4
telah bertreak dengan suara penuh ketakutan :„Oh adinda, adinda, djangan pegang badanku !”.
Keduwa putri indah itu lalu mundur setindak lantaran kagetnja, memandang dengan sorot mata menanja, penuh rasa sangsi tertjampur bingung. Sang suami tiada segera mendjawab, hanja menutup muka dengan keduwa tangannja, maka keduwa wanita tjantik itu lalu taro barang bawaannja dan mereka sendiri lalu duduk diatas tanah, djuga para dajang keraton jang rata-rata anak perawan tjantik djelita, dengan perhiasannja serba emas dan batu permata, sama duduk memutari, diam dan sunji tiada sepatahpun perkataan jang terdengar, hingga mendjadi njata ketika sang prabu mengelah napas tertjampur rintihan jang sangat menjedihkan.
„Oh baginda”, kata Dewi Kunti dengan perlahan membudjuk-budjuk, „biarlah saja tjutji lebih dulu kaki baginda jang penuh debu itu, dengan air mawar jang sedjuk ini, supaja mendjadi segar dan senang, lalu baginda boleh duduk rebahan seenaknja, sembari menghilangkan lelah dan mengasohkan diri”.
„Perkataannja kakambok itu betul sekali, baginda”, menjambung Dewi Madrim. „Nanti habis ditjutji kaki baginda akan saja pesuti sehingga mendjadi kering, lalu saja pidjati dan baginda boleh tidur dengan hati jang tentram”.
„O sepasang kembangku jang tjantik djelita, segala perkataanmu itu jang manisnja sebagai madu dari kahjangan, telah membikin hatiku seakan-akan ditjintjang dengan seribu golok, aduh adinda, adinda.......”, kata Prabu Pandu dengan suara megap-megap sebagai orang kalelap, kemudian ia menekap mukanja, dan dari sela-sela djarinja lalu tertampak mengalir air matanja sebagai pantjoran.
„Oh baginda, baginda, kau kenapa, baginda ?” berseru kedua istri jang eilok itu dengan berbareng.
„Sebab...... djikalau kau menjinggung badanku, lantas aku mati”, djawab baginda dengan suara terputus-putus.