19
gitulah ratap keluh dalam hatinja. Air matanja lalu melele keluar dari kedua matanja jang buta, turun mengalir kebawah, bertjampuran dengan keringat jang membasahkan mukanja, hingga orang tidak ada jang mengetahuinja.
Perdjalanan mereka ada lambat sekali, oleh karena djalannja kedua orang putri bangsawan itu, jang betisnja sebagai padi bunting dan tumitnja merah djambon laksana buah apel jang sedang njadam, tindakannja eilok dan halus sebagai bidadari jang mengikuti iramanja lagu asmarandana, sementara itu Yama Widura kakinja pintjang, sedang Destarastra matanja buta, djalannja perlahan meraba-raba lantaran kuatir kepaduk tunggak dan batu malang. Maka datangnja di Hastinapura telah kesusul oleh tibanja Raden Sangkuni jang mengiringi kakaknja perempuan, diterimakan kepada sang Pandudewanata untuk isteri jang ketiga. Hal ini membikin hatinja Destarastra kelara-lara tambah sengsara, memikirkan nasibnja sendiri dibandingkan dengan keberuntungan adiknja. Sekarang ia tertinggal dalam kesunjian, dilupakan orang jang waktu itu memang sedang bekerdja rupa-rupa, mengadakan segala persediaan pesta jang serba mewah, memadjang istana dengan kembang-kembang, djanur kuning, daon waringin dan klebet aneka warna. Suaranja piring petjah atau dulang tiatoh kedumprangan, bagai jang sedang beruntung adalah seupama suaranja gamelan kasorgan, sebaliknja bagai jang sedang menderita, rasanja seakan-akan tjambuk wadja jang menjabet djantungnja, sakit dan perihnja tidak tertahan lagi.
Demikianlah penanggungannja sang Destarastra, sedang ia sesambat dan menangis sendirian, tiba-tiba Pandudewanata telah datang ketempatnja, maka adik ini mendjadi kaget sekali, buru-buru menghampiri, pegang tangannja seraja dengan suara halus dan manis menanjakan apa jang mendjadi sebabnja.
Destarastra tidak suka menerangkan, akan tetapi Pandu segera mengerti sebab-sebab dari penderitaannja saudara tua itu, maka hatinja jang mulia djadi turut mereras, lalu sembari menangis ia berkata :