Deru Campur Debu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membuat halaman berisi '{{Header |title=Deru Campur Debu |author=Chairil Anwar |section= |previous= |next= |notes= }} <pages index="Deru Campur Debu.pdf" from=3 fromsection="chapter1" to=47 tosection="p36" />'
 
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7: Baris 7:
|notes=
|notes=
}}
}}
<pages index="Deru Campur Debu.pdf" from=3 fromsection="chapter1" to=47 tosection="p36" />
<pages index="Deru Campur Debu.pdf" from=3 to=46 />

Revisi per 2 September 2021 17.34

Deru Campur Debu
oleh Chairil Anwar

DERU

CAMPUR

DEBU


CHAIRIL ANWAR





DIAN RAKYAT

JAKARTA

ISBN 979-532-042-5
Deru Campur Debu
Diterbitkan oleh DIAN RAKYAT Jakarta
(Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pembangunan tahun 1959)
Rencana & hiasan buku oleh : Oesman Effendi
Dicetak oleh PT. DIAN RAKYAT
Cetakan pertama 1987
Cetakan kedua 1991

x-small

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

SELAMAT TINGGAL

Aku berkaca

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
— dalam hatiku? —
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah ..................??

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal ................!!
Selamat Tinggal ................!!

ORANG BERDUA

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas.

Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam

'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran pitam?

Matamu ungu membatu.

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?

SIA-SIA

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

ISA

kepada nasrani sejati

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya: aku salah?

kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara

mengatup luka

aku bersuka

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

KEPADA PEMINTA-MINTA

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.

KESABARAN

Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak bicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Dihitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah........

KAWANKU DAN AKU

Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata ........?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti.

KEPADA KAWAN

Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang 'tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja !
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu !!!

SEBUAH KAMAR

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
"Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!"

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
3 X 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

LAGU SIUL

I

Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal dicerlang caya matamu
Heran ! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
'Ku kayak tidak tahu saja.

II

Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka

MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir : Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan ?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin :
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan !

CATETAN TH. 1946

Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahaya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai 'kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Kita - anjing diburu - hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu ;
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat

Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang; tenggorokan kering sedikit mau basah!

NOCTURNO

(fragment)

..........................
Aku menyeru — tapi tidak satu suara
membalas, hanya mati di beku udara.
Dalam hatiku terbujur keinginan, juga tidak bernyawa.
Mimpi yang penghabisan minta tenaga,
Patah kapak, sia-sia berdaya,
Dalam cekikan hatiku

Terdampar ....... Menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu.
Ingatan pada Ajal yang menghantu.
Dan demam yang nanti membikin kaku ......

..........................
Pena dan penyair keduanya mati,
Berpalingan !

KEPADA PELUKIS AFFANDI

Kalau, 'ku habis-habis kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri,. terdiri
di ambang penuh kupak,

adalah karena kesementaraan segala
yang mencap tiap benda, lagi pula terasa
mati kan datang merusak.

Dan tangan kan kaku, menulis berhenti,
kecemasan derita, kecemasan mimpi ;
berilah aku tempat di menara tinggi,
di mana kau sendiri meninggi

atas keramaian dunia dan cedera,
lagak lahir dan kelancungan cipta,
kau memaling dan memuja
dan gelap-tertutup jadi terbuka !

BUAT ALBUM D.S.

Seorang gadis lagi menyanyi
Lagu derita di pantai yang jauh,
Kelasi bersendiri di laut biru, dari
Mereka yang sudah lupa bersuka.

Suaranya pergi terus meninggi,
Kami yang mendengar melihat senja
Mencium belai si gadis dari pipi
Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi.

Kami rasa bahagia tentu 'kan tiba,
Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan
Dan di negeri kelabu yang berhiba
Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan

Lagu merdu ! apa mengertikah adikku kecil
yang menangis mengiris hati
Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil,
Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?

CERITA BUAT DIEN TAMAELA

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau......

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

KEPADA PENYAIR BOHANG

Suaramu bertanda derita laut tenang .....
Si Mati ini padaku masih berbicara
Karena dia cinta, di mulutnya membusah
dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya !

Kelana tidak bersejarah
Berjalan kau terus !
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.
Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah:
"Aku saksi!"

Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
bertampuk suatu dunia ;
menguyup rintik satu-satu
Kaca dari dirimu pula ........

SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat sri ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

KABAR DARI LAUT

Aku memang benar tolol ketika itu ,
mau pula membikin hubungan dengan kau ;
lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,
berujuk kembali dengan tujuan biru.

Di tubuhku ada luka sekarang,
bertambah lebar juga, mengeluar darah,
dibekas dulu kau cium napsu dan garang;
lagi akupun sangat lemah serta menyerah.

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.
Pembatasan cuma tambah menjatuhkan kenang.
Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.

Dan kau ? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,
Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar ?

TUTI ARTIC

Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.
Istriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
— ketika kita bersepeda kuantar kau pulang —
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu :
Sorga hanya permainan sebentar.

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi ...... hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.

SORGA

buat basuki resobowo

Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu

Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana ?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Yati?

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata :
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja".

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh !
Perahu yang bersama 'kan merapuh !
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

ISI