8
„Tjapung kawin sembari terbang”, kata lagi sang pandita, „burung-burung kawin sembari menjanji, perlunja supaja kesenangannja djadi berlipat ganda. Radja-radja bertjinta-tjintaan didalam miligainja jang rebo dan mewa, sembari mendengarkan suaranja gamelan jang meraju-raju sukma; para satriya bertjinta-tjintaan dengan menjanji, merungrum kekasihnja, akan mendapatkan kesenangan jang tidak ada batasnja. Tetapi semua tjara itu, tidak ada jang dapat dibandingkan dengan kesenangannja mendjangan jang sedang bertjinta-tjintaan didalam hutan jang sunji, sembari bertjanda, sembari berlaga, keatas melihat langit biru dengan awan-awan jang putih, kebawah memandang rumput-rumput segar dan putjuk-putjuk semi jang hidjau, sebentar lari kesana, sebentar kesini, disiliri angin pagunungan jang sepoi-sepoi basah, djagad raja adalah kita jang punja. Dari itu, sang prabu, maka aku sudah mentjalawarna mendjadi mendjangan lelaki, dan istrikupun aku tjipta djadi mendjangan perempuan, dan disinilah kita bersenang-senang memintal asmara, tapi perbuatanku jang sama sekali tidak ada sangkut-pautnja dengan engkau, sudah diganggu olehmu, engkau telah melepaskan sendjatamu dengan tiada semena-mena, mengorbankan djiwaku jang tidak berdosa, istriku sudah lari ketakutan, entah kabur kemana dan setau bagaimana nasibnja diwaktu jang akan datang. Oh Prabu Pandudewanata, sudi gawe sekali engkau itu, apakah Dewa membenarkan seorang satriya berbuat demikian? Hai radja jang kurang tata, ketahuilah olehmu, aku adalah Resi Kimindama, jang selama hidupku belum pernah berbuat dosa, maka segala sabda utjapanku pasti akan terdjadi. Mulai dari saat ini engkau tiada akan dapat merasakan lagi bahagianja orang bertjinta-tjintaan, sewaktu tubuhmu kena tersinggung orang perempuan, maka pada waktu itu djuga engkau akan mati”.
Ketika mengutjapkan kutukan itu, keduwa matanja Resi Kimindama, telah menjala sebagai keluwar apinja, berbareng itu lalu terdengar suaranja geludug diempat pendjuru, langitpun mendadak djadi mendung sebagai djawaban menjaksikan perka-