Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI & GAM: Perbedaan antara revisi

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Borgx (bicara | kontrib)
k perbaiki link ke wikipedia
IvanLanin (bicara | kontrib)
+kat
Baris 366: Baris 366:


{{wikipedia-2|artikel=AMM|artikel2=Aceh}}
{{wikipedia-2|artikel=AMM|artikel2=Aceh}}

[[Kategori:Perjanjian]]

Revisi per 25 Mei 2006 13.08

                                         Nota Kesepahaman

                                              antara

                                   Pemerintah Republik Indonesia

                                                dan

                                         Gerakan Aceh Merdeka

Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk 
penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.

Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan 
melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik 
Indonesia.

Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan 
memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan 
dan keberhasilan.

Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.

Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu 
proses transformasi.

Untuk maksud ini Pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut:

1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
       
   1. 1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan 
mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.

1.1.2. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada 
prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan 
dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, 
keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana 
kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait 
dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif 
Aceh.

c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan 
dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh 
akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah 
pemilihan umum yang akan datang.

1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.

1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat 
istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.

1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.

1.2. Partisipasi Politik

1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman 
ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik
lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota 
Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di 
Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat
waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

1.2.2 Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan 
calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan 
April 2006 dan selanjutnya.

1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan di bawah undang-undang baru tentang 
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih 
lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009.

1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan 
perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.2.5 Semua penduduk Aceh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada bulan
April 2006.

1.2.6 Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, akan dijamin sesuai 
dengan Konstitusi Republik Indonesia.

1.2.7 Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa 
diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar.

1.2.8 Akan adanya transparansi penuh dalam dana kampanye.

1.3. Ekonomi

1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat 
suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).

1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal 
yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta 
menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar 
Aceh.

1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya 
yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam 
wilayah Aceh.

1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan 
pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.

1.3.7. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan
udara.

1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian 
pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas 
kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah Aceh.

1.3.9. GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan 
dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).

1.4. Peraturan Perundang-undangan

1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui.

1.4.2. Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip 
universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan 
Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

1.4.3. Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk
di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.

1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan 
Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut
umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan
standar nasional yang berlaku.

1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan 
sipil di Aceh.

2. Hak Asasi Manusia

2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak 
Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.

2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 
Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat

3.1. Amnesti

3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua 
orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak 
penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

3.1.2. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat 
secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan memutuskan kasus-kasus yang dipersengketakan sesuai dengan nasihat
dari penasihat hukum Misi Monitoring.

3.1.4. Penggunaan senjata oleh personil GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan 
dianggap sebagai pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan
memperoleh amnesti.

3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat

3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau 
dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak 
politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di 
Aceh maupun pada tingkat nasional.

3.2.2. Orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak 
untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.

3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang 
terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah
tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah 
memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan 
Pemerintah Aceh akan dibentuk.

3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan 
yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.

3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh
dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi 
bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah 
dan dana sebagai berikut:

    a) Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau 
jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.

    b) Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang 
pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.

    c) Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima 
alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh 
apabila tidak mampu bekerja.

3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk 
menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.

3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di
Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.

4. Pengaturan Keamanan

4.1. Semua aksi kekerasan antara pihak-pihak akan berakhir selambat-lambatnya pada saat 
penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

4.2. GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai 
seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

4.3. GAM melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para 
anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk menyerahkan 
840 buah senjata.

4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan 
dalam empat tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.

4.5. Pemerintah RI akan menarik semua elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh.

4.6. Relokasi tentara dan polisi non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan 
dilaksanakan dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap tahap 
diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.

4.7. Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah 
kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.

4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. 
Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi 
Monitoring.

4.9. Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang 
dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.

4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh.

4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai 
yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.

4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan 
penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.

5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh

5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta 
dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.

5.2. Tugas AMM adalah untuk:

a) memantau demobilisasi GAM dan decomissioning persenjataannya.
b) memantau relokasi tentara dan polisi non-organik.
c) memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat.
d) memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini.
e) memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan.
f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan.
g) menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini.
h) membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak.

5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah 
Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM 
dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah diundang oleh Pemerintah RI 
akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.

5.4. Pemerintah RI akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, 
Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan 
menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.

5.5. GAM akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan 
menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen dan 
dukungannya kepada AMM.

5.6. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan 
menyatakan kerjasamanya secara penuh dengan AMM.

5.7. Tim monitoring memiliki kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang 
tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para pihak tidak memiliki 
veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan operasional AMM.

5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil AMM 
tidak membawa senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian bahwa 
patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI. Dalam hal ini, Pemerintah RI 
akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.

5.9. Pemerintah RI akan menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul
senjata bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM.

5.10. Penghancuran segera akan dilaksanakan setelah pengumpulan senjata dan amunisi. Proses ini akan 
sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.

5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi Monitoring yang akan memberikan laporan rutin kepada para pihak 
dan kepada pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang ditunjuk di Uni
Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.

5.12. Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan menunjuk seorang wakil senior 
untuk menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dengan Kepala 
Misi Monitoring.

5.13. Para pihak bersepakat atas suatu pemberitahuan prosedur tanggungjawab kepada AMM, termasuk 
isu-isu militer dan rekonstruksi.

5.14. Pemerintah RI akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan medis 
darurat dan perawatan di rumah sakit bagi personil AMM.

5.15. Untuk mendukung transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses penuh bagi perwakilan media 
nasional dan internasional ke Aceh.

6. Penyelesaian perselisihan

6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera 
diselesaikan dengan cara berikut:

                a) Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman 
ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua 
pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil 
keputusan yang akan mengikat para pihak.

                b) Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat 
diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh 
Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring 
akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

                c) Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu
cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada 
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua 
Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa.
Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan 
mengambil keputusan yang mengikat para pihak.

Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten
dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini.

***

Ditandatangani dalam rangkap tiga di Helsinki, Finlandia,
pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.

      A.n. Pemerintah Republik Indonesia,                        A.n. Gerakan Aceh Merdeka,

              Hamid Awaluddin                                            Malik Mahmud

            Menteri Hukum dan HAM                                          Pimpinan


                                                                      Disaksikan oleh,

                                                                      Martti Ahtisaari

                                                                   Mantan Presiden Finlandia
 
                                                    Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative

                                                                  Fasilitator proses negosiasi 

Wikipedia Wikipedia mempunyai artikel ensiklopedia mengenai AMM dan Aceh.