Halaman:Sultan Thaha Syaifuddin.pdf/39

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi
  1. Kepada Sultan Jambi dan Pangeran Ratu diberikan uang sejumlah f. 10.000,- jumlah ini akan diperbesar jika penghsilan cukai pengangkutan bertambah.
  2. Segala perjanjian tahun 1834 tetap berlaku, jika tidak berlawanan dengan surat perjanjian ini.
  3. Sultan dan Pangeran harus mengirimkan utusan untuk menghormati Gubernur Jenderal di Batavia, bila dianggap perlu oleh pemerintah Hindia Belanda.
  4. Batas-batas negeri Jambi akan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda dalam piagam lain (3, p. 5).

Sesuai dengan apa yang diinginkan Belanda, maka setelah Panembahan Prabu dinobatkan menjadi Sultan Jambi oleh Belanda timbullah perpecahan di kalangan keluarga kesultanan dan rakyat Jambi. Tetapi sebagian besar rakyat Jambi hanya mengakui Sultan Thaha Syaifuddin sebagai Sultan Jambi yang syah.

Hal ini disebabkan karena Sultan Thaha Syaifuddin yang memegang tanda-tanda kebesaran dan alat-alat upacara kesultanan, antara lain "Keris Siginjai" yang merupakan lambang kesultanan.

Untuk mengatasi perpecahan ini oleh keluarga Sultan ditetapkan bahwa sebagian daerah Jambi masih tetap berada di bawah kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin (10, p. 29).


B. KEHIDUPAN MASYARAKAT

Sudah disebutkan di muka bahwa setelah terjadi pertempuran bulan September 1858 Sultan Thaha Syaifuddin berserta seluruh penghuni Keraton Tanah Pilih menyingkir ke Muara Tembesi. Di tempat yang baru ini Sultan Thaha mulai menyusun pemerintahan baru. Daerah kekuasaannya meliputi daerah Jambi bagian Hulu, ya1tu dari Lubuk Rusa sampai ke Muara Jambi (10, p. 34).

Struktur Pemerintahan Sultan Thaha Syaifuddin pada waktuitu dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang terdiri dari kelompok dubalang, ulama dari pemuka adat, pada masa pemerintahan beliau itu di Jambi sudah dikenal istilah rumah bertangganai, kampung batuo, negeri babatan, rantai bejenang

34