Halaman:Sultan Thaha Syaifuddin.pdf/20

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

ketidak puasan rakyat terhadap sistem perdagangan monopoli yang dijalankan Belanda di daerah Jambi. Sikap ketidaksenangan rakyat terbukti dengan ditutupnya kantor dagang Kompeni Belanda di Muara Kampeh pada tahun 1623.

Penutupan atau pembubaran kantor dagang kompeni ini disebabkan karena susahnya mengadakan hubungan dengan penduduk. Rakyat Jambi tidak mau menjual hasil buminya, seperti lada, kepada Belanda, Kantor dagang Kumpeni Belanda baru dibuka kembali di Jambi pada tahun 1936 oleh Hendrik Van Gent yang merupakan kedatangan Belanda yang kedua kalinya. Hendrik Van Gent dapat mengetahui adanya hubungan persahabatan antara Sultan Jambi dengan Sultan Agung dari Mataram yang sedang berjuang mengusir orang-orang Belanda dari tanah Jawa. Kejadian ini dilaporkannya kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia.

Gubernur Jenderal Antonie Van Diemen yang mengetahui bahayanya persekutuan antara Jambi dengan Mataram itu pada tahun 1642 berusaha membuyarkannya dengan jalan memikat hati Sultan Abdul Kahar dengan mengirimkan hadiah yang disertai dengan peringatan agar Sultan tidak berhubungan lagi dengan Mataram. Untuk memperkuat kedudukan Belanda di Jambi, pada tahun 1645 dibuat surat kontrak atau perjanjian dengan Sultan Abdul Jalil, pengganti Sultan Abdul Kahar yang isinya menguntungkan VOC. Kontrak ini merupakan perjajian yang pertama antara Belanda (VOC) dengan Sultan Jambi (11, p. 5).

Rasa tidak senang terhadap Belanda selanjutnya diperlihatkan rakyat Jambi pada tahun 1698. Pada tahun itu Sybrandt Swart, kepala kantor Kompeni Belanda di Muara Kumpeh beserta stapnya mati terbunuh oleh rakyat Jambi. Oleh Belanda Sultan Sri Ingalogo dituduh ikut terlibat dalam peristiwa ini. Hal ini diketahui pihak Belanda akibat sikap putra Sultan sendiri, yakni Pangeran Depati Cakranegara yang dapat dipengaruhi dan pro kepada Belanda.

Dengan tipu muslihat Sri Ingalogo datang ke benteng Belanda di Muara Kumpeh untuk ditangkap dan kemudian dikirim ke Batavia dan akhirnya dibuang ke pulau Banda. Pangeran Depati Cakranegara putra Sultan yang sebenarnya tidak berhak, diangkat Belanda sebagai pengganti dengan gelar Sultan

15