Lompat ke isi

Halaman:Srigala Melolong di Hastinapura.pdf/9

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

7

hak atas perbuatannja, sedang jang diburu ada mempunjai hak atas djiwanja, maka larilah kalau engkau bisa lari, untuk melindungi djiwamu sendiri”. Demikianlah djawabnja Prabu Pandu.

„Memang, pemburu boleh mentjari korban dengan sendjatanja, tetapi undang-undang keutamaan ada melarang akan melepaskan sendjata terhadap machluk jang sedang menjampaikan ketjintaan pulang-resmi sama betinanja”. Kata pula sang mendjangan dengan suara jang bengis, kemudian perlahan-lahan sifatnja lantas berobah mendjadi seorang manusia dengan dandanan sebagai pandita.

Prabu Pandudewanata mendjadi kaget hingga bergumetaran seluruh badannja, maka lalu ia djalan menghampiri, akan memperhatikan terlebih djauh.

Dengan anak panah jang masih menamtjap diatas lehernja, pandita itu masih berdjengku setengah tengkurep diatas darahnja sendiri. Ia menggerakkan kepalanja jang sudah lemah itu dan berkata pula :

„Didalam dunia banjak djalan akan orang mentjari kesenangan, tapi diantaranja tidak ada jang kesenangannja dapat dibandingkan dengan kesenangannja duwa machluk jang sedang bertjinta-tjintaan pulangasmara, karena itu adalah anugrah pemberian dari allam jang maha pasti. Seperti djuga kalamangga atau laba-laba djantan jang untuk mendapatkan sekedap sadja kesenangannja berpulangasmara, ia ridlah akan sesudahnja itu mati terbunuh oleh jang betina. Demikianpun manusia, untuk mendapatkan kenikmatan dalam waktu sedetik itu, duwa-duwanja sanggup memikul beban penderitaan mendjadi budjang dari anak-anaknja hingga seumur hidupnja. Oh Prabu Pandu, dalam seluruh penghidupan tidak ada saat jang begitu indah seperti waktu dalam pertjintaan, maka apakah pantas engkau membunuh sesama machluk jang sedang berkawin setjumbana”?

Sang prabu tidak bisa mendjawab, diam memandang kebawah dengan penuh rasa getun dan menjesal jang tidak kepalang besarnja.