Dibawah Bendera Revolusi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
semuanya
Tag: Dikembalikan
Baris 139: Baris 139:
***[[Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah|Djangan Sekali-Kali Melupakan Sedjarah]]/'''Jasmerah''' (''Never Leave History'') (17 Agustus 1966) - Pidato terakhir Bung Karno
***[[Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah|Djangan Sekali-Kali Melupakan Sedjarah]]/'''Jasmerah''' (''Never Leave History'') (17 Agustus 1966) - Pidato terakhir Bung Karno


[[Kategori:Soekarno]]
[[Kategori:Pidato Soekarno]]

Revisi per 20 Desember 2021 16.43

Dibawah Bendera Revolusi
oleh Soekarno

Ulasan

Oleh Erwien Kusuma

Hingga saat ini sejarah telah membuktikan bahwa Soekarno adalah satu-satunya Presiden Republik Indonesia yang mempunyai pemikiran orisinil dan matang tentang bangsa dan negara yang dipimpinnya. Soekarno selain terkenal karena pidatonya yang berapi-api itu juga telah dikenal mempunyai mata pena yang tajam membedah segala permasalahan bangsa Indonesia pada masa kolonial. Sejak masih belajar di Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya, Soekarno muda telah dikenal gemar menuangkan pikirannya dalam suatu tulisan. Kebiasaan menulis ini terus berkembang hingga Soekarno menjadi mahasiswa Technische Hogeschool (THS) di Bandung, menjadi aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI), lalu kemudian menjadi aktivis Partindo. Sampai di tanah pembuangan sekalipun, di Endeh dan Bengkulen, Soekarno tidak pernah berhenti menuangkan pemikirannya dalam tulisan.

Dibawah Bendera Revolusi adalah buku fenomenal yang menghimpun tulisan-tulisan Soekarno pada masa penjajahan Belanda (1917 – 1925) dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1959 oleh sebuah Panitia Penerbitan di bawah pimpinan H. Mualliff Nasution. Pada tahun 1963 buku monumental itu mengalami cetak ulang yang kedua dan hanya dalam waktu dua minggu sudah habis terjual. Tidak mengherankan setelah itu pencetakan kembali dilakukan setiap tahun. Terakhir kali, tahun 1965 buku itu untuk keempat kalinya dicetak ulang. Ini menunjukkan bahwa keinginan rakyat Indonesia untuk memiliki buku itu sangat besar. Pada tahun 1964, Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi juga menerbitkan jilid kedua buku tersebut yang memuat 20 pidato 17 Agustus yang disampaikan Soekarno kepada rakyat Indonesia dari tahun 1945 hingga 1964.

Menurut catatan penerbit, judul Dibawah Bendera Revolusi adalah judul yang dipilih oleh Soekarno sendiri, untuk menandai bahwa pemikiran-pemikiran itu lahir dalam kondisi Indonesia yang sedang menuju revolusi kemerdekaannya. Pada cetakan kedua tahun 1963 dan 1964, penerbit memberikan tambahan bahwa Dibawah Bendera Revolusi adalah suatu bukti bahwa segala kebijakan politik yang ditempuh Soekarno pada masa itu mempunyai pembenaran sejarah dalam pemikiran Soekarno muda. Gagasan koalisi Nasakom yang menggabungkan tiga kekuatan utama politik Indonesia, yaitu nasionalis, agama dan komunis, serta politik anti-imperialisme telah menjadi bahan pemikiran Soekarno jauh sebelum Indonesia merdeka.

Dalam buku Dibawah Bendera Revolusi jilid pertama, terdapat 61 tulisan Soekarno muda yang pernah dimuat dalam berbagai media cetak, seperti Suluh Indonesia Muda, Fikiran Ra’jat, Pandji Islam, dan Pemandangan. Tulisan Soekarno itu mencakup tema-tema agraria, strategi politik nasional, seruan terhadap kaum Marhaen, pandangan Soekarno tentang Islam, ulasan pemikiran tokoh dunia seperti Karl Marx dan Mahatma Gandhi, perkembangan politik dunia, hingga kritik dan komentarnya terhadap Mohammad Hatta yang kemudian mendampinginya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Kelihaian Soekarno dalam memainkan kata-kata dalam setiap pidatonya, diksi dan pilihan kalimatnya yang menyihir para pendengarnya juga tercermin dalam gaya bahaya yang digunakan oleh Soekarno muda. Sepertinya ketika menulis Soekarno merasakan dirinya sedang berorasi langsung di hadapan para pembacanya. Bahasa yang digunakan cukup lugas, pilihan kata demi kata sangat menarik, terutama untuk membuat judul tulisan. Simak saja judul-judul seperti Islam Sontoloyo, Tabir Adalah Lambang Perbudakan, Kuasanya Kerongkongan, dan 1.000.000.000 extra! yang termuat dalam jilid pertama Dibawah Bendera Revolusi . Judul yang indah juga selalu Soekarno sematkan dalam setiap pidato 17 Agustus yang ia sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia. Lihat saja judul-judul seperti Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!; Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung!; Tetap Terbanglah Radjawali; Genta Suara Republik Indonesia, dan banyak lainnya yang begitu melekat pada telinga seluruh rakyat Indonesia kala itu.

Di atas lisan dan tulisan Sekarno semua permasalahan bangsa, perkembangan sejarah dunia mutakhir, berbagai teori baru yang dikemukakan oleh para tokoh dunia, masalah-masalah agama, kecaman politik yang serius, bisa disampaikan kepada rakyat Indonesia dengan bahasa yang mudah dimengerti dan mampu menyihir kesadaran mereka. Maka bukan berlebihan, ketika Soekarno telah menyadari kepiawaiannya itu ia berani menyatakan diri bahwa Soekarno adalah Penyambung Lidah Rakyat!

Melalui dua jilid buku Dibawah Bendera Revolusi ini bangsa Indonesia akan dibawa untuk mengenali sosok pemikiran Soekarno dalam arti yang sebenarnya. Dari tulisan pada periode pergerakan nasional hingga pidatonya pada era 1950-an dan 1960-an menunjukkan rangkaian pemikiran yang konsisten. Gagasan politik nasakom Soekarno (yang tidak mudah kita terima) akan mudah kita cermati dalam tulisan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme pada jilid pertama buku. Sikap berdikari dalam ekonomi dan politik yang dicanangkan Soekarno telah ia tunjukkan dalam beberapa tulisannya yang begitu mengagumi Mahatma Gandhi di India. Lalu bagaimana religiusitas seorang Soekarno, Islam apa yang ia anut selama hayatnya akan dapat kita mengerti dalam Surat-surat Islam dari Ende pada jilid pertama buku.

Surat-Surat Islam dari Endeh adalah surat-menyurat antara Soekarno kepada T. A Hassan, seorang tokoh Persatuan Islam, Bandung yang dilakukan pada masa pembuangan Soekarno di Endeh 1934 hingga 1936. Korespondensi antara kedua tokoh itu, tidak hanya sebatas dialog antara seorang guru dengan murid, tapi lebih dari itu merupakan dialog antara kedua pemikir agama yang handal.

Sejarah

Sejarah Pencetakan Di Bawah Bendera Revolusi:

  • Pada tahun 1959 dicetak jilid pertama edisi pertama Di Bawah Bendera Revolusi oleh Panitia Penerbitan dibawah pimpinan H. Muallif Nasution
  • Pada tahun 1963 jilid pertama dicetak ulang hingga tahun 1965 terus dicetak ulang
  • Pada tahun 1964 jilid kedua dicetak ulang
  • Pada tahun 2004 dua jilid Di Bawah Bendera Revolusi kembali dilakukan cetak ulang yang diprakarsai oleh Yayasan Bung Karno

Daftar artikel