18
keratoen jang tertawa-tawa, seraja menjeritakan keadaannja ketiga orang bakal kemanten perempuan itu, mereka pudji-pudji sebagai tiga orang bidadari jang baru turun dari Indraloka, bukan main kesengsaraan hatinja Destarastra.
„Oh Pukulun Dewa Betara”, demikianlah Destarastra meratap-ratap sendirian, „dosa apa hidupku pada djaman jang lampau, maka sekarang dimustikan menderita hidup nelangsa begini matjam”?
Sesudah mengeluh begitu, Destarastra lalu menutupi mukanja dengan kedua tangannja, maka lalu tertampak air matanja turun mengalir liwat dari sela-sela djarinja.
Pikirannja lulu berbajang kembali pada hari-hari jang baru lalu, ketika pulang dari negeri Mandura, mereka djalan rerejongan tiga orang saudara sembari mengiringi Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Destarastra sebentar dituntun oleh Pandu dan sebentar pegangan pundaknja Yama Widura, matanja tetap dalam kegelapan, kendati Sang Hjiang Rawi menjinarkan tjahjanja jang gilang-gemilang memadangi seluruh muka bumi. Hanja kupingnja sadja jang saban-saban mendengar suaranja kedua putri itu jang sangat merdu, diseling dengan ketawa-ketawa ketjil djikalau mendapatkan apa-apa jang menggembirakan hatinja. Oh suaranja sedemikian manisnja, bagaimanakah rupanja? Tentunja indah sekali, jang meskipun ia tidak dapat menggambarkan indah itu bagaimana udjudnja, tapi ia bisa mengira boleh djadi seperti silirannja angin bagai orang jang sehat, pada waktu tengah hari panas terik.
Sedang jang lain bukan sadja dapat melihat madyapada jang indah permai, hanja ditambah lagi dengan kesenangannja hidup berdamping putri-putri djelita, mukti mulia didalam allam dunia, kenapakah ia sendiri jang harus menderita kehidupan pait getir tidak ada batasnja? „Oh Djagad Dewa Betara, kenapa pembagianmu sedemikian pintjangnja? Djikalau hidupku tiada perlunja bagai dunia, bukankah lebih baik djangan dilahirkan?” be-