Halaman:Sultan Thaha Syaifuddin.pdf/47

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi
BAB VI
KEADAAN POLITIK KEAMANAN JAMBI SERTA
PERSIAPAN TINDAKAN MILITER


A. KEADAAN POLITIK DAN KEAMANAN

Serangan fihak Belanda terhadap "Istana Tanah Pilih" pada bulan September 1858 yang telah mengakibatkan Sultan Thaha Syaifuddin memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Huluan (pedalaman) serta pengangkatan Sultan-sultan baru telah menimbulkan keadaan yang tidak menentu di Jambi menurut penilaian pihak Belanda.

Pengangkatan Sultan baru oleh fihak Belanda telah mengakibatkan timbulnya perpecahan di kalangan keluarga Sultan maupun rakyat Jambi. Daerah kesultanan Jambi terbagi menjadi dua Daerah Jambi Hilir diperintah oleh Sultan-sultan yang diangkat fihak Belanda dan daerah Huluan berada di bawah kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin yang telah diturunkan oleh fihak Belanda.

Keadaan ini mula-mula memang dikehendaki oleh fihak Belanda dan dengan demikian seluruh Jambi dapat mereka kuasai dengan jalan mengadu-domba sesama rakyat Jambi sendiri. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pengaruh Sultan Thaha Syaifuddin tidak hanya terbatas di daerah Huluan melainkan juga di daerah Jambi Hilir, sehingga sebagian besar dari rakyat Jambi termasuk beberapa keluarga Sultan yang diangkat fihak Belanda ikut memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Belanda.

Tentang luasnya pengaruh Sultan Thaha Syaifuddin dinyatakan fihak Belanda sebagai berikut: adapun wibawa dan pengaruh Sultan Thaha di daerah huluan besar sekali dan tidak terbatas. Karena kepribadian dan wibawanya begitu kuat, maka juga di seluruh daerah Jambi pengaruhnya sangat dirasakan, sehingga Sultan yang diangkat oleh Gubernemen digelari rakyat "Sultan Baring" (Sultan Tidur). Sedangkan Thaha tetap diakui sebagai Sultan dengan "Redho Allah" (bij de Gratie Gods) dan Pangeran Ratu Marta Ningrat patuh kepada perintah Thaha (16, p.5 dan 6).

Dari tahun 1859 sampai tahun 1875 Pemerintah Hindia

42