Halaman:Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.pdf/74

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

Lampiran

fakta perkosaan massal sama artinya dengan dusta dan kejahatan bersama. Terhadap korban, perkosaan adalah penghancuran hidup. Terhadap para warga biasa dan saksi mata, perkosaan massal adalah kebiadaban di pelupuk mata dan sisi memori yang tak tertanggungkan:

“Semenjak menyaksikan kejadian itu, hidup saya sangat gelisah dan terganggu. Ketika mata saya terpejam, bayangan mayat-mayat wanita itu nampak di depan mata. Saya merasa tertekan. Karena saya tidak kuat menghadapi perasaan cemas dan takut, saya putuskan untuk pulang kampung” (Saksi Mata, Muara Angke, 14 Mei 1998).”

 Pada banyak saksi mata lain, batas antara ‘menyaksikan’ dan ‘mengalami’ menjadi sangat tipis, dan beda antara ‘diri’ dan ‘korban’ telah menjadi kabur.

“Setelah tanpa sengaja melihat seorang gadis Tionghoa diperkosa beramai-ramai, adik perempuan saya begitu ketakutan dan tertekan. Bicaranya ngacau dan badannya bergetar setiap kali ada yang menghampirinya, dua minggu ia dirawat di Rumah Sakit. Saya jadi sangsi, adik saya itu hanya menyaksikan orang diperkosa atau dia sendiri juga diperkosa. Kok reaksinya seperti itu.” (pengaduan kakak seorang perempuan, Juni 1998).

 Gejala itu menunjukkan bagaimana, selain menghancurkan hidup para korban, akibat peristiwa perkosaan massal itu juga telah jauh menerobos dan menghancurkan isi batin serta bentuk laku sedemikian banyak orang. Sebuah kerusakan total hidup bersama kita.

 Demikian juga peristiwa itu telah jauh menerobos ke dalam benak sekelompok orang, dengan isi imaginasi yang paling rendah dan hewani:

“...Pada tanggal 23 Juni (1998), di dalam angkot di sekitar Jakarta Barat itu juga terdapat 3 orang laki-laki kira-kira berumur antara 25-35, berpakaian bersih. Mereka sedang memperbincanghan berita Koran tentang kasus perkosaan yang telah terjadi terhadap anak kecil dan mayat mutilasi. “Harusnya memeknya (vagina) dipotong buat kenang-kenangan,” kata satu dari ketiganya. Yang lainnya menimpali: “Potongannya itu bagusnya dimasukkan air keras.” Kemudian yang ketiga menyahut: “O ya... ada bulunya.” Lalu ketiganya tertawa. “Karena tidak tahan mendengar isi dialog itu, saya turun sebelum tepat tujuan” (Kesaksian saksi mata, Juni 1998).

67