Halaman:Siti Kalasun.pdf/100

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

meninjit-ninjit, sungut dan janggut tidak dicukur, sudah menghitam di bawah hidung.

 Sejak berangkat dari Banjarmasin, sengaja tidak bercukur, seperti orang meminta sedekah. buruk sekali roman Sari Alam, tiba di atas kereta api, duduk termenung menyisihkan diri,ada seorang kaya, nan hiba melihatnya, diberi sedekah lima sen, diterima uang pemberian, sakit perut menahan gelak.

 Sudah lama kereta berjalan, sampai di stasiun Bukittinggi, disewa bendi ke kampung, kuda berjalan berlari kencang, hampir sampai ia turun,sudah segaja dalam hati, turun jauh dari rumah mandeh, kira-kira seratus meter, berjalan ia meninjit-ninjit, karung disandang di bahu, bertongkat dengan ranting betung, berjalan ke rumah mandeh.

 Dari jauh tampak Nurani, memikul air di parian, sedih hati Sari Alam, melihat adik kandung, lintuh pikiran Sari Alam, tibo di halaman rumah, dikejar oleh mandeh kandung.

 “Anakku si buyung Saba, sekarang baru Buyung pulang, pulang melarat anak kandung,” berkata mandeh dengan Nurani, melihat perasaian Sari Alam, dibimbing anak dibawa ke rumah.

 “sakit benar kakimu, besok mandeh carikan obat,” kata mandeh terisak-isak, sedihmelihat perasaian anak kandung.

 Sari Alam duduk bersandar, ada sebentar antaranya, ditating nasi oleh Nurani, nasi terletak dalam ketiding,ketiding kecil dari buluh, diletakan ikan kering, panggang, dua dengan terung uap, sambal cabe asam durian.

 Melihat hidangan demikian, menitik air mata Sari Alam, melarat sekali mandeh kini, dilihat pula baju Nurani, baju bertambal dipunggung, sedih hati memandanginya, makanlah Sutan Sari Alam, karena enak makan nasi orang tua, habis nasi seketiding, melihat makan anak kandung, menangis mandehdengan Nurani, sedih melihat perasaian, berkata mande kandung.

89