Lompat ke isi

Halaman:Sultan Thaha Syaifuddin.pdf/91

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi
BAB IX
PENUTUP


A. KISAH WAFATNYA SULTAN THAHA DAN RADEN MAT TAHIR

Besarnya dana dan kekuatan militer Belanda yang dikerahkan ke Jambi telah memungkinkan fihak Belanda untuk menundukkan benteng-benteng pertahanan rakyat di daerah pedalaman Jambi satu demi satu. Akibatnya daerah gerak pengikut-pengikut Sultan Thaha Syaifuddin makin lama makin sempit. Keadaan ini telah mendorong orang-orang yang tidak tahan uji untuk menyeberang ke fihak Belanda.

Di antara orang-orang ini ada yang kemudian menjadi kaki tangan Belanda untuk memusuhi bangsanya sendiri. Dengan petunjuk orang-orang yang semacam inilah tentera Belanda menyerang tempat pertahanan dan persembunyian Sultan Thaha Syaifuddin dan Raden Mat Tahir sehingga keduanya gugur di medan pertempuran.


1. Wafatnya Sultan Thaha Syaifuddin

Sebagai pemimpin besar yang disegani dan disayangi sebagian besar anggota masyarakat, peristiwa gugurnya Sultan Thaha Syaifuddin dalam penyerbutan tentara Belanda itu telah menimbulkan berbagai ceritera yang masing-masing masih tetap hidup di kalangan masyarakat pendukungnya.

Di bawah ini akan diutarakan beberapa versi tentang wafatnya Sultan Thaha Syaifuddin itu.

  1. Diceritakan bahwa pada suatu malam di tahun 1904, tentara Belanda atas petunjuk Demang Gelabak telah datang ke tempat persembunyian Sultan Thaha Syaifuddin di Sungai Aro. Pada kira-kira pukul 5.30 tentara Belanda mulai menyerang tempat kedudukan Sultan Thaha itu.
    Adanya serangan tentara Belanda yang mendadak itu telah mengakibatkan Sultan Thaha Syaifuddin dan beberapa orang panglimanya menyelamatkan diri ke sebelah hilir Sungai Aro, yaitu di Betung Barat.

    Ketika rombongan Sultan Thaha Syaifuddin masih berada dalam perjalanan menuju Betung Barat itu, tiba-tiba ada di antaranya yang menanyakan "Sultan Thaha Syaifuddin di mana? Kemudian ada suara dari angkasa yang memberikan jawaban "Saya di sini; semenjak sekarang berpisahlah kita".
    Sejak adanya peristiwa tanya jawab seperti tersebut di atas, Sultan Thaha Syaifuddin menghilang, tidak diketahui ke mana perginya.
    Diceriterakan lebih lanjut bahwa pertempuran yang terjadi di Sungai Aro pada tahun 1904 itu telah menewaskan 2 orang panglima dan pembantu utama Sultan Thaha Syaifuddin yaitu Jenang Buncit dan Berahim Panjang. Jenazah Berahim panjang dimakamkan oleh rakyat di Sungai Besar, sedangkan jenazah Jenang Buncit dibawa oleh Belanda dengan kapal ke Muara Tebo untuk dimakamkan di sana. Di Muara Tebo fihak Belanda menghubungi seorang ulama yang sangat besar pengaruhnya, bernama Hakim Ahmad agar ulama ini bersedia mengakui bahwa jenazah Jenang Buncit yang dimakamkan di Muara Tebo itu adalah jenazah Sultan Thaha Syaifuddin. Tetapi karena Hakim Ahmad tidak mau memberikan keterangan palsu semacam itu, fihak Belanda menjadi sangat marah. Hakim Ahmad ditangkap, kemudian diasingkan ke Cilacap, hingga ia meningggal di sana.
    Sebelum Hakim Ahmad ditangkap Belanda, rakyat pada umumnya meyakini bahwa Sultan Thaha Syaifuddin masih hidup, meskipun mereka tidak mengetahui di mana beliau berada. Tetapi setelah peristiwa penangkapan Hakim Ahmad itu rakyat menciptakan pendapat umum (public opinion) bahwa Sultan Thaha Syaifuddin telah wafat dalam pertempuran di Sungai Aro pada tahun 1904 (10,p. 39 dan 40).