Halaman:Wayang Cina - Jawa di Yogyakarta.pdf/24

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

seorang priyayi punggawa kraton. Pawiro Buwang seorang seniman dari kalangan penduduk biasa. Kho Thian Sing berasal dari kalangan Peranakan.

Pembinaan para calon dalang wayang Cina – Jawa itu, berhasil dengan baik. Malah Kho Thian Sing setelah menjadi dalang, penampilannya sangat disukai oleh para konsumen dari kalangan masyarakat Cina, sehingga ia mendapat julukan Bah Menang. Sedangkan para konsumen di kalangan masyarakat Jawa menyukai penampilan dalang-dalang R.M. Pardon dan Megarsemu.
Para dalang hasil didikan Gan Thwan Sing itulah yang menjadi penunjang utama dalam pengembangan dan kelangsungan hidup wayang Cina – Jawa sampai awal tahun 1960.
Tatkala Gan Thwan Sing telah mencapai usia agak lanjut, ia tidak lagi bertindak sebagai dalang. Ia hanya bertindak sebagai asisten. Kesempatan seluas-luasnya diberikan kepada para dalang asuhannya.
Setelah berkembang dan tersebar luas selama hampir empat puluh tahun, pergelaran wayang cina – Jawa berakhir pada tahun 1960 yang dilaksanakan di pelataran Klenteng Gondomanan Yogyakarta. Waktu itu Gan Thwan Sing dalam usia enampuluh tahun, sudah mulai sakit-sakitan dan seringkali menghadapi kesulitan keuangan dalam mengurus hidup keluarganya, sedang para dalang asuhannya telah mendahuluinya pulang ke rahmatullah. Gan Thwan Sing tak mampu lagi untuk mendidik dalang-dalang baru. Maka tak ada lagi penggantinya yang dapat melanjutkan kelangsungan hidup wayang Cina – Jawa itu. Akibatnya, setelah tahun 1960, berakhirlah sudah kehadiran wayang Cina – Jawa sebagai sebuah bentuk pertunjukan.
Perlu kiranya dikemukakan di sini, bahwa Gan Thwan Sing rupanya masih kurang puas dengan bentuk wayang karya ciptanya sehingga melahirkan gagasan untuk membuat wayng Cina – Jawa gaya baru, yang lebih indah bentuknya, lebih halus tatahannya (perforasi). Dalam beberapa segi, wayang gaya baru tersebut menyerap pengaruh kesenian Jawa. Hal itu terlihat dalam sikap tangan para tokoh wayang yang mengingatkan kepada sikap tangan penari gaya Mataraman yang dalam istilah tari, disebut ngepel, ngithing[1]. Serta terlihat pula dalam pembuatan wayang yang diberi alas penghubung antara tumit kaki depan dengan ujung jari kaki belakang, yang sama dengan wayang kulit Jawa.

  1. Krida Beksa Wirama, Pitedah pepatokaning Phwoelang Djoged Bedaja-Srimpi, I, Perc. Mataram T. No. 3577 Dk. Ngajogjakarta, hal.9.

17