21
gelisah, lantaran kuatir nanti dirinja jang djustru terpilih oleh sang Destarastra, hingga akan kepaksa mendjadi isterinja seorang buta, jang tentunja tiada bakal merasakan beruntung lagi seumur hidupnja.
Dewi Prita dan Dewi Madrim merasa dingin sekali karena tidak ada jang melindungi dan membesarkan hatinja. Tidak begitu dengan Dewi Gendari, karena disamping ia ada Sangkuni jang banjak akalnja, diam-diam adik itu mentjari jijit atau ingusnja ikan tambra, lalu dibedakkan kesekudjur badannja Dewi Gendari, hingga baunja amis dan busuk sekali, nanti djikalau ia didekati oleh Destarastra nistjaja ia akan merasa djidji dan tidak suka memilih kepadanja.
Dengan dituntun oleh Widura, sang Destarastra djalan menghampiri ketiga putri jang berdiri djedjer sedia untuk dipilihnja. Pertama ia menghampiri Dewi Kunti atau Dewi Prita jang badannja lalu mendjadi lemas karena kuatir nanti ia dipilih, maka diam-diam ia lalu bersamedi, jang diesti jalah Begawan Druwasa, batinnja mengeluh dan sambat-sambat: „Oh sang Resi pepudjaan saja, dulu paduka telah berdjandji akan melindungi saja djika saja mendapat kesusahan, maka saja sekarang menagih djandji, lindungilah saja supaja tidak terpilih oleh lelaki jang matanja buta itu”.*
Daja pangestinja sang putri telah membikin kagetnja Begawan Druwasa jang waktu itu sedang berada diatas puntjaknja Gunung Himalaya, maka sewaktu itu djuga tjiptanja telah memerintah Dewi Gandasari, jaitu bidadarinja segala kembang, akan menabirkan lapisannja bunga bangkai atau jang dinamakan kembang badur, mengurung dirinja Dewi Kunti, hingga ketika Destarastra menghampiri, mendadak ia telah mundur tiga tindak lantaran tidak kuat kena bau jang luar biasa busuknja.
Sekarang Destarastra menghampiri ketempat berdirinja Dewi Madrim, jang mukanja mendjadi putjat, badannja gemeteran,
- ) Batjalah buku „Dibelakang Tabir Istana Mandura”.