golongan yang relatif telah berumur lanjut serta merekapun adalah orang-orang yang telah kawin. Keadaan seperti itu menyebabkan mereka dipandang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas dan dalam, khususnya di bidang adat, Sebaliknya golongan muda adalah mereka yang muda usia dan muda pula dalam hal pengalaman dan pengetahuan di bidang adat. Dalam kehidupan masyarakat Bali Aga, golongan tua-tua mempunyai kedudukan tertentu yaitu sebagai luanan, dulu (hulu).
Atribut yang membedakan golongan tua dan golongan muda,, pada umumnya adalah dalam hal bentuk, jenis dan cara mereka memakai pakaian adat. Hal itu tampak dalam berbagai upacara dan kegiatan di bidang adat.
Umumnya bagi lapisan golongan tua-tua, pada mereka melekat suatu sistem gelar tertentu dan pada masyarakat Bali hal itu terwujud dalam sistem teknonimi yang dipakai secara luas di seluruh Bali, khususnya pada kehidupan masyarakat yang masih kuat mencerminkan pola tradisional.
Sistem gelar menurut adat teknonimi itu membedakan sebutan menurut variabel jenis kelamin dan variabel tingkatan senioritas. Demikianlah, sebutan pan ditujukan kepada seorang Ayah telah mempunyai anak dan sebutah men ditujukan kepada ibu dari anak tersebut. Sebutan pan A berarti ayah dari si A dan men A adalah ibu dari si A. Si A yang dipakai patokan itu biasanya adalah anak yang sulung. Disamping pan dan men, yaitu sebutan yang ditujukan kepada generasi satu angkatan di atas ego, dikenal pula sebutan pekak dan dadong yang ditujukan kepada generasi dua angkatan diatas ego, kumpi untuk generasi tiga angkatan di atas ego, buyut untuk generasi empat angkatan di atas ego dan seterusnya.
Dengan demikianlah jelas bahwa gelar pan/men adalah gelar yang berbeda dari pekak/dadong, berbeda pula dengan kumpi maupun buyut, suatu perbedaan gelar yang pada hakekatnya berdasarkan tingkat senioritas. Sistem gelar menurut adat teknonimi itu, sedikit-dikitnya mempunyai dua arti penting, dalam hal klasifikasi secara simbolis dari warga desa: pertama, sistem tersebut menekankan adanya konsepsi suami-istri sebagai dwi-tunggal secara sosial, karena mereka dipanggil pan dan men dari anak yang sama, kedua sistem tersebut menyebabkan adanya pelapisan menurut umur seperti diuraikan di atas. Konsepsi suami-isteri sebagai dwi-tunggal pada masyarakat Bali tampak dalam berbagai kehidupan lembaga-lembaga sosial tradisional di Bali: banjar, subak, sekeha, desa adat ( 8, 179).
65