Michiel pasukan Belanda menyerbu Sarolangun – Jambi dan berusaha menutup perjalanan melalui sungai guna mematahkan perlawanan Sultan Fakhruddin.
Karena kekurangan perlengkapan perang dan adanya blokade fihak Belanda itu Sultan Fakhruddin terpaksa menyerah. Oleh Letkol Michiel ia diharuskan menandatangani sebuah perjanjian bertempat di Sungai Baung (Rawas) pada tanggal 4 Nopember 1833 yang isinya sebagai berikut:
- Negeri Jambi dikuasai dan dilindungi oleh Negeri Belanda.
- Negeri Belanda mempunyai hak untuk menduduki tempat-tempat yang diperkuat di daerah Jambi berapa saja menurut keperluan (21, p. 30).
Setelah perjanjian tersebut di atas ditandatangani, Belanda langsung menduduki kembali Muara Kumpeh, sedangkan di Muara Sabak diadakan penjagaan kuat (11, p. 7).
Perjanjian tahun 1833 mempunyai arti penting bagi sejarah Jambi, karena dalam perjanjian itu untuk pertama kalinya daerah Jambi dinyatakan dikuasai dan dilindungi oleh negeri Belanda dan dengan demikian sejak itu Belanda secara langsung mencampuri urusan pemerintah di Jambi.
Perjanjian tahun 1833 ciptaan Letkol. Michiel yang telah menempatkan Jambi di bawah kekuasaan negeri Belanda itu oleh Residen Palembagn dianggap kurang lengkap. Pada tanggal 21 April 1835 Residen Palembang sebagai wakil Pemerintah Belanda memaksa Sultan Muhamad Fakhruddin, Pangeran Ratu Abdurahman Martaningrat dan beberapa pejabat tinggi Kesultanan Jambi untuk menandatangani perjanjian yang merupakan pelengkap dari perjanjian tanggal 14 Nopember 1833 yang berisi ketentuan-ketentuan berikut:
- Pemerintah Hindia Belanda berhak memungut cukai atas barang-barang impor dan ekspor.
- Pemerintah Hindia Belanda berhak memonopoli penjualan garam.
- Pemerintah Hindia Belanda tidak akan mengurus cukai yang lain.
- Pemerintah Hindia Belanda tidak akan mencampuri urusan pemerintah dalam negeri dan tidak akan mengganggu adat-istiadat dalam negeri, kecuali dalam hal penggelapan cukai yang telah menjadi hak pemerintah Belanda untuk memungutnya.
18