20
„Kakanda, jang agung sadja ampun pengampuramu, karena jang mendjadikan derita kesengsaraanmu itu adalah saja, lantaran sedang kalelap dalam samudra bahagia, saja djadi mabuk dan lupa daratan. Kakanda, sudah wadjibnja saudara menulung saudara dan sudah seharusnja seorang adik jang waras mentjarikan isteri kakanja jang malang, dari itu, kakanda, maka tiga orang putri itu saja serahkan kepadamu, ambillah semuanja untuk isterimu sedang saja sendiri nanti akan mentjari lagi jang lain.”
Dengan rasa terharu Destarastra mendjawab:
„Oh adikku, tinggi sekali peribudimu. Akan tetapi tentu sadja aku tidak sanggup menerima semua pemberianmu itu, karena dalam hal ini aku adalah seorang pengemis jang menadahi belas kasihannja orang lain, bagaimana aku pantas mengambil kekajaan itu seanteronja, hingga ia mendjadi miskin? Oh tidak, adikku, tidak, mudah-mudahan mataku sadja jang buta, tapi tidak buta terus sehingga kesanubariku. Maka djikalau engkau memang ridlah, kasihlah salah seorang sadja antara ketiga putri itu, sudah puas rasa hatiku, dan engkau meski pernah muda, aku anggap sebagai wakilnja ajah, karena sudah mewakilkan kewadjibannja untuk mengawinkan anaknja.”
„Aduh kakanda, ngenes sekali saja mendengar perkataanmu”, kata sang adik sembari menakupkan muka diatas pangkuan kakanja.
„Bilamana kau berpikir demikian”, kata pula sang Pandu sesudah perasaannja sedikit redah, „baiklah kakanda boleh pilih sendiri, putri mana jang kau penudju, ambillah untuk istrimu, supaja dapat meringankan segala penderitaannja jang heibat itu”.
„Oh adikku, adikku”, demikianlah kata Destarastra seraja merangkul adiknja dengan suara terputus-putus karena tersurung oleh perasaan jang sangat terharu.
Ketika orang mendapat tahu niatannja Pandudewanata, semuanja mengaju bahagia, hanja ketiga orang putri itu jang mendjadi