Belanda mengenai Negara Indonesia Serikat, karena negara ini akan mendjadi penampung bagi tentara Belanda, Darat, Laut dan Udara, sedang belandjanja harus dibajar sendiri oleh Pemerintah NIS.


Lama sebelum terdjadi peristiwa bersedjarah tentang pengakuan Kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia Serikat, maka perkembangan politik dan situasi tanah-air berdjalan dengan amat tjepat sekali. Jang perlu ditjatat dalam beberapa perlintasan zaman itu, ialah tentang usaha-usaha pembangunan dari pihak Republik Indonesia dan penghantjuran dilain pihak oleh Belanda, sedang didaerah Kalimantan usaha Belanda untuk mendirikan „negara” Kalimantan belum mempunjai patokan jang pasti dan dapat dikatakan tidak berhasil sama sekali.


Dalam zaman federal pemerintah interimnja sudah dibentuk, tapi oleh pihak Republik dianggap sebagai satu pelanggaran terhadap persetudjuan Renville, maka Belanda dengan kawan-kawan bonekanja dengan „BFO”-nja sebagai alat, merasa perlu mengirimkan Sultan Hamid dari Kalimantan Barat ke Amerika Serikat buat turut memberikan suara kaum federalis dalam Dewan Keamanan, djustru pada saat Dewan Keamanan sedang membitjarakan pertikaian Indonesia-Belanda. Dalam pertengahan dan achir tahun 1948 bagi Belanda merupakan puntjak daripada segala kegiatannja, apakah dalam tahun ini sudah dapat ketentuan jang memastikan tentang djalan politiknja jang dihadapkannja tidak kepada Republik Indonesia, akan tetapi djuga setjara tidak langsung kepada dunia internasional.


Daerah Republik Indonesia sedjak penandatanganan Renville adalah sebagai satu daerah jang sempit dan terkepung, karena disekitarnja Belanda telah membentuk negara-negaraan Djawa Barat, Djawa Tengah, Djawa Timur, Madura dan Pasundan serta seluruh daerah pendudukannja, jang disertai pula dengan tindakan-tindakan dilapangan militer, gentjatan sendjata, perhentian permusuhan, penarikan TNI, adalah merupakan saat-saat jang kritis dan tragis dalam sedjarah perdjuangan Republik Indonesia.


Tetapi meskipun demikian Republik Indonesia dan segenap kaum Republikein didaerah pendudukan masih sanggup untuk melandjutkan perdjuangannja, lebih-lebih setelah Republik ini mendapat beberapa pengakuan resmi dari negaranegara lain ( Arab League, Inggeris, Amerika, Mesir, Libanon, Syria, Irak, Birma, Saudi Arabia, Yemen ) dan setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa turut membitjarakannja sebagai salah satu masalah dunia internasional, menundjukkan betapa gagalnja usaha Belanda untuk menghantjur-leburkan pemerintah dan negara Republik Indonesia. Perkembangan politik baik didaerah Republik, maupun didaerah pendudukan Belanda menundjukkan keadaan jang tidak sewadjarnja, sekali tenang, sekali katjau-balau dan kadang-kadang tegang sama sekali, ini adalah akibat daripada perundingan Belanda-Indonesia tidak selalu menggembirakan bagi semua pihak.


Bagi rakjat Kalimantan sudah semakin djelas, bahwa pihak Belanda masih kurang memberikan goodwil, masih kurang pertjaja terhadap perdjuangan kaum republik. Pembentukan pemerintah federal interim, jang dilahirkan oleh konperensi Djawa Barat menimbulkan ketjurigaan bagi pihak Republik terhadap maksud dan tudjuan Belanda. Sikap jang sematjam itu semata-mata merugikan bagi Belanda dan boneka-bonekanja, karena mereka umumnja telah membutakan mata terhadap kebangunan nasionalisme Indonesia, jang telah mendjadi kenjataan daripada apa jang telah dibuktikan oleh Republik Indonesia.


Bagi kaum Republikein Indonesia, dimanapun mereka tinggal, tidak memandang, bentuk apakah jang paling sesuai dengan djiwa rakjat Indonesia, federaliskah atau unitaris, karena jang demikian ini adalah soal bangsa Indonesia sendiri untuk menentukannja, jang tidak selajaknja diperundingkan dengan Belanda. Dalam pada itu dengan penuh kebulatan tekad dan kepertjajaan atas tenaga dan kesanggupan sendiri, ~ walaupun suasana perundingan Indonesia Belanda masih belum boleh dikatakan akan segera mendapat persesuaian ~ maka rakjat Kalimantan jang tinggal dalam daerah pendudukan Belanda kolonial tetap jakin dan pertjaja, bahwa kedua belah pihak achirnja akan mentjapai perdjandjian politik jang kekal dan teguh bagi keselamatan dan kebahagiaan, terutama bagi bangsa dan rakjat Indonesia.


Harapan putera Kalimantan tidak lain, moga-moga pertikaian politik Republik-Belanda jang berlangsung itu dalam tingkatan maksimum akan tertjapai hendaknja. Harapan rakjat didaerah-daerah pendudukan hendaknja pihak Belanda dapat menjesuaikan pendiriannja, sikapnja dengan kenjataan-kenjataan jang meliputi seluruh Indonesia, dan betapa pengaruh tekanan akibat runtjingnja pertikaian politik antara Amerika disatu pihak dan Sovjet Rusia dilain pihak mengenai suasana politik di Indonesia dewasa itu.


Dalam pada itu dapat ditjatat disini, bahwa konperensi federal di Djawa Barat, jang dikundjungi oleh segenap „wakil-wakil“ dari Kalimantan telah menimbulkan kegontjangan dalam masjarakat Kalimantan umumnja dan dalam „dewan Bandjar“ sendiri. Suara-suara dari „dewan Bandjar“ agaknja berpetjah belah baik mengenai konperensi Djawa Barat, maupun mengenai persetudjuan Renville. Sebelum perdebatan dimulai maka Ketua „dewan“ mendjelaskan tentang konperensi federal di Bandung, dan federal overleg atau jang lazim disebut konperensi „Wali-wali negara“ di Bandung jang mempunjai perbedaan-perbedaan, supaja djangan menimbulkan kesangsian terhadap makna konperensi tersebut. Tegasnja konperensi federal itu mempunjai arti, bahwa didalam konperensi federal itu hanja hadir utusan-utusan dari „negara-negara“ dan „daerah-daerah“. Sedang federaal overleg atau konperensi „Wali-wali Negara” itu, adalah suatu konperensi jang tidak atas initiatief pemerintah Belanda, melainkan atas andjuran NIT, Pasundan jang hanja dihadiri oleh pemerintah harian masingmasing „negara” dan „daerah”. Konperensi federaal overleg itu ternjata telah menelurkan suatu resolusi jang sebenarnja tidak akan menjenangkan kedua belah pihak.


Sebagaimana diketahui adanja isi resolusi itu semata-mata ditudjukan kepada pemerintah Belanda sebagai tuntutan jang kepada pemerintah Republik Indonesia disampaikan sebagai suatu pemberitahuan. Sebenarnja resolusi itu pada waktu itu telah diumumkan dengan luas, jang diberi komentar „met of zonder Republik” federalisten tersebut akan berdjalan terus, meskipun hal ini tidak diketahui oleh federaal overleg sendiri, dan ketika memberikan keterangan dihadapan Letnan Gubernur Djenderal Van Mook, resolusi itu tidak ditambah dan tidak pula dikurangi, sebagaimana jang telah disampaikan.


Ketika utusan „dewan Bandjar” menjampaikan resolusi kepada Pemerintah Republik Indonesia, maka Pemerintah Republik dengan sikap jang tegas tidak dapat menerima resolusi sematjam itu, sekalipun Republik dapat menghargai usaha-usaha dari mereka jang mungkin dalam perdjuangannja memihak kepada Republik Indonesia. Sebagai akibat daripada resolusi tersebut, timbul beberapa pertanjaan jang datangnja dari sebagian anggauta „dewan Bandjar”, dengan hak apakah pengurus harian bertindak membubuhi tandatangannja dalam resolusi jang diambil oleh konperensi „Wali-wali Negara” di Bandung itu, padahal mereka hanja pengurus harian untuk sementara waktu sadja?


Pada hakekatnja konperensi federal itu semata-mata ditudjukan kepada pemerintah Belanda, dan bukan kepada Republik Indonesia, dan oleh karena itu, maka pengurus harian mempunjai tanggung-djawab jang penuh terhadap „dewan Bandjar”. Ketika „dewan” membitjarakan resolusi Bandung itu, maka dalam pemungutan suara ternjata ada perimbangan, sekalipun golongan jang pro Republik Indonesia kalah suara, namun sikap jang ditundjukkannja dalam „dewan Bandjar” ditengah-tengah kekuasaan Belanda membuktikan suatu sikap jang patut dipudji.


Pihak federalis jang menggoalkan resolusi Bandung itu, seakan-akan mempunjai pendirian dan maksud supaja Komisi Tiga Negara dikesampingkan, djangan turut-tjampur lagi dalam persoalan Indonesia-Belanda. Bagi mereka isi resolusi itu adalah merupakan batu lontjatan, djendjang jang utama, sehingga ia mendjadikan perintis djalan dalam pemerintahan Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat.


Mereka tetap berpengharapan ingin mentjari djalan keluar daripada kesulitan jang dihadapinja, dan menganggap, bahwa resolusi Bandung itulah djalan satu-satunja jang harus dilalui. Itulah pula sebabnja djika Republik Indonesia dalam mempertahankan prinsip politiknja terhadap Dewan Keamanan UNO, sehingga tidak dapat menerima resolusi tersebut. Meskipun pada hakekatnja resolusi itu seakan-akan meninggalkan Republik Indonesia, tetapi tidak menjimpang dari apa jang dikehendaki oleh rakjat Indonesia, baik jang ada didaerah Republik, maupun jang diam dalam daerah federasi. Beberapa anggauta „dewan” merasa chawatir dengan resolusi Bandung itu, sekalipun didalamnja ada terdapat hasrat kemerdekaan jang dibajangkannja dengan setjara samar-samar. Alasan ini dikemukakannja antara lain memilih kepada ruang dan waktu, pada saat mana resolusi itu dihasilkan, berdasar kepada suasana diluar dan didalam tanah-air. Resolusi Bandung tidak sadja amat lemah, melainkan djuga karena sifatnja jang meninggalkan Republik Indonesia, dan amat disesalkan terhadap tjara dan waktunja resolusi itu dihasilkan.


Mereka tidak dapat menerima anggapan, bahwa rakjat Kalimantan tidak pernah konflik dengan pihak Belanda. Bahwa tuntutan minimum dari resolusi itu adalah melemahkan resolusi itu sendiri, karena seolah-olah dapat difahami, bahwa sebenarnja adalah sebagai landjutan daripada memorandum Sultan Hamid dari Kalimantan Barat. Banjak anggapan jang menjatakan, bahwa Komisi Tiga Negara sebagai badan perantara internasional dalam pertikaian Indonesia Belanda, tapi karena resolusi Bandung itu sekali-kali tidak merembet-rembet kedudukan Komisi Tiga Negara, sedang promotors resolusi Bandung mengetahui, bahwa urusan intern di Indonesia mendjadi djuga kewadjiban dan pekerjaan Komisi Tiga Negara.


Karena itu apakah tidak mungkin orang berpendapat, bahwa resolusi itu hendak merebut kedudukan Komisi Tiga Negara serta hendak menarik-narik Republik Indonesia dari kompetensi Komisi Tiga Negara, sehingga dengan demikian soal Indonesia mendjadi soal dalam negeri sebagaimana jang dikehendaki oleh pihak Belanda, djustru pada saat perundingan Indonesia-Belanda menemui djalan buntu, disebabkan usul-usul jang dimadjukan oleh Critchley Dubois.


Bahwa resolusi itu tidak menggambarkan pegangan jang kuat, karena soal politik, ekonomi dan ketenteraan, serta hubungan luar negeri jang mendjadi sjarat-sjarat pertama terhadap keteguhan satu pemerintahan, sama sekali tidak tegas, sedang resolusi itu lebih banjak bersifat hanja menanti keichlasan umum, keichlasan orang lain. Oleh karena itu, apakah nanti resolusi itu dapat mendjadi konflik baru antara orang-orang Indonesia dalam Republik dengan orang-orang Indonesia diluar Republik, karena resolusi itu akan membuat lembaran sedjarah baru bagi bangsa Indonesia untuk masa jang akan datang.


Sementara itu perundingan Indonesia-Belanda mentjapai klimaks jang paling genting, jaitu setelah tidak tertjapai sesuatu hasil, baik mengenai perundingan militer, maupun perundingan politik. Perundingan terpaksa diputuskan oleh pihak Belanda sendiri, sedang Republik Indonesia menanti-nanti apa jang mungkin terdjadi, sebagai akibat putusnja perundingan itu. Keadaan dalam daerah Republik Indonesia ketika itu amat genting, runtjing dan tadjam. Pertentangan-pertentangan politik mulai terasa, jaitu setelah Front Demokrasi Rakjat ~ FDR ~ tidak dapat merebut kursi dalam kabinet Hatta.


Bagi Belanda sendiri, keadaan dalam Republik itu sebagai tjermin jang besar, jang menggambarkan kembali keinginannja untuk menempuh djalan kekerasan. Mendjelang bulan September 1948 PKI Muso merebut kekuasaan di Madiun dan mendirikan apa jang dinamakannja pemerintahan Demokrasi Rakjat. Jogjakarta bertindak. Tentera Nasional Indonesia digerakkan untuk merebut kembali Madiun dan lain-lain daerah jang diduduki Partai Komunis Indonesia. Pemberontakan Muso adalah satu tragedi nasional. Belanda bertepuk-tangan melihat „perang saudara” dalam daerah Republik. Tetapi kegembiraan Belanda lantas lenjap, setelah diketahuinja Republik Indonesia dapat menguasai kembali daerah Madiun, setelah menghantjurkan „tentera PKI”. „Perang Saudara” yang banjak menelan korban itu, jang sebenarnja dikendalikan oleh kaki tangan kolonialisme Belanda sendiri, mendorong nafsu angkara murka untuk menjertainja.


Perkembangannja ialah, perundingan putus. Court Dubois dalam Komisi Tiga Negara digantikan oleh Merle Cochran, van Mook ~ Abdulkadir masing-masing sebagai Letnan Gubernur Djenderal dan ketua delegasi Belanda meletakkan djabatannja. Bulan Oktober 1948 Kabinet Republik menerima usul Cochran untuk memulai lagi perundingan dengan Belanda. Menteri Luar Negeri Belanda. Stikker tiba di Djakarta dan terus ke Jogja guna melangsungkan perundingan dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dr. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Belanda jang pertama diangkat, sedang kedudukan Gubernur Djenderal dihapuskan.


Sekalipun perundingan Indonesia-Belanda dilakukan atas tingkat tinggi ~ Hatta-Stikker ~ namun suasana tetap genting. Wakil Amerika Cochran tidak berhasil menemukan pendirian kedua belah pihak, achirnja pihak Belanda datang dengan satu kepastian: agressi militer jang kedua. Perang kolonial berketjamuk. Dan untuk kedua kalinja Belanda mengindjak-indjak perdjandjian jang telah ditanda-tanganinja.


Tetapi bagi rakjat Republik, agressi militer Belanda itu membawa akibat lahirnja tentara gerilja didaerah-daerah pendudukan, demikian djuga di Kalimantan sendiri. Patokan batas jang selama ini diikat oleh Linggardjati- Renville dewasa itu sudah tidak berlaku lagi. Timbul hasrat dan tekad untuk memperdjuangkan diri lepas dari pendjadjahan Belanda.


★ ★ ★


Negara Kesatuan.

Terpilihnja Bung Karno sebagai Presiden RIS pertama menundjukkan tanda- tanda bagi utuhnja persatuan nasional, sekaliupn pemerintah tidak menjampingkan kenjataan daripada adanja aliran-aliran federalisme. Untuk keseimbangan inilah Presiden RIS menundjuk 4 orang sebagai formateur kabinet, jang terdiri atas dua aliran Republik, dan dua dari aliran federalis, jaitu Hatta-Hamengku Buwono dilain pihak dan Sultan Hamid-Anak Agung Gde Agung, masing-masing dari Kalimantan Barat dan Indonesia Timur disatu pihak.


Dengan demikian terbentuklah kabinet RIS jang terdiri atas kaum Republikein dan kaum federalis, dimana daerah-daerah bagian seperti Kalimantan Barat, Indonesia Timur, Pasundan dan Djawa Timur ikut mendukung Kabinet RIS. Segera kabinet ini terbentuk, Parlemen RIS memperdjuangkan dengan amat hebatnja tentang soal kesatuan atau gabungan untuk Negara Indonesia. Tetapi aliran jang menghendaki bentuk kesatuan daripada Negara Indonesia memperoleh kemenangan jang gilang-gemilang, sekalipun tantangan jang sengit terdapat dari wakil- wakil Kalimantan Barat dan Sumatera Timur, dan beberapa daerah lain jang masih memandang, bahwa federalisme jang paling baik Negara Indonesia. Duduknja Sultan Hamid dari Kalimantan Barat dalam RIS adalah atas pengetahuannja pihak-pihak reaksioner Belanda, dan mengharapkan sesuatu dari perdjuangan Sultan Pontianak. Permulaan hidupnja RIS ini tidak amat menggembirakan, karena adanja peristiwa Djawa Barat jang digerakan oleh Westerling dalam permulaan tahun 1950. Belum lagi kering bibir masjarakat membitjarakan tentang keganasan Westerling di Bandung itu, disusul pula oleh pengchianatan Sultan Hamid dalam bulan April jang mempunjai rentjana untuk memberontak terhadap Pemerintah RIS, tapi usahanja itu dapat digagalkan.


Dalam pada itu didaerah Kalimantan terdapat pergolakan menuntut masuk Republik Indonesia, jaitu bertepatan dengan kedatangan utusan Pemerintah Pusat, Dr. Murdjani, jang sekarang mendjadi Gubernur Kalimantan. Rakjat Kalimantan tidak dapat menahan geloranja untuk segera bergabung dengan Republik Indonesia, disamping usaha mereka untuk membubarkan apa jang dinamakan Dewan Daerah, daerah istimewa Kalimantan Barat dan Timur. Demikianlah satu demi satu daerah-daerah di Kalimantan menggabungkan dirinja kedalam Republik Indonesia. Daerah jang pertama sekali menggabungkan diri masuk Republik Indonesia, ialah daerah Kalimantan Timur, kemudian disusul oleh Daerah Bandjar, Dajak Besar, Kalimantan Tenggara, dan rakjat Kalimantan Barat sedang memperdjuangkannja.


Proces penggabungan daerah-daerah tersebut berdjalan lantjar, karena sedjak revolusi meletus, rakjat Kalimantan pada umumnja berdjiwa Republikein. Tentang hal ini bukan sadja dinjatakan dalam perkataan, akan tetapi djuga dengan perbuatan. Dengan terbentuknja RIS, maka Kalimantan Timur mendjadi satu daerah bagian dari RIS, dan statusnja tetap sebagai sebelum penjerahan kedaulatan itu, jaitu federasi Kalimantan Timur, sebagai „kesatuan ketatanegaraan” jang berdiri sendiri. Rakjat Kalimantan Timur berpendapat, bahwa dizaman setelah terdjadinja penjerahan kedaulatan itu statusnja jang demikian tidak dapat dipertahankan lagi, sebab mereka berpendapat, bahwa federasi Kalimantan Timur itu adalah bentukan Belanda jang kini sudah tidak berkuasa lagi.


Dalam pertengahan bulan Januari 1950, beberapa hari setelah berdirinja RIS, Dr. Murdjani selaku wakil Pemerintah Pusat mengadakan penindjauan ke Kalimantan Timur untuk menjaksikan penggabungan daerah tersebut kedalam Republik Indonesia. Sementara itu dewan Kalimantan Timur, dalam sidangnja telah mengambil suatu resolusi, dalam mana didesak kepada dewan Gabungan Kesultanan untuk menjerahkan mandaatnja selekas mungkin kepada RIS, Disamping itu dalam resolusi tersebut disetudjui penggabungan daerah Kalimantan Timur sebagai daerah otonomi kedalam Negara Kesatuan.


Sedjak saat itu hasrat rakjat untuk menggabungkan daerah itu kedalam RI bertambah bergelora dan bersemangat, jang umumnja dinjatakan dalam resolusi. Sementara itu Parlemen RIS telah menerima djuga mosi jang menuntut penggabungan daerah Kalimantan Timur kepada Republik Indonesia Jogja itu. Mungkin karena berpendapat tidak ada faedahnja lagi „bertahan”, maka Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur, pada tanggal 10 Maret telah mengeluarkan beslit, dalam mana diputuskan: „mendesak pada Pemerintah RIS supaja mengambil keputusan mengakui resolusi-resolusi rakjat Kalimantan Timur dan mosi di Parlemen RIS, menggabungkan daerah Kalimantan Timur pada Republik Indonesia, dengan memberi kekuatan pada resolusi-resolusi dan mosi tersebut sebagai suatu pernjataan jang tetap".


Terlepas dari soal itu, ada atau tidak mempunjai „background” lain dari pemerintah federasi Kalimantan Timur mengenai sikapnja jang mengover tuntutan-tuntutan rakjat Kalimantan Timur jang menghendaki penggabungan daerahnja kedalam Republik Indonesia itu, mendjadi tuntutan Pemerintah federasi sendiri harus diakui sebagai suatu usaha untuk mempertjepat terlaksananja penggabungan tersebut. Demikianlah setelah surat penetapan penggabungan daerah Kalimantan Timur itu ditanda-tangani oleh Presiden, maka di Kalimantan Timur terdjadi suatu peristiwa jang bersedjarah untuk mengadakan timbang-terima pemerintahan dan sedjak saat itu berachirlah sudah riwajat federasi Kalimantan Timur.


Dengan terdjadinja peristiwa tersebut, maka untuk daerah Kalimantan, diluar daerah Linggadjati, rakjat Kalimantan Timur-lah jang pertama bergabung dengan RI. Sementara itu pergolakan di Kalimantan Selatan tidak kurang hebatnja untuk menggabungkan daerahnja kedalam RI, ternjata dengan bubarnja „dewan Bandjar”. Wakil Pemerintah Pusat Dr. Murdjani jang menjaksikan penggabungan kedalam RI itu menjatakan, „hendaknja tiap anggauta Pamongpradja melaporkan tentang soal-soal jang berhubungan dengan daerahnja masing-masing, terutama mengenai lapangan politik dan keamanan jang rapat sangkut-pautnja dengan kelantjaran djalannja pemerintahan daerah ini. Karena daerah ini sudah dengan resmi masuk daerah RI, maka hendaknja segala peraturan RI didjalankan dan sekalipun „dewan”nja telah bubar, untuk mendjaga vacuum, maka pemerintahan mengenai daerah Kalimantan Selatan ini harus berdjalan terus. Djawatan-djawatan kehakiman, kepolisian, pemerintahan dan keuangan tetap berputar seperti biasa disesuaikan dengan Undang-undang RI. Pemerintahan kebawah mesti djalan terus, sampai pada saatnja berhenti dan bertukar tjaranja dengan pemerintahan baru, jang sekarang sedang dibikin dan disesuaikan dengan kehendak-kehendak tiap-tiap aliran masjarakat jang ada didaerah Kalimantan Selatan jang sekarang telah bebas dari tekanan kolonial asing.


Sistim pemerintahan jang baru nanti akan mengubah sistim pemerintahan kolonial dan ini hanja dapat didjalankan dengan setjara teratur tjepat, bilamana segala alat-alatnja jang mendjalankan dan menerimanja sama-sama insjaf terhadap kepentingan negaranja, Pemerintahnja, bangsa dan rakjatnja, jang sudah mempunjai azas Pantjasila sebagai dasar sendi-sendinja. Tudjuan pemerintahan Republik Indonesia, bukan sebagai tudjuan pemerintahan kolonial Belanda dahulu, jang semata-mata datang ke Indonesia umumnja dan di Kalimantan chususnja hanja untuk memeras dan mentjari modal untuk kepentingan negerinja, jang dengan modal itu dapat mengeringkan negerinja jang selalu terendam air dan penuh dengan lumpur, akan tetapi tudjuan pemerintah kita jang utama ialah untuk memakmurkan tiap warga-negaranja jang berhak membebaskan diri dari kemiskinan dan kemelaratan.


Dan bagaimana di Kalimantan Barat?


Keadaan di Kalimantan Barat amat berlainan dengan keadaan jang terdapat di Kalimantan Selatan, Tenggara dan Timur, karena usaha-usaha rakjat Kalimantan Barat untuk menggabungkan daerahnja kedalam RI tidak berhasil sama sekali, sekalipun jang demikian ini sudah diperdjuangkan dengan sehebat-hebatnja. Perbedaan ini nampak pada Wakil-wakil Pemerintah Pusat jang mengirimkan utusannja ke Kalimantan. Misalnja wakil untuk Kalimantan Timur untuk menjaksikan penggabungan daerahnja ke RI adalah terdiri dari Menteri Dalam Negeri RI, Mr. Susanto Tirtoprodjo, sedang untuk Kalimantan Selatan ialah Dr. Murdjani jang kedua-duanja adalah tokoh republikein jang terkenal.


Akan tetapi untuk Kalimantan Barat jang dikirimkan ialah tokoh federalis seperti Mr Indrakusuma , dan karena inilah usaha-usaha rakjat tidak tertjapai. Perkembangan di Kalimantan Barat sedjak permulaan tahun 1950 demikian rupa, hangat dan genting ialah aksi pemogokan politik jang dilakukan oleh segenap kaum buruh, pegawai-pegawai pabrik, perusahaan dan bahkan pegawai-pegawai negeri, ketjuali polisi serentak mengadakan pemogokan, menuntut bubarnja Dewan Istimewa Kalimantan Barat dan menuntut penggabungannja ke Republik Indonesia.


Tuntutan rakjat Kalimantan Barat hanja berhasil membubarkan Dewan Istimewa, akan tetapi tidak berhasil menuntut penggabungan, karena litjinnja wakil pemerintah RIS jang dengan tjaranja sendiri menjimpangkan maksud-maksud itu. Untuk turut melaksanakan Negara Kesatuan rakjat Kalimantan Barat telah memberikan mandaatnja kepada Pemerintah RI supaja diwakili, akan tetapi djuga tidak berhasil, karena kemudian ternjata, bahwa jang mewakili Kalimantan Barat dalam usaha mendirikan Negara Kesatuan adalah diwakili sendiri oleh pemerintah RIS, sedang Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur langsung mengadakan perundingan jang lazim disebut perundingan segi tiga.


Dalam pada itu perkembangan otonomi daerah Kalimantan tidak segera dapat didjalankan, karena berbagai sebab, terutama keadaan-keadaan jang prae federal. Soal otonomi Kalimantan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan jang terdjadi dalam parlemen sendiri, dimana Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1950 jang tadinja ditetapkan untuk menjusun Dewan-dewan Daerah tidaklah dapat penjusunan tersebut segera dilaksanakan sebagai dikehendaki semula, sehingga pemerintahan „eenhoofdigbestuur” berlangsung lebih lama daripada jang dikehendaki oleh Pemerintah Kalimantan sendiri.


Demikian pula adanja faktor-faktor disekitar pembentukan Dewan-dewan Perwakilan Daerah ini tidak menguntungkan. Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 jang mengatur pemilihan anggauta-anggauta DPR, njata kurang sempurna dan kemudian ditolak oleh Parlemen, sehingga tertunda DPR Daerah Kalimantan jang belum sempat disusun. Sangatlah pentingnja, bahwa pemerintahan daerah jang demokratis, jang telah mulai terwudjud ini, dapat dipelihara, dan urusan rumah-tangga daerah ini merupakan bahan penting untuk perkembangan otonomi selandjutnja.


Untuk perkembangan tersebut perlu diketahui, apakah sebenarnja otonomi jang sekarang ini dan apakah jang dikehendaki dengan pemberian otonomi. Dengan lain perkataan, bahwa Kalimantan akan mengatur rumah-tangganja sendiri menurut perundang-undangan dalam artian jang luas, jang hampir sama artinja dengan kedaulatan. Akan tetapi hubungan antara dua badan kenegaraan, antara mana terdapat suatu hubungan tingkatan, misalnja otonomi untuk daerah Swapradja dan Kotapradja. Dalam ketata-negaraan propinsi mempunjai otonomi jang amat luas, karena keharusan mengatur beberapa soal mengenai politik, perekonomian, untuk seluruh daerah berakibat bahwa djuga soal-soal jang kelihatan kepentingan setempat terpaksa diatur oleh Pemerintah Pusat dan dengan sendirinja memperketjil lapangan otonomi daerah.


Dalam zaman pendudukan Djepang apa jang disebut otonomi sebenarnja djuga ada jang diberikan kepada Keresidenan dan Kabupaten, akan tetapi dewan-dewan ini bukan dewan pendjelmaan demokrasi, melainkan semata-mata alat pembantu pembulatan tenaga perang kepada Djepang. Kemudian Belanda-Nica mengadakan daerah-daerah atau „negara-negara” jang nampaknja besar kekuasaannja, akan tetapi bukan untuk memperkembangkan otonomi, melainkan untuk memperkuat tenaga-tenaga jang memisah dikalangan rakjat Kalimantan, agar dengan demikian ia dapat tetap memegang peranan penting dalam urusan-urusan jang djumlahnja ketjil, akan tetapi mempunjai kekuasaan jang dapat menentukan nasib daerah-daerah ini.


Djelaslah sudah kiranja, bahwa dengan lain perkataan jang sama dapat diberikan isi dan tudjuan jang berlainan. Karena itu tjukup pentingnja untuk memberikan dan meneliti lebih dalam, apakah tudjuan otonomi jang sekarang untuk daerah Kalimantan. Dalam persetudjuan RIS - RI tentang pembentukan Negara Kesatuan telah ditjapai suatu ketentuan, bahwa bentuk dan susunan daerah otonomi akan ditetapkan sesuai dengan djiwa undang-undang Pokok No. 22/1948 jang berlaku dalam daerah de facto Republik Indonesia.


Sedang pembentukan daerah otonomi Kalimantan dalam zaman Belanda adalah suatu konsesi terhadap desakan masjarakat jang tidak puas dengan pemusatan urusan pemerintahan, demikian djuga dalam zaman Djepang jang hanja bertudjuan perkuatan sumbangan Kalimantan untuk tenaga perangnja, selandjutnja otonomi setjara federasi jang diberikan oleh pemerintah prae federal bermaksud mematahkan kekuatan revolusi nasional Indonesia.


Otonomi Indonesia menghendaki suatu pemerintahan collegiaal, bukan sadja untuk memberi kesempatan penuh kepada dasar demokrasi didaerah, melainkan djuga untuk memperhebat usaha-usaha pemerintahan dalam mentjapai kemakmuran dan kesedjahteraan rakjat. Perkembangan otonomi dalam arti jang dimaksud membawa kewadjiban jang berat bagi wakil-wakil rakjat, karena tiap usaha pembangunan menghendaki biaja, maka dengan sendirinja titik berat daripada perkembangan tersebut terletak pada usaha untuk memperbesar sumbangan keuntungan sendiri. Djika ini diperhatikan, maka tentu tiap-tiap tindakan dari DPR Daerah akan lebih dahulu memperhatikan konsekwensi keuangan serta sumber jang masih dapat diperbesar guna pembangunan dan lain-lain usaha jang dianggap perlu untuk kesedjahteraan rakjat. Otonomi memang berarti hak mengatur rumah-tangga sendiri, dan hak mengatur itu djauh lebih berat daripada hak memadjukan usul-usul sadja.


Selama daerah otonomi masih belum mempunjai perusahaan-perusahaan jang memberikan keuntungan, maka dengan sendirinja sumber kekuatan itu terletak pada tjara mempergunakan dan memperbesar penghasilan dari retribusi dan padjak. Lapangan ini merupakan suatu kewadjiban jang tidak menarik. Tiap-tiap orang, baik pegawai Pemerintah ataupun anggauta DPR, lebih menjukai penurunan daripada penaikan beban rakjat. Malah mungkin sekali seorang jang berani mengusulkan kenaikan padjak hilang populariteitnja dimata rakjat , atau kehilangan pemilih. Akan tetapi dimana kemungkinan lain pada dewasa ini tidak ada, orang harus berani menempuh djalan ini , asal sadja selalu memperhatikan sjarat beban berimbang, sehingga beban jang dipikul oleh rakjat itu tidak melebihi kekuatan memikul dan tidak merupakan rintangan perkembangan-perkembangan usaha-usaha mempertinggi deradjat penghidupan rakjat.


Disinilah letak beratnja kewadjiban seorang anggauta DPR Daerah jang tidak hanja memandang mata para pemilihnja, melainkan mendasarkan segala tindakan-tindakan dan usul kepada kenjataan, bagaimanapun pahitnja. Kewadjiban tersebut tambah berat, karena hingga sekarang belum mempunjai peraturan tertentu mengenai pembagian sumber keuangan antara negara dan daerah-daerah otonomi jang akan dibentuk di Kalimantan ini.


Agaknja dapat diraba, bahwa penetapan peraturan jang demikian termasuk soal jang meminta perhatian Dewan-dewan Perwakilan Daerah . Akan tetapi bagaimanapun pentingnja peraturan tersebut, tidaklah menguntungkan djika kesanggupan sendiri menunggu peraturan tersebut, jang kiranja tidak segera dapat dilaksanakan, karena tiada pegangan untuk mendemokrasikan pemerintahan daerah. Setjara teoritis dapat dengan mudah dikatakan, bahwa segala padjak-padjak dan penghasilan jang bersifat kedaerahan harus djuga diserahkan kepada daerah otonom. Penilikan lebih landjut akan menundjukkan, bahwa tidaklah begitu mudah menetapkan padjak manakah jang lebih bersifat kedaerahan. Perusahaan-perusahaan disuatu tempat misalnja mendapat untung didaerah, akan tetapi keuntungan itu sebagian besar bergantung pada faktor-faktor jang terletak diluar daerah.


Untuk mengatasi kesulitan jang dihadapi oleh Pemerintah propinsi Kalimantan dalam soal pembentukan DPR-DPR, maka Pemerintah hanja dapat satu djalan ialah mengeluarkan suatu peraturan darurat jang memungkinkan dapat dibentuknja DPR tersebut, sekalipun jang demikian ini belum mempunjai arti sama sekali, mengingat betapa besar kekuasaan jang akan diberikan kepada daerah otonom jang mestinja telah lengkap dengan segala alat-alatnja.


Penggabungan Kalimantan seluruhnja mendjadi hanja satu propinsi ini adalah sesuai dengan pendirian jang sebelum pembentukan Negara Kesatuan telah diperdjuangkan oleh rakjat Kalimantan Selatan didasarkan tidak hanja pada ideologie melaksanakan keinginan pada waktu proklamasi 17 Agustus 1945, melainkan djuga atas dasar- dasar kenjataan jang harus diperhatikan sepenuhnja, djika kita sungguh-sungguh melaksanakan Pantjasila jang merupakan pokok tjitatjita nasional bangsa Indonesia.


Bahwa menghendaki pembentukan seluruh Kalimantan (Barat, Selatan dan Timur) mendjadi hanja satu propinsi, dengan tidak mengurangi kemungkinan mendirikan lebih dari satu propinsi dikemudian hari, djika usaha pembukaan dan pembangunan Kalimantan , jang istimewa pada permulaan memerlukan kesatuan kebidjaksanaan politis dan ekonomis telah terlaksana.


Pasal 131 Undang -undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia menjatakan dengan tegas, bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan ketji jang berhak mengurus rumah-tangga sendiri ditetapkan dengan undang-undang, dan bahwa kepada daerah-daerah ini ,,diberikan otonomi seluas-luasnja untuk mengurus rumah-tangganja sendiri ". karena disinilah terkandung inti dan tjorak otonomi jang sebenarnja, jang pada tudjuannja berbeda daripada otonomi jang diberikan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dahulu.


Djika otonomi daerah-daerah dizaman pemerintahan Hindia Belanda diberikan untuk memberikan hak bersuara kepada masjarakat rakjat didaerah -daerah dalam soal-soal jang dianggap bersifat lokaal, terutama sebagai reaksi keberatankeberatan jang dikemukakan terhadap pemungutan hak memutus disuatu pusat pemerintahan, maka pemberian otonomi dalam susunan pemerintahan Republik Indonesia , demikian djuga dalam susunan pemerintahan Negara Kesatuan, tidak lain maksudnja daripada perkembangan kemungkinan memperhebat usaha pemerintahan, ekonomis dan sosial, dengan menjerahkan kepada daerah penjelenggaraan semua usaha jang dapat dilaksanakan dengan tidak merugikan kepentingan Negara sebagai kesatuan . Hanja jang tidak dapat diselenggarakan oleh daerah atau untuk kepentingan bersama tidak dapat dibagi-bagi menurut daerah, diberikan kepada daerah otonomi atasan atau djikapun ini tidak dapat mentjapai hasil jang sebaik mungkin, kepada Pemerintah Pusat.


Dengan singkat: terlebih dahulu ditjari kewadjiban- kewadjiban jang dapat diselenggarakan oleh daerah dan hanja jang tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh daerahlah jang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. Djadi tidak seperti dulu hanja usaha-usaha jang dapat dilepaskan oleh djawatan-djawatan pusat diserahkan kepada daerah. Hanja dengan djalan jang demikianlah dapat ditjapai penghebatan usaha pemerintahan, dan hanja demikianlah ditafsirkan perkataan ,,seluas-luasnja" dalam pasal 131 Undang -undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Dalam hubungan ini perlu diingat pula, bahwa ketika menghadapi terbentuknja Negara Kesatuan ini, dari fihak kalangan Pemerintah kerapkali ditegaskan bahwa peleburan sesuatu Negara-bagian atau terbentuknja Negara Kesatuan tidak akan berarti berkurangnja perhatian terhadap penjebaran soal-soal jang sebaiknja diselenggarakan setjara lokaal atau regionaal, karena memang telah terkandung dalam maksud untuk memberi hak otonomi jang amat luas. Penebusan djandji ini tidak hanja merupakan suatu kewadjiban moril terhadap rakjat dibekas negara-negara atau daerah-daerah dahulu , akan tetapi merupakan pula suatu kewadjiban jang utama untuk melemahkan anasir- anasir jang bersifat memisah jang mungkin akan dipupuk oleh fihak luar. Desentralisasi dengan otonomi jang luas adalah suatu sendjata penting untuk memberantas separatisme dan melemahkan kekuatan -kekuatan jang mendjauhkan diri dari pusat.


Djika alasan-alasan politis dan ekonomis jang pada umumnja telah menuntut otonomi jang luas, untuk Kalimantan dapat lagi dikemukakan suatu faktor chusus jang amat penting djuga . Sedjak dahulu kepentingan Kalimantan ini sangat dianak-tirikan. Usaha mempertinggi kesedjahteraan rakjat sangat terbatas. Peri penghidupan disini tidak tjukup memenuhi sjarat- sjarat jang diberikan oleh kotakota jang ada di Djawa ataupun dibeberapa tempat di Sumatera dan Sulawesi. Oleh karena itu maka kebanjakan pegawai Pemerintah menganggap suatu penempatan di Kalimantan sebagai suatu hukuman dan sukar sekalilah untuk mendapat tenaga-tenaga jang tjakap untuk pulau ini. Penduduknja sangat tipis sehingga berbagai djenis masalah tanah , pengairan, kehutanan dan lain -lain soal tidak memerlukan pengurusan jang amat technis seperti di Djawa. Dengan demikian maka usaha pemerintahan sebenarnja terbatas kepada pendjagaan keamanan dan pemeliharaan perhubungan, sepandjang jang satu dan lain sekedar diperlukan untuk memungkinkan pembelian hasil bumi dan hasil tambang jang perlu diexport.


Pemerintah Indonesia jang berwudjud pemerintahan nasional wadjib dan harus dapat menundjukkan dan membuktikan, bahwa perhatiannja terhadap daerah-daerah jang dahulu dianak-tirikan itu tidak sadja djauh lebih besar akan tetapi djuga djauh lebih mulia maksudnja daripada pemerintahan kolonial.

Oleh karena itu tidak tjukup djika hanja mengirim pegawai, tidak tjukup djika hanja sekadar menambah kesempatan beladjar dan mendirikan djawatandjawatan dan inspeksi-inspeksinja seperti di Djawa, akan tetapi diluar dan diatasnja harus mengerdjakan segala sesuatu jang lajak dan dapat diberikan untuk setjepat mungkin membuka dan membangun Kalimantan ini setjara besar-besaran.


Harus ditundjukkan dan diwudjudkan , bahwa Kalimantan ini tidak lagi dianggap sebagai reserve untuk tempat mentjari keuntungan melainkan suatu bagian dari tanah-air Indonesia jang tidak sadja memerlukan perhatian jang sedikit-dikitnja harus sama dengan dilain-lain daerah, tapi harus mempergunakan segala kesempatan untuk mengedjar setjepat mungkin keterbelakangan jang ada, serta menghindarkan segala sesuatu jang dilain-lain daerah merupakan suatu rintangan kearah perwudjudan tjita-tjita nasional. Untuk itu semuanja diperlukan pembukaan dan pembangunan Kalimantan setjara besar- besaran.


Dalam menindjau lebih luas urusan manakah jang dapat diserahkan kepada daerah-daerah otonom, dan seberapa djauhkah masing -masing urusan dapat diserahkan, maka dapat diambil perbandingan antara tiga djenis otonomi dimasa jang lampau, jakni otonomi propinsi zaman Hindia Belanda, otonomi daerahdaerah jang tadinja ada di Kalimantan dan otonomi jang diberikan oleh Belanda kepada Negara-negara dizaman jang baru silam.


Sebaliknja, otonomi jang diberikan kepada Negara- negara dahulu oleh Belanda berdasar politik Malino harus dianggap terlalu besar, sebab tidak sadja menghilangkan sifat kesatuan dalam Negara, akan tetapi meliputi djuga soal- soal jang tidak perlu diserahkan kedaerah untuk mentjapai perhebatan usaha, dan oleh karena itu lebih baik diurus oleh pusat. Sebagai tjontoh dari urusan-urusan jang demikian dapat disebut, peraturan mengenai kehakiman dan kewadjiban kepolisian. Pun urusan pemerintahan mengenai listerik sukar dapat dianggap sebagai suatu lapangan kewadjiban jang akan dapat dikerdjakan lebih baik djika diserahkan kepada daerah.


Tentang dalamnja penjerahan kekuasaan untuk masing-masing lapangan kewadjiban pada umumnja dapat bertjermin kepada peraturan penjerahan kekuasaan kepada Negara-negara dahulu, jang untuk semua Negara-negara dahulu sama isinja meskipun untuk masing-masing Negara diatur dengan staatsblad tersendiri. Sedang tuntutan rakjat Kalimantan Barat satu propinsi, bagi daerahnja amat sukar untuk diluluskan, karena tidak mempunjai alasan jang kuat dan rieel. Dalam hubungan ini, maka keberatan-keberatan jang dimadjukan oleh rakjat Kalimantan Barat tidaklah berarti lagi. Tuntutan untuk membentuk satu propinsi tersendiri untuk Kalimantan Barat hanja didasarkan atas keharusan dari sudut praktis untuk pelaksanakan kewadjiban pemerintahan dalam gambaran otonomi jang dahulu, sedang anggapan pemerintah sendiri didasarkan atas pengertian suatu otonomi jang seluas-luasnja sebagai sjarat penting untuk dapat melaksanakan intensivering pemerintahan dan perkembangan ekonomi masing-masing daerah, suatu otonomi luas serta keluasan perkembangan, jang djuga politis merupakan suatu keharusan untuk melumpuhkan anasir-anasir separatisme dalam Negara jang berbentuk unitaristis.

Keadaan jang digambarkan oleh rakjat Kalimantan Barat itu, ialah keadaan sebelum perang, waktu belum ada hubungan pos udara. Dalam keadaan sekarang ini pos udara dari Bandjarmasin ke Pontianak sudah diadakan. Djika hubungan udara dari Bandjarmasin langsung ke Pontianak sudah terlaksana, maka keadaannja akan lebih mudah. Kalimantan Barat merupakan, dipandang dari sudut topografi, pula suatu kesatuan dengan bukit-bukit jang tinggi jang memisahkannja dengan Kalimantan Selatan, adalah suatu kewadjiban bagi Pemerintah untuk membuka perbatasan ini.

Dengan demikian dapatlah dihilangkan keadaan jang tidak sehat itu, dimana Kalimantan Barat merasa lebih dekat dengan luar negeri daripada dengan bangsanja sendiri. Bahwa pembukaan pembatasan ini bukan suatu hal jang mustahil dibuktikan oleh Djawa dan Sumatera, dimana batas-batas bukit masih lebih tinggi daripada di Kalimantan ini.

Keadaan jang sekarang ini hanja dapat diterima sebagai keadaan jang biasa, djika kita dalam melaksanakan politik pemerintahan mendasarkan pandangan hanja kepada keadaan jang sekarang, dan tidak menindjau keadaan dikelak kemudian hari. Padahal pandangan kehari kelaklah jang amat penting bagi Kalimantan chususnja.

Seluruh daerah adalah georienteerd ke Barat istimewa ke Pontianak, dan tidak ada sama sekali orientasi ke Bandjarmasin, Keadaan jang sebenarnja ialah, bahwa daerah berorientasi ke Singapore dan inilah jang harus berubah selekas mungkin. Politik perkapalan jang dahulu didjalankan oleh KPM adalah salah suatu sebab penting, jang menimbulkan keadaan ini, sehingga kita lebih dekat dengan luar daripada dengan kita sendiri. Lagi pula keberatan jang dimadjukan itu berlaku djuga terhadap pembentukan satu propinsi untuk Kalimantan Barat, dimana umpamanja hubungan antara Pontianak dengan Sambas, Sockadana dan Ketapang tidak kurang kesukarannja, akan tetapi seperti telah dikemukakan keadaan jang demikian itulah jang harus berubah setjepat mungkin dan perbaikan hubungan ini dalam arti jang lebih daripada lokaal hanja dapat direntjanakan dan dilaksanakan dengan baik, djika pada permulaan ada suatu planning jang berpusat untuk seluruh Kalimantan.

Penduduk Tionghoa jang merupakan 17% dari seluruh penduduk pun pula tidak mempunjai hubungan dengan Kalimantan Selatan-Tenggara dan mereka adalah lebih-lebih georienteerd pada Tiongkok.

Orientasi penduduk Tionghoa jang demikian tidak terdapat di Kalimantan sadja dan pada hemat pemerintah harus berusaha sekuat tenaga untuk mentjapai orientasi ke Indonesia sendiri, sehingga perkara ini bukan satu alasan membenarkan adanja satu propinsi untuk Kalimantan Barat.

Perhubungan dengan kapal tidak akan mempunjai kemungkinan, sehingga perhubungan dengan laut harus dilakukan via Djakarta dan Surabaja

Disinilah terdapat warisan buruk dari „vrachten politik KPM", jang pada waktu sekarang inipun kurang memperhatikan kepentingan umum dan hanja ditudjukan kepada keuntungan maskapai sendiri. Dan keadaan jang mengetjewakan ini tidak hanja mengenai hubungan antara Bandjarmasin dengan Kalimantan Barat, melainkan djuga antara tempat-tempat jang berdekatan, jang tidak mendapat tjukup pelajanan dari KPM.

Keberatan ini tentunja mengenai djuga hubungan antara Pontianak dengan beberapa tempat di Kalimantan Barat, sehingga bukan suatu soal mengenai adanja satu atau beberapa propinsi, melainkan pelajanan kepentingan perdagangan nasional oleh KPM. jang dahulu diberi monopoli sampai pelajaran-perahu Indonesia lumpuh dan sekarang – sesudah pelajaran Indonesia itu lumpuh – tidak mau atau tidak sanggup memenuhi kewadjibannja.

Dimana Undang-undang Dasar Negara Kesatuan sendiri dalam pasal 132 telah menjatakan dengan tegas, bahwa jang diberikan kepada daerah-daerah itu memang adalah otonomi seluas-luasnja untuk mengurus rumah-tangganja sendiri dan perkembangan otonomi ini terutama dilapangan ekonomis hanja mungkin djika untuk Kalimantan diadakan suatu planning pembukaan setjara besar-besaran, dan pembukaan ini hanja dapat effectief djika pada permulaannja diperhatikan dan diwudjudkan oleh suatu instansi sentral jang meliputi seluruh Kalimantan, djelas pulalah sudah, bahwa pada permulaan, sampai saatnja politik pembukaan Kalimantan telah ditetapkan dan dikerdjakan, sebaiknja seluruh Kalimantan didjadikan satu propinsi sadja.

* * *


Propinsi Kalimantan.

Pada masa sebelum perang bagian pulau Kalimantan jang termasuk pemerintah Hindia Belanda dahulu terbagi dalam dua keresidenan jang berkedudukan „gewest", jakni keresidenan ,Westerafdeling van Borneo" dengan ibu-kota Pontianak, dan keresidenan-gewest „Zuide en Oosterafdeling van Borneo" dengan ibu-kota Bandjarmasin. Dalam masa menghadapi bestuurshervorming, jang dikehendaki pasal 119 s/d 122 dari „Indische Staatsregeling" dahulu telah mulai njata keharusan mendirikan suatu kesatuan pemerintahan untuk seluruh Kalimantan. Permulaan perwudjudannja ditjapai dengan lahirnja gubernemen (pemerintahan administratip jang bukan daerah otonom) Borneo dengan Staatsblad 1938 No. 68 jang tetap terdiri dari dua keresidenan, jakni „Wersterafdeling" dan Zuider en Oosterafdeling"; keresidenan terachir formil diperintah langsung oleh Gubernur jang berkedudukan di Bandjarmasin, akan tetapi dalam prakteknja pemerintahan ini didjalankan oleh seorang Residen ter beschikking, jang sebelumnja tidak ada di Kalimantan.

Pendudukan oleh Tentera Djepang membawa perpisahan dalam tiga keresidenan, jakni Kalimantan Barat dengan ibu-kota Pontianak, Kalimantan Selatan dengan ibu-kota Bandjarmasin dan Kalimantan Timur dengan ibu-kota Samarinda. Kalau diingat, bahwa pembagian dalam beberapa daerah oleh pemerintahan tentara Djepang tidak terutama didasarkan atas perkembangan ketata-negaraan melainkan hanja untuk melajani kepentingan pertahanan, jang antara lain ditudjukan kepada kemungkinan dan keharusan mendjalankan pertahanan daerah sedaerah, maka tidaklah lagi perlu menjelidiki lebih dalam arti pembagian dalam tiga daerah itu, Pembagian ini rupanja memenuhi sebagian besar tuntutan praktis dalam mendjalankan pemerintahan.

Bagaimanapun djuga, sesudah tentera Sekutu menduduki Kalimantan dan Belanda kembali berkuasa disana, maka susunan tadi dilandjutkan. Kiranja tidak keliru djika disini dinjatakan, bahwa adanja swapradja diseluruh daerah Kalimantan Timur (berlainan dengan keadaan di Kalimantan Selatan jang untuk bagian terbesar terdiri dari „rechtstreeks bestuurd gebied") turut mempengaruhi landjutan pembagian dalam tiga keresidenan itu.

Politik Malino dan Denpasar, jang mulai didjalankan oleh Belanda untuk melemahkan Republik Indonesia, membawa lahirnja beberapa „daerah" jang kemudian merupakan daerah bagian dalam Republik Indonesia Serikat dan (dari sudut pandangan Konperensi Medja Bundar) sedjadjar kedudukannja dengan Republik Indonesia, jakni:

  1. federasi Kalimantan Timur dengan ibu-kota Samarinda;
  2. daerah Bandjar dengan ibu-kota Bandjarmasin; kotapradja Bandjarmasin termasuk dalam daerah Bandjar, meskipun ditetapkan bahwa daerah Bandjar tidak boleh mentjampuri hak-hak dan kewadjiban rumah-tangga kotapradja Bandjarmasin dalam daerahnja sendiri;
  3. daerah Dajak Besar dengan ibu-kota sementara Bandjarmasin;
  4. daerah Kalimantan Tenggara dengan ibu-kota Kota Baru.
  5. daerah Kota Waringin dengan ibu-kota Pangkalan Bun.

Dasar formil jang dipakai untuk mendirikan daerah-daerah tersebut ialah Staatsblad 1946 No. 17, dimana antara lain ditetapkan, bahwa untuk wilajah-wilajah ini berlaku „Zelfbestuursregelen 1938" dengan demikian lahirlah perkataan ,neo-zelfbestuur".

Federasi Kalimantan Timur terdiri daripada swapradja (zelfbestuur „lama") Kutai, Bulongan, federasi Gunungtabur/Sambaliung dan neo-landschap Pasir, jang untuk itu dipisahkan dari keresidenan Kalimantan Selatan dan dimasukkan kepada keresidenan Kalimantan Timur. Dengan demikian maka federasi Kalimantan Timur meliputi seluruh wilajah keresidenan Kalimantan Timur dan dengan penjerahan kekuasaan serta kewadjiban „resident" kepada Ketua Madjelis Pemerintah Harian federasi ini, maka hilanglah praktis instansi residen sebagai alat departement Binnenlandse Zaken dahulu. Dalam prakteknja Ketua Madjelis Pemerintah ini terikat kepada persetudjuan Dewan Kesultanan jang diketahui oleh Sultan Kutai. Terbatasnja kekuasaan Madjelis Pemerintah ini lebih djelas lagi, djika diingat, bahwa ketua dan anggauta-anggautanja ditundjuk dan diangkat oleh Dewan Kesultanan jang diketuai oleh Sultan Kutai.

 Federasi seperti dimaksud diatas, jang meliputi seluruh keresidenan, belum ada di Kalimantan Selatan, sehingga dimasa pada saat penggabungan daerah-daerah masih terdapat instansi residen tersendiri.

 Keinginan-keinginan golongan-golongan dan aliran-aliran jang hidup dalam masjarakat di Kalimantan mengenai status pulau ini dikemukakan dalam berbagai-bagai mosi dan resolusi jang disampaikan kepada Pemerintah.

 Soal status ini telah mulai mendapat perhatian pada tanggal timbang-terima pemerintahan di Samarinda pada tanggal 10 April 1950. Partai-partai pada waktu itu sudah sedia dengan mosi jang meminta status propinsi untuk Kalimantan Timur. Tuntutan dalam mosi ini kemudian ditiadakan sesudah ada penerangan tentang kewadjiban dan isi otonomi kabupaten dan propinsi. Suara-suara kemudian menghendaki adanja hanja satu propinsi untuk seluruh Kalimantan. Dalam hubungan ini dapatlah diketahui adanja resolusi gabungan dari 10 partai dan perkumpulan-perkumpulan jang diadakan di Tandjung Palas pada tanggal 17 Mei 1950 serta „Statement" Dewan Partai Parindra Bandjarmasin tertanggal 18 Mei 1950, jang kedua-duanja disampaikan langsung antara lain kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, dan kedua-duanja menghendaki hanja satu propinsi untuk seluruh Kalimantan. Rapat Gabungan 18 partai-partai dan perkumpulan-perkumpulan jang diadakan pada tanggal 1 Mei 1950 dî Tarakan-pun mengeluarkan resolusi jang sama maksudnja.

 Djika diambil kesimpulan dari segala pernjataan dan keinginan tadi, baik jang berwudjud mosi atau resolusi jang disampaikan pada pemerintah daerah dapat digambarkan sebagai berikut:

  1. partai-partai politik menghendaki pembentukan hanja satu propinsi untuk seluruh Kalimantan, termasuk keresidenan Kalimantan Barat;
  2. segolongan ketjil di Samarinda menghendaki status propinsi untuk Kalimantan Timur sendiri: demikianpun di Bandjarmasin apa satu golongan ketjil jang menghendaki status propinsi untuk Dajak Besar. Disamping kechawatiran akan terdesak oleh golongan jang terbesar (golongan Bandjar), maka keinginan mendjadi propinsi tersendiri timbul dari keinginan kedudukan jang dianggap lebih mudah terkabul djika didirikan beberapa propinsi;
  3. dalam keinginan kedudukan dilupakan. bahwa jang terpenting bukanlah „nama" sebagai propinsi, akan tetapi isi dalam arti kemungkinan dan kesanggupan menunaikan kewadjiban dalam tingkat propinsi;
  4. kemungkinan „terdesak" oleh sesuatu golongan lebih besar dengan adanja beberapa propinsi sehingga djustru pembentukan satu propinsi untuk seluruh Kalimantan-lah tindakan jang sebaik-baiknja untuk menghindarkan kemungkinan tadi, djika benar ada;
  5. terketjuali di Kotawaringin, dimana Sultan tidak mendjalankan pemerintahan lagi, dan rakjat menolak kembalinja swapradja, soal swapradja tidak merupakan suatu masalah jang hangat.

 Suatu faktor jang amat penting dan selalu harus diperhatikan dalam memikirkan segala sesuatu mengenai Kalimantan, ialah djarak. Pemerintah mengetahui, bahwa djarak-djarak jang harus dilalui Kalimantan djauh lebih besar daripada di Djawa. Dalam mendjalankan kewadjiban pemerintahan, maka faktor djarak ini masih lebih besar daripada kesimpulan jang dapat ditarik daripada perbandingan jang diberikan oleh peladjaran ilmu bumi sadja, karena penduduk Kalimantan djauh lebih renggang daripada di Djawa, sehingga antaranja kampung dengan kampung malah antara pedukuhan dengan pedukuhan (anak kampung) sangat besarnja dan tidak kurang daripada antaranja kabupaten dengan kabupaten di Djawa. Lagi pula hampir semua djarak ini harus didjalani meliwati sungai, sehingga perdjalanan lebih lambat daripada didarat. Perdjalanan jang memakan 20 hari dari kampung ke-onderdistrik adalah suatu hal jang biasa; perdjalanan dari Long Nawang ke distrik djadi djuga perhubungan pos memakan waktu sedikit-dikitnja dua bulan. Maka karena itu djarak pada umumnja tidak dihitung dengan djumlah kilometer tadi sudahlah mendjadi kebiasaan mengukurnja dengan hari perdjalanan, suatu ukuran jang benar sangat relatif akan tetapi untuk keperluan masjarakat lebih sesuai daripada kilometer dan paal, sehingga sebenarnja tidak salah djika luasnja sesuatu wilajah diukur dengan beberapa „hari persegi".

Pengaruh soal djarak lebih besar dalam perhubungan kampung ke-onderdistrik, dan onderdistrik ke-distrik, daripada dalam perhubungan antara Bandjarmasin dengan Tarakan ataupun dengan Pontianak umpamanja. Dalam hubungan antara kota-kota jang agak besar ini kita dapat mempergunakan perhubungan udara ataupun perhubungan dengan kapal. Keadaan ini membawa, bahwa faktor djarak ini tidak begitu menjukarkan hubungan dinas dipemerintahan tingkat atasan, akan tetapi lebih terasa ditingkatan bawahan.

Oleh karena keinginan-keinginan politik didaerah tidak menentang pendirian satu propinsi untuk seluruh Kalimantan, malah susunan jang demikian harus dianggap sebagai usaha jang sehat untuk memberantas penjakit separatisme dan sentimen kedaerahan jang tidak sehat sedang keadaan perhubungan dan lalu-lintas tidak merupakan suatu keberatan untuk propinsi jang berdaerah luas, maka lebih tepat masalah „satu propinsi atau lebih" sebenarnja tinggal tergantung pada kemungkinan-kemungkinan ekonomis. Kemungkinan ekonomis tidak sadja dalam arti, bahwa propinsi pada hakekatnja harus dapat membiajai pemerintahannja dari sumber keuangannja sendiri, akan tetapi djuga dalam arti, bahwa harus ditjari djalan jang sebaik-baiknja, jang se-effectief mungkin, untuk memperbesar potensi daerah, agar segala sumber kekajaan dapat diperhebat hasilnja untuk kepentingan rakjat Indonesia seluruhnja. Bahwa dalam suatu negara jang bersifat unitaristis tentunja segala sesuatu harus dipandang dari sudut kepentingan Negara seluruhnja dan otonomi adalah suatu sistim pemerintahan untuk mendjamin perkembangan masing-masing daerah dengan mempergunakan faktor-faktor daerah, djuga untuk kepentingan daerah itu, akan tetapi dalam pandangan kepentingan Negara seluruhnja. Djadi intensivering pemerintahan, sosial, ekonomis dan politis. untuk memperhebat perkembangan jang menuntungkan daerah jang bersangkutan dalam hubungan Negara seluruhnja.

Jang demikian ini dengan sendirinja mempertinggi masalah ini dan membawanja kesuatu tingkatan jang tidak semata-mata mengenai desentralisasi dalam arti biasa, akan tetapi merupakan soal desentralisasi sebagai djalan untuk mentjapai tjita-tjita nasional jang tertjantum dalam fasal 33 Undang-undang Dasar Republik Indonesia.

Dengan demikian timbul pertanjaan, apakah kemungkinan-kemungkinan ekonomis menghendaki adanja hanja satu atau beberapa propinsi untuk seluruh Kalimantan. Terketjuali djika pemerintah hendak memusatkan seluruh pembangunan ekonomis jang berarti dipusat, hal mana dapat dianggap bertentangan dengan maksudnja Undang-undang No. 22 tahun 1948, maka tidak ada djalan jang lebih baik daripada mendirikan hanja satu propinsi untuk seluruh Kalimantan, termasuk wilajah jang sekarang masih belum tergabung dengan Republik Indonesia.

Pada saat ini ada djuga faktor-faktor lain jang menurut kesatuan pimpinan untuk seluruh Kalimantan, jaitu infiltrasi politis dari luar Negeri. Dari pelapuran-pelapuran jang diterima harus diambil kesimpulan, bahwa masuknja orang bangsa lain kedaerah Kalimantan tidak hanja melalui pelabuhan, akan tetapi djuga dengan meliwati tapal batas darat dengan daerah Inggeris. Orang jang datang ini tidak sadja orang Tionghoa. akan tetapi ada djuga dari suku Dajak, hal mana menjukarkan pengawasan. Meskipun masalah ini terutama merupakan kewadjiban kementerian Luar Negeri, tidaklah dapat disangkal, bahwa pemerintah daerahpun harus memberi penuh perhatian kepadanja berhubung dengan kebidjaksanaan pemerintahan dan kebidjaksanaan politik polisionil jang harus didjalankannja. Bahwa kesatuan sikap dan pimpinan untuk seluruh tapal batas merupakan satu faktor penting tidak perlu didjelaskan lebih landjut.

Oleh karena itu pemerintah menganggap, bahwa baik ekonomis maupun politis, seluruh Kalimantan seharusnja dibentuk mendjadi hanja satu propinsi. Jang demikian tidak mengurangi keperluan dikemudian hari mendirikan lebih dari satu propinsi djika pembukaan Kalimantan dan usaha pembangunan sudah terwudjud.

Ibu-kota daerah pemerintahan itu seharusnja terletak dipusat daerah. Pusat tidak sadja dalam arti geografis, tetapi djuga dipandang dari sudut politis dan ekonomis, dan seberapa mungkin djuga dalam sudut kebudajaan.

Akan tetapi satupun diantara kota-kota di Kalimantan tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut. Djika hanja memperhatikan letaknja terhadap daerah, maka sebenarnja harus menempatkan ibu-kota propinsi itu di Muara Tewe atau sekitarnja. Akan tetapi dengan penempatan jang sedemikian pemerintah propinsi akan hilang hubungannja dengan masjarakat, karena tempat ini tidak mempunjai perhubungan lalu-lintas jang berarti, sedang daerah sekitarnja tidak mempunjai kehidupan politis dan ekonomis jang berarti. Oleh karena itu maka sjarat terletak „sentral" harus diartikan dalam pandangan hubungan dan lalu-lintas dan dengan sendirinja harus ditindjau kemungkinan ditempat-tempat jang agak besar, jakni ketika tempat keresidenan jang sekarang Badjarmasin, Pontianak, Samarinda dan Balikpapan.


Negara Kesatuan Republik Indonesia jang didukung oleh 13 propinsi, dalam mana daerah Kalimantan mendjadi satu propinsi dengan Dr. Murdjani selaku Gubernurnja, menghadapi persoalan baru, jaitu tentang pengisian otonomi daerah dan pembentukan Dewan-dewan Perwakilan Rakjat, Propinsi, Kabupaten dan Kotapradja. Bagi daerah Kalimantan Barat sendiri jang menerima kenjataan pahit dari sikap pemerintah daerahnja, melandjutkan perdjuangannja untuk memperbaiki susunan pemerintahan. Rakjat Kalimantan Barat jang djuga berdjuang untuk melaksanakan tjita-tjita negara kesatuan, tetapi dengan bukti jang diberikan pemerintah untuk mengendalikan Kalimantan Barat adalah kaum federalis, jang bagi rakjat tidak menimbulkan harapan-harapan baru. Rakjat minta supaja orang Republikein jang mendjadi Kepala Daerah Kalimantan Barat, supaja dengan demikian dapatlah dilakukan kerdjasama untuk membangun daerah jang umumnja terkebelakang itu.


 Dalam hal ini tidaklah heran, apabila ada surat-surat jang seakan-akan tidak senang dengan orang-orang federalis itu, karena apakah jang diharapkan dari umumnja kaum federalis dalam usahanja untuk memberi isi kepada daerah bekas Sultan Hamid itu. Gelombang tuntutan beralun-alun, silih berganti menuntut DPR Daerah jang baru, menuntut penghapusan daerah-daerah swapradja dan last but not least tuntutan Kalimantan Barat satu Propinsi.


 Usaha pemerintah daerah untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakjat Daerah selalu tidak pernah tertjapai, sekalipun telah berulang-ulang dilakukan, tapi pengisian kepala-kepala Kabupaten jang tadinja dikendalikan Belanda, semuanja diganti oleh tenaga-tenaga bangsa sendiri jang didatangkan dari luar daerah Kalimantan Barat, ialah rentjana dari Wakil Pemerintah Pusat untuk Kalimantan Barat segera untuk mengadakan pemilihan umum untuk didjadikan dasar pembentukan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah, dalam wakil-wakil rakjat jang tergabung dari GAPI diadjak berunding oleh wakil Pemerintah. Akan tetapi perundingan segi tiga : Wakil Pemerintah Pusat GAPI - bekas anggauta DIKB (Dewan Istimewa Kalimantan Barat ) jang selalu diadakan baik di Pontianak, maupun di Djakarta tidak pernah mentjapai hasil sebagaimana jang dikehendaki oleh masjarakat.


 Pemilihan umum jang direntjanakan ini, tidak memberi keuntungan bagi orang-orang federalis, karena terang mereka akan mendapat kekalahan. Untuk keluar dari djalan buntu itu, maka ditjari djalan tengah jang umumnja diterima oleh wakil-wakil partai, ialah membentuk Badan Pertimbangan Kalimantan Barat jang terdiri dari 7 orang dari 7 partai. Badan ini dalam pekerdjaan sehari-hari, ialah memberikan pertimbangan dan nasehat kepada Kepala Daerah untuk mengatur djalannja pemerintahan, disamping usaha-usaha mereka untuk mengadakan perubahan susunan pemerintahan, dan menjarankan supaja tenaga-tenaga dari daerah Kalimantan Barat dipergunakan djuga untuk mengisi Kabupaten-kabupaten, Kawedanaan jang masih kosong. Djelasnja supaja ada perimbangan antara tenaga-tenaga dari Kalimantan Barat dan luar Kalimantan Barat.


 Oleh karena Badan ini tidak lebih dan tidak kurang dari satu Badan jang hanja memberikan nasehat sadja, maka hasil jang ditjapainja selama tiga bulan berdiri sama sekali kurang membawa manfaat, dan karena itu satu demi satu anggauta-anggauta meletakkan djabatannja. Setelah Badan ini bubar, maka aksi penuntutan Propinsi bertambah hebat. Selama dua tahun setelah penjerahan kedaulatan nampaknja Kalimantan Barat seakan- akan tidak ambil kepala pusing terhadap soal jang tumbuh di Kalimantan Barat itu.


 Berdasar atas kenjataan-kenjataan inilah, maka oleh beberapa partai dibentuk satu Badan Kongres Rakjat se-Kalimantan Barat jang selandjutnja memperdjuangkan status propinsinja. Alasan bagi rakjat Kalimantan Barat adalah alasan-alasan jang kuat dan mempunjai dasar-dasar jang dapat dibenarkan, mengingat kedudukannja jang militer strategis amat penting. Tetapi tuntutan rakjat Kalimantan Barat ini bertentangan dengan rentjana pemerintah jang telah memberikan status propinsi otonom bagi seluruh Kalimantan. Jang demikian ini tidak berarti pemerintah menutup kemungkinan untuk dimana perlu mendjadikan dua propinsi. Bilamana tiba saatnja akan mengambil langkah-langkah kedjurusan itu. Sekarang ini tjukup satu propinsi sadja. Putusan ini sebenarnja adalah keputusan pemerintah dalam tahun 1945, ketika menetapkan pembagian propinsi untuk seluruh Indonesia.

Dasar tuntutan satu propinsi bagi daerah Kalimantan Barat adalah tuntutan jang sewadjarnja, dan tidak ada rahasia jang tersembunji dibelakangnja. Tetapi jang menggerakkannja adalah kenjataan-kenjataan. Daerahnja amat luas dan besar, dua kali lebih besar dari pulau Djawa. Letaknja penting dan strategis. Dalam terowongan lalu-lintas internasional. Hubungan antara satu dan lain kota amat sulit, dan hubungan ke Bandjarmasin terlalu lama dan sulit. Daerah Kalimantan Barat, adalah terdepan dan lepas kemana sadja. Kalimantan Barat mengandung banjak persoalan. Persoalan jang langsung dalam hubungan internasional, daerah terdepan jang militer strategis amat penting. Daerah terbuka bagi immigranten gelap dan infiltrasi ondergronds. Sebagai smokkel gewest jang subur, dan sebagai daerah ekonomi jang geisoleerd. Satu daerah jang paling aman dan tenteram. Satu daerah dimana bangsa asing seakan-akan merupakan majority, sedang bangsa Indonesia merupakan sebaliknja. Desa-desa penuh sesak oleh orang asing. Ekonomi digenggamnja, dan seluruh urat nadi penghidupan rakjat dipegangnja.

Sedang daerah pesisir masih tetap merupakan daerah smokkel jang bebas. Daerah perbatasan dengan Kalimantan Timur - Inggeris mendjadi sasaran penjeludupan asing. Soal penjelundupan ini tidak dapat dilepaskan dari kegiatan bangsa asing di Kalimantan Barat. Karena umumnja jang melakukan perbuatan ini adalah mereka. Sedang pada saat sekarang ini Kongres Kalimantan Barat belum melepaskan tuntutannja untuk mentjapai satu propinsi bagi daerahnja. Demikian djuga dengan tuntutan Rakjat Kalimantan Timur. Alasan-alasan jang dikemukakan oleh kedua daerah ini pada umumnja bersandar kepada kurangnja perhubungan jang dilakukan, baik oleh organisasi, partai dan alat pemerintah sendiri kurang sempurna perhubungan itu.

Ketjuali Kalimantan Barat dan Timur, maka rakjat dan pemerintah Kalimantan Selatan senantiasa memandang tidak perlu untuk mengadakan dua atau tiga propinsi bagi Kalimantan, karena banjak sekali faktor jang penting jang tidak memungkinkan untuk mendjadi lebih dari satu propinsi. Faktor-faktor keuangan, tenaga adalah mendjadi faktor jang amat penting bagi pemerintah, dan oleh karena itu adalah mustahil Kalimantan dapat didjadikan lebih dari satu propinsi.

Dalam perhubungan politik di Kalimantan ada tanda-tanda jang menundjukkan kurang lantjarnja roda pemerintahan berputar, tidak sadja karena soal hubungan, akan tetapi djuga soal keamanan, dimana gerombolan pengatjau masih mendjalankan aksinja disebagian dari Kalimantan Selatan.

Sebagai akibat daripada terbentuknja Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka seluruh dewan-dewan Daerah, dewan Kesultanan, Kotapradja dan Bestuurscollege dari pemerintah Swapradja semua dibekukan dan dibubarkan. Bestuurscollege dari beberapa daerah karena desakan rakjat, mau tidak mau harus menjerahkan pekerdjaan dan kekuasaannja kepada pemerintah daerah. Sungguhpun demikian tidak agak terasa kekosongan dalam pemerintahan, karena pada umumnja pemerintahan Republik dalam propinsi Kalimantan mendapat sokongan jang besar dalam tahun-tahun setelah penjerahan kedaulatan.

Tetapi Pemerintah propinsi tidak dapat membiarkan keadaan demikian berdjalan terus, maka berangsur-angsur telah dibentuk dewan Kotapradja dan Kabupaten, sedjalan dengan usaha2 pemerintah untuk mendemokratiseer pemerintah daerah. Sedjak tahun 1950 — 1951 pemerintah daerah telah berhasil dapat membentuk Dewan Perwakilan Rakjat Kotapradja Bandjarmasin, Dewan Perwakilan Rakjat Hulusungai , Sampit, Kapuas, Kota Baru, Bulongan dan Berau, sedang untuk daerah Kalimantan Barat usaha-usaha kearah mendemokrasikan belum kelihatan sama sekali. Kesulitan- kesulitan jang dihadapi Pemerintah Daerah tidak sadja karena soal-soal keuangan, akan tetapi djuga soal tenaga dan technis.

Dasar jang dipergunakan Pemerintah Daerah untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakjat Daerah itu ialah bersandar atas dasar-dasar dari Peraturan Pemerintah No. 39, jang kemudian atas sesuatu sebab, karena Parlemen tidak mengganggap Peraturan Pemerintah tersebut demokratis, maka Peraturan Pemerintah itu dibekukan, sedang sebagai gantinja masih harus dikerdjakan lebih dahulu. Itulah sebabnja maka usaha-usaha untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakjat daerah setelah pembekuan Peraturan Pemerintah No. 39 tidak dapat berdjalan sebagaimana mestinja, sedang dilain pihak tuntutan dan desakan partai-partai amat kerasnja supaja tiap kabupaten dibentuk Dewan Perwakilan Rakjat daerahnja.

Pemerintah Daerah Kalimantan insjaf benar akan hal ini. Susunan pemerintahan jang didjalankan oleh perseorangan tidak sadja tidak memenuhi sjarat-sjarat demokrasi , akan tetapi djuga tidak mentjerminkan kehendak dan keinginan-keinginan jang hidup dalam masjarakat. Apalagi djika orang -orang jang mengendalikan tampuk pemerintahan itu tidak disenangi rakjat. Maka pemerintahan „eenhoofdigbestuur" harus selekasnja diganti dengan pemerintahan collegiaal. Akan tetapi berbagai kesulitan menghambat usaha-usaha ini . Pertama ketentuan membagi Kalimantan mendjadi daerah-daerah otonom belum lagi dipetjahkan. Sedang diantara rakjat Kalimantan sendiri belum nampak ketjotjokan kehendak, didjadikan berapa propinsi, kabupaten, dan ketjamatan. Kedua Peraturan Pemerintah No. 10 tentang pembentukan Dewan-dewan Pemerintah darurat jang sejogianja dapat dipergunakan untuk mengatasi segala matjam kesulitan-kesulitan itu, terpaksa ditjabut kembali oleh Pemerintah Pusat karena desakan dari fraksi Partai Nasional Indonesia dalam Parlemen. Walaupun demikian Pemerintah Propinsi senantiasa mentjari djalan keluar dari kesukaran-kesukaran itu dengan mendengarkan keinginan-keinginan dari rakjat. Tetapi karena kebanjakan usul-usul jang dimadjukan oleh berbagai organisasi dan partai-partai itu, pada hakekatnja bertentangan dengan kehendak Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Propinsi tidak bersedia untuk mengambil langkah-langkah kedjurusan apa jang dikehendaki oleh wakil-wakil partai.

Hendaknja dapat dimengerti, bahwa Pemerintah Propinsi dalam batas-batas kekuasaannja, tidak dapat dengan begitu sadja membentuk Dewan Perwakilan Rakjat dan Dewan Pemerintah Daerah, atau Badan-badan jang berupa Penasehat untuk menjampingi pemerintahan perseorangan. Hal ini mengingat akan kesulitan-kesulitan dalam tjara penglaksanaannja, serta akibat-akibat jang timbul dikemudian hari. Satu-satunja djalan bisa ditempuh oleh Pemerintah Propinsi guna mengurangi keketjewaan dikalangan rakjat, ialah kebidjaksanaan seluas-luasnja dalam hal menempatkan tenaga-tenaga Pamongpradja, dengan memperhatikan keinginan-keinginan dari rakjat. Jang demikian ini sudah didjalankan oleh Pemerintah Daerah, sekalipun hanja terbatas dalam daerah Kalimantan Selatan sadja, namun usaha-usaha ini mentjerminkan kehendak jang sebenarnja dari Pemerintah Daerah.

Teranglah sudah, bahwa usaha-usaha Pemerintah dalam menjelenggarakan dan melantjarkan djalannja pemerintahan senantiasa mendekati hasrat rakjat, dan usaha „pengangkatan politis" dapatlah didjadikan pegangan untuk mengurangi pertentangan-pertentangan jang ada di Kalimantan ini. Akan tetapi sebagian besar rakjat Kalimantan tidak dapat melihat beleid dari Pemerintah Daerah jang membatasi hak-hak demokrasi rakjat, didalam usahanja untuk melaksanakan politiek-benoemingen. Dan pada saat jang terachir daripada usaha-usaha Pemerintah ini, dapat dimengerti betapa sulitnja keadaan jang sedang dihadapi Pemerintah. Memang, agaknja dapat dirasakan, bahwa roda pemerintahan daerah-daerah amat perlahan sekali djalannja, sehingga kadangkali menimbulkan kesan-kesan kurang puas dikalangan rakjat. Atjapkali pula sungutan-sungutan, bahwa roda Pemerintah di Kalimantan ini tidak berubah dengan apa jang pernah dilakukan oleh pemerintah Belanda kolonial dulu.

Agaknja dapat dikemukakan diantara sebab-musababnja mengapa ketidakpuasan itu datang, djustru jang mengendalikan pemerintahan sekarang ini adalah Pemerintah Republik Indonesia? Apakah karena belum adanja persatuan kerdjasama antara pegawai jang tadinja disebut golongan republikein dengan pegawai angkatan Belanda jang dulunja disebutkan golongan federalis? Djika jang mendjadi Kepala Daerah misalnja, adalah seorang jang dahulunja angkatan Belanda, fihak rakjat memandang, bahwa jang demikian ini tidak pada tempatnja, karena sudah barang tentu akan terdjadi perselisihan pendapat dalam melaksanakan sesuatu pekerdjaan. Segala pekerdjaan mereka tidak mendapat perhatian dan sambutan sebagaimana mestinja. Inilah mungkin jang menjebabkan sukarnja pemerintah Daerah mendjalankan beleidnja. Rakjat memandang segala jang berbau kolonial itu, tidaklah dapat memuaskan kehendak dan tjita-tjita mereka, malahan setjara kasarnja, mereka tidak sedjalan dan sependirian dengan rakjat. Hal jang demikian, apabila tidak segera mendapat penjelesaian dari pemerintah akibatnja bertambah buruk dan merugikan .

Soal penempatan tenaga Pamongpradja di Kalimantan sedjak dulu sudah disinjaleer rakjat, karena dalam pertumbuhan daerah, maka orang ingin melihat keseimbangan daripada tenaga-tenaga jang ada didaerah dengan tenaga-tenaga jang didatangkan dari luar Kalimantan. Dalam soal ini harus dipergunakan beleidnja jang kiranja dapat didjadikan rumusan untuk usaha-usaha selandjutnja dalam hubungan penjusunan tenaga-tenaga didaerah, selaras dengan kehendakkehendak jang hidup dalam masjarakat. Soal penempatan tenaga di Kalimantan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan rakjat seluruhnja, karena rakjat ingin melihat tenaga-tenaga daerah diberi kesempatan untuk menempati kedudukan jang lajak, jang selaras dengan bakat dan pengetahuannja. Dengan lain perkataan tenaga-tenaga daerah harus dipergunakan dimana mungkin dalam pengisian tempat-tempat kosong disegenap Kabupaten dan sebagainja. Dan apabila jang demikian sudah mendjadi tudjuan dari rakjat Kalimantan, maka hendaknja djangan salah faham, bahwa rakjat Kalimantan mengadakan bendungan terhadap aliran -aliran tenaga dari luar daerahnja.

Pemerintah Propinsi Kalimantan dengan segala kebidjaksanaannja selalu berusaha untuk mentjari kemungkinan -kemungkinan dalam lapangan pamongpradja, karena rupanja soal tersebut mendjadi titik perhatian jang berat sekali bagi rakjat. Tetapi segala usaha-usaha pemerintah ini tidak dapat didjalankannja, karena berbagai sebab jang rapat sekali hubungannja dengan soal- soal dalam negeri jang dari sehari-kesehari makin bertambah sulit. Mungkin karena sebab-sebab inilah timbul anggapan umum dikalangan masjarakat, bahwa pemerintah daerah tidak demokratis dan sebagainja.

Pemerintah Propinsi Kalimantan dengan segala kesanggupan jang ada padanja dapat berdjalan sampai tiga tahun lamanja dengan zonder adanja Dewan Perwakilan Rakjat dan Dewan Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kotapradja, dus ia mendjalankan pemerintahan sendiri dengan tjukup rasa pertanggungan djawab.

 * * *

Suka-duka Demokrasi.

Penjerahan kedaulatan membuka kesempatan jang selebar -lebarnja bagi rakjat Kalimantan untuk melantjarkan azas demokrasi, dengan djalan membentuk segalamatjam organisasi dan partai-partai , sebagai suatu gelanggang, tempat menghimpun segala aliran jang terdapat dalam masjarakat Kalimantan. Tumbuhnja partaipartai dan organisasi menundjukkan, bahwa dalam negara Indonesia azas dan sendi-sendi kerakjatanlah jang mendjadi pegangan untuk melantjarkan usaha menudju arah perbaikan susunan masjarakat dan bangsa .

Hanja dalam susunan pemerintahan daerah azas demokrasi ini tidak begitu berkembang djalannja , karena badan penampung untuk menjalurkannja belum diadakan, jang lazimnja Dewan Perwakilan Rakjat, baik di Propinsi, Kabupaten, Kotapradja dan Desa. Keadaan di Kalimantan dalam masa peralihan banjak menemui kesulitan, terutama susunan pemerintahan, Kesultanan, Keresidenan, dengan segala matjam dewan-dewannja mesti dirombak untuk disesuaikan dengan azas, undang-undang dan peraturan-peraturan dari Republik Indonesia. Pembongkaran lembaga-lembaga kolonial menelan waktu amat pandjang, dan memerlukan segenap kesabaran, ketelitian, keahlian dan sebagainja. Karena untuk sekaligus merombak susunan kolonial dan feodal membawa akibat jang kurang baik bagi kelandjutan hidupnja demokrasi jang baru mulai tumbuh di Kalimantan itu. Kalimantan, bukanlah seperti daerah Djawa dan Sumatera jang telah lama merasakan asam-garamnja demokrasi, akan tetapi bagi daerah ini, ia harus dipupuk dengan perlahan-perlahan sekali, supaja sesuai dengan kehendak masa dan perobahan dalam masjarakat. Inilah mungkin jang menjebabkan lambatnja perputaran demokrasi dalam susunan pemerintahan Propinsi Kalimantan. Walaupun dalam zaman kolonial — Djepang — Nica — ada dipergunakan dasardasar musjawarah, akan tetapi jang demikian itu hanja untuk menutupi kehendak mereka jang sebenarnja, sedang dewan-dewan jang dibentuknja hanja dipergunakan untuk tempat penimbunan alam pikiran kolonial belaka.

Dalam kehidupannja Pemerintah Propinsi tidak mudah dengan segera untuk menampung segala aliran-aliran jang terdapat dalam masjarakat, karena harus mempergunakan peraturan dan undang-undang untuk didjadikan dasar buat tempat penjaluran aliran-aliran itu. Karena itu beberapa saat setelah terbentuknja Negara Kesatuan, dengan Propinsi Kalimantan sebagai daerah lingkungan kesatuan ketatanegaraan, belum dapat menuangkan demokrasi kedalam pemerintahanınja, sekalipun jang demikian itu, tidak berarti bahwa Pemerintah Propinsi kurang demokratis.

Hak-hak demokrasi, dimana rakjat harus memilikinja belum dapat dibagi kepada susunan pemerintahan jang terendah sekalipun, karena untuk ini dibutuhkan suatu peraturan dan undang-undang. Inilah mungkin sebabnja Pemerintah Propinsi berdjalan sendiri, mendjalankan pemerintahan sendiri, seolah-olah tidak mendapat bantuan dari partai dan organisasi. Untuk menggambarkan keadaan jang terdjadi dalam masjarakat Kalimantan pada waktu zaman federal, untuk sekedar mendjadi bahan perbandingan, baiklah dikemukakan, bahwa azas-azas demokrasi seakan-akan mempunjai nilai jang amat tinggi dan dihormati oleh pengendali pemerintahan, dalam hal ini Belanda. Karena dasar inilah jang dipergunakannja untuk membentuk badan-badan dan lembaga-lembaga demokrasi, sekalipun hakekat sebenarnja berlainan dalam pratek. Karena badan jang dibentuknja itu , hanja terbatas kepada anggauta- anggauta jang dipilih atau ditundjuknja sendiri, sedang aliran-aliran jang menentang politik Belanda, tidak diperkenankan untuk memasuki lembaga demokrasi itu.

Oleh karena itu tidaklah heran djikalau badan-badan jang dibentuknja itu tidak mempunjai pengaruh apa-apa dalam masjarakat, tidak mendapat penghargaan, dan tidak mempunjai nilai sama sekali, ketjuali hanja sekedar untuk memuaskan kepada golongan-golongan ketji jang dibutuhkannja. Pihak Belanda sendiri bukan tidak insjaf akan perbuatan-perbuatannja itu, melainkan karena terpaksa — daripada tiada, bukanlah lebih baik ada. Tidak ada rotan akarpun djadi. Golongan- golongan jang duduk dalam lembaga demokrasi jang akan mendjalankan pemerintahan, mendjaga tata-tertib negeri, kehakiman dan sebagainja adalah terdiri atas golongan-golongan jang bukan dipilih oleh suara rakjat. Tidak pula mewakili sesuatu partai atau organisasi, melainkan golongan-golongan feodal jang akan mewarisi kolonial Belanda.

Apakah jang diharapkan dari susunan pemerintahan jang demikian itu? Apakah jang diharapkan dari orang-orang jang berdjiwa kolonial itu untuk perbaikan nasib masjarakat dan rakjat? Itulah sebabnja lembaga demokrasi jang ditanam Belanda di Kalimantan tidak memberi bekas sama sekali, bahkan laksana debu diatas tunggul, djatuh berterbangan dibawa angin kekuatan massa jang mendukung tjita-tjita demokrasi.

Dalam zaman federal kedudukan federasi -federasi Kalimantan, terutama Kalimantan Barat dan Timur sebagai suatu daerah bagian dari BFO, sama tingginja dengan „daerah-daerah" atau „negara" bagian lainnja. Sama tinggi hak suara dari „negara" Indonesia Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Timur, Djawa Barat, Timur dan Tengah. Dengan statusnja sebagai kesatuan ketatanegaraan jang berdiri sendiri, maka daerah Kalimantan Timur dengan sendirinja lepas dari susunan pemerintahan jang berlaku di Kalimantan Selatan. Daerah Kalimantan Timur dan Barat masing-masing langsung berdiri dibawah kekuasaan pemerintahan Pusat, seperti halnja djuga Kalimantan Selatan dalam hubungannja dengan Djakarta .

Sampai kepada zaman pemerintahan RIS, status Kalimantan Timur dan Barat sebagai „satuan ketatanegaraan jang berdiri sendiri" tetap terpelihara . Dengan lain perkataan kedua daerah itu mendjadi daerah bagian RIS, jang kedudukan dan deradjatnja sama dengan daerah RIS lainnja. Tetapi dengan masuknja federasi Kalimantan Timur kedalam wilajah Republik Indonesia, maka statusnja jang lama dengan sendirinja mengalami perubahan. Federasi Kalimantan Timur kemudian bubar, sedang daerah-daerah Swapradja jang tadinja mendjadi anggauta-anggautanja jang berdiri sendiri-sendiri, dengan masing-masing langsung dibawah kekuasaan pemerintahan Propinsi Kalimantan.

Kesatuan Kalimantan Timur dengan demikian sudah tidak ada lagi. Bukan sadja demikian, tetapi Pemerintah Pusat Republik Indonesia memutuskan djuga untuk memperketji luasnja daerah Kalimantan Timur, sesudah seluruh Kalimantan ketjuali Kalimantan Barat bergabung kedalam Republik Indonesia. Adapun daerah Kalimantan Barat jang belum sempat masuk kedalam daerah RI, karena keburu telah dibentuknja negara kesatuan masih dapat mempertahankan statusnja, jaitu sebagai kesatuan ketatanegaraan jang mempunjai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat, sampai achir tahun 1952.

Lenjapnja Kalimantan Timur sebagai suatu kesatuan ketatanegaraan, dengan keputusan Pemerintah Pusat jang membagi-bagi daerah bekas federasi Kalimantan Timur mendjadi 3 daerah Swapradja jang berdiri sendiri-sendiri dengan masing-masing langsung berhubungan dengan Pemerintah Propinsi, berarti turunnja „deradjat" Kalimantan Timur. Karena dizaman federasi Kalimantan Timur dulu, maka daerah Kutai, dimana duduk Sultan Parikesit jang memegang kendali pemerintahan Gabungan Kesultanan seluruh Kalimantan Timur. Soal-soal pemerintahan dan lain-lain soal jang mengenai Kalimantan Timur boleh dikatakan bergantung semata-mata atas kebidjaksanaannja Sultan Kutai.

Akan tetapi dengan bubarnja federasi Kalimantan Timur itu, sedang daerah-daerah Swapradja bekas anggauta-anggautanja selandjutnja berdiri sendiri dengan masing-masing langsung berhubungan dengan Gubernur Kalimantan, dengan sendirinja deradjat Kesultanan Kutai disamakan dengan kedudukan daerah Swapradja Berau dan Bulongan. Sultan Mohammad Parikesit jang tadinja mendjadi Ketua Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur, sekarang hanja mendjadi Kepala Daerah Istimewa Kutai, dalam tingkatan daerah Kabupaten. Sebagai akibat dari tjara pembagian daerah administratief untuk Kalimantan ini, timbul reaksi dari kalangan rakjat jang tidak dapat melihat tjara-tjara pembagian itu. Sebagian besar partai-partai dan organisasi jang ada di Kalimantan Timur telah menentukan sikapnja dalam mana dituntut kepada Pemerintah Pusat, hendaknja Kalimantan Timur diberikan status Propinsi jang tersendiri.

Dalam pada itu ada djuga suara-suara jang menghendaki supaja Kalimantan Timur diberikan status jang lama, jaitu „kesatuan ketatanegaraan jang berdiri sendiri" jang dapat berhubungan langsung dengan Pemerintah Pusat, sekalipun tingkatannja berada dibawah tingkatan Propinsi Kalimantan.

Dan bagaimana keadaan pemerintahan di Kalimatan Barat ?

Rakjat Kalimantan Barat hanja dapat bertahan hingga tahun 1952, kemudian statusnja djuga mengalami perubahan, jaitu dibagi dalam beberapa Kabupaten, sedang untuk mengkoordineer pemerintahan kabupaten ini ditempatkan seorang Residen Koordinator jang untuk sementara waktu dapat berhubungan langsung dengan Pemerintah Pusat, asal atas pengetahuan Pemerintah Propinsi.

Kalimantan Barat terbagi atas 6 kabupaten dan satu Kotapradja, jaitu kota besar Pontianak, kabupaten Pontianak, Sambas, Sanggau, Sintang, Ketapang, dan Putus Sibau, sedang daerah Swapradja terdiri atas 15 Swapradja. jaitu: Pontianak, Mempawah, Sambas, Bengkajang, Kubu, Sukadana, Ngabong, Sanggau, Sintang, Nanga Pinoh, Melawi, Singkawang, Sekadau, Ketapang, dan Putus Sibau. Susunan pemerintahan Kalimantan Barat dalam zaman federal sama dengan susunan pemerintahan dalam federasi Kalimantan Timur. Hanja bedanja Daerah Istimewa Kalimantan Barat dengan Sultan Hamid sebagai Kepala Daerahnja telah „diadopteer" oleh Pemerintah Belanda.

Untuk memperkembangkan azas-azas demokrasi dalam tubuh pemerintahan daerah Propinsi, Kabupaten, Swapradja dan Kotapradja, maka Pemerintah Propinsi mentjoba untuk memakai peraturan Pemerintah No. 39/1950 jang umumnja didjadikan dasar untuk membentuk DPR dengan peraturan tersebut atas Kabupaten-kabupaten Bandjarmasin, Kota Besar Bandjarmasin, Sampit, Kuala Kapuas, Kota Baru dan Barito, sedang Kabupaten-kabupaten di Kalimantan Barat dan Timur ketjuali Berau dan Bulongan belum membawa hasil sama sekali. Djadi selama beberapa tahun ini kedua daerah tersebut tidak mempunjai Dewan Perwakilan Daerah.

Keadaan jang demikian ini disebabkan karena berbagai pihak dari partai-partai memandang PP 39 kurang demokratis dan tidak mentjerminkan keadaan jang hidup dalam masjarakat dan oleh karena itu pula DPR- DPR jang telah dapat dibentuk diberbagai daerah Kabupaten di Kalimantan ini kurang representatief. Berhubung dengan adanja reaksi dalam sementara partai-partai politik, maka Pemerintah daerah mengurangi atau membatasi aktipiteitnja untuk membentuk DPR-DPR Kabupaten. Sebelum dibekukan PP 39 jang sebenarnja hanja dapat dilakukan dalam daerah bekas Republik Indonesia, ternjata menimbulkan pro dan kontra, dan untuk ini perlu didjelaskan perkembangan demokrasi didaerah Kalimantan. Ketjuali daerah Kalimantan Barat jang dianggap belum mendjadi daerah Republik Indonesia, karena daerah tersebut bergabung dalam RIS diwakili sendiri oleh Pemerintah RIS, maka PP 39 tidak dapat dipergunakan untuk daerah ini. Dan oleh sebab itu daerah Kalimantan Barat hingga sampai permulaan tahun 1953 tidak mempunjai DPR sama sekali.

Di Kalimantan Selatan Pemerintah Daerah mempunjai waktu untuk menjelenggarakan pembentukan DPR-DPR, akan tetapi untuk daerah Kalimantan Timur soal PP 39 harus ditela'ah dulu sebelum mengambil keputusan. Maka dalam waktu menghadapi pembentukan DPR daerah, dikalangan partai-partai dan organisasi ternjata berlainan pendapat. Ada aliran jang tidak setudju dengan pembentukan DPR daerah, dan karenanja tidak bersedia pula untuk ikut didalamnja, selama daerah Kutai masih merupakan daerah Swapradja. Sebaliknja ada pula aliran — meskipun mereka djuga menuntut penghapusan Swapradja — jang setudju dan bersedia duduk dalam DPR, dengan alasan bahwa dalam DPR itu akan diperdjuangkan tuntutan setjara parlementer terhadap penghapusan Swapradja.

Aliran jang pertama dipelopori oleh djiwa nasionalisme, sedang aliran jang kedua adalah ideologie Islam, tapi aliran jang pertama inilah jang mendukung tjita-tjita hendak menghapuskan Swapradja dengan mempergunakan sentiment rakjat, sehingga setiap usaha jang berbau Swapradja itu dalam hal pembentukan DPR itu senantiasa ditolaknja. Malah dalam suatu resolusi jang dikeluarkan oleh aliran nasionalis jang anti pembentukan DPR itu dinjatakan, bahwa turut serta dalam DPR jang berbau Swapradja itu mengandung pengertian , diakuinja daerah Swapradja, dan dengan djalan demikian berarti memperkuat kedudukannja.

Aliran jang dipelopori oleh blok Islam bersedia duduk dalam DPR, dengan tjatatan bahwa masuk mereka kedalam DPR itu belum berarti pro terhadap Swapradja, melainkan saluran parlementarisme jang akan dipergunakan mereka untuk menjerang Swapradja. Usaha untuk membentuk DPR daerah sebenarnja sudah dilakukan dalam pertengahan tahun 1950, pada saat Wakil Gubernur Kalimantan Ruslan Muljohardjo sengadja untuk menindjau pembentukan DPR daerah itu.

Tetapi berhubung bagian terbesar dari partai dan organisasi di Kalimantan Timur amat kokoh memegang pendiriannja, maka mereka menolak mentah-mentah pembentukan DPR daerah jang disodorkan Pemerintah itu terpaksa menemui djalan buntu dan achirnja gagal sama sekali. Dalam menghadapi sikap pendirian rakjat jang terbagi- bagi dalam suasana menghadapi pembentukan DPR, sikap Pemerintah daerah ternjata amat ragu-ragu. Meskipun pada mulanja Pemerintah pernah menjatakan, bahwa DPR Daerah Kutai tetap akan dibentuk, selama masih ada partai-partai dan organisasi jang bersedia untuk memasukinja, tetapi kemudian ternjata Pemerintah tidak melandjutkan usahanja untuk membentuk DPR tersebut. Malahan ternjata pula ada beberapa partai dan organisasi jang pada mulanja bersikap menolak DPR itu, mengubah sikapnja, bersedia dan menerima memasuki DPR, dan hendaknja pembentukan DPR itu segera dilaksanakan.

Tetapi anehnja dari pihak Pemerintah daerah sendiri tidak ada lagi usaha untuk membentuk DPR itu, pendiriannja tiba-tiba mengubah dengan tidak diketahui asal mulanja. Dengan sikap pemerintahan jang madju mundur ini, maka usaha-usaha untuk mendemokrasikan pemerintahan daerah berhenti setengah djalan mungkin karena Pemerintah melihat tidak kekompakan dalam partai dan organisasi dalam menghadapi DPR itu. Oleh karena kegagalan itu, maka djalannja pemerintahan di Kalimantan nampaknja kurang lantjar, djustru karena tidak ada suatu tempat penjaluran untuk mengalirkan demokrasi jang sebenarnja, dan hakekatnja daripada pemerintahan jang demikian itu lazim disebutkan djugasebagai Pemerintah tunggal.

* * *

Swapradja.

Masalah Swapradja ini tidak akan sulit untuk memetjahkannja, djika tidak ada faktor-faktor lain jang mentjampurinja. Pertama pihak Belanda senantiasa membajangkan bahaja penghapusan kedudukan Swapradja dalam negara Indonesia jang merdeka, jang berdaulat dan demokratis. Dilain pihak nampak hasutan dan fitnahan anasir-anasir jang tidak bertanggung-djawab atas keselamatan perdjuangan nasional, jang menipu rakjat dengan bingkisan-bingkisan, bahwa jang dituntutnja, ialah kedaulatan rakjat, tidak akan tertjapai selama masih ada Swapradja.

Bahwa masalah Swapradja di Kalimantan, terutama di Kalimantan Barat tidak akan dapat dipetjahkan dengan djalan hukum ketata-negaraan sadja. staatsrechtelijk, seperti seringkali dikemukakan oleh kaum nasionalis. Didalam Indonesia merdeka tentu hubungan kolonial antara Swapradja dan pemerintah Belanda harus diputus. Korte dan lange verklaring, Zelfbestuursregelen 1938 jang sekaliannja berdasar Indische Staatsregeling, tidak pada tempatnja lagi dalam suatu Negara merdeka, daerah Swapradja jang akan mendjadi bagian dari negara jang berdaulat kedalam dan keluar negeri tidak dapat bertindak keluar, djika tidak dengan pengetahuan Pemerintah Pusat.

Dengan lain perkataan, bahwa antara Swapradja dan pemerintah Belanda tidak ada lagi hukum ketata-negaraan jang bersifat langsung. Daerah Swapradja ang terletak dalam satu Negara bagian mendjadi sebagian daripada Negara bagian jang diinginkan oleh Belanda itu, dan kedudukan Swapradja diatur bersama-sama dengan Pemerintah Negara bagian. Sedang Negara bagian mendjamin kedudukan Swapradja, sebaliknja dalam daerah Kepala-kepala Swapradja harus terdjamin pula oleh hak demokrasi dan hak dasar kemanusiaan. Untuk mengawasi hubungan Negara bagian dengan Swapradja, maka pemerintah federal akan diberikan kekuasaan untuk mengambil tindakan jang lajak, ataupun hak pengawasan itu diberikan pada suatu badan pengadilan, misalnja Mahkamah Agung.

Rakjat Kalimantan masih ingat, bahwa sebagai akibat pendudukan tentera Tenno Heika, — proklamasi kemerdekaan Indonesia — perlawanan terhadap Belanda — masjarakat Kalimantan sudah banjak mengalami perubahan. Susunan masjarakat sesudah perang, dengan mendudukkan golongan manusia menurut bangsanja, warna kulitnja, darah dan turunannja dan lain sebagainja, maka susunan jang demikian itu walaupun pada umumnja masih sama, namun pada hakekatnja sekarang ini sudah banjak berubah.

Proses perubahan ini masih berdjalan terus, hanja belum begitu tegas. Sekalipun demikian dapat dikatakan, bahwa tiap orang Belanda tidak lagi dianggap dan diperlakukan sebagai „Tuan Besar"; demikian djuga terhadap orang-orang asing lainnja, rakjat umum tidak lagi merasa dirinja hina. Dalam lapangan pamongpradja proces ini berdjalan tjepat, karena mereka tidak lagi terikat dengan penghormatan jang terlalu dibikin-bikin terhadap pegawai B.B. Belanda, karena kelaziman dalam hierarchie. Dan apa jang terdjadi dalam kalangan Swapradja? Kalau dulu kaum Swapradja dan keluarganja masih berkedudukan tinggi, maka akibat kekosongan kerakjatan menjebabkan ukuran penghormatan orang banjak lain sifatnja.

Bukan lagi kedudukan atau gelar belaka jang mengagumkan rakjat, melainkan karena adanja perubahan zaman jang telah diputar-balikan oleh roda revolusi. Djikalau para kaum Swapradja ingin mempertahankan kedudukannja jang semula, maka tidak ada usaha lain daripada menundjukkan dan membuktikan dalam segala bahasa sifat-sifat kemanusiaan jang baik itu, jang menjebabkan mereka dulu mendapat kedudukan tinggi dalam masjarakat. Sebenarnja amat sukar untuk berdjasa terhadap masjarakat dan rakjat, apabila seorang Kepala Swapradja tidak dapat membuktikan dan menundjukkan ketinggian budi-bahasa dan pekertinja dalam membimbing daerah keradjaannja. Rakjat menurut perbaikan hidup, karena sudah tertanam dalam hatinja sekarang, bahwa perbaikan hidupnja hanja akan tertjapai, djika mereka bebas dari kekuasaan asing, dan mereka dapat mengatur kebutuhannja sendiri, baik djasmani maupun rohani. Demikianlah rakjat Kalimantan memperdjuangkan kemerdekaannja, jang penuh menderita siksaan dan penderitaan, sedikit banjak mengharapkan bantuan dari Swapradja atau setidak-tidaknja Swapradja-swapradja itu dapat menjesuaikan dirinja dengan arus revolusi.

Radja-radja jang menginsjafi tentang kehendak rakjat, apalagi radja jang mempunjai tjita-tjita, maka akan kokoh dan kuat kedudukannja dalam hati rakjat. Radja jang berpendirian demikian sebenarnja adalah seorang nasionalis, karena bukankah tiada radja, djika tiada rakjat? Dalam hubungan seperti ini, maka susunan hukum ketata-negaraan tidak mendjadi soal lagi. Kepala-kepala Swapradja memberi kesempatan pada rakjat akan turut serta dalam pemerintahan negeri. Dewan Rakjat Daerah membuat undang-undang atau mengesahkan undang-undang radja. Satu Badan jang anggautanja dipilih oleh dewan dan dikepalai oleh radja atau wakilnja mendjalankan pemerintahan. Dalam zaman kolonial dewan seperti ini lazim disebut Balai Kuning atau Balai Radja dan Balai Kanon jang terdapat dalam kesultanan Pontianak dan Sambas. Badan itu bertanggung-djawab pada rakjat. Lain halnja kalau radja tak dapat mengikuti tjita-tjita dan keinginan rakjat, maka hubungan antara radja dengan rakjat mendjadi sulit.

Dalam keadaan demikian itu, amat sukar untuk terdjaminnja keamanan, sedang kekuatan sendjata sadja tidak kekal dan lagi mahal harganja. Akibatnja rakjat sakit hati dan dendam, tidak sadja kepada radja-radja, melainkan djuga kepada bangsa asing jang kemudian menimbulkan revolusi jang sehebat-hebatnja. Boleh diharapkan, bahwa dalam Indonesia merdeka tidak akan terdjadi kemungkinan jang digambarkan belakangan ini, karena radja-radja umumnja di Kalimantan entah karena keinsjafannja, maupun karena takutnja, dengan sendirinja mengubah tindak-tanduknja.  Satu faktor psychologis jang menggerakkan hati kaum radja untuk mengubah sikap pendiriannja, adalah karena adanja revolusi jang sebenarnja tidak dapat dilupakan dalam sedjarah kehidupan kaum Swapradja. Rasa bangga akan tradisi leluhur dari zaman kezaman turun-temurun, bangga akan djasa-djasa nenek-mojang, rasa itu masih tetap hidup pada angkatan radja sekarang. Rasa itu menimbulkan djuga rasa tanggung-djawab dan wadjib terhadap leluhur keluarga dan rakjat, Rasa bangga itu beserta rasa tanggung-djawab terhadap rakjat, apalagi kalau dipupuk, kiranja dapat menghindarkan radja dan keluarganja dari penghinaan sipemerintah kekuasaan asing.

 Pada umumnja dalam daerah kekuasaan radja-radja. atau daerah Kesultanan di Kalimantan terdapat dua matjam kekuasaan, jaitu kekuasaan radja (Sultan) dan kekuasaan Gubernemen Belanda dilain pihak. Kekuasaan jang sudah kurang itu dikurangi lagi, jaitu dengan turut tjampurnja wakil Gubernemen Belanda seperti Residen, Kontrolir, Gezaghebber dalam urusan Kesultanan sendiri. Pada hakekatnja kekuasaan radja atau Sultan dalam zaman pendjadjahan kolonial Belanda tidak ada lagi, karena para Sultan dan radja-radja hanja sebagai alat untuk mendjalankan apa jang diperintah oleh Belanda.

 Setelah kekuasaan Belanda runtuh dan diganti oleh kekuasaan Kuning (Djepang) radja-radja di Kalimantan umumnja tidak dapat bergerak lagi, hilang lenjap segala kekuasaannja jang selama berabad-abad dipelihara terus-menerus. Kalau dalam zaman Belanda undang-undang umum hanja berlaku untuk daerah-daerah radja-radja, sedang dalam zaman Djepang keadaan jang demikian berlaku sebaliknja. Semua peraturan-peraturan umum pada azasnja berlaku bagi daerah-dacrah Swapradja, tetapi oleh Djepang dihapuskan sama sekali.

 Proklamasi Indonesia merdeka jang disertai dengan terbangnja kekuasaan pemerintahan pendudukan tentera Djepang, oleh rakjat Kalimantan dipergunakan kesempatan untuk memutuskan perhubungan antara pihak pendjadjah (Nica jang datang kemudian) dan radja-radja. Tegasnja semua perdjandjian, politik kontrak, baik pendek maupun pandjang hapus sama sekali. Sekalian radja-radja tidak lagi bergantung kepada pemerintah Hindia Belanda atau pemerintah tentera pendudukan. Dan suatu kenjataan jang terdjadi setelah proklamasi diumumkan ialah, bahwa dengan sukarela dan spontaan radja-radja itu menjatakan berdiri setia dibelakang Republik Indonesia.

 Status daerah-daerah Swapradja di Kalimantan diakui dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia, sekalipun pengakuan itu sebenarnja bertentangan dengan kehendak rakjat Kalimantan sendiri jang ingin melihat hapusnja seluruh daerah Swapradja itu.

 Dalam zaman revolusi sikap Pemerintah Swapradja di Kalimantan Timur oleh rakjat dipandang sebagai suatu sikap jang sekurang-kurangnja tidak membantu perdjuangan Republik, sedang rakjat Kalimantan Timur umumnja berdjiwa republikein, Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur sebagai „kesatuan ketatanegaraan jang berdiri sendiri” dibentuk oleh Belanda dalam bulan Agustus 1947 jang dalam pandangan rakjat adalah sebagai daerah boneka dengan maksud untuk melemahkan Republik, Apalagi karena Dewan Gabungan Kesultanan jang dikatakan Badan Pemerintah jang tertinggi untuk daerah Kalimantan Timur, sehenarnja tidak mempunjai kekuasaan penuh sebagai satu Pemerintah. Sebab pada hakekatnja Residen Belanda di Kalimantan Timur jang mempunjai hak lebih banjak dan tinggi dalam soal-soal pemerintahan, Harus diakui, bahwa tidak selamanja pemerintah federasi selalu mengekor kepada Belanda, Malah tidak djarang pemerintah ini terang-terangan menjatakan pendiriannja jang berpihak kepada Republik. Satu hal jang sebenarnja tidak diingini oleh Belanda jang „melahirkannja”, Walaupun demikian, namun rakjat jang pada umumnja amat fanatik terhadap Republik Indonesia, tetapi memandang Pemerintah Kalimantan Timur itu sebagai pemerintah boneka dari Belanda. Sehingga para Sultan di Kalimantan Timur jang mendjadi anggauta Dewan Gabungan Kalimantan Timur itu mendjadi turun harganja dalam pandangan mata rakjat.

 Peristiwa ini sebenarnja telah menimbulkan bibit anti Swapradja dikalangan rakjat. Tetapi biarpun demikian dalam zaman, dimana Belanda masih sangat berkuasa, benih anti Swapradja jang sudah mulai timbul, sengadja tidak dinjatakan setjara terus-terang. Ini terutama karena mengingat, bahwa dalam fase perdjuangan pada waktu itu, segenap pikiran dan tenaga hendaknja dipusatkan kepada perdjuangan mengusir kekuasaan Belanda jang hendak mendjadjah Indonesia kembali.

 Mendjelang penjerahan kedaulatan. rakjat mulai menggerakkan perdjuangannja terhadap kekuasaan Pemerintah Swapradja. Sungguhpun demikian, pada ketika itu rakjat Kalimantan Timur, hanja menuntut demokratisering pemerintahan-pemerintahan Swapradja, sedang masing-masing Sultannja dikehendaki sebagai „lambang” sadja. Demikian djuga setelah daerah Kalimantan Timur bergabung dengan Republik Indonesia, status Swapradja terus-menerus digugat, terutama oleh partai-partai politik. Pernjataan jang terang-terangan itu dalam menuntut penghapusan Swapradja tidak membawa hasil sedikitpun djuga,

 Dengan tidak ketjualinja, seluruh partai-partai politik di Kalimantan Timur menuntut likwidasi daripada pemerintahan Swapradja, berlomba-lomba dahulu-mendahului, dengan alasan-alasan jang tjukup kuat dan redelijk, jang menjatakan, bahwa Swapradja-swapradja adalah masih merupakan suatu halangan menudju kepada kesatuan masjarakat sedaerah chususnja dan Indonesia umumnja. Daerah-daerah jang paling keras dalam menuntut penghapusan Swapradja ialah daerah Kalimantan Barat, Samarinda — Berau — Kutai — Balikpapan, dan jang tersebut belakangan ini telah dibentuk suatu Panitia Aksi Anti Swapradja dalam mana tergabung seluruh partai dan organisasi jang akan memperdjuangkan tuntutannja itu sampai kepada tingkat jang tinggi. Pendek kata iklim politik di Kalimantan Barat dan Timur, semendjak revolusi hingga penjerahan kedaulatan mendjadi panas dan hangat oleh tuntutan-tuntutan jang seakan-akan sambung-bersambung dari pihak rakjat. Gelombang anti Swapradja mentjapai klimaksnja ketika Presiden Soekarno menindjau daerah Kalimantan pada tahun 1950.

 Jang demikian ini dapat difahami betapa bentjinja rakjat Kalimantan terhadap pemerintahan Swapradja itu, karena rakjat melihat tidak ada faedahnja pemerintahan Swapradja hidup terus didalam negara Indonesia jang telah merdeka dan berdaulat ini.

 Melihat kuatnja tuntutan rakjat itu, maka pihak Swapradja berichtiar untuk mendekatkan pendiriannja, buat keluar daripada kesulitan-kesulitan jang dihadapinja. Mereka bersedia mengadakana perundingan dengan pihak wakilwakil partai guna mentjari penjelesaian mengenai masalah Swapradja jang menghangatkan udara politik di Kalimantan,

Dalam perundingan itu telah ditjapai suatu hasil persctudjuan sementara, dalam mana pihak pemerintah Swapradja menjatakan kesediannnja untuk menjerahkan kekuasaannja. Malah konsep maklumat mengenai penghapusan Swapradja sudah dibikin terlebih dahulu dan jang ditanda tangani sendiri oleh A. M. Parikesit, Sultan Kalimantan Timur, dengan tjatatan, bahwa procedure penghapusan itu akan diserahkan kepada Pemerintah Pusat.

Karena taraf persetudjuan itu baru dalam tingkat sementara dan belum lagi resmi, maka statement itu harus dibitjarakan dulu dengan Wakil Gubernur Kalimantan, Ruslan Muljohardjo, jang pada waktu berlangsungnja perundingan tanggal 27 September 1950 kebetulan ada di Bandjarmasin. Dan bilamana Wakil Gubernur tersebut telah menjetudjuinja, maka sifat daripada persetudjuan itu tidak lagi bersifat sementara, melainkan sudah resmi. Akan tetapi meskipun demikian, apa jang telah dapat ditjapai dengan susah pajah, jang umumnja sudah mendjadi pegangan bagi seluruh rakjat Kalimantan Timur, bahwa pemerintah Swapradja telah mengikrarkan djandjinja untuk dengan sukarela menghapuskan kekuasaannja adalah mendjadi harapan bagi kedua belah pihak.

Tetapi alangkah ketjewanja rakjat, ketika Wakil Gubernur jang sedianja untuk menjaksikan dan mengesahkan penjerahan itu merasa ketjewa, karena pihak Swapradja dengan tidak diketahui asal mulanja telah membantah tentang adanja persetudjuan sementara itu. Tegasnja pemerintah Swapradja memungkiri djandjinja jang telah diberikannja dihadapan wakil-wakil partai dan organisasi, bahwa ia akan menjerahkan kekuasaannja dengan sukarela, Dapatlah difahami, bahwa dengan tindakan demikian, rakjat dipermain-mainkan oleh pemerintah Swapradja Kalimantan Timur. Dan dengan adanja pendjilatan kembali djandji itu, semangat anti Swapradja jang tadinja telah mendjadi reda, sekarang ini kembali meluap-luap. Pendjilatan kembali djandji oleh Sultan Parikesit mempunjai latar belakang jang pada saat-saat terachir mendorongnja untuk mentjabut kembali persetudjuan penjerahan kekuasaan, adalah salah seorang anggauta Parlemen dari Kalimantan Timur jang didalam tubuhnja masih mengalir darah bangsawan.

Berhubung dengan peristiwa itu, maka rakjat mengadakan Kongres dalam bulan Oktober 1950 jang mengambil keputusan antara lain menentang, membantah dan tidak membenarkan segala keterangan-keterangan dan tiap-tiap pembelaan terhadap Swapradja di Kalimantan, sebagai jang dibela oleh anggauta Parlemen jang terhormat itu. Kongres Rakjat Kalimantan Timur jang diliputisuasana panas dan hangat, memutuskan: Supaja pemerintah Swapradja seluruh Kalimantan dihapuskan. Menolak dan menentang dengan keras siapa sadja jang mentjoba untuk mempertahankan Swapradja, dan mendesak dengan keras kepada Pemerintah Pusat, supaja sungguh-sungguh memperhatikan segala keinginan rakjat, dan segera mengambil sikap tegas kearah penghapusan Swapradja-swapradja di Kalimantan umumnja.

Kongres Rakjat Kalimantan Timur itu segera mendapat perhatian dari Pemerintah Propinsi Kalimantan jang didalam rangka penjcleseian soal tersebut telah mengundang, Swapradja dan Kongres Rakjat untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu diadakan pada bulan Desember 1950 dan telah mentjapai pokok persetudjuan, bahwa Swapradja menjatakan kesediaannja untuk dihapuskannja Swapradja, asal penghapusan itu didjalankan oleh Pemerintah Pusat.

Walaupun persetudjuan pokok ini telah tertjapai, sedang penjelenggaraannja akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan satu Undang-undang pula, pada hakekatnja belum menggembirakan rakjat, dan belum berarti suatu kemenangan untuk menghapuskan Swapradja, karena rakjat belum mengetahui betapa bunjinja Undang-undang mengenai Swapradja itu. Sedang dilain pihak diketahui, bahwa persetudjuan jang ditjapai itu baru berada dalam batas-batas kemungkinan sadja, beleum diketahui bagaimana sikap dari Sutan sendiri jang sebenarnja mempunjai hak dan kekuasaan penuh terhadap Swapradja, apakah ia bersedia atau tidak untuk memenuhi persetudjuan jang telah ditjapai itu.

Perundingan jang dilakukan itu pada umumnja hanja sekedar memenuhi undangan Gubernur dan untuk menundjukkan goodwill-nja sadja, tetapi hakekatnja masih akan terus mempertahankan hak mutlaknja, jaitu kebesaran dan kekuasaannja.

Sultan Parikesit, Kepala Daerah Swapradja Kalimantan Timur, telah memberikan tandatangannja diatas persetudjuan jang penuh mengandung kesamaran itu, jaitu „Swapradja menjatakan kesediaannja untuk menghapuskan Swapradja, asal penghapusan ini ditetapkan oleh konstituante menurut pasal 132 Undangundang serta penglaksanaannja oleh Pemerintah Pusat dengan undang-undang pula" .

Dengan statement jang demikian bunjinja, teranglah, bahwa Swapradja menghendaki penjelesaian masalah Swapradja itu setjara integraal, karena diinginkan diputuskan oleh sidang Konstituante. Jang demikian ini adalah bertentangan dengan tuntutan rakjat, jang menghendaki supaja soal Swapradja diputuskan setjara locaal, dan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja, dengan tidak perlu menunggu terbentuknja konstituante lagi.

Dan bagaimana dengan sikap rakjat Kalimantan Barat terhadap Swapradja? Gelombang tuntutan rakjat tidak kurang hebatnja dari sikap tuntutan jang diperlihatkan oleh rakjat Kalimantan sebelah Timur. Rapat-rapat umum dan demonstrasi jang dilakukan rakjat Sambas, Pontianak terhadap Swapradja sudah demikian panasnja , sehingga pihak Swapradja jang terkenal dengan sebutan „bestuurscollege" dalam bulan Djuni 1950 telah menjerahkan kekuasaannja kepada pemerintah daerah dengan tidak bersjarat. Pemerintah daerah jang telah menerima penjerahan itu, lalu menempatkan wakilnja dalam mendjalankan pemerintahan di Sambas, dalam mana tenaga-tenaga dari Swapradja dikerdjakan dalam urusannja sendiri-sendiri.

Walaupun pemerintah Swapradja telah menjerahkan kekuasaannja kepada Pemerintah daerah, namun sikap Pemerintah Pusat belum diketahui lagi, apakah penjerahan itu dapat diterima dan disahkan ataukah akan diatur dalam satu undang-undang pula, tetapi jang pasti ialah, bahwa sedjak itu kekuasaan Swapradja seluruh Kalimantan Barat tidak mempunjai bentuk dan tjorak lagi, karena mereka disampingi oleh pemerintah daerah ditiap-tiap kabupaten.

Karena susunan dan peraturan-peraturan Pemerintah dalam daerah Swapradja amat berlainan dengan susunan dan peraturan-peraturan jang berlaku di Djawa, maka mau tidak mau segala peraturan-peraturan dan susunan itu dilandjutkan untuk sementara waktu, sampai akan diganti setelah adanja peraturan-peraturan baru. Sedjak itu Swapradja sudah beku, dan tidak lagi mendjadi sematjam pemerintah bajangan jang menjampingi pemerintah daerah jang sebenarnja.

Sedang reaksi dari pihak Swapradja Kalimantan Barat terhadap tindakan-tindakan pemerintah daerah itu, boleh dikatakan tidak ada, karena mereka tidak sanggup untuk mempertahankannja, tidak sadja karena tidak ada backing-nja, melainkan djuga karena Swapradja-swapradja di Kalimantan Barat jang para Sultannja, Panembahannja, Pangerannja sudah disapu bersih oleh Djepang, sedang Swapradja jang dibentuk Belanda setelah mendjadjah Kalimantan Barat kembali, tidak amat sukar untuk membekukannja.

Kelemahan-kelemahan jang terdapat dalam kalangan Swapradja, apalagi setelah „orang kuat" dari Kalimantan Barat, Sultan Hamid ditangkap oleh Pemerintah, maka urgensi dari Swapradja sebenarnja sudah lenjap, dan karenanja mereka tunduk diatas kehendak pemerintah daerah. Sementara itu memang ada keinsafan dari pihak Swapradja sendiri untuk dengan sukarela menjerahkan kekuasaannja, seperti halnja jang terdjadi di Sambas, Sekadau dan Ketapang, asal sadja mereka didjamin kedudukannja dalam pemerintahan daerah. Bagi Pemerintah sikap jang demikian ini mempermudah tindakan selandjutnja mengenai Swapradja itu, dan karenanja Peraturan Pemerintah jang menetapkan Bupati-bupati, Pati dan Wedana dalam bekas daerah Swapradja tidak mendapat tantangan sama sekali. Apalagi daerah-daerah tersebut akan diberikan kedudukan otonomi jang luas, jang memungkinkan lantjarnja pembangunan-pembangunan didaerah tersebut.

Dalam menetapkan luasnja daerah pemerintahan otonomi dalam tingkatan bawahan propinsi harus djuga diingat kedudukan Swapradja, jaitu untuk memenuhi ketentuan dalam fasal 18 Undang-undang Dasar Republik Indonesia, bahwa pembagian daerah Kalimantan atas dasar besar dan ketjil ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat antara lain hak-hak asalusul dalam daerah-daerah jang bersifat istimewa. Dari pihak Sultan, Kepala Swapradja Kalimantan tidak keberatan terhadap penundjukkan daerahnja sebagai daerah otonom tingkatan kabupaten. Hanja mereka tidak dapat menjetudjui gelaran „bupati" untuk kepala Swapradja. Perasaan jang mendjadi dasar keberatan terhadap gelaran ini dapat difahami, untuk susunan pemerintahan jang dikehendaki oleh Undang-undang No. 22/1948, maka jang penting bukanlah gelaran kepada daerah, melainkan tjorak dan isi jang digambarkan oleh fasal 18 Undang-undang Dasar dengan dasar permusjawaratan dalam sistim pemerintahan negara.

Swapradja jang terutama memenuhi sjarat untuk ditetapkan sebagai daerah otonom tingkat kabupaten ialah Swapradja Kutai. Luasnja daerah ini, kekajaan alam dan bahan -bahan pertambangan, minjak tanah, arang batu, mas dan sebagainja, kekajaan sungai-sungainja, danau-danaunja jang penuh dengan ikan, serta faktor-faktor lain memberikan penuh djaminan akan perkembangan ekonomis. Pada waktu itu Swapradja Kutai dibagi atas lima kepatihan jang kedudukannja sama dengan kewedanaan di Djawa, sedang djumlah penduduknja tidak kurang dari pada 225.000 djiwa. Kedudukannja ditengah-tengah masjarakat merupakan suatu kenjataan, anggaran tahun 1949 mengenai dinas biasa menundjukkan djumlah pengeluaran sebesar ƒ 9.324.297 dan penerimaan sebesar f 7.790.414. Untuk dinas luar biasa pengeluaran berdjumlah ƒ 3.699.384 dan penerimaan ƒ 2.821.698.

Swapradja itu berhubungan dengan „politiek contract" dengan pemerintah Hindia-Belanda dahulu, dan mendjalankan kekuasaan jang njata pada waktu penggabungan daerah kepada Republik Indonesia, sehingga kedudukannja harus diatur setjara „daerah istimewa" dan pembentukan daerah otonom perlu disertai pengangkatan wakil kepala daerah. Ibu-kota Swapradja Kutai adalah Tenggarong, tetapi pusat perkembangan ekonomi dan politik ada di Samarinda.

Demikian djuga Swapradja Bulongan dapat pula ditetapkan medjadi daerah otonom tingkat kabupaten. Djumlah penduduknja hanja 82.813 djiwa, akan tetapi daerah itu, jang terdiri dari tiga distrik, mempunjai kemungkinan perkembangan ekonomi jang amat luas. Pulau Tarakan dengan sumber minjak jang amat penting termasuk dalam lingkungan Swapradja. Hubungan Swapradja dengan pemerintah Hindia-Belanda dihulu diatur dengan jang disebut „Korteverklaring" dan takluk kepada peraturan zelfsbestuursregeling 1938.

Anggaran belandja tahun 1949 menundjukkan penerimaan sedjumlah ƒ 2.422.373 dan pengeluaran sedjumlah ƒ 2.019.573 untuk dinas biasa. Djuga penundjukkan daerah itu sebagai daerah otonom tingkat kabupaten sama halnja dengan daerah Swapradja Kutai, dimana disamping adanja Kepala Daerah Swapradja, djuga ada wakil kepala daerahnja, sedang ibu-kotanja tetap di Bulongan.

Sedang Swapradja Gunung Tabur dan Sambaliung kedua-duanja merupakan kesatuan pemerintahan jang amat ketjil artinja. Gunung Tabur terdiri dari hanja dua onderdistrik dan djumlah penduduknja hanja 13.194 djiwa. Sambaliung pun terdiri dari dua onderdistrik dengan djumlah penduduknja 10.013 djiwa. Kemungkinan perkembangan ekonomis jang berarti untuk masa jang akan datang tidak ada. Djuga waktu itu sudah dirasa dan diinsjafi, bahwa kedua Swapradja itu ekonomis tidak mungkin mendirikan pemerintahan sendiri- sendiri.

Oleh karena itu, maka kedua Swapradja itu telah mengadakan federasi jang mempunjai anggaran belandja gabungan dengan nama „Berau" mengenai dinas biasa tidak melebihi f 994.115 untuk pengeluarannja, sedang penerimaannja adalah sedjumlah f 532.516. Mengingat angka-angka itu, maka sebenarnja tjukup alasan untuk memberikan kepada Swapradja-swapradja tersebut kedudukan kota ketjil dan menggabungkannja dengan lain-lain mendjadi federasi jang merupakan daerah otonom tingkatan kabupaten.

Akan tetapi oleh karena daerah Swapradja Kutai dan Bulongan terlalu besar untuk kedudukan kota ketjil dan tidak ada daerah istimewa lain sebagai tetangganja, maka tidak ada lain djalan daripada penetapan federasi Berau itu mendjadi daerah otonom tingkatan kabupaten djuga. Oleh karena kedua-duanja terikat dengan „Korte verklaring ", maka akan diangkat seorang wakil Kepala Daerah. Sebagai Kepala Daerah Istimewa dapat diangkat Kepala Swapradja jang tertua. Kedudukan pemerintah otonom itu ada di Tandjung Redab.

Daerah jang ketinggalan dalam federasi Kalimantan Timur, ialah ,,neo-landschap Pasir" jang dahulunja merupakan „rechtstreeks bestuurgebied" dan karena demikian tergabung dalam keresidenan Kalimantan Selatan dan kemudian, berdasar peraturan dalam Staatsblad 1946 No. 17 didjadikan daerah otonom. Isi kewadjiban dan kekuasaan neo-swapradja jang didirikan sebesar peraturan tersebut hampir sama dengan Swapradja jang takluk kepada peraturan zelf-bestuursregelen 1938. Penduduknja tidak lebih dari 33.355 djiwa, sedang perkembangan ekonomis jang dapat merupakan alasan untuk mempertahankan daerah itu sebagai daerah otonom sendiri tidak ada, sehingga lebih tepat untuk menggabungkannja dengan federasi Kalimantan Tenggara jang sampai pada saat penggabungan dengan Republik Indonesia, administratief termasuk keresidenan Kalimantan Selatan. Federasi Kalimantan Tenggara sendiri terdiri dari tiga neo Swapradja, jaitu Pulau Laut, Pegatan dan Tandjung Sampanahan. Penduduknja federasi itu berdjumlah 114.000 djiwa. Penerimaan jang direntjanakan untuk tahun 1950 mengenai dinas biasa berdjumlah ƒ 2.280.955 dan pengeluaran ƒ 3.970.333 . Dengan penggabungan neo Swapradja Pasir dengan federasi Kalimantan Tenggara, maka akan diperoleh suatu daerah jang berpenduduk bulat 147.400 djiwa, djumlah mana djuga untuk Kalimantan masih dapat dianggap pantas, meskipun masih amat ketjil. Luasnja daerah tidak merupakan suatu keberatan terhadap penggabungan itu .

Oleh karena itu sebaiknja neo Swapradja Pasir digabungkan dengan federasi Kalimantan Tenggara mendjadi satu daerah otonom tingkat kabupaten, dengan nama Kota Baru. Didaerah itu tidak terdapat Swapradja jang masih memegang kekuasaan, sehingga bukan sadja didalam tingkat akan tetapi djuga dalam nama dapat didjadikan kabupaten.

Tentang kemungkinan-kemungkinan bagi daerah Kalimantan Barat ialah, bahwa Keresidenan Kalimantan Barat itu jang terdiri dari 15 Swapradja, diantaranja tiga didirikan sesudah perang pada umumnja tidak mempunjai arti ekonomis jang besar. Ketjuali Swapradja Mempawah dan Swapradja Pontianak jang berhubungan dengan „politik kontrak" semua Swapradja Kalimantan Barat takluk kepada Zelfbestuursregelen 1938. Oleh karena itu tidak mungkin mendirikan lima belas kabupaten otonom jang berarti, maka Swapradja-swapradja itu dalam pemerintahan otonomi hanja diberikan kedudukan setingkat kota ketjil. Dipandang setjara administratief dapatlah djumlah Kabupaten di Kalimantan Barat ditetapkan sama dengan djumlah „afdeling" dulu, jang dalam tingkatan pemerintahan dapat dipersamakan dengan kabupaten di Djawa.

 * * *

Zaman Djepang.

Perang dunia kedua jang lalu jang membawa akibat djatuhnja kekuasaan Belanda atau seluruh daerah Indonesia karena hebatnja penjerbuan tentera Djepang , pada hakekatnja mengachiri kolonialisme Belanda atas Indonesia. Tentera Belanda ternjata tidak dapat mematahkan atau menghalau penjerbuan Djepang, terutama didaerah Kalimantan, sebab pertahanan Belanda didaerah ini sama sekali tidak mempnjai nilai dalam artian militer. Tentera Djepang dengan mudahnja dapat memasuki daerah Kalimantan, jaitu tanggal 27 Desember 1941, setelah lebih dahulu menghudjaninja dengan bom atas kota-kota dalam daerah Kalimantan Barat.

Daerah Kalimantan Barat adalah daerah jang terdahulu djatuhnja ketangan Djepang, djika dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnja, dan serangan udara jang paling hebat dilakukan atas kota Pontianak jang menelan korban tidak sedikit pada bulan Desember 1941. Pendaratan Djepang dipesisir Pemangkat, Singkawang, dan Pontianak menimbulkan kegelisahan pada penduduk. Suasana amat keruh, karena takut dan lalu melarikan diri kedalam hutan. Sedang pihak tentera Belanda banjak jang melarikan diri, sekalipun ada djuga perlawanan ketjil, tapi oleh Djepang dapat dikalahkan dengan mudah. Pertempuran-pertempuran ketjil terdjadi didaerah Seluas, daerah perbatasan Serawak dengan daerah Kalimantan Barat, sedang di Sempau tentera Belanda banjak jang mati.

Perlawanan Belanda jang demikian itu, sebenarnja mempertjepat untuk menjerahkan seluruh daerah Kalimantan Barat kepada Djepang dengan tidak bersjarat. Sementara itu tentera Djepang mengalir terus memasuki kota-kota jang diiringi oleh pemerintah sipilnja jang mempunjai hubungan rapat dengan Armada Menseibu. Pada mulanja penduduk Kalimantan Barat merasa megah melihat keunggulan tentera Djepang , dan bersedia membantu Djepang. Demikian djuga Djepang memperlihatkan sikap jang ramah-tamah, akan tetapi lambat-laun sikap ramah-tamah itu bertukar dan berubah dengan tjepat, jang sebenarnja memperlihatkan watak dan pribadi jang dipusakai Djepang turun-temurun.

Pemboman jang amat hebat atas kota-kota di Kalimantan Barat sebenarnja tidak usah terdjadi, kalau memang Djepang tidak mempunjai niat jang sesungguhnja, karena bagi Belanda dengan tidak usah pemboman atau digempur mereka akan menjerah djuga. Tetapi Djepang bukan Djepang, apabila mereka tidak berbuat demikian, karena sebelum menjerbu ke Kalimantan Barat mereka telah mempunjai rentjana tertentu, jaitu untuk memperkuat garis pertahanannja melandjutkan peperangan dibagian Selatan Asia ini. Kepulauan Kalimantan jang duduk letaknja amat strategis , terutama di Pontianak, Balikpapan, dan Tarakan dalam hubungan samudera raya amat menguntungkan bagi pertahanannja, dan karena itulah mengapa mereka memisahkan daerah Kalimantan dengan daerah Indonesia lainnja, terutama dengan Djawa dan Sumatera.

Kalimantan diperintah oleh kekuasaan Angkatan Laut, sedang Djawa chusus oleh Angkatan Darat. Antara kedua daerah ini selama dalam genggaman Djepang tidak boleh bertemu dalam arti kata jang seluas-luasnja, melainkan dipisah-pisahkan. Djepang mengetahui, bahwa daerah Indonesia jang paling lemah dan terkebelakang adalah daerah Kalimantan Barat. Rentjana untuk daerah Kalimantan Barat makin djelas setelah memasuki tahun 1943, dimana Djepang dengan segala keganasan dan kekedjamannja telah melakukan penjembelihan besar-besaran terhadap lebih-kurang 20.000 orang. Sedang jang diketahui pasti adalah 10.000 orang untuk daerah Kalimantan Barat sadja, jang lainnja tersebar didaerah Kalimantan lainnja. Penjembelihan massaal ini tidak sadja terbatas kepada satu golongan sadja, akan tetapi meliputi seluruh golongan bangsa jang terdiri dari bangsa Indonesia, Tionghoa, Arab, Belanda dan lain-lain bangsa jang dianggap musuh jang perlu untuk disembelih.

Diantara djumlah jang dipotong dan disembelihnja itu terhitung seluruh keluarga radja-radja, sultan-sultan di Kalimantan Barat, jang djumlahnja tidak kurang 300 orang, sedang jang lainnja terdiri dari kaum terpeladjar, pegawai negeri, pemimpin-pemimpin pergerakan, pemuda, guru-guru agama lelaki dan perempuan. Penjembelihan besar-besaran ini jang kelihatannja amat tersembunji adalah dimaksudkan untuk tidak meninggalkan kesan buruk terhadap masjarakat. karena disamping usaha penjembelihan itu, mereka mendjalankan taktik nazi, ialah mendekati para pemuda, anak-anak sekolah jang selalu disandjung dan dipudji untuk mendjadi harapan bangsa dibelakang hari kelak.

Dengan taktik demikian Djepang berhasil membuat kaders, tenaga tjadangan, Heiho, Keibodan, Seinendan dan Kaigun Heiho jang sebenarnja adalah romusha untuk didjadikan perisai dalam medan peperangan melawan tentera Serikat. Selama pendudukan Djepang di Kalimantan Barat rakjat amat menderita siksaan moreel dan materieel, disamping usahanja merubah tjara-tjara hidup dan susunan masjarakat dan pemerintahan. Apa sadja jang berbau Belanda segera dihantjurkan, diganti dan disesuaikan dengan kehendak Djepang, baik mengenai tjara hidup dan kebudajaan maupun sifat-sifat dan kelakuan. Sehingga dalam waktu jang amat singkat Kalimantan Barat seakan-akan telah tenggelam dalam arus pengaruh kebudajaan Djepang.

Asal mulanja pembunuhan jang dilakukan Djepang adalah berpokok-pangkal pada rasa tjemburu dan prasangka terhadap masjarakat, terutama terhadap kaum intellectuelen dan kaum radja-radja jang berniat hendak menjaboteer usaha-usaha Djepang. Prasangka ini tambah mendalam setelah mereka mengetahui dari kaki-tangan dan Kempeitainja, bahwa dikalangan pergerakan dan radjaradja terdapat aksi gelap untuk membantu Sekutu. Tetapi purbasangka jang mempengaruhi pemerintahan Djepang segera mengambil tindakan berpura-pura untuk mendekati mereka jang disangkanja akan mengadakan aksi.

Sedjak itulah Djepang mulai tegas sikapnja dalam menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan, jang sebenarnja hanja timbul karena ketjemasan apabila masjarakat tidak dapat membantunja. Sikap pura-pura ini kemudian mendjelma mendjadi suatu kenjataan jang amat pahit bagi rakjat. Dalam achir tahun 1943 Djepang telah memanggil semua kaum pergerakan dan radja-radja untuk diadjak berunding jang dilakukan dalam Gedung Medan Sepakat di Pontianak. Pertemuan itu dikundjungi oleh lebih-kurang 500 orang, lelaki dan perempuan. Sedjalan dengan adanja pertemuan ini mereka mendjalankan aksi pembersihan dan pembunuhan. Tiap-tiap ada pertemuan atau pesta jang diusahakan Djepang, tiap kali pula dilakukan penangkapan.

Komplotan jang hendak melumpuhkan kekuatan Djepang telah tersebar ditiaptiap kota dan dusun, dan Djepang-pun telah mengetahuinja pula, tetapi belum bersedia untuk mengambil langkah-langkah, karena gerakan itu mempunjai latar belakang jang amat pandjang jang dikendalikan oleh kaum pergerakan dengan mempergunakan wanita-wanita. Dalam kalangan jang amat terbatas sekali jang penuh mengandung rahasia memang ada terdengar suatu gerakan untuk membunuh opsir-opsir Djepang. Adapun rentjana itu ialah dengan djalan mempergunakan kaum wanita, baik dikalangan kaum terpeladjarnja, maupun dikalangan para puteri dan ratu-ratu dikalangan radja dengan tjara bagaimana untuk membalas dendam terhadap keganasan Djepang.

Gerakan ini disokong sepenuhnja oleh kaum pergerakan, sekalipun masih amat terbatas, karena dichawatirkan akan menimbulkan bermatjam-matjam reaksi dikalangan masjarakat. Soalnja sekarang hanja siapa jang akan mendjalankannja, dimana dan kapan waktunja. Selandjutnja dalam rentjana itu terdapat gambaran untuk membinasakan opsir-opsir tinggi Djepang, merebut sendjata dan kekuasaan, mempersiapkan „tentera rakjat" jang terdiri dari pemuda-pemuda Kaigun Heiho, Seinendan dan pemuda-pemuda dari suku Dajak jang terkenal keberaniannja, dan achirnja memproklamirkan kemerdekaan Kalimantan Barat. Rentjana ini segera didjalankan, jaitu dengan djalan mengadakan konperensi „kerdjasama" dengan Djepang, dalam mana diundang seluruhnja opsir-opsir tinggi dari kalangan angkatan laut dan sipil.

Konperensi jang dilangsungkan dalam bulan Desember 1943 di Pontianak jang kebanjakannja dihadiri oleh kaum wanita sebagai „pelajan", jang akan mendjalankan peranan penting dalam usaha untuk meratjuni segenap opsir-opsir Djepang jang hadir, tidak membawa hasil sedikitpun djuga =. Karena Djepang telah mengetahui siasat jang didjalankan oleh pihak „musuhnja" itu, jang dikuatkan oleh purbasangka jang telah menjelinap dalam hati Djepang.

Gedung tempat berkonperensi itu atas perintah Djepang telah dikelilingi oleh tentera Djepang, dan memerintahkan siapapun tidak boleh keluar dari gedung, sedang para pengundjung konperensi jang terdiri dari bangsa Indonesia tidak mengetahui kalau gedung ini telah dikepung dengan menghadapkan tiap senapan mesin pada segenap pintu dan djendela. Ketika para wanita menghidangkan makanan dan minuman jang berisi ratjun jang diantaranja telah terlandjur dimakan oleh beberapa orang opsir Djepang, memperkuat purbasangka Djepang lainnja jang belum sempat menikmati makanan itu, memerintahkan dengan sendjata apinja untuk menutup pintu dan kemudian menggeledah makanan dan minuman. Sedang tentera Djepang jang mengepung gedung tersebut segera mengambil tindakan seperlunja untuk tidak melepaskan orang keluar dari gedung.

Dengan tidak ketjualinja seluruh pengikut konperensi atau jang hadir dalam gedung itu semuanja ditangkap, diangkut dengan beberapa buah truck dan lalu dibawa kesuatu tempat diluar kota untuk dibunuh. Tindakan selandjutnja dari Djepang ialah melarang berkumpul lebih dari 2 orang. Djam malam diadakan dengan keras. Penangkapan terus dilangsungkan, siapa sadja jang ditjurigakan ditangkap dan dibunuh. Tindakan Djepang ini tidak sedikit menimbulkan ketjemasan dan ketakutan bagi seluruh rakjat Kalimantan Barat. Lebih-lebih bagi kaum wanita, ibu-ibu amat takut, kalau-kalau suami dan anaknja mendjadi korban Djepang.

Aksi pembersihan Djepang tidak pernah dilakukan pada siang hari, melainkan diwaktu malam. Akan tetapi djika ada penangkapan lebih dahulu diberi tanda diwaktu siang dengan menggerakkan tanknja dihadapan rumah orang jang akan dibunuhnja. Tiap rumah, dimana ada penghuni lelakinja, pemudanja telah menjiapkan diri untuk diambil jang sering dilakukan diwaktu dinihari atau tengah malam buta, dimasukkan dalam truck jang diselubungi dengan kain hitam.

Keadaan jang demikian menimbulkan paniek dan kekatjauan pikiran, lebihlebih bagi kaum wanita jang merasa kehilangan suami, anak, mendjadi djanda, sedang djalan penghidupannja amat mentjemaskan, sehingga banjak djuga diantaranja jang mendjadi korban kebuasan Djepang. Untuk menghilangkan paniek dan kekatjauan pikiran, maka oleh Djepang telah diumumkan, apa sebabnja mereka mendjalankan pembersihan dan pembunuhan itu, karena diantara mereka jang dibunuh telah diketemukan suatu dokumen jang lengkap untuk melawan dan mengchianat kepada Djepang . Djepang menjebut, bahwa pembunuhan itu adalah timpalan daripada sikap mereka jang berdosa dan berchianat dan mendjadi matamata musuh dari tentera Sekutu.

Dalam pada itu tindakan Djepang di Kalimantan Selatan tidak ubahnja dengan tindakan jang dilakukannja di Kalimantan Barat, jaitu melakukan penangkapan dan penjembelihan, terhadap semua pembesar Belanda, baik dari kalangan sipil dan militer, maupun partikulir, lelaki dan perempuan, bahkan meluas dikalangan padri dan zuster. Pembunuhan terhadap mereka ini atas tuduhan jang sama, jaitu mengadakan komplotan melawan Djepang, dalam hal ini termasuk Gubernur Kalimantan Dr. Haga bersama keluarganja. Djumlah penjembelihan dikalangan Belanda tidak kurang dari 250 orang, sedang jang tidak diketahui dari kalangan Indonesia, Tionghoa, India, Arab jang djumlahnja amat besar djuga.

Rangkaian peristiwa jang amat menjedihkan jang terdjadi di Kalimantan Selatan, jang disebut sebagai Komplotan Haga, dalam tuduhan Djepang adalah bagian dari gerakan kemerdekaan jang terdapat di Kalimantan Barat. Pemerintah Djepang, waktu dalam peperangan tahun 1943 jang tidak begitu menguntungkan sebagai jang diharapkan dan jang tjuma mempunjai sedikit kekuatan militer, untuk memegang tetap kekuasaannja mengadakan terror setjara teratur. Hal-hal jang tidak penting atau jang hanja dalam persangkaan sadja, didjadikan alasan untuk melakukan pembersihan, penangkapan dan pembunuhan.

Dengan djalan ini di Kalimantan Selatan sadja tidak sedikit orang jang mendjadi korban penjembelihan, sebab mereka dituduh membantu suatu gerakan gelap, jang bermaksud untuk merubuhkan kekuasaan Djepang di Kalimantan. Korban-korban ini terdiri dari berbagai bangsa, diantaranja termasuk 4 orang Swiss jang didalam peperangan ada dipihak netral. 25 Orang diantaranja, jang dianggap sebagai kepala gerakan, telah diadili oleh pengadilan Djepang, diputus hukuman mati dan disembelih dilapangan terbang Ulin pada tanggal 21 Desember 1943. Dalam sedjumlah 25 orang jang terpisah pemeriksaannja ini, terdapat Gubernur Kalimantan, tetapi tidak sempat diadili pada sidang hari pertama, telah mati, karena azab siksaan jang demikian kedjam dari Djepang. Tiga puluh orang lainnja telah meninggal dunia dalam tahanan, karena akibat perlakuan buruk, seperti beberapa orang tawanan jang dihukum pendjara, djumlah mana tidak diketahui pasti, tetapi sekurang-kurangnja ada 150 orang , dengan tidak ada pemeriksaan telah dipenggal lehernja.

Kekedjaman Djepang tidak terbatas kepada orang-orang Belanda sadja, akan tetapi djuga terhadap rakjat, ia ambil tindakan kasar terhadap 800 orang kaum pegawai jang tidak ada hubungannja dengan Komplotan Haga jang kemudian dibunuh semuanja. Tidak lama sesudah tentera Djepang masuk di Kalimantan Selatan, jaitu dalam bulan Pebruari 1942, maka Gubernur Belanda Haga memutuskan untuk menjerah. Tindakan ini disertai dengan tindakan interniran terhadap mereka dari kalangan militer dan semua orang jang dianggap Djepang berbahaja.

Pada permulaannja perlakuan dalam interniran agak baik, pendjagaan dilakukan tidak begitu keras, sehingga berhasil didapat perhubungan dengan luar. Bungkusan-bungkusan makanan, obat-obatan dan kabar-kabar dapat diselundupkan kedalam tempat interniran. Keadaan jang sematjam ini berlaku terus, waktu interniran sekeluarga diganti dengan pembagian interniran untuk kaum wanita, biarpun waktu itu pendjagaan diperkeras dan keadaan makanan bertambah buruk.

Sementara itu perhubungan dengan Djawa diadakan, sekalipun hanja bersifat kekeluargaan sadja, namun jang demikian ini menimbulkan ketjurigaan jang besar pada Djepang. Buku tjatatan kepunjaan Gubernur Haga tidak pernah djatuh ketangan Djepang, apalagi nota tentang rentjana untuk perubahan bentuk pemerintahan di Kalimantan, disiarkan luas dalam tempat interniran. Tentang adanja nota ini diketahui Djepang, tapi sebelum itu telah dibakar. Perhubungan dengan luar diselenggarakan djuga, tapi dengan amat hati-hati sekali, karena takut diketahui Djepang, jang akibatnja membawa maut.

Dalam bulan Mei 1942 pemerintah Djepang telah mengadakan suatu konperensi rahasia, dimana dibitjarakan tentang perhubungan jang disangka ada dan pergerakan untuk melumpuhkan Djepang, telah mengambil keputusan untuk mengadakan aksi besar-besaran, penggeledahan, penangkapan dan sebagainja. Kedjadian ini terdjadi pada tanggal 10 Mei 1942. Tempat-tempat interniran dan rumah-rumah digeledah dalam mana ditangkap 20 orang, karena pada mereka ini terdapat pesawat-pesawat radio jang telah ditjabut segelnja serta beberapa surat jang memberatkan pada mereka. Tindakan penggeledahan didjalankan terus, dan berhasil menemui beberapa surat penting dan uang sedjumlah f. 40.000, Semangat anti Djepang hampir merata dikalangan Belanda dan Indonesia, dan karena itu orang mengharapkan supaja tentera Sekutu selekasnja mendarat di Kalimantan. Komplotan Haga di Kalimantan Selatan amat luas dengan mempunjai rentjana jang lengkap, seperti jang diakui sendiri oleh Njonja Haga, beberapa hari sebelum ia dibunuh. Rentjana itu, ialah bahwa pada bulan Djuni 1943 Bandjarmasin akan dibom oleh tentera Sekutu , dan jang demikian ini adalah suatu tanda untuk melakukan pemberontakan terhadap Djepang.

Anggauta Komplotan Haga jang terdiri dari berbagai bangsa telah mengumpulkan uang, makanan, obat-obatan, merentjanakan untuk memindahkan anakanak dan perempuan kelain tempat bila ada penjerbuan terhadap Djepang. Sedang zuster-zuster Belanda telah berangkat ke Djawa buat mengetahui rentjana Sekutu dan minta bantuan uang. Orang-orang Indonesia, Tionghoa dan pegawai-pegawai dari Menseibu akan membantu pemberontakan ini. Rentjana dan daftar nama-nama itu diketahui Djepang jang segera mengambil tindakan. Tiap nama baru jang diumumkan, berarti pembunuhan baru. Penangkapan ini demikian tjepatnja, karena berdampingan dengan kabar -kabar angin tentang adanja tank-tank dan pesawat-pesawat pembom Amerika. Djumlah jang ditangkap 250, belum termasuk nama orang jang dianggap membantu akan mendjalankan pemberontakan.

Berhubung dengan peristiwa-peristiwa itu, maka Djepang jang selama ini hanja menjangka-njangka sadja, sekarang mendekati kenjataan daripada keadaan jang sebenarnja, karena dari pemeriksaan jang dilakukan atas orang-orang jang bersalah, didapat keterangan, bahwa memang ada perhubungan Komplotan Haga dengan tentera Sekutu . Bukti daripada Komplotan itu lebih terang lagi setelah diperoleh 400 putjuk senapan modern jang disembunjikan di Kuala Kapuas. Karena ini pula Djepang bertambah buas lalu mengadakan pembersihan pula.

Dilapangan terbang Ulin, 28 K.M. dari kota Bandjarmasin, adalah tempat pendjagalan kepala-kepala manusia, dimana telah didapati 185 buah tengkorak, 30 orang mati karena disiksa, 26 orang lagi termasuk 5 orang perempuan dan 11 orang pegawai B.B. jang dilakukan Djepang pada tanggal 20 Desember 1943. Demikian djuga tindakan Djepang di Kalimantan Timur, tidak ubahnja dengan apa jang telah dilakukannja terhadap Kalimantan Barat dan Selatan. Hanja rentjana tertentu untuk daerah Kalimantan Barat memang ada, jaitu berdasar atas peristiwa sedjarah jang terdjadi di Kalimantan Barat, dalam mana orang Tionghoa dari hampir seluruh penduduk memegang peranan penting dalam perekonomian.

Djepang ingin mengimbangi perekonomian Tionghoa, dan ingin mendapatkan bahan-bahan mentah jang diperlukan dalam usahanja melandjutkan peperangan. Sebagai akibat daripada penjembelihan Djepang, maka sisa jang tinggal dalam masjarakat, terdiri dari kaum perempuan, pemuda, gadis-gadis, dan orang-orang jang kiranja dapat dikendalikannja menurut kehendak hatinja. Sedjak itu kegiatan Djepang nampak sekali dalam usahanja untuk memadjukan pemuda-pemuda Kalimantan Barat, dididik setjara Djepang dalam asrama, memperbesar djumlah Kaigun Heiho dan Romusha , karena Djepang punja harapan besar terhadap angkatan baru ini.

Dalam perkiraannja, Djepang dapat „mendjepangkan" seluruh Kalimantan Barat dalam djangka waktu 10 tahun, karena apa jang telah dipraktekkannja di Korea dan Manchukuo selama bertahun-tahun adalah bukti daripada apa jang akan dilaksanakannja di Kalimantan Barat. Garis pemisahan jang amat tadjam antara golongan-golongan, suku-suku, dan penjembelihan terhadap Sultan-sultan dan kaum keluarganja, dilain pihak usahanja untuk mendekati golongan Tionghoa adalah tanda-tanda jang dapat berkata, bahwa Djepang ingin Kalimantan Barat mendjadi bagian dari negara Djepang.

Daerah Kalimantan Barat jang demikian baiknja bagi pangkalan-pangkalan militer, laut dan udara, serta bahan-bahan mentahnja jang dapat disumbangkan bagi memperlipat-gandakan produksi peperangan Djepang, lebih-lebih mengetahui, bahwa penduduknja jang terdiri dari berbagai suku amat mudah untuk melaksanakan tjita-tjitanja itu. Hanja sajangnja bagi Djepang segala usaha dan tjita-tjitanja itu tidak pernah tertjapai, karena didahului oleh penekukan lutut tentera Djepang kepada tentera Sekutu. Manusia merentjanakan, Tuhan menentukan !!!

Kalimantan Barat jang penuh mengandung peristiwa-peristiwa sedjarah, sedjak beberapa abad jang silam, selalu menimbulkan benih pertjederaan antara berbagai bangsa, jang dimulai dari sedjarah Tionghoa , Inggeris, Arab, Belanda, dan paling achir Djepang.

Betapakah nasibnja dikemudian hari ...............?


Kolonel Sadikin, panglima TT VI.


Misi Militer Republik Indonesia, Djenderal Majoor Soehardjo turun dilapangan terbang Ulin, Bandjarmasin.
Dj. Maj. Soehardjo disambut oleh a.l. resident A. G. Deelman dan Let. Kol. Veenendal, serta para pembesar militer dan sipil lainnja.


Tampak disini sdr. A. Ruslan sebagai Ketua Penjambutan sedang berdjabatan tangan dengan Dj. Maj. Soehardjo.
Misi militer Indonesia bersama fihak pembesar militer Belanda diikuti para wartawan menudju Markas ALRI Div. IV di Munggu Raja, Kandangan.


Dj. Maj. Soehardjo bertjakap-tjakap dengan Hasan Basri (Let. Kolonel) di Munggu Raja. Disamping berdiri Kapt. Zainal Abidin.
Rombongan beramah tamah dengan fihak perwira-perwira Alri di Munggu Raja.


Overste Sukanda Bratamenggala menjerahkan tanda-tanda pangkat kepada para perwira KNIL jang baru dilebur kedalam APRIS.
Penjumpahan para anggauta Apris oleh Overste Sukanda Br. menurut agamanja masing-masing.
Penjumpahan para anggauta Apris oleh Overste Sukanda Br. menurut agamanja masing-masing.
Let. Kol Hasan Basri memberi wedjangan kepada para anggauta APRIS.
Overste Sukanda dengan Overste Hasan Basri dengan diiringi oleh pembesar militer lainnja serta sipil memeriksa barisan APRIS.
Pada tgl. 9 Pebruari 1950 diadakan pertemuan antara Militer dan Sipil serta para pemimpin partai, dimana hadlir: Overste Hassan Basri, Overste Sukanda Bratamenggala, Majoor R. E. Sukardi, Kapt. Muljono, Residen Hanafiah, dan para wartawan.

Beberapa anggauta gerilja jang diresmikan oleh Misi Militer R.I. di Samarinda.

Upatjara pergantian panglima Terr. VI dari tangan Let. Kol. Sukanda Bratamenggala kepada Kolonel Sadikin, pada tgl. 21 Nop. 1951.

Pidato Djenderal Maj. Simatupang pada upatjara pergantian panglima Terr. VI.

Pidato Kolonel Nasution.

Pidato Let. Kol. Sukanda.

Penjerahan Pandji kepada Panglima jang baru.
Operasi Merdeka dilakukan oleh fihak tentera untuk mengembalikan keamanan dengan dibantu oleh fihak rakjat, didaerah Hulu Sungai.


Seorang pengatjau dapat dibunuh oleh fihak tentera tatkala diadakan pembersihan.
Pasukan Tentera terus mengedjar para pengatjau jang menjusup dalam hutan belukar.


Matjam-matjam sendjata jang dapat dirampas oleh tentera tatkala diadakan operasi didaerah Hulu Sungai.
Pada tgl. 30 Djuli 1952 ditandatangani naskah penghapusan S.O.B. bagi daerah Kalimantan oleh Kolonel Sadikin.


Disaksikan oleh Let. Kol. Bustomi jang bertindak sebagai wakil K.S.A.D. dan seorang pegawai Tinggi dari Kementerian Dalam Negeri, naskah penjerahan kekuasaan ditandatangani oleh Panglima TT. VI, Kolonel Sadikin, dan Gubernur Kalimantan Dr. Murdjani.
Sebagian bekas anggauta Pedjuang bersendjata jang kembali kemasjarakat.