Lompat ke isi

Halaman:Srigala Melolong di Hastinapura.pdf/5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

3

SRIGALA MELOLONG DI HASTINAPURA.

I.

Hiruk-pikuk suaranja keratjak kuda jang melanggar batu dan pasir, hingga debu mengepul disepandjang djalanan jang diliwati, oh itulah rombongan pradjurit jang mengiringi maha prabu Pandudewanata, radja besar dari bangsa Kuru jang habis senang-senang memburu binatang hutan, sedang pulang menudju ke Hastinapura.

Tiada seperti biasanja djikalau ia balik dari berburu, jang tentu membawa banjak pendapatannja kidang mendjangan dan matjan, hanja waktu itu para pradjurit pengiringnja tjuma panggul tumbak dan panahnja sendiri sadja. Sang prabu jang tjakap itu kelihatan lesu, tampang mukanja jang putih sedari dilahirkan, djadi bertambah pias dan putjat, sebagai warnanja bungah melati jang sudah laju.

Pada hari-hari jang sudah, biasanja kalau ia datang dari perdjalanan, sesampainja di istana, dengan mulut bersenjum-senjum, ia memandang keduwa permaisurinja jang dari djauh sudah menjambut kepadanja, matanja memantjar-mantjar penuh dahaga jang mengandung asmara. Tapi kali ini sang prabu tidak melihat kedepan, hanja memandang kebawah, tjuma kupingnja sadja jang dengan rasa gelisah dapat menangkap suaranja permaisuri Dewi Kunti jang empuk muluk sebagai suaranja burung kepudang, disambungi oleh istrinja keduwa, Dewi Madrim, jang njaring bening sebagai suaranja lontjeng emas dari istananja Betara Kuwera.

„Aduh Djagad Dewa Betara”, demikianlah Prabu Pandu telah mengeluh sembari membanting dirinja diatas sebuah kursi empuk jang tertutup dengan kulitnja biruang putih. Dan ketika keduwa istrinja itu datang menghampiri, jang seorang membawa bokor kentjana berisi air djernih, jang lain membawa lap dari kain putih, untuk menjutji kaki suami djundjungannja itu, sang prabu