5
„Kenapa djadi bagaitu, baginda, kenapa ?”, menanja Dewi Madrim dengan hati berdebar-debar.
„Oh adinda, adinda, tjilaka sekali diriku ini” setelah mengutjap demikian, radja jang tjakap dan gagah perkasa itu lalu menangis tersedu-sedu.
Memang sangat heibat penanggungannja Prabu Pandu itu, tjobalah bajangkan apa jang telah terdjadi atas dirinja.
Tadi waktu masih pagi, sang prabu bersama para pengiringnja dengan sendjata lengkap telah berangkat memburu kehutan Tundalaja, karena ia memang ada seorang radja jang sangat prawira, kesenangannja berburu dan olah-raga. Keberanian dan kegagahannja termashur diseluruh djagad, tidak ada satriya atau radja mana sadja jang sanggup menandingi.
Tapi heran sekali pada hari itu, hutan Tundalaja jang biasanja banjak penghuni binatangnja, pada hari itu. tertampak sepi dan kosong, apa lagi banteng, matjan dan mendjangan, sedang kelintji sadja tidak kelihatan hidung-kupingnja. Mereka seperti sudah sama mendapat firasat bahwa bakal ada bahaja mendatangi, sijang-sijang sudah menjingkirkan diri, binatang besar sembunji kedjurang-djurang jang dalam, heiwan ketjil sama masuk kedalam lobang-lobang sarangnja.
Sang Hjuang Diwangkara jang menjinari bumi, menggintjlang-gintjlang ditengah udara, panasnja makin terik, hingga mereka jang berburu itu mendjadi lelah dan dahaga, sama melindungkan diri duduk dan rebahan dibawah puhun-puhun jang rindang. Semula Prabu Pandudewanata pun merasa letih, setelah ia mengasoh dibawah puhun mandira jang teduh, mendapat silirannja Betara Bayu jang adem, ia rasakan badannja segar dan hilang rasa lelahnja. Maka dengan tiada ingin mengganggu para pengiringnja jang rupanja masih letih dan pajah, diam-diam sang prabu, pergi seorang diri masuk kedalam belukar, dengan berdjalan kaki, tangannja jang kiri menenteng lengkap gandewa, tangan kanan membawa tjambuk untuk menjingkirkan lung pendjalin dan akar-akar jang rawe-rawe menghalangi djalan.